webnovel

Tetap bersama Ardi

Dunia ini berhutang kelembutan padamu, aku akan membayarnya kembali

-Ardi

Topan Mina melintasi perbatasan.Pukul 5:30 sore, Badan Pengamatan Meteorologi mengeluarkan peringatan topan No. 3. Di luar hujan, mengguyur jendela, dan rumah itu gelap dan sunyi.

Fira membutuhkan waktu sepanjang sore untuk akhirnya menyadari bahwa dia tampaknya telah dilahirkan kembali.

Sepertinya ada bunyi sirene di kepalaku, yang sangat berisik.

-Tetap bersama Ardi

-Tetap bersama Ardi

-Kalau tidak, kamu akan mati! !

-Benar-benar akan mati! ! !

Fira membenturkan kepalanya "Aku tahu, aku tahu, berapa kali kamu harus mengatakannya?"

Nama Ardi terdengar cukup familiar, dan cahaya putih melintas di benaknya. Dia ingat bahwa dia sepertinya pernah melihat nama itu di berita di kehidupan sebelumnya. Dua hari sebelum dia melamar ujian masuk perguruan tinggi, Ardi Cokroaminoto, satu-satunya pewaris keluarga Cokroaminoto, pergi ke bandara. Dia meninggal dalam kecelakaan mobil di tengah perjalanan.

Fira menoleh untuk melihat kalender di atas meja dan melihat tanggal 24 Juni dilingkari dengan spidol merah.

Ardi akan mengalami kecelakaan mobil malam ini!

Tanpa pikir panjang, dia langsung mengambil payung dan bergegas keluar, tanpa sengaja menabrak ibunya yang baru saja memasuki pintu halaman.

Yuni menahannya di tempatnya "Aku membawakan sandwich dan susu. Baru kedaluwarsa satu hari. Pemilik supermarket mengijinkanku membawanya pulang. Kita belum makan malam. Kita akan makan ini nanti."

Fira melepaskan tangan ibunya, "Bu, aku sedang terburu-buru, masuklah dulu."

Setelah selesai mengatakan itu, dia berlari keluar, suara ibunya terdengar pelan di belakangnya "Kamu mau kemana di tengah angin kencang dan hujan lebat seperti ini?"

Fira dengan cepat menghentikan sebuah taksi. Setelah masuk ke dalam mobil, dia menutup payung dan meletakkannya di kakinya. Dia menyeka hujan dari roknya dan berkata, "Pak, tolong ke Bandara Juanda."

Sopir taksi itu menyalakan meteran, menginjak pedal gas, dan mobil pun mulai berjalan di tengah hujan lebat.

Pak sopir itu adalah pria yang suka bicara, dan dia tidak bisa berhenti setelah dia membuka mulutnya.

"Nona, apa kamu akan pergi ke bandara?"

"Iya."

"Pergi ke bandara di saat seperti ini? Kamu mau naik pesawat? Atau menjemput seseorang?"

"Memangnya kenapa, Pak?"

"Apa kamu pernah dengar tentang Ardi, pilot di maskapai penerbangan Garuda?"

Fira tersenyum, rupanya Ardi masih seorang selebriti terkenal.

"Kabarnya dia tinggi dan tampan. Dia orang besar di industri penerbangan. Keluarganya benar-benar keluarga kaya dan punya tambang. Kudengar kakeknya dulu seorang angkatan udara. Kata-kata terakhirnya adalah dia berharap dia bisa jadi pilot. Kurasa itulah sebabnya dia bisa menjadi pilot sekarang."

Fira melihat arlojinya dan tampak cemas "Pak, apa Bapak bisa mengemudi lebih cepat?"

Sopir itu mengklik navigasi ponsel di sampingnya "Sebaiknya kita lewat ring luar, tidak ada kemacetan disana. Percaya saja sama Bapak, aku pasti akan mengantarmu ke bandara secepat mungkin."

Fira memejamkan mata dan mencoba mengingat kembali berita kecelakaan mobil Ardi yang dibacanya di kehidupannya sebelum ini. Jam berapa sekarang dan dimana kejadiannya?

Seharusnya berita itu hanyalah bagian kecil yang tidak mencolok dalam hidup, tapi dia benar-benar mengingatnya.

Pukul 07.30 malam, mobil Ardi akan menabrak truk beton di jalan raya sepanjang tiga kilometer di luar Surabaya. Mobilnya terguling dan terjadi ledakan. Tidak ada tubuh yang ditemukan. Itu benar-benar kematian yang mengenaskan.

Fira melihat arlojinya, sekarang sudah jam tujuh.

"Pak, apa kita sudah keluar dari ring luar jam setengah delapan nanti?"

"Yah, aku bisa mengaturnys."

Taksi itu melaju kencang, tetesan hujan beterbangan di jendela, dan lagu Jawa yang lembut diputar di dalam mobil. Fira merasa sangat cemas sampai-sampai rasanya dia tidak sabar untuk menyetir mobilnya sendiri.

Ada terlalu banyak truk di lingkar luar, dan cuaca sangat buruk, sehingga pak sopir tidak berani memicu mobilnya terlalu kencang dan ketika mereka keluar dari ring luar, waktu sudah menunjukkan pukul 7:28.

Fira terus mendesak "Pak, ayo cepat, cepat."

"Nona, kita masih harus memperhatikan keselamatan, kita tidak bisa melaju lebih cepat daripada ini."

Dengan suara 'bang' keras, tepat di hadapannya, sebuah mobil Bentley menabrak truk beton yang melewati lampu merah dari samping. Lampu depan yang menyorot terang membuatnya harus menutupi matanya. Terdengar suara rem mendecit, ban mobil yang menggesek aspal, suara gemeretak mobil yang menghantam aspal. Semuanya terdengar bersamaa.

