webnovel

PERTEMUAN

Bagaimana dengan kelanjutan hubungan Ifa dan Rizky? Bagaimanakah sikap Rizky terhadap Shania, wanita yang dipersiapkan Amir untuk menjadi istri keduanya? Jangan lupa vote dan komen supaya author selalu semangat update.🥰

⭐⭐⭐⭐

Happy Reading ❤

Terdengar dering dari ponsel Rizky, yang menandakan pesan masuk. Rizky segera menghentikan sesaat meeting yang dipimpinnya. Membuat peserta meeting keheranan melihatnya. Tidak biasanya Rizky bersikap seperti itu. Setelah membaca pesan masuk, peserta meeting tambah heran melihat Rizky yang senyum-senyum sendiri. Sementara itu Amir dan Ridwan saling bertukar pandang.

"Pesan dari siapa Ky? Kok senyum-senyum sendiri." tanya Amir setelah meeting selesai.

"Ayah kepo nih."

"Memangnya nggak boleh?"

"Boleh kok. Itu pesan dari Ifa. Dia minta temani periksa kandungan. Kebetulan mobil dia mau dipinjam emak buat arisan."

"Lalu? Kamu jemput dia ke resto?"

"Nggak, Yah. Nanti dia didrop sama emak Bella kesini." Rizky masih senyum-senyum karena bahagia Ifa mau melibatkan dirinya.

"Ifa mau kesini?! Berarti nanti dia akan bertemu dengan Shania?" ucap Amir. Senyum Rizky langsung menghilang saat mendengarkan ucapan Amir. Rizky lupa kalau sudah sebulan ini Shania bekerja sebagai sekretarisnya.

"Baguslah, biar Ifa kenal dengan wanita yang akan menjadi madunya. Lebih baik dikenalkan dari sekarang, jadi kalau sudah tiba saatnya dia bisa menerima. Jadi hubunganmu dengan Shania tak perlu disembunyikan." ucap Amir.

Ya tuhan, bagaimana ini? Aku benar-benar lupa. Bagaimana reaksi Ifa nanti. Sebenarnya walau Shania sudah bekerja selama sebulan, tak ada yang istimewa di antara mereka. Hubungan kerja mereka benar-benar sebatas atasan dan bawahan. Tidak lebih. Ah, semoga tidak terjadi hal-hal yang tak diinginkan, harap Rizky.

"Oh ya Ky, kemarin Ayah dan Shania sudah pergi membeli cincin buat kalian. Keluarganya sudah setuju kalau tidak pakai acara pertunangan, namun mereka meminta kalian memakai cincin tunangan. Biar nggak ada lelaki lain yang menggoda atau melamar Shania."

Rizky auto mematung di tempat mendengar perkataan ayahnya.

"Cincin? Kenapa harus pakai cincin tunangan segala? Kan belum nikah juga, yah."

"Ya nggak papa tho. Itu buat menunjukkan kalau keluarga kita serius. Nggak main-main dengan perjodohan antara kamu dan Shania."

"Nggak usah pakai cincin segala, yah. Nggak enak jadi omongan diantara orang-orang kantor."

"Sudah, kamu nggak usah banyak protes. Biar ayah yang atur semuanya. Kamu jadi anak menurut saja." Amir berlalu meninggalkan Rizky yang masih termanggu.

Aah.. siaal!! Ngapain sih ayah nyuruh gue kawin lagi? Gue nggak keberatan kok hidup terpisah sementara. Lagipula hubungan kami mulai membaik sejak kejadian malam itu, walau Ifa masih menolak diajak tinggal bersama.

"Selamat siang mas.. eh pak Rizky," sapa Shania lembut dibarengi senyum manis. Senyuman yang bisa merontokkan hati pria manapun. Tapi hal itu tak berlaku buat Rizky. Hatinya benar-benar tak tergoyahkan. Hanya ada satu senyum yang mampu membuat hatinya meleleh. Senyuman si koplak, Ifa.

"Mas... eh pak, tadi ada telpon dari orang pajak. Mereka minta pertemuan besok direschedule jamnya menjadi pagi. Lalu ini ada titipan dari om... eh pak Amir untuk bapak. Kemarin beliau bilang, bapak harus pakai."

"Tadi ayah saya kemana setelah meeting?" Tanya Rizky sambil menerima paperbag yang Shania serahkan.

"Hmm.. om Amir langsung pulang, mas.. eh pak."

