webnovel

Tukang Galon Misterius

"Bu, Boleh enggak saya minta izin libur dua hari." Kataku dengan nada ragu-ragu. Seseorang di seberang sana tidak segera menjawab. Terdengar dia sedang berbicara dengan seorang kontraktor yang akan membeli cat dalam jumlah besar.

"Eh, Halo, Gimana Dina?" sahut Bu Wiwin setelah sekian lama. Aku menghela nafas pelan. lebih dari lima belas menit aku menunggunya berbicara di gagang ponsel. Sedikit jengkel juga rasanya.

"Boleh enggak kalau saya minta izin libur dua hari Bu, soalnya saya mau menghadiri acara pernikahan saudara saya." Aku menekan suara serendah mungkin, supaya tidak terdengar jengkel. Aku sengaja tidak mengatakan alasan sebenernya, karena semenjak aku hijrah ke surabaya, aku mengaku kepada semua orang bahwa aku janda yang ditinggal mati dan tidak mempunyai anak. Siapa sih yang mau mengakui anak titisan setan?

"Gimana, gimana? Kamu mau meminta cuti lagi?" terdengar suara Bu Wiwin meninggi, setengah membentak sampai aku terperanjat dibuatnya, "Aku sudah kasih kamu cuti seminggu lho Din buat pernikahanmu, sekarang kamu meminta cuti lagi! Terus siapa yang jaga tempat gym nanti!"

"Ma..af Bu Wiwin jika saya terlalu sering meminta cuti. tapi tolong untuk kali ini saja, izinkan saya cuti dua hari untuk bisa menghadiri acara pernikahan kakak saya, dia pasti sedih Bu kalau saya sampai tidak datang." Pintaku dengan suara memelas.

Setahun cukup buatku untuk mengetahui perangai Bosku itu. Meski, dia orangnya tegas dan disiplin, tetapi kalau sudah menyangkut dengan keluarga dia pasti akan luluh.

"Lebih baik tanya sama suami saya, Kalau dia mau menggantikanmu selama kamu cuti, kamu boleh pergi. Tetapi kalau enggak, saya tidak izinkan kamu." Tandasnya. Aku tercenung sesaat, haruskah aku menelfon tua bangka itu? terbayang wajahnya tatkala menggodaku yang membuatku risih.

"Taa...piii Bu."

"Ya Sudah Dina, saya masih melayani kontraktor langganan saya. Bye." Pungkasnya tanpa memberikanku waktu untuk bicara. Sebagai Pengusaha sukses, waktunya sangat berharga. Tidak ada waktu baginya untuk menjawab perdebatanku. Agaknya dia tahu bahwa diriku suka ngeyel.

Ihhhh.

Aku menginjakkan kaki ke lantai sebal. Aku mendekatkan ponsel ke dagu sembari berjalan mondar-mandir di teras rumah seperti orang kebingungan. Biasanya Mas Pras, anak dari Bu Wiwin dan Pak Sugeng yang membuka tempat gymnya. Aku tidak mungkin untuk memintanya menggantikanku selama cuti karena dia juga mengurus restoran sambil kuliah si salah satu universitas terkemuka di Surabaya.

Tidak ada jalan lain, aku harus meminta izin kepada tua bangka itu. Dengan berat hati, aku menggeser layar ponsel mencari nama Buaya Darat. Iya, aku memberi nama nomer ponselnya dengan nama itu karena kelakuannya yang suka menggodaku. Lagipun, aku juga terpaksa menyimpan nomornya untuk berjaga-jaga.

Tuttt..tuttt

"Halo, Dinaku yang manis?" ujar lelaki tua di seberang sana yang membuatku mau muntah.

"Halo Pak." sahutku singkat

"Tumben jam segini sudah telepon saya, kangen ya?"

Aku menggigit bibir, rasanya ingin kubuang ponsel yang ada tanganku saat itu tetapi aku harus menekan ego, walaubagaimanapun aku harus bisa pulang supaya ibu tidak semakin murka.

"Pak Sugeng, boleh minta tolong enggak?"

"Minta tolong apa sayang, ngomong saja."

"Saya mau minta ijin cuti dua hari Pak, mau pulang kampung." Ujarku sembari menekan nada bicara.

"Terus?"

"Bapak bisa 'kan menggantikan saya selama saya cuti?"

Suara di ponsel tiba-tiba hening, tampaknya dia sengaja membuatku menunggu. Perasaanku menjadi tidak enak.