Fira seolah melihat dunia dari jari-jarinya ...

Bentley itu terguling dan akhirnya terdiam di atas rumput tepi jalan. Asap putih keluar dari kap mobil. Bunyi desis terdengar bercampur dengan suara hujan. Fira merasa detak jantungnya berhenti sejenak.

Kalau Ardi meninggal, apa dia juga akan mati?

Dia mengambil payung, mendorong pintu mobil hingga terbuka, berjalan dua langkah dan kemudian membalikkan badannya, "Pak, tolong panggil ambulans."

"Apa kamu tidak jadi pergi ke bandara?"

"Tolong, panggil ambulans!"

"Oke, oke."

Fira masih memegang payung dan bergegas melewati pagar pembatas yang hancur. Di tengah hujan dan asap, mobil itu rusak parah. Ada oli yang menetes, air hujan mengguyurnya dan membuatnya terlihat seperti lumpur hitam. Lalu lintas di jalan raya lumpuh total, dan banyak orang hanya menonton dari luar pagar pembatas.

Fira melihat pria itu berada di kursi belakang. Di tengah hujan dan asap, melalui jendela mobil, dia hampir bisa melihat orang-orang di dalamnya. Yang jelas diketahuinya hanyalah bahwa pria itu tidak sadarkan diri, dan kepalanya berdarah.

Fira menemukan batu besar, lalu menghancurkan jendela mobil dengan keras, dan menarik pintu mobil dengan paksa.

Pria itu mengenakan seragam pilot. Bahkan saat nyawanya berada antara hidup dan mati, Fira masih harus menghela nafas panjang setelah melihatnya. Pak sopir taksi tadi tidak bicara omong kosong, pria itu memang benar-benar tampan.

Dia membungkuk dan melepaskan sabuk pengamannya.

Terdengar teriakan seorang pria di belakangnya "Nona, mobil itu sepertinya akan meledak. Tinggalkan saja dia dan cepatlah menjauh."

Fira tidak bisa meninggalkan pria itu begitu saja. Gesper sabuk pengaman itu macet dan tidak bisa dibuka. Dia bisa mendengar suara bensin yang bocor, asap putih dari kap mobil juga semakin banyak, dan pria di depannya masih tidak bergerak.

Fira semakin menggila, dia menggunakan kekuatannya untuk berusaha melepaskan sabuk itu. Dia menginjak kursi dan menarik sabuk pengaman dengan paksa. Dengan satu bunyi klik keras, gesper itu akhirnya terlepas, dan pria itu terguling ke arahnya. Lengannya memukul tubuhnya.

Pria yang tak sadarkan diri itu perlahan membuka matanya, darah yang menggantung di bulu matanya tersapu oleh tetes hujan, dan darah yang baru mengalir keluar dari luka di kepalanya. Dia menatapnya dengan tajam "Kamu, kamu ..."

"Aku Fira."

Pria itu menutup matanya dan kembali pingsan.

Fira tidak menunda-nunda lagi dan bergegas meletakkan tangannya di bawah ketiak lalu menyeretnya ke jalan. Dia baru menyeretnya kurang dari sepuluh meter ketika terdengar ada ledakan di belakangnya. Mobil itu meledak. Bagaimanapun, pengemudinya terjebak di dalam api dan tak bisa diselamatkan.

Fira tak punya waktu merasa sedih. Dia masih menyeret pria itu ke jalan raya ketika ambulans datang. Staf ambulans dengan cepat menaikkan Ardi ke atas tandu dan bertanya pada Fira, "Apa Anda anggota keluarganya?"

Fira menjawab dengan spontan "Ya ... Ya, saya anggota keluarganya."

"Kalau begitu Anda boleh masuk ke dalam mobil, cepat, pasien terluka parah."

Fira buru-buru masuk ke dalam ambulans dan ikut pergi ke rumah sakit.

Pertolongan pertama dilakukan di dalam ambulans. Mereka memberi Ardi masker oksigen, defibrilasi sengatan listrik, hemostasis, dan ada setumpuk kain kasa serta bola kapas bernoda darah di nampan stainless steel yang membuat Fira terkejut.

Mereka tiba di rumah sakit terdekat dalam waktu lima belas menit. Ardi didorong masuk ke dalam ruang operasi. Perawat di meja perawat meminjamkan satu set seragam perawat agar Fira bisa mengganti pakaiannya yang basah.

Fira, yang telah berganti seragam perawat, menunggu di depan pintu ruang operasi selama satu jam, dan akhirnya pintu ruang operasi itu terbuka. Dokter yang mengoperasi melepaskan maskernya dan berkata pada Fira, "Apakah Anda anggota keluarga pasien?"

"Bagaimana kondisinya, dok? Apa hidupnya berada dalam bahaya?"

"Kondisinya tidak lagi dalam bahaya."

Mendengar kalimat itu, hati Fira yang tadinya tegang mulai merasa tenang. Ardi tidak akan mati, dan nyawanya tidak berada dalam bahaya.

"Cedera pasien terutama terjadi di otak. Kami sudah melihat hasil scan otaknya. Saat dia bangun nanti, mungkin masih ada sisa gejalanya."

"Misalnya, dok?"

"Amnesia."

Sudut bibir Fira terangkat naik "Anda bilang amnesia?"

Dokter memandangnya dengan curiga, bukankah gadis itu anggota keluarganya? Kenapa dia tampak sangat senang setelah mendengar pasien mungkin kehilangan ingatannya?

Next chapter