Hai, Liana kembali.
Kemaren kemaren lagi sibuk ada saudaranya kesayangan yg beacara.
Terus, babyku lagi sakit udah dua hari ini. Huaaa kurang tidur.
Oke.
Selamat membaca.
Jangan lupa vote dan komen 😘
~~~~
Seorang lelaki muda berwajah arab dengan pangkal hidung yang lurus hingga ujungnya bagai perosotan itu sedang menyipitkan matanya menatap seorang gadis kecil di sebrang mejanya - sedang menatapnya kesal dengan tatapan mengejek.
Gadis itu membuang wajahnya ke arah kanan dengan mengangkat dagu.
"Jadi? Bisnis kamu lancar?" wanita cantik yang memiliki hidung mancung dengan ujung yang menonjol itu bertanya tanpa mengalihkan pandangannya dari affogato miliknya.
"Lancar kok mbak. Kan ada Papa yang bantuin."
Liana menyeruput affogatonya dengan seksama sesekali matanya melirik Amelia yang sedang berkutat pada ponsel dengan wajah cemberut. "Amel, taruh ponselmu. Di minum dong jus nya, sayang banget itu masih penuh."
"Iya iya."
Alfian menggelengkan kepalanya sambil setengah tertawa, "Galak banget anakmu, Mbak." matanya masih menatap Amel yang setiap
menatap balik mata Alfian akan mencibikkan bibir mungilnya, "Ketahuan banget didikan Mbak Liana" Alfian tertawa puas.
"Kurang ajar kamu, Al" Liana tersenyum dan setengah tertawa mendengar ejekan Alfian untuk Amel.
"Pantas gak pulang-pulang. Sekalinya lagi dating di sini. Apa lupa kalo dirumah ada Arjuna?"
Liana menoleh melihat ke belakang punggungnya. Di dapatinya Leon sedang menyilangkan kedua tangannya di dada sehingga memperlihatkan otot-otot di setiap lengannya membuat Liana sedikit terkesima.
Liana memperlihatkan barisan rapi giginya saat Leon menggelengkan kepalanya dan menumpukkan kedua genggaman tangannya di punggung kursi Liana.
"Ngapain elo disini?!"
"Galak amat sih, Pak Leon. Ini yang namanya jodoh Pak." Alfian menggerutu sambil mengetuk-ngetuk meja persegi di hadapannya.
"Mau coba keselek pake beling gak?!" Tangan Leon terulur mengambil secangkir affogato Liana yang masih berisi setengah dan meminumnya.
Alfian berdecak. Namun dirinya tak juga beranjak dari duduknya membuat Amelia mengerang kesal. Gadis kecil itu menapakkan sepatu berwarna hitamnya ke lantai. Memeluk Leon dari samping dan mulai menjadi kompor, "Om-om itu mau ngerebut Mama dari kita, bah. Coba liat, matanya adanya cahaya kalo lagi ngobrol sama Mama Li."
Liana menggigit bibir bawahnya sembari mendongakkan wajahnya menatap wajah Leon yang kini menunduk menatapnya seolah menyiratkan 'bohong bohong jangan percaya'.
Liana dapat melihat Leon menyipitkan matanya dan oke, Liana bangkit dari duduk nyamannya, menggamit lengan Leon dan segera berlalu dari sana.
"Jangan coba-coba ngerebut nyokap gue. Awas aja ya om." Amel menunjuk-nunjuk wajah Alfian dengan seksama tanpa rasa takut.
~~~
"Kamu bener kembalian sama si Abimanyu itu?"
"Iya" cicit Liana.
Wanita di hadapannya Liana saat ini tengah berkacak pinggang sambil menggelengkan kepalanya dengan senyum yang mengejek.
"Otakmu kemana?" wanita itu kini menunjuk jidat Liana dengan nada suara yang meninggi.
"Sudah sayang, jangan emosi."
"Gimana gak emosi?! Papah sih nge-bela anak-anak terus. Yo ngene toh dadine."
Mama Lulu terduduk di sebuah sofa panjang dengan tangannya yang tenggel di dalam genggaman sang suami.
"Liana? Opo awakmu kesupen? Kala wingi gerah keranten nopo?" suara berat Papanya sangat mendominasi ruangan kerja dirumah ini.
"Mboten kesupen, Papa."
"Dados, awakmu mesthi ngertos kenging nopo Papa mboten ngeremeni awakmu kaliyan Abimanyu."
Liana menundukkan kepalanya dalam. Jemarinya meremas ujung kaos hitam yang di kenakannya, "Nggih Papa.
"Eling ra kowe?!," Mama Lulu menegakkan badannya sambil melotot melihat anak ketiganya yang sedang menunduk itu, "Mbiyen Fajar ngelarake kowe nganti mlebu omah sakit. Abimanyu yo podo wae. Ngono kok kowe isih cintaaaaa wae!"
Langkah Liana berderap meniti anak tangga hingga mencapai lantai dua. Pandangannya sedikit memburam akan air mata. Harus dia pastikan di dalam hatinya apakah perasaan untuk Abimanyu hanya sekedar suka atau memang cinta.
"Puas lo?!!"
Sebelah kiri alis Leon terangkat mendapati sang kakak tengah memunculkan mimik wajah sedih.
"Puas kan kamu. Seneng kan hubunganku sama Mas Abi di tentang Mama."
Senyum Leon perlahan terukir hingga memperlihatkan deretan gigi rapihnya, "Ooohh jadi tadi di tegur Mama? Dan kamu bilang Aku senang? Oh jelas"
Leon yang saat itu sedang berada di depan pintu kamarnya segera beranjak turun ke lantai satu dengan suara siulan sialan yang sangat menjengkelkan di pendengaran Liana.
