webnovel

22

Dua sosok bertopeng merah berjongkok di dahan sebuah pohon. Kedua sosok bertopeng itu tak lain adalah Bao Yu dan Ming Mei. Mata mereka mengamati ke bawah. Lima orang penunggang kuda berpakaian kerajaan melintas. Penunggang kuda yang berada di tengah memiliki badan paling besar di antara yang lain. Rambutnya panjang menjuntai. Rambut bagian atas digelung. Wajah pria itu persegi dengan rahang yang kukuh, sedangkan dagunya ditumbuhi jenggot tipis. Sorot matanya tajam melihat lurus ke depan. Hidungnya mancung dan agak bengkok ke dalam. Alis matanya tebal dan hitam. Kulit pria itu berwarna cokelat. Walaupun berbadan lebih besar di antara yang lain, usianya lebih muda, sekitar 27 tahun. Dialah Jun Quon, Petinggi kerajaan termuda selama Kerajaan Song berdiri.

Jantung Ming Mei berdegup kencang melihat Jun Quon. Hatinya perih mengingat pria itulah yang harus ia habisi. Pria yang pernah menyelamatkannya dari cengkeraman Wesi Abang. Kekaguman akan sifat kesatria dan kegagahan pria itu tak pelak membuatnya jatuh hati pada pandangan pertama. Tetapi apa daya, pria itu berada di pihak musuh.

"Ming Mei, itu buruan kita, Petinggi kerajaan Jun Quon!"

Setelah berkata demikian, Bao Yu melesat dan menerjang kelompok penunggang kuda. Melihat kakak seperguruannya melesat, mau tak mau Ming Mei mengikuti dari belakang.

"Setan Kerajaan Song! Serahkan nyawa kalian!"

Dengan garang Bao Yu melibaskan pisau-pisaunya ke arah para penunggang kuda, sedangkan Ming Mei berputar-putar menerjang lawan-lawannya. Para penunggang kuda bukan prajurit rendahan, mereka memiliki ilmu kanuragan yang tak bisa diremehkan. Pedang mereka menghambur dan menusuk-nusuk ke arah perempuan-perempuan bertopeng. Tetapi Bao Yu dan Ming Mei masih terlalu tangguh bagi mereka. Dalam beberapa jurus, keempat prajurit kerajaan tewas meregang nyawa.

Petinggi kerajaan Jun Quon murka, ia menebaskan sebilah pedang besar ke arah kedua perempuan bertopeng. Gerakan pedang Jun Quon penuh tenaga dan lincah. Berputar dan menusuk-nusuk, seolah-olah membuat pedang itu menjadi banyak. Jurusnya ini diberi nama Dà Xiàng Fēngle (Gajah Mengamuk). Ilmu kanuragan Jun Quon setingkat dengan Wesi Abang. Terang saja, kedua perempuan bertopeng terdesak. Tetapi Bao Yu tahu, Ming Mei tidak benar-benar mengerahkan kemampuannya.

"Cih! Cepat habisi laki-laki ini!"

Baru saja Bao Yu selesai bicara, pedang besar Jun Quon menyabet ke arah kepala Bao Yu dan Ming Mei. Cepat sekali. Kedua perempuan itu berkelit, tetapi kedua topeng mereka berhasil dicabik pedang Jun Quon.

Jun Quon terkejut bukan kepalang. Bukan karena penyerangnya adalah dua perempuan cantik, tetapi salah seorang diantara mereka adalah perempuan yang pernah ia selamatkan. Gadis manis yang wajahnya selalu membayanginya.

Melihat Jun Quon terkejut, Bao Yu tak membuang-buang waktu. Lima buah pisau meluncur deras ke arah Jun Quon. Untung olah kanuragan Sang Petinggi kerajaan tinggi. Kelima pisau itu berhasil ia tepis dengan pedang besar. Tetapi ia tak sempat menghindar ketika Bao Yu langsung merangsek dengan jurus Xuexing De Yueliang Xisheng. Tiba-tiba Ming Mei menyeruak dan menangkis serangan Bao Yu.

"Ming Mei! Kenapa menghalangiku?"

"Cukup Kak! Aku tidak sanggup menjadi alat pembunuh guru lagi!"

Bao Yu geram mendengar jawaban Ming Mei. Ia mengentakkan kaki dan menyerang Ming Mei tanpa ampun! "Berani melanggar perintah guru! Kalau begitu, kukirim kalian ke liang kubur!"

