webnovel

Janji Manis

Sekian lama memacu kencang chameleon, Aldi kembali berhenti, mengambang satu meter di atas permukaan laut. Ia melepas kacamata pelindungnya, beberapa saat ia tidak melihat satu pun yang mengejarnya.

"Ely, berikan teropongnya!"

Ely membuka kelumunan selimutnya, bergegas memberikan teropong pada Aldi.

Sebelum memastikan jika benar tidak seorang pun yang mengejarnya, Aldi belum merasa aman. Ia mendesah lega, lewat teropong itu ia bisa memastikan, para petugas gabungan sepertinya menyerah mengejarnya. Mungkin juga mereka tidak ingin "adu mulut" dengan petugas Tanah Jawa sebab Aldi memang sengaja berbuat seperti itu. Memancing orang-orang Andalas itu ke Tanah Jawa.

Apa pun alasannya, Aldi bisa bernapas lega. Ia tersenyum pada Ely, dan kembali menyerahkan teropong itu.

"Tempat yang aman, ya?"

Ely mendengus, menyindir Aldi. Soal, laki-laki itu tadi mengatakan jika Pulau Enggano bisa menjadi tempat aman untuk bersembunyi, padahal Ely juga bisa merasai jika itu hanyalah penolakan akan keikutsertaannya bersama laki-laki itu sendiri. Dan kembali bocah perempuan duduk berkelumun selimut.

Aldi menggelengkan kepala, menelan ludah. Tanpa sepatah kata pun menanggapi ucapan Ely, ia lantas memacu chameleon menuju daratan utama Pulau Jawa.

Bocah sialan!

***

Dharma melangkah cepat di antara kesibukan sejumlah orang yang mengenakan seragam serupa dengan yang ia pakai. Ia mencapai aula kastil. Di sana, lebih sibuk lagi. Di tengah-tengah aula raksasa terparkir manis sebuah pesawat besar yang dipersiapkan untuk perjalanan antar planet. Ratusan orang sibuk mengerjakan sesuatu guna keberangkatan, dibantu robot-robot humanoid—segala bentuk kehidupan atau mekanisme buatan yang memiliki anggota tubuh layaknya manusia.

Dharma berhenti sejenak, menatap lama kendaraan yang akan membawa dirinya serta meninggalkan Bumi, nanti. Mungkin, untuk selamanya. Sirat kekesalan dan kekecewaan jelas melintas dalam pandangannya. Pesawat yang begini besar, dan sanggup membawa seribu lima ratus orang sekaligus, hanya… akan mengangkut ratusan orang saja. Benar-benar penguasa yang berengsek, maki Dharma dalam hati. Lebih-lebih saat memikirkan tentang Ryan dan Cinnong, kekesalannya kian mendalam.

Sebelum kekesalan berubah menjadi kemurkaan, Dharma kembali melanjutkan langkahnya. Menuju ruang utama kastil, menemui sang penguasa. Dan berusaha untuk membuang semua emosi dan kekesalan itu lewat embusan napas panjang.

Dharma tiba di hadapan sebuah pintu besar berdaun ganda, dua robot menjaga di sisi kiri-kanan pintu yang dalam keadaan tertutup tersebut. Lewat mata yang hanya berupa segaris lurus berwarna merah itu kedua robot memindai laki-laki di hadapan mereka. Mengenali siapa yang menghampiri, kedua robot tetap bergeming di posisi mereka, kepala sama kembali tegak, kaku.

Pintu besar dan tinggi bergerak membuka ke kedua arah. Dharma meneruskan langkahnya, memasuki satu ruangan lainnya.

Di dalam ruangan besar dan megah, Dharma mendapati jika sang penguasa tengah menelepon seseorang. Dan itu, terlihat bukan sesuatu yang baik bagi Dharma.

Berengsek!

Tadinya, Dharma ingin merayu sang penguasa, sekali lagi, demi dua kursi untuk Ryan dan Cinnong. Sejauh yang ia ketahui, jika sang penguasa sedang berada dalam mood yang jelek seperti saat ini, permintaan seperti apa pun akan berbuah kesia-siaan saja.

"Aku tidak peduli!" hardik sang penguasa pada avatar hologram seorang pria di hadapannya. "Mau kalian rampok atau bagaimana, aku tidak mau tahu! Yang aku tahu, selambat-lambatnya dua hari lagi semua sudah terpenuhi. Paham kalian!"

"Baik, Tuan," jawab avatar tersebut dengan raut ketakutan yang kentara.

Sang penguasa mendengus kencang sembari memutuskan percakapan tersebut. Cahaya hologram menghilang, menyisakan layar dengan beberapa file yang masih terbuka pada tampilannya. Layar dengan kaca tebal bening tersebut sekaligus menjadi permukaan meja yang ada di hadapan si pria bertubuh gemuk.

