Saat ini terdapat semua berita di televisi mengabarkan tentang kabar bahwa pemegang saham Perusahaan ARO, Pak Juri, tewas di tempat tadi malam akibat kecelakaan mobil karena mengemudi dalam keadaan mabuk. Pada saat yang sama, investor dari Perusahaan ARO tewas karena kebakaran di sebuah hotel. Kedua peristiwa tersebut telah menarik perhatian banyak orang.
Lana, yang sedang sarapan sambil menonton siaran pagi, juga memandang Erza. Dia tidak yakin kematian kedua orang ini adalah kecelakaan. Apakah ini benar-benar kebetulan?
"Mengapa kamu melihatku?" Erza sedang makan di sana dengan cemberut, dan sedikit tidak nyaman ditatap oleh Lana.
"Erza, bukankah kamu yang melakukan ini?" Lana tiba-tiba menjadi sedikit menakutkan.
"Bagaimana mungkin? Aku orang yang sangat baik. Sudah, makan saja. Setelah ini, aku akan mengantarmu, dan mengajak Wina menyelesaikan prosedur pendaftaran di sekolahnya. Dia akan bersekolah mulai lusa."
"Lalu kemana kamu pergi tadi malam?" tanya Lana mendesak.
"Aku pergi menemui seorang teman. Cepat habiskan makananmu," pinta Erza pada Lana.
"Baiklah." Lana hanya bisa patuh.
Setelah makan, Erza mengantar Lana ke kantor. Kemudian, dia mengantar Wina ke sekolahnya untuk menyelesaikan proses pendaftaran.
"Kak Erza." Mata Wina berbinar.
"Ada apa, Wina?" tanya Erza tanpa menoleh.
"Terima kasih. Aku tidak akan tahu apakah aku bisa pergi ke sekolah tanpamu." Wajah Wina juga sangat terharu.
"Aku ini saudaramu. Kenapa kamu harus bersikap seperti itu padaku?" ucap Erza sambil tersenyum. Saat tiba di sekolah Wina, kepala sekolah menyambut mereka berdua. Ini adalah sesuatu yang tidak diharapkan Erza. Tampaknya pengaruh Farina yang telah mendaftarkan Wina di sekolah ini sangat kuat.
Tak lama kemudian, semua prosedur pendaftaran selesai. Sepanjang proses itu, sikap kepala sekolah juga sangat sopan. Setelah mengantar Wina kembali ke rumah, Erza memutuskan untuk bekerja. Saat ini Pak Juri dan orang-orang dari Perusahaan ARO sudah tiada, jadi dia tidak mengkhawatirkan keselamatan Lana.
BRUAK!
Tepat setelah melewati lampu lalu lintas, ada suara benturan dari belakang mobil Erza. Dia segera turun dari mobil dan tidak menunggu untuk bertanya pada orang yang menabraknya. Di saat yang sama, dia melihat seorang gadis yang berusia sekitar enam belas tahun, mengenakan pakaian denim dengan rambut acak-acakan. Erza tidak memedulikan gadis itu, tetapi langsung melihat belakang mobilnya. Dia melihat sepeda motor yang dikendarai gadis itu telah menghancurkan lampu belakang mobil Erza. Atap mobil yang sebelumnya dihancurkan oleh Farina belum diperbaiki, dan sekarang bagian belakang mobilnya hancur juga. Erza merasa sangat tertekan.
"Kamu ini bagaimana? Kamu tidak bisa mengemudikan mobil, ya? Apakah kamu tuli?" Gadis yang bernama Tasya itu sangat kesal.
"Hei, kamu jelas menabrak mobilku, oke?" Erza hampir tidak bisa berkata-kata.
"Sialan! Itu karena kamu tidak berhenti tiba-tiba!" bentak Tasya.
"Itu tidak masuk akal!" Erza tidak bisa menahan emosi.
"Aku tidak peduli. Aku akan memanggil beberapa teman untuk memberi pelajaran padamu. Sial!" Tasya tampak serius sekarang.
"Kamu masih muda. Kenapa bicaramu seperti itu, huh?" Erza tampaknya sedikit tidak sabar. Gadis di depannya dan Wina tampak seumuran, tapi sikap mereka bagai bumi dan langit.
"Memangnya kenapa?" Tasya tidak terima.
"Lupakan saja, aku terlalu malas untuk berdebat denganmu. Cepat pergi, kamu tidak perlu membayar ganti rugi untuk mobil ini." Erza memang malas untuk berurusan dengan gadis ini.
"Lupakan saja? Kamu belum memberiku ganti rugi." Melihat Erza hendak pergi, Tasya menghentikan Erza sambil berkacak pinggang.
"Apa yang kamu inginkan?" tanya Erza ketus.
"Aku tidak akan membiarkanmu pergi dari sini apa pun yang terjadi," ucap Tasya menantang.
"Oke, kalau begitu jangan salahkan aku." Erza menjawab dengan santai.
"Apa yang kamu lakukan? Apa yang kamu lakukan? Tolong!