"Ok sayang, aku mau kok. Tapi ada syaratnya."

Tuh 'kan benar dugaanku, aku menggenggam tanganku gemas. Pasti tua bangka ini, tidak mau melepasku begitu saja.

"Setelah tempat Gym tutup, kita check in di hotel dulu..hehehe."

"Cuih! Najis!" tandasku sembari menekan tombol merah di ponsel. Aku tidak perduli kalau dicap sebagai pegawai kurang ajar. Nafasku terengah-engah. Bisa-bisanya dia memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Membayangkan dia tanpa busana saja, membuatku merinding.

Di tengah kegelisahanku, Sebuah motor berhenti di depan rumahku. Terdapat rangka besi di kedua sisinya yang berisi galon air mineral.

"Mbak Air Mbak!" seru seorang yang ternyata adalah Pak Min. Tukang Air langgananku.

"Iya Pak Min, sebentar." Aku berlari kecil menghampirinya, membuka gerendel pintu lalu menggesernya sampai mentok.

"Minta tolong di bawa ke belakang ya Pak? Sekalian diambil ya galon yang kosong" pintaku. Pak Min pun bergegas mengambil satu galon dan menyungginya sampai ke dalam rumah. Beberapa menit kemudian dia keluar dengan menenteng galon yang kosong.

"Terima Kasih ya Pak Min." Ujarku sembari memberikan uang lima belas ribu kepadanya. Pria yang seumuran ayah itu tersenyum. Dia adalah orang yang baik dan jujur. Makanya aku percaya saya saat menyuruhnya masuk ke dalam rumah, tanpa khawatir ada barang yang hilang.

Dia juga tipe pendengar yang baik dan tidak ember. Hampir semua langgananya sering curhat dengannya. Begitupun aku, Setiap kali dia datang, pasti aku cerita keluh kesahku dengannya. Sebagai seorang anak yang kehilangan sosok seorang ayah, Tentu aku butuh pertimbangan dari sosok pria yang lebih tua, dan itu ada dalam diri Pak Min.

"Mbak, kamu kenapa kok wajahnya cemberut gitu."

Nah 'kan, sudah kuduga dia pasti sangat peka denganku bahkan dia tahu kalau aku ada masalah, padahal aku sudah bersikap seperti biasa.

"Hmm.. gimana ya Pak Min. Aku mau cerita tapi sungkan. Pak Min kan mau mengantar galon yang lain," tukasku malu-malu. Padahal sebenernya aku sudah tidak sabar ingin membuang 'sampah' yang sudah menyesaki dada.

"Santai saja Mbak, lagian ini enggak keburu kok. Cerita saja Mbak, siapa tahu saya bisa bantu." tawarnya lagi. Aku pun langsung menceritakan tentang permasalahanku kepadanya. Dia tampak manggut-manggut.

"Oh jadi seperti itu. sebelumnya mohon maaf Mbak, apa benar Mbak mau pulang kampung karena permintaan ibu Mbak?" Aku terhentak sesaat. Pertanyaan itu seolah menyasar tepat di hatiku.

"I..iya iya Pak. sudah setahun saya tidak pulang, makanya ibu saya mengomeli saya terus." Kilahku yang serta merta tidak membuatnya percaya. Tidak biasanya Pak Min, bertanya sefrontal itu, biasanya dia lebih mengedepankan perasaan orang.

"Saya tahu alasan sebenernya kenapa ibu Mbak menginginkan pulang segera." Ujarnya membuatku terbelalak. Apa diam-diam sosok pria di depanku ini paranormal? Atau hanya tebakan saja?

Pak Min terdiam, dia memejamkan mata erat dengan kepala yang sesekali di gerakan. Aku melihatnya aneh sekaligus takut.

"Dia," ujarnya memecah keheningan. Aku menelan ludah. "Dia sangat membutuhkan kehadiran Mbak. Jangan pernah sia-siakan dia."

Bagaikan petir yang menyambar, aku menutup mulut. Apa yang dimaksud dengan Pak Min adalah anak setan itu? kenapa dia bisa tahu?

Tiba-tiba dia membuka mata. Wajahnya yang serius mendadak berubah normal kembali.

"Maaf Mbak, saya tadi bicara dengan diri sendiri, jangan diambil hati ya, kalau begitu saya permisi dulu." Ujarnya sembari terburu-buru menaiki motornya dan meninggalkanku yang masih terpaku.

Next chapter