webnovel

Follow Destiny

Ingatan kejadian hari itu masih membekas di pikiran Rimonda, sejak terbangun dari pingsannya Rimonda terus saja melamun. Tidak ada tau kecuali Ramon yang duduk di sebelahnya, jam pelajaran masih berlangsung dan Ramon jelas menyadari sikap Rimonda yang aneh.

Rimonda terlihat lebih pendiam di bandingkan biasanya dan dia jarang merespon apa pun yang di katakan mereka. Merasa di tatap membuat Rimonda menoleh menatap kakak kembarnya yang terkejut, Ramon langsung mendengus karena Rimonda hanya menatapnya saja.

'Apa kau hanya akan diam saja!!'

Ramon kesal dan dia tidak suka akan sikap Rimonda saat ini, Ramon kembali menatap Rimonda yang kembali fokus pada Profesor di depan sana. Merasa di abaikan membuat Ramon makin kesal tapi apa yang bisa dia lakukan selain menunggu adik kembarnya itu menceritakan semuanya.

Jam pelajaran terlewati begitu saja dan Ramon terlihat makin tidak nyaman saat Rimonda tidak berniat bangkit sama sekali. Ramon yang duduk di sebelahnya saja sampai bingung dengan sikap Rimonda yang semakin aneh dan Caesar hanya diam menatap apa yang akan di lakukan Ramon saja.

Menurutnya ini bukan masalahnya dan dia tidak berhak ikut campur, Caesar memilih pergi setelah Richard menghampiri dirinya. Ramon menatap Rimonda yang terlihat tidak peduli akan kehadirannya, dia menghela nafas panjang "jadi kenapa? Apa karena kejadian hari itu?"

Ramon tau ini adalah pertanyaan yang pasti sangat sensitif bagi Rimonda, tapi jika dia diam saja dan menunggu Rimonda cerita maka itu akan memerlukan waktu lama. Dia tau jelas sikap Rimonda yang lebih suka memendam semuanya sendiri dari pada cerita dengan orang lain.

Bahkan dengan dirinya saja Rimonda jarang berkata jujur. Tangan Ramon meraih rambut Rimonda, dia membenarkan poni yang menutupi wajah cantik adiknya. Terlihat jelas Ramon yang khawatir tapi Rimonda masih saja diam. Apakah ini akan terus berlanjut?

"Kak.."

"Hmm.." jawab Ramon memainkan rambut Rimonda dengan manik menatap manik ungu itu.

Manik Rimonda bergetar dengan bulir air mata yang siap jatuh kapan saja, Ramon terkejut dan langsung memegang kedua pipi Rimonda. Rimonda menangis menatap Ramon yang semakin khawatir padanya, padahal dia hanya ingin mendengar Rimonda yang mengatakan keluh kesahnya.

Tapi yang dia dapatkan adalah air mata "maaf.. apa aku terlalu memaksa?" tanya Ramon menghapus perlahan air mata Rimonda.

Rimonda menggeleng "apa kakak masih benci pada Putra Mahkota?"

Jari Ramon terhenti dengan tubuh yang langsung membeku di tempat, Rimonda tau bahwa menceritakan hal ini pasti akan sulit untuk Ramon. Tapi jika dia diam saja maka kesalahpahaman ini akan terus berlanjut, semua hal yang tidak ingin Rimonda hadapi pasti akan terjadi jika dia diam saja.

"Kenapa kau bertanya tentang hal yang sudah pasti!?"

Jawaban Ramon membuat Rimonda semakin meneteskan air matanya lebih banyak, ternyata mereka bertiga itu sama saja. Tidak ada yang berbeda, entah kenapa Rimonda jadi semakin bersalah sekarang "bagaimana jika aku katakan bahwa Putra Mahkota hanya menginginkan kasih sayang Kaisar dan Ratu selama ini"

Manik ungu Rimonda langsung berusaha menatap ke bawah mengabaikan Ramon yang menggigit bibirnya kuat. Tangannya yang menyentuh pipi Rimonda langsung dia singkirkan, tangannya bergetar mencoba mencari jawaban yang tepat. Tapi tidak ada satupun jawaban yang pantas, yang ada hanyalah sebuah ego yang berkobar.