"Oh ya, nanti istri saya mau kesini. Tolong kamu siapkan minuman dan cemilan buat dia. Hari ini saya pulang lebih cepat karena mau antar dia ke rumah sakit. Kami mau periksa kandungannya yang sudah masuk usia 7 bulan." Rizky sengaja menceritakan hal itu dengan harapan Shania akan ilfil terhadap dirinya.

"Oh, mbak Ifa mau kesini. Wah kebetulan, saya bisa kenalan dengan calon ma...."

"Ssstt.. nggak usah disebut-sebut hal itu. Kamu mau diomongin orang satu kantor? Kamu mau disebut pelakor?"

"Ya nggak papa juga mas. Toh setelah mbak Ifa melahirkan saya akan menikah dengan mas Rizky. Hmm.. kira-kira tiga bulan lagi ya. Wah, saya nggak sabar untuk menjadi istri mas Rizky."

"Tolong jangan panggil seperti itu saat di kantor." Rizky mendengus kasar.

"Oke. Tapi kalau lagi di ruangan mas Rizky dan hanya berdua, saya boleh manggil dengan sebutan sayang kan? Hmm.. latihan sebelum menikah, mas.. eh pak." Bukannya menjawab, Rizky malah ngeloyor pergi meninggalkan Shania yang masih senyum-senyum sendiri.

"Hei, ngapain kamu senyum-senyum begitu? Nanti disangkain orang gila lho." tegur Winda.

"Eh, mbak Winda. hehehe.. nggak papa mbak. Sha lagi bahagia aja. Nggak lama lagi Sha akan menikah. Oh ya, mbak Winda kesini ada apa ya?"

"Nyonya bos mau datang ya Sha? Aku cuma mau kasih tau kamu makanan dan minuman kesukaan nyonya bos. Dulu dia malah rajin bawa makanan buat kita-kita. Tapi akhir-akhir ini kayaknya sudah nggak sempat. Mungkin karena sudah terlalu lelah membawa 3 bayi dalam perutnya."

"Tiga?!" Winda mengangguk.

"Ya sudah, aku tinggal dulu ya Sha. Itu sudah aku catat di memo apa-apa saja yang disukai nyonya bos. Sampaikan salamku untuk nyonya bos."

⭐⭐⭐⭐

Ifa saat ini sudah memasuki lobby kantor Rizky. Security dan resepsionis menyambut dengan ramah kedatangannya. Ifa memberikan sekotak kue untuk mereka. Dengan sigap security membantunya membawa kotak-kotak berisi kue dan mengawalnya naik lift menuju ruangan Rizky. Keluar dari lift Ifa berhenti sebentar untuk mengatur debaran di jantungnya. Bukan karena mau bertemu Rizky, namun inilah pertama kalinya ia akan bertemu dengan Shania, wanita yang akan dinikahi Rizky.

"Ibu baik2 saja?" tanya security yang mengikutinya. "Berat ya bu bawa perutnya?"

"Iya mas. Makanya kalau istri mas hamil, dibaik-baikin ya. Dibantuin pekerjaannya. Jangan disuruh-suruh melulu. Pokoknya disayang-sayang deh. Masnya jangan sok sibuk sama kerjaan di kantor."

"Hehehe... saya mah belum nikah bu. Nggak ada yang mau sama security berpenghasilan rendah kayak saya. Padahal wajah saya termasuk ganteng, badan saya proporsional, bahkan perut saya sixpack. Sayang nasib kurang beruntung." Ifa menahan tawanya mendengar curhatan Efendy, si security. Memang sih, lumayan ganteng dan bodynya cukup bagus.

"Mas kok jadi curcol. Mas, kapan-kapan mampir deh ke resto punya saya. Nanti saya kenalin sama pegawai saya yang masih single. Mau mas?" Si security mengangguk semangat. Wajahnya kembali cerah. "Nanti saya tinggalin kartu nama saya di resepsionis ya."

"Wah, ibu nih sudah cantik, baik, pintar masak pula. Plus subur. Istri idaman banget. Pantesan pak Rizky cinta banget sama ibu." Ifa hanya tersenyum mendengarnya.

Sesampainya di depan ruangan Rizky, kembali Ifa berhenti, mengatur nafas dan menata hati. Kursi sekretaris terlihat kosong. Apakah mereka sedang berdua di dalam sana? Tanpa mengetuk terlebih dahulu Ifa membuka pintu ruangan dan masuk. Tak ada yang aneh antara Rizky dan Shania. Posisi mereka tak ada yang mencurigakan. Rizky duduk di balik meja sementara Shania berdiri di seberang meja. Tanpa kentara Ifa menghela nafas lega.