Jurus Xuexing De Yueliang Xisheng menyerang Ming Mei dengan hebat!! Ming Mei berkelit sambil melancarkan jurus Chuī Hǎi Duì Yuè (Bulan Bertiup Laut Pasang). Serangan Ming Mei tak kalah hebat. Dengan cepat kedua tangan Ming Mei mengarahkan pisau ke depan, menariknya, menghunus lagi, menarik lagi, terus seperti itu. Kaki dan badannya berputar-putar ke depan. Tetapi, sebagai murid tertua Xue Yue Nuwang, hampir semua jurus gurunya sudah ia kuasai. Sehingga tingkat olah kanuragan Bao Yu masih berada diatas Ming Mei. Dalam beberapa jurus, Xuexing De Yueliang Xisheng berhasil merepotkan Ming Mei. Jun Quon yang melihat Ming Mei terdesak, merangsek ke arah Bao Yu. Diserang dari dua arah oleh dua pendekar berilmu tinggi, kini giliran Bao Yu yang kewalahan!! Akhirnya sebuah sabetan pedang Jun Quon menyayat kulit Bao Yu. Bao Yu melompat ke belakang sejauh tiga tombak.

Mata Bao Yu menyala-nyala menatap Ming Mei dan Jun Quon. Namun ia tidaklah bodoh. Kalau pertarungan dilanjutkan, sudah jelas ia yang kalah. "Ming Mei! Berani-beraninya kamu berkhianat! Tunggu sampai aku beritahu guru! Huuuup!"

Setelah berkata demikian, Bao Yu melanting, lalu melesat masuk ke dalam hutan. Ming Mei memandangi kepergian Bao Yu dengan cemas. Kalau sampai berita ini didengar gurunya, tentu ia tak akan selamat.

"Saudari. Terima kasih telah menyelamatkanku," kata Jun Quon seraya berjalan mendekati Ming Mei. Ming Mei menoleh dan tersenyum. Tetapi sekilas Jun Quon bisa menangkap kegelisahan di hati perempuan manis di hadapannya.

"Karena menolongku, saudari dalam masalah."

Ming Mei terdiam, ia tundukkan wajahnya dalam-dalam. Kemudian berkata, "Tak apa Petinggi kerajaan. Sebenarnya semenjak dulu aku menyimpan dendam seribu karat pada guruku. Walaupun aku diasuh dan dirawat sejak kecil, guruku telah membantai seluruh keluargaku pada saat menyerang desaku. Ketika itu, hanya aku yang tidak dibunuh. Ia membawaku ke istana pualam dan menjadikanku murid. Usiaku masih terlalu kecil saat itu, sehingga tak mempunyai pilihan. Kesaktian guru benar-benar luar biasa, sampai dewasa aku hanya bisa menyimpan dendam dalam-dalam di dalam hati. Tapi tadi …."

Ming Mei tak meneruskan kata-katanya. Sebagai seorang perempuan, ia malu untuk mengakui bahwa perasaan cinta pada Jun Quonlah yang memberikannya keberanian untuk menentang perintah Xue Yue Nuwang.

"Petinggi kerajaan, ketahuilah, Hong Jin Paidui yang dipimpin oleh guruku, merencanakan penyerangan terhadap Kerajaan Song. Selagi belum terlambat, aku sarankan, bawa pasukan dalam jumlah besar ke dalam hutan. Letaknya tepat di mana air terjun berada. Sesampainya di sana, baca syair di permukaan batu besar berwarna hitam. Aku yakin tak susah bagimu untuk memahami syair di batu itu. Di balik air terjun itulah letak istana pualam."

Petinggi kerajaan Jun Quon mengangguk. Ia sama sekali tidak mencurigai gadis manis di hadapannya akan menjebaknya. Ia tahu bahwa gadis Ming Mei berkata tulus.

Terkadang cinta memang sulit diterka. Berada di pihak berbeda; tak berkawan; menjadi lawan, hati tetap bergetar merasakan cinta yang merayap. Demikianlah yang terjadi pada keduanya. Namun, tak ada yang tahu akankah cinta mereka berbuah manis suatu hari kelak? Karena tanpa sepengetahuan mereka, ada bahaya yang kelak mengancam. Bahaya yang sesungguhnya dekat, dan sangat keji itu kini sedang berjalan menuju istana pualam.

Pengkhianatan Ming Mei masih menyulut kemarahannya. Wajahnya merah padam sambil berlari menuju istana pualam.

Next chapter