BAB I
Awal Rasa
2 tahun semenjak peristiwa keguguranku yang ketiga kalinya, hubunganku dengan suamiku Andry, 25 tahun mulai berubah. Mas Andry mulai menjauh dariku. Ia sekarang lebih banyak menghabiskan waktunya untuk pergi berkemah dan naik gunung bersama dengan teman-temannya.
Aku hanya dapat menahan sesak di dada melihat perubahan sikap dari mas Andry. Di mata orangtua dan saudara-saudara, kami tetaplah pasangan yang harmonis dan mesra. Apabila ada kedua orangtua kami dan juga saudara-saudara yang datang mas Andry akan memperlihatkan kemesraan.
Namun, hal itu berbanding terbalik, apabila tidak ada keluarga yang melihat kami, ia akan bersikap cuek dan acuh kepadaku, sama seperti itulah sikap mas Andry ketika rombongan teman-teman naik gunungnya mampir ke rumah. Aku harus mendapatkan perlakuan layaknya orang asing di depan teman-temannya.
Aku, Ida Lestari 23 tahun hanya dapat mengelus dada setiapkali Andry pamit untuk pergi kemping dan naik gunung. Aku pernah bertanya kepadanya, mengapa sikapnya berubah dan menjauhiku dengan selalu pergi berkemah dan naik gunung, yang dilakukannya setiap bulan.
"Aku ingin melupakan kesedihanku, karena kehilangan anak kita. Aku sungguh berharap kehamilanmu yang ketiga kalinya, akan mampu menghadirkan seorang bayi ditengah keluarga kecil kita. Tapi apa?, lagi-lagi kau keguguran, kau begitu egois hanya memikirkan karirmu dan uang saja. Kau mengabaikan perintah dokter agar jangan terlalu lelah, karena kandunganmu yang lemah."
"Tapi, apakah mendengarkan perintah dokter, hah!" bentak mas Andry padaku.
Aku terkejut, mas Andry membentakku, selama ini ia selalu berkata lembut dan manis kepadaku.
"Tidak bukan, kau justru semakin sibuk dengan pekerjaanmu dan mengabaikan perintah dokter." Kata mas Andry, matanya memandang tajam ke arahku.
"Aku sangat mengharapkan kehadiran bayi itu, apakah kamu mengerti perasaanku. Aku ingin seperti saudaraku dan juga teman-temanku, merasakan indahnya menimang bayi, bermain dan bercanda dengan anakku sendiri," ucap mas Andry lirih sambil terduduk di atas sofa dengan tatapan mata menerawang.
Kulihat mata mas Andry berkaca-kaca. Akupun terduduk lemas mendengar penuturannya.
"Jadi kau menyalahkanku, karena peristiwa keguguran calon bayi kita, kau fikir aku tidak menyesal dan merasa bersalah. Tanpa kau ungkitpun aku menyadari kesalahanku, aku juga terluka, sangat terluka dengan kehilangan calon anak kita." Ucapku dengan terisak.
"Kita berdua sama-sama terluka, tetapi bukan begini caranya kita menghadapinya mas. Bukan dengan cara kau menjauhi dan menghindariku."
"Bukankah kita harusnya bersama-sama mengatasi perasaan kehilangan dan saling menguatkan. Aku terluka dan kecewa dengan sikapmu, mas," ucapku.
Pov Andry
"Aku tidak ingin kita bertengkar, dan membuat keputusan yang dapat berakibat buruk. Keputusan yang akan membuat kita berdua menyesalinya."
"Berikan aku waktu untuk menghilangkan rasa kehilangan dan kecewa ini kepadamu."
"Hari sabtu ini, aku akan pergi naik gunung dengan teman-temanku. Kau boleh pergi bersenang-senang dengan sahabatmu."
Semenjak malam pertengkaran itu, pernikahan kami semakin renggang dan hambar. Aku semakin jatuh cinta dengan hobi baruku, berkemah dan naik gunung.
Kuakui itu semua adalah salah satu caraku untuk menjaga jarak dengan istriku, semenjak keguguran calon buah hati kami yang ketigakalinya, aku selalu bepergian untuk berkemah dan naik gunung bersama dengan teman-temanku, sewaktu kuliah, juga dengan teman-teman baru. Bersama teman-temanku sesama pecinta alam, aku merasakan kebahagiaan dan ketenangan, yang dapat menghilangkan rasa sedih dan kecewaku.
Hari sabtu ini, teman-teman pecinta alamku akan datang kerumah, kami akan bersama-sama pergi naik ke gunung Sindoro yang ada di kota Temanggung. Aku telah mempacking dan mengecek barang-barang perlengkapan berkemahku berulang kali, agar tidak ada barang yang terlupakan dan ketinggalan.