"Haa, Dharma," seru pria tambun, "dari mana saja kamu itu?"

Dharma mendekati sang penguasa. Sekilas ia melirik ke kanan, di sana berdiri mematung seorang pria dengan setelan jas mewah, dan sebuah gadget lebar dalam dekapannya. Dharma tidak peduli dengan pria itu, terus saja mendekat kepada sang majikan.

"Kau tahu," dengus sang penguasa dan mengempaskan bokong besarnya ke atas kursi. Kursi mewah seakan menjerit, tak kuasa menaha beban berlebihan dari orang yang mendudukinya. "Kita tidak bisa berangkat dalam dua hari ini. Haram jadah! Percuma saja aku menggaji mereka. Kau urus itu! Kapan perlu, bila dalam dua hari ini mereka tidak bisa menyelesaikannya, tembak mati saja! Dasar anjing-anjing tak berguna!"

Dharma hanya bisa mengangguk dengan helaan napas berat. Jika bukan karena memikirkan keselamatan anak dan istrinya, sekarang juga mau rasanya ia menghadiahi mulut pria tambun itu dengan satu tamparan keras agar ia belajar mengharagai pekerjaan seseorang, alih-alih pekerjaan yang menuntut perjuangan lebih.

"Kau juga!" tunjuk sang penguasa dengan kasar pada pria yang mematung di kiri. Pria itu mengangguk terbata, dua langkah lebih mendekat pada sang penguasa. "Goblok! Apa saja yang kau kerjakan, haa?! Bersenang-senang dengan pelacur-pelacur jahanam itu?!"

Sepertinya kemarahan sang penguasa belumlah akan mereda, pikir Dharma. Maaf Ryan, Cinnong… aku benar-benar tidak bisa membawa kalian. Sungguh, maafkan aku.

"Sa-saya, sudah mengerjakan apa yang Tuan instruksikan," kilah pria berjas mewah itu.

"Lalu?" delik si pria tambun dengan tatapan dipenuhi keinginan membunuh yang kuat.

"Engg, se-sepertinya me—"

Braakk…!

Sang penguasa yang kadung kesal, melemparkan kotak pajangan yang sebelumnya menghiasi sudut meja. Lalu menggebrak permukaan meja. Untuk sesaat, layar besar menjadi terganggu. Pola aplikasi dan file yang tertera menjadi acak, bergoyang seolah rusak. Hanya sesaat, kemudian normal kembali. Sekilas, sang penguasa melihat ada file mencurigakan muncul saat tampilan layar menjadi acak tadi. Namun, ia berpikir mungkin karena ia memukul layar tersebut, jadi sang penguasa tidak terlalu ambil pusing. Untung saja, permukaan layar terbuat dari kristal tebal, pikirnya.

Bersamaan dengan munculnya file mencurigakan di permukaan layar di meja, tanpa diketahui oleh Dharma, layar gadget di pergelangan tangan kirinya sempat berkedip beberapa kali, sebelum akhirnya kembali normal.

"Ma-maaf, Tuan," pria itu hanya mampu menundukkan wajah.

"Kau urus sekarang!" titah sang penguasa dengan lantang. "Cek semuanya. Pasokan makanan, bahan bakar, semuanya. Paham!"

Pria itu mengangguk lagi, dan segera melangkahkan kakinya, menuju pintu besar.

"Dan ingat!" seru sang penguasa. Pria itu berhenti dan memalingkan tubuhnya menghadap pada sang penguasa, meski kepalanya tetap tertunduk. "Kalau kedapatan ada yang memain-mainkan stok makananku, kau akan berakhir menjadi makanan peliharaanku."

Pria berjas mewah menelan ludah, pucat pasi. Peliharaan yang dimaksud sang tuan, adalah enam ekor buaya yang mendiami salah satu kolam besar di sisi luar kastil. Sekali lagi ia mengangguk, dan lantas bergegas keluar dari dalam ruangan besar tersebut.

Sang penguasa mengalihkan pandangannya pada Dharma yang berdiri di seberang mejanya.

"Katakan padaku, bagaimana kondisi di luar tembok?"

"Buruk," ujar Dhrama singkat.

Sang penguasa mendesah panjang. "Seharusnya, lusa kita sudah bisa berangkat." Ia melirik lagi pada Dhrama, ia bisa menangkap kekhawatiran pada riak wajah Dharma, dan berujar, "Hei, tenang saja. Aku sudah meminta beberapa anggota untuk membawa anak dan istrimu. Tenang saja."

Next chapter