"Mas Fendy, terima kasih ya sudah bantuin. Oh ya, jangan lupa ya mampir ke resto. Nggak usah khawatir mas, nanti boleh makan minum gratis disana. Nanti alamat resto saya titip ke Maya."

Rizky langsung berdiri menyambut Ifa. Tadinya ia ingin memeluk Ifa, namun ditahannya karena ada Shania disitu. Bukan takut Shania marah atau cemburu, tapi kurang etis saja melakukan itu di depan karyawan. Dulu pun ia tak pernah memeluk Ifa di depan Winda. Selain itu Ifa juga memberinya kode untuk tidak melakukan hal itu. Akhirnya dengan berat hati, Rizky hanya mengajak Ifa duduk disampingnya.

"Sha, perkenalkan ini Ifa. Kamu pasti sudah tahu kalau dia ISTRI saya." Rizky sengaja menekankan kata istri. Biar Shania mengetahui posisinya nanti.

Shania mendekati Ifa dan mengulurkan tangan. "Perkenalkan saya Shania, tapi mas Rizky biasa panggil saya Sha. Saya calon..."

"Cukup Sha, kamu silahkan keluar," perintah Rizky dingin.

"Mbak Shania, boleh saya panggil seperti itu?" tanya Ifa yang dijawab dengan anggukan dan senyum manis dari Shania. "Tolong bagikan kue ini ke teman-teman. Dan kotak yang ini tolong diantar ke ruangan pak Ridwan. Kemudian kotak yang ini buat mbak Shania. Semoga mbak Shania suka kue buatan saya. Makasih ya mbak."

Selama Ifa bicara, Shania memperhatikan semua hal yang ada pada diri Ifa. Cantik, sepertinya baik dan ramah. Lalu apa masalah mereka sebenarnya? Sepertinya hubungan mereka baik-baik saja.

"Sesudah membagikan kue, kamu nggak usah masuk ke ruangan saya lagi. Kamu kerjakan saja yang tadi saya perintahkan. Dan tolong untuk pertemuan dengan pihak kantor pajak kamu kasih tau juga ke Devano, bagian pajak. Biar dia mempersiapkan dokumen yang dibutuhkan."

"Baik mas.... eh pak." Shania langsung undur diri.

"Cantik." ucap Ifa pendek sambil mengeluarkan makanan yang dibawanya untuk Rizky dari resto. Rizky tersenyum lebar melihat Ifa membawakan khusus makanan untuknya. "Elo pasti belum makan siang."

"Sudah, tapi cuma sedikit. Soalnya ini harus buru-buru kelarin budgeting, biar bisa antar kamu ke dokter. Oh iya, siapa yang cantik?"

"Calon istri lo," jawab Ifa sembari menyuapi makanan ke mulut Rizky. Sementara itu Rizky memindahkan laptopnya supaya dia bisa tetap bekerja sambil disuapi Ifa.

"Biasa aja sih. Buat aku yang paling cantik tuh kamu."

"Huu.. gombal. Gue liat hubungan kalian sudah mulai dekat ya. Buktinya dia sudah panggil elo pakai mas dan elo juga sepertinya sudah punya nama panggilan khusus buat dia. Sha. Bagus, terdengar lebih intim."

"Kamu cemburu?"

"Nggak."

"Seharusnya kamu cemburu, karena itu hak kamu. Lagipula bukan cuma aku yang panggil dia Sha. Dia memang membahasakan dirinya Sha. Jadi orang-orang sini panggil dia Sha. Begitu lho sayang."

"'Tapi cuma dia yang panggil elo pakai mas. Padahal ini di kantor lho." Rizky menghela nafas kesal.

"Aku sudah kasih tau dia untuk tidak memanggilku dengan sebutan mas. Nggak profesional." ucap Rizky ketus. Saat Rizky hendak mengambil minuman yang ada di depan Ifa, saat itulah Ifa melihat sesuatu yang berbeda di jari manis tangan kiri Rizky. Sebentuk cincin yang baru kali ini dilihatnya. Dan itu bukan cincin kawin mereka.

Saat hendak bertanya, pintu ruangan diketok dan masuklah Shania membawa cemilan dan minuman untuk Ifa. Pada saat Shania menghidangkan makanan, kembali mata Ifa melihat sesuatu yang membuat hatinya terasa nyeri. Di tangan kiri Shania terpasang sebentuk cincin yang sama persis dengan cincin yang dipakai Rizky. Hmm.. sepertinya mereka sudah tunangan, batin Ifa dengan sedih. Tak bisa dipungkiri, ada yang sakit di sudut hati Ifa.