~~~
Dari arah pandang jalanan menuju sebuah kafe yang sangat instagramable - terlihat seorang wanita dan pria sedang duduk berhadapan dengan posisi si wanita menghadap luar kaca.
"Aku gak tau berhasil apa gak." si wanita itu menjawab dengan sediki gelengan di kepalanya.
"Kita gak akan pernah tau kalo gak mencoba, right?"
Sebelumnya, si lelaki mengatakan bahwasanya dirinya akan segera bertandang ke rumah wanita tersebut untuk meyakinkan kedua orangtuanya.
Liana dan Abimanyu.
Liana tidak bisa tersenyum namun bibirnya ia paksa untuk melengkung ke atas walaupun terlihat aneh. Sedangkan si lelaki meremas pelan jemari Liana yang terletak di atas meja.
Dua orang wanita dan dua orang pria berbeda generasi itu - kini sedang menghadapi keheningan pembicaraan seolah sedang berada di area pemakaman.
Lelaki tua itu berdehem singkat dan hal itu sukses membuat yang lainnya menoleh kepadanya.
"Jadi?" Mata lelaki itu menatap bergantian wanita dan pria yang duduk di hadapannya itu, "Apa yang membuatmu berani menginjakkan kakimu ke lantai rumah saya?"
"Maafkan saya atas kejadian lalu yang menimpa anak bapak. Dan sekarang saya mohon untuk diijinkan menjalin keseriusan hubungan dengan Liana yang merupakan anak bapak." Lelaki yang bernama lengkap Raden Mas Airlangga Abimanyu Hardiyanta itu menatap lekat mata lelaki yang menjadi Bapak dari Liana.
"Saya suka sopan santun Anda dan Saya salut dengan keberanian Anda meminta anak saya dengan baik-baik." ungkap Papa Hardjo.
"Jadi? Papa restuin Liana sama Mas Abi?" Mata Liana berbinar dengan senyumannya yang dikulum.
Papa Hardjo menggeleng membuat firasat Liana tidak lagi enak.
"Papa tidak mau nyawamu berada di dalam bahaya Liana."
Liana menautkan kedua alisnya sedangkan Abimanyu terlihat menegapkan badannya yang sempat terkulai.
"Papa tau betul siapa dia yang kamu panggil dengan Mas Abi itu."
"Tapi Pa...."
"Liana!" suara tinggi Papanya menyurutkannya untuk membantah. Liana tau betul sifat Papanya itu seperti apa.
"Abimanyu, silahkan keluar dari sini"
Abimanyu bergeming sambil sesekali menarik udara untuk masuk ke dalam paru-parunya dan menghembuskannya secara perlahan.
"Berikan saya kesempatan satu kali lagi"
Papa Hardjo tersenyum kecut, matanya beralih menatap Liana yang mulai meluncurkan air matanya, "Kesempatan tidak datang dua kali."
Liana mengaduh tertahan ketika tubuhnya terlempar secara acak ke arah sofa panjang di dalam kamar tamu. Dia meringis. Jemarinya bertumpu pada sofa dan beringsut memundurkan tubuhnya kala Leon mendatanginya setelah mengunci pintu.
Leon memegang rahang Liana dengan jemari besarnya. Lelaki itu mengeraskan rahangnya menahan amarah.
"Kamu gila!! Hah?!!"
Liana menunduk. Dia hanya terdiam melihat Leon yang langsung menyeretnya saat dia berlutut memeluk kaki Papanya untuk memberikan kesempatan kepada Abimanyu.
"Kamu ngejatuhin harga dirimu cuman buat cowok kayak dia?!"
"Kamu marah?" suara Liana tampak bergetar. Apalagi di lihatnya Leon berbalik menatap dirinya
"Marah? Aku gak pernah marah, Mbak. Aku justru lagi usaha mencari cara agar kamu tetap disisiku," Leon mengepalkan kedua tangannya erat. Menahan amarah yang membuncah di dada. "Mungkin caraku yang salah, tapi asal mbak tau cintaku telah ku jatuhkan padamu mbak. Utuh, bukan separuh."
"Aku ini Kakakmu!" Liana berhasil meninggikan suaranya saat sejenak ia terpana dengan ucapan Leon.
"Persetan!!!"
Leon berjalan cepat menuju Liana dan melumat kasar bibir wanita itu. Dapat Leon rasakan, bahwa Liana memukuli dadanya dan berusaha menggerakkan lututnya yang tengah di apit Leon.
Plakkkk
Satu tamparan dengan kekuatan maksimal mampu membuat pipi Leon memerah mencetak jemari-jemari Liana.
"Aku benci sama kamu." Liana bangkit dari ketidakberdayaannya melawan Leon.
"Dan aku minta pergi dari sini! Pergi jauh dari diriku!!" sambungnya.
Untung saat ini mereka berdua berada di dalam kamar tamu yang terletak di lantai satu. Dan untungnya juga, anak-anak tengah berada di lantai tiga bermain bersama Luna di kamar wanita itu
Leon membanting sebuah vas bunga yang berbahan dasar keramik itu hingga pecahannya menyebar ke hampir seluruh lantai.
Lelaki itu mengamuk.
Lihat saja isi kamar itu yang telah berantakan berkat keahlian Leon yang seperti Wreck it Ralph.
Dan sebuah pemikiran menghampiri otak Leon untuk segera melaksanakannya.
Salam
Putri Mataram