webnovel

Menggali Informasi tentang Sang Ayah

Kini Erza hanya bisa memberi Tasya nomor teleponnya dengan patuh.

Pada saat ini, ponsel Tasya berdering tiba-tiba. "Tasya? Sudah larut malam, kamu di mana? Kenapa kamu masih belum pulang?" Suara seorang wanita paruh baya terdengar di telepon, mungkin ibu Tasya.

"Ibu, aku belajar di rumah teman. Aku akan segera pulang." Tasya menjawab dengan ekspresi datar.

"Cepat kembali, sudah jam berapa ini? Apa aku perlu menjemputmu?" Nada ibu Tasya di telepon sangat lembut.

"Oh, tidak, tidak, kakak teman sekelasku akan mengantarku pulang sebentar lagi. Jangan khawatir." Setelah selesai berbicara, Tasya langsung menutup telepon.

"Ayo pergi, aku akan mengantarmu pulang." Erza mengangkat bahu. Tasya juga tidak menolak. Setelah masuk ke dalam mobil, Erza mengantarkan Tasya ke rumahnya.

"Rumahku masih harus masuk ke dalam, jadi aku turun di sini saja. Ibuku mungkin akan keluar menjemputku, ditambah lagi keamanan di sini juga sangat baik. Terima kasih." Tasya langsung turun dari mobil. Melihat kepergian Tasya, Erza juga melihat sekeliling. Ada kantor polisi di dekat situ, jadi seharusnya tidak ada masalah di sini. Kemudian, Erza hanya tersenyum dan langsung pergi.

Setelah Erza pulang ke rumah, Lana dan Wina sudah tertidur. "Bu Siska, sudah larut malam, apa ibu tidak istirahat?" Erza berkata dengan sopan sambil memandang Bu Siska di ruang tamu.

"Erza, kamu pasti belum makan malam. Aku akan memasakkan sesuatu untukmu." Bu Siska tersenyum. Dia sangat baik.

"Bu Siska, tidak perlu. Istirahatlah lebih awal. Aku juga tidak lapar." Erza juga sangat berterima kasih pada Bu Siska.

"Tunggu, Erza, aku ingin memberitahumu sesuatu." Melihat Erza hendak naik, Bu Siska menghentikan Erza.

"Bu Siska, ada apa?" tanya Erza penasaran.

"Erza, aku tahu nona Lana itu pemarah, tapi dia tetap orang baik. Karena kamu sudah menikah dengan nona, aku berharap kamu bisa menghabiskan lebih banyak waktu dengannya." Bu Siska mengatakan itu dengan tulus.

"Bu Siska, jangan khawatir. Tapi, ada yang harus aku tangani beberapa hari ini jadi aku tidak bisa menemani Lana terus." Erza juga mengerti apa yang dimaksud Bu Siska, dan sekarang dia sedikit tersenyum. Erza berjanji akan terus menemani Lana.

"Itu bagus." Bu Siska tersenyum, sedangkan Erza langsung ke kamarnya.

Keesokan harinya, saat Erza masih tidur, ponselnya tiba-tiba berdering.

"Erza, apakah kamu punya waktu? Pak Tanoto ingin bertemu denganmu." Suara Widuri terdengar di telepon.

"Aku tidak ada waktu." Saat mendengar tentang keluarga itu, hati Erza menjadi sangat tidak senang.

"Erza, apakah kamu benar-benar tidak bisa?" Nada suara Widuri kali ini sangat sopan, tidak seperti sebelumnya. Itu karena di pagi hari, Pak Tanoto, anak dari Pak Lukman tiba-tiba menelepon ayahnya. Dia mengatakan bahwa Pak Lukman terengah-engah, dan kondisinya memburuk. Akhirnya, Pak Tanoto memikirkan air cuci tangan Erza, dan memutuskan untuk mencobanya.

Setelah meminum air cuci tangan Erza itu, Pak Lukman menjadi baik-baik saja hingga membuat Pak Tanoto sekeluarga terkejut, jadi mereka memutuskan untuk mengundang Erza untuk datang. Ketika Widuri mendengarnya, dia tidak percaya bahwa air cuci tangan Erza benar-benar memiliki efek seperti itu.

"Tidak, beritahu saja pada cucu pak Lukman yang bernama Hasan itu, jika dia ingin aku menyelamatkan kakeknya, dia harus meminta maaf padaku dulu." Ketika Erza memikirkan perbuatan Hasan, dia ingin memukul pria itu.

"Kalau begitu aku akan berbicara dengan mereka." Nada suara Widuri tampak kecewa.

Saat sarapan pagi, ekspresi Lana sedikit buruk. Sepertinya itu karena Erza pulang ke rumah sangat larut tadi malam. Tetapi, Erza benar-benar tidak tahu bagaimana dia harus menjelaskan kepada Lana. Setelah mengantar Lana ke kantor, ponselnya berdering lagi.

"Erza, kamu di mana? Paman dan Hasan ingin bertemu denganmu." Suara Widuri terdengar di telepon.

"Pergi saja ke kedai kopi waktu itu." Setelah menutup telepon, Erza langsung menuju ke sebuah kedai kopi yang pernah dia kunjungi bersama dengan Widuri. Bagaimanapun, Widuri sudah membantu dirinya. Berkat Widuri, dia bisa mengetahui beberapa informasi tentang ayah dan ibunya.