"Silahkan mbak.. eh bu.. eh saya harus manggil apa ya? Karena nanti kan saya akan jadi istri mas Rizky juga. Saya panggil mpok, mbak, teteh, kakak?" Tanya Shania setelah menghidangkan cemilan. "Katanya kehamilan mbak sudah masuk bulan ketujuh ya. Waah berarti sebentar lagi saya akan menikah. Nggak sabar rasanya."

"Ehem... bukannya tadi saya bilang kamu di luar saja. Ngapain kamu malah ngobrol disitu sama istri saya? Cepat keluar." tegur Rizky dengan nada ketus. Bukannya takut, Shania malah tersenyum manis sambil memasang wajah polos.

"Lho, aku kan harus mencoba mendekatkan diri dengan istri mas Rizky. Kalau nanti kita menikah, saya nggak mau kayak yang di drama-drama gitu mas. Itu lho yang istri tua dan istri muda berantem, berebut suami. Oh iya mas, nanti kalau sudah menikah saya akan tinggal di mana? Gabung nggak dengan mbak Ifa? Atau saya tinggal bareng ayah dan bunda? Tapi saya takut tinggal sama mertua. Takut mertuanya galak."

"Masih lama ngomongnya?" tegur Rizky kali ini dengan nada dingin, sedingin air es di tengah terik matahari. Dinginnya menusuk tulang. Namun sepertinya Shania tidak gentar mendengar nada dingin di suara Rizky.

"Mbak Ifa nggak papa kan kalau saya jadi istri mudanya mas Rizky. Saya pasti sedih banget kalau mbak Ifa nggak suka sama saya. Pengennya sih setelah saya menikah dengan mas Rizky hubungan kita bisa baik-baik saja. Pengen juga sih kita kumpul tinggal serumah. Tapi saya khawatir mbak Ifa akan sedih kalau nanti mas Rizky lebih sering di kamar saya. Apalagi kalau nanti mbak Ifa habis melahirkan, selama kurang lebih 40 hari mas Rizky akan tidur sama saya terus. Nggak papa kan mbak?"

"SHANIA PRATISTA... KELUAR KAMU!!" bentak Rizky yang kali ini benar-benar marah terhadap sekretarisnya. Ifa sampai terlonjak kaget mendengar suara Rizky yang menggelegar. Untunglah ruang kerja Rizky kedap suara, sehingga tidak menarik perhatian karyawan lain.

"Mas Rizky membentak saya?" Mata Shania mulai berkaca-kaca. Benar saja, tak lama kemudian air mata menetes di pipinya. Rizky bingung melihat hal itu, namun ia tak berniat membujuk Shania. Sekretarisnya ini benar-benar membuatnya pusing dan naik darah. Sementara itu Ifa membuang pandangnya ke arah jendela kantor yang menampilkan pemandangan langit menjelang senja. Sepertinya hari ini akan mendung, batin Ifa. Langit mulai kelabu, seperti hati tiga anak manusia yang ada di dalam ruangan.

"Maaf. Bisakah kamu keluar ruangan saya. Kepala saya sudah cukup pening dengan pekerjaan kantor. Tolong jangan menambah beban pikiran saya." Untunglah kali ini Shania menuruti ucapan Rizky tanpa memperlihatkan drama lanjutan.

"Maaf ya sayang. Aku nggak tau apa yang merasuki gadis itu hingga nyerocos nggak karuan begitu." Rizky mendekati Ifa dan menggenggam tangannya. Perlahan Ifa melepas tangan Rizky. Kali ini ganti hati Rizky yang kecewa.

"Nggak papa Ky. Sudah sewajarnya dia menanyakan hal itu ke elo, calon suaminya. Sekarang elo kerja lagi gih. Kalau memang nanti pekerjaan lo belum selesai, gue naik taksi online aja buat ke rumah sakit. Gue nggak mau ganggu pekerjaan lo."

"NO. Aku akan menemani kamu ketemu Encing Husna. Biar saja kalau pekerjaan ini belum selesai. Biar nanti aku bawa pulang, atau besok aku berangkat ke kantor lebih pagi." Ifa mencoba memaksa dirinya tersenyum. Padahal hatinya mulai berdarah akibat tersayat-sayat oleh perkataan Shania tadi.

⭐⭐⭐⭐

Next chapter