Seperti biasa, rumahku yang letaknya berada di tengah-tengah di antara rumah teman-teman yang lainnya, akan menjadi starting point, tempat bertemu teman-teman, sebelum berangkat
Tibalah teman-temanku di rumah, kedatangan mereka di sambut ramah oleh istriku. Ia menyajikan minuman dan kue kering. Namun, aku tidak pernah mengenalkan Ida sebagai istriku kepada mereka, ada rasa enggan di hatiku untuk mengenalkan Ida kepada teman-teman baruku.
Rombongan kami, yang akan berangkat kali ini berjumlah 10 orang, 2 orang diantaranya adalah wanita. Namanya Ranti, ia sepupu dari ketua klub pecinta alam tempatku bergabung, Rendy dan satunya lagi bernama Mira.
Rombongan kamipun bersiap untuk berangkat menuju ke gunung Sindoro. Aku bersiap menaiki sepeda motor Ninja milikku, ketika Mira menghampiriku.
"Aku ikut kamu, ya!." Kata Mira, dengan suara lembutnya.
Kutolehkan wajahku ke arah Ida, kulihat ia menatap ke arah ku dan Mira, dengan tatapan tidak suka. Kuabaikan tatapan tak sukanya.
Tanpa mengalihkan tatapan mataku dari Ida, kuanggukkan kepalaku, mengiyakan permintaan Mira untuk ku bonceng.
"Ayo, naiklah!," ucapku pada Mira.
Setelah 2 jam menempuh perjalanan, kamipun tiba di basecamp untuk menuju ke arah gunung Sindoro. Segera kami parkir motor kami di basecamp Kledung, kemudian kami lanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki mendaki gunung Sindoro. Mira berjalan disisiku, sesekali lengannya menggenggam tanganku.
Setelah kurang lebih 3 jam mendaki, akhirnya kami tiba di puncak gunung Sindoro. Kamipun segera memasang tenda besar yang dapat dimuati lebih dari 8 orang. Mira dan Ranti berada dalam satu tenda.
Selesai mendirikan tenda kami duduk santai menikmati sunset di gunung Sindoro. Mira memilih untuk duduk disampingku, disandarkannya bahunya ke pundakku. Aku hanya diam dan tersenyum ke arahnya.
Setelah beberapa kali melalui pendakian gunung yang sama, aku merasa dekat dengan Mira. Terkadang kami melihat pemandangan yang ada di lokasi pendakian hanya berdua, berpisah dengan teman-temanku. Bersama Mira aku merasa nyaman.
Sebenarnya Mira mengetahui kalau aku sudah menikah, wanita yang sering dilihatnya di rumahku adalah istriku, meski aku tidak pernah mengenalkan mereka berdua. Aku banyak bercerita kepada Mira tentang kemelut rumah tanggaku. Dia seorang pendengar yang baik, cukup di dengarkan membuatku merasa nyaman.
Kuusap puncak kepala Mira dengan mesra dan kukecup keningnya dengan lembut. Sambil berpelukan kami melihat keindahan sunset dan pemandangan alam gunung Sindoro, kulupakan Ida di rumah dan orang-orang di sekitarku.
"Duh, yang mesra-mesraan, gak ingat sama yang di rumah, bang?, kita mah berasa jadi obat nyamuk euy." Sindir Randy kepadaku. Ya, Randy tidak menyukai kedekatanku dengan Mira. Randy merupakan teman kuliahku, yang turut hadir saat pernikahanku dengan Ida.
Aku dan Mira, hanya tersenyum mendengar sindiran Randy. Namun, tak kami hiraukan sindirannya, kami seolah terbuai oleh suasana alam yang romantis.
Ketika malam beranjak, kami mulai membuka bekal, berupa mi instan dan telur, kemudian memasaknya. Tak berapa lama makanan kamipun siap. Kami menyantap mi instan dengan telur ditemani segelas kopi panas, diselingi candaan. Benar-benar terasa nikmat.
Setelahnya kami membuat api unggun, dan duduk mengelilingi api unggun tesebut. Mira duduk dalam pelukanku yang hangat, mengabaikan sekitar kami ku cium dan kulumat bibirnya mesra, hingga kami hampir kehabisan nafas.
Tiba-tiba saja, kurasakan timpukkan kulit kacang di keningku.
"Woi..sabar-sabar, sana masuk ke dalam tenda, kalau ingin mesra-mesraan jangan disini, bikin iri jomblowers aja." Ucap Didi, temanku sesama pendaki bercanda.
Kami tertawa mendengar candaan Didi.
Aku dan Mira bangkit berdiri, kami menuju tenda milik Mira dan Ranti, kami melanjutkan kemesraan kami yang tertunda. Malan ini perlakuanku kepada Mira berbeda, sebelum-sebelumnya, aku tidak pernah mencium Mira. Aku hanya memegang lengannya dan memeluknya, tanpa ciuman. Itulah awal perselingkuhanku dengan Mira.