Setelah sampai di kafe, Erza melihat Widuri, Pak Tanoto dan Hasan berdiri di sana.

"Erza, aku mengaku salah. Aku minta maaf. Selama kamu bisa menyelamatkan kakekku, tidak masalah jika aku berlutut. Tolong maafkan aku." Hasan segera berjalan mendekat ke Erza, dan kemudian dia berlutut. Ini membuat Erza sangat tidak nyaman.

"Sudahlah, lupakan saja." Saat Hasan berlutut, hal itu menekan amarah Erza. Pada saat itu, Erza juga merasa bahwa Hasan adalah seorang laki-laki sejati yang berani mengakui kesalahannya.

"Terima kasih, Erza. Mulai sekarang, aku akan menganggapmu sebagai kakakku. Kamu bisa memberiku perintah kapan saja." Hasan berkata dengan yakin.

Pak Tanoto juga sedikit tersenyum, dan pada saat yang sama diam-diam menghela napas lega. Kini dapat dikatakan bahwa seluruh keluarga Pak Tanoto tidak ada yang meragukan keahlian Erza, terutama Hasan. Akhirnya, Erza pergi ke rumah Pak Tanoto.

Saat dia tiba di sana, sikap semua orang terhadap Erza penuh hormat karena telah membantu Pak Lukman untuk tetap hidup.

"Apa ini?" Erza baru saja masuk ke kamar ketika seseorang membawa baskom berisi air dan menyerahkannya kepada Erza.

"Erza, apa kamu tidak ingin mencuci tangan agar bisa diminum oleh kakekku?" Hasan sedikit bingung.

"Tidak, bawalah aku untuk melihat kakekmu." Erza tersenyum tipis. Sebenarnya Erza hanya perlu memindahkan energinya langsung ke tubuh pria tua itu. Hasan tidak terlalu memikirkan kata-kata Erza, dan membawa Erza langsung ke kamar kakeknya.

Setelah memasuki ruangan, banyak juga dokter di sana, termasuk Dokter Suwarno.

"Erza, kamu juga ada di sini?" Melihat Erza, Dokter Suwarno bergegas dan berkata dengan hormat.

Semua yang ada di sana adalah ahli medis terkenal, tetapi setelah melihat tindakan Dokter Suwarno yang sangat sopan terhadap Erza, orang-orang ini tidak dapat percaya apa yang mereka lihat.

"Bisakah semua orang keluar?" Erza sedikit malas saat melihat para dokter itu. Meskipun perkataan Erza sangat tidak sopan, tetapi melihat Dokter Suwarno dan bahkan orang-orang dari keluarga Pak Tanoto bersikap begitu sopan kepada Erza, para dokter itu tidak berani mengatakan apa-apa. Kini hanya Erza yang tersisa di kamar. Erza membantu Pak Lukman untuk duduk, dan kemudian mentransfer seluruh energinya ke tubuh pria tua itu.

Setelah lebih dari setengah jam, Erza menyeka keringat di dahinya. Pak Lukman juga perlahan membuka matanya.

"Anak muda, apakah kamu menyelamatkanku?" Pak Lukman memandang Erza, matanya juga berbinar penuh terima kasih.

"Ya. Apakah Anda merasa sehat?" tanya Erza memastikan.

"Nak, saat kamu mengobatiku, aku bisa merasakan kamu punya energi di tubuhmu. Apa kamu terlibat dalam suatu perkumpulan?" Pak Lukman bertanya balik.

"Sepertinya aku tidak bisa menyembunyikan apa pun dari Anda sekarang, tapi aku berharap Anda bisa merahasiakan identitasku." Erza juga sudah mengira bahwa Pak Lukman bukanlah orang sembarangan.

"Jangan khawatir, nak. Ngomong-ngomong, aku pernah ikut dalam sebuah perang melawan Jepang. Tapi, aku sudah tua sekarang." Pak Lukman tersenyum. Adapun Erza, dia sedikit terkejut. Dia tidak menyangka bahwa Pak Lukman telah berpartisipasi dalam perang melawan penjajahan Jepang di Indonesia. Dia pasti seorang jenderal dulunya.

"Kalau begitu terima kasih, Pak." Erza juga tersenyum.

"Kamu sangat sopan. Kamu telah menyelamatkan hidupku. Keluargaku berutang budi padamu. Jika kamu ada masalah nanti, panggil saja aku atau keluargaku. Kami akan membantumu," kata Pak Lukman.

"Pak, ada yang ingin kutanyakan pada Anda." Erza ragu-ragu.

"Apa itu?" Pak Lukman menunggu pertanyaan Erza dengan antusias.

"Pernahkah ada keluarga besar dengan nama belakang Sastranegara?" Erza merasa bahwa karena Pak Lukman bukan orang biasa, dia pasti tahu sesuatu tentang ayahnya yang memiliki nama belakang Sastranegara. Informasi latar belakang ayahnya sama sekali tidak bisa ditemukan. Erza merasa bahwa ayahnya pasti juga memiliki latar belakang tertentu.

"Ada terlalu banyak orang yang memiliki nama belakang Sastranegara, nak." Pak Lukman menjawab dengan serius.

Next chapter