"Sebenarnya apa yang terjadi hari itu?"

Akhirnya Ramon mengatakannya, dia sangat penasaran akan hal yang itu. Satu hal yang dia biarkan selama ini hanya untuk menjaga perasaan adik kembarnya. Dan Rimonda terlihat gelisah sekarang, padahal dia sudah berusaha untuk mengatakannya tadi tapi melihat reaksi Ramon membuatnya takut sekarang.

Ramon tau, dia langsung meraih dagu adiknya menyuruhnya menatap manik merahnya. Manik yang menggambarkan sebuah kekhawatiran dan ego yang sejak tadi dia tahan hanya untuk adiknya.

"Katakan padaku.."

Rimonda menatap manik Ramon mencoba mencari satu hal yang membuatnya takut, tapi dia tidak menemukannya "hari itu aku mendengar keinginan Putra Mahkota waktu aku sudah mati"

Ramon terkejut menggenggam kuat tangan Rimonda yang sudah yakin inilah yang akan di dapatkan. Manik Ramon bergetar dan dia langsung memeluk Rimonda erat, tidak ada suara setelah itu. Yang ada hanya sebuah pelukan akan takut kehilangan satu sama lain dan Rimonda semakin merasa bersalah.

"Hari itu aku memang hampir mati tapi ada hewan suci yang menyelamatkanku" ucap Rimonda membuat Ramon menatap maniknya lagi.

"Jadi luka di lehermu karena kau...."

Ramon tidak bisa melanjutkan kata-katanya dia langsung menunduk merasakan panas di matanya. Sepertinya dia akan menangis jika mendengar Rimonda mengatakan hal itu lagi, tapi Rimonda tidak mau berhenti. Dia langsung menyuruh Ramon menatap maniknya, sekarang gantian dia yang harus kuat.

"Dia merasa iri dengan kita, karena kita mendapatkan kasih sayang Kaisar dan Ratu di saat kecil sedangkan dia tidak sama sekali karena dia akan menjadi Kaisar masa depan"

Rimonda menghembuskan nafas kasar setelah mengatakan hal itu, maniknya kembali menatap Ramon yang terdiam dengan manik menatap takut pada Rimonda.

"Aku tau apa yang di lakukan Putra Mahkota salah tapi kita sama dengannya sama-sama haus akan kasih sayang"

Rimonda menunduk membiarkan Ramon berpikir, dia ingin kakak kembarnya itu bisa berpikir dengan tenang dan bisa memutusakan hal yang baik untuk mereka semua "lalu kau kasihan padanya?!"

Rimonda terkejut menatap manik merah itu yang menujukkan sebuah amarah, apakah kakaknya marah karena dia hampir mati atau karena Putra Mahkota.

"Sejak awal kita sudah sama, kau tidak perlu kasihan pada orang seperti itu!" Ramon kembali bersuara dengan manik menatap tajam ke arah Rimonda.

"Kalau begitu kakak masih ingin aku bertindak seperti sekarang?" tanya Rimonda dengan hati-hati.

"Ya.. sesuai permintaan Dewi, kau ingat apa yang di minta beliau bukan?"

Rimonda mengangguk menatap Ramon dengan sebuah senyuman yang dia paksakan, terlihat jelas bahwa semua masalah ini tidak akan pernah berakhir mudah. Padahal mereka sama-sama hancur hanya karena keadaan tapi mereka tidak mau mengerti satu sama lain. Dan Rimonda bingung harus bagaimana sekarang.

Walau begitu janji tetaplah janji, dia sudah berjanji akan mengubah Kekaisaran sesuai harapan Dewi. Dia? Tidak! Tapi mereka, mereka akan melakukan hal itu walau mungkin akan menyakiti diri mereka tapi mereka harus melakukan hal itu demi sebuah takdir yang sudah mereka terima.

Keduanya saling berpelukan mengabaikan air mata yang terus menetes tanpa henti, tidak ada kata-kata penghibur yang ada hanya sebuah doa dan harapan bahwa mereka bisa bertahan sampai akhir. Bertahan dari segala hal yang akan menghampiri mereka selama berniat melakukan perubahan.

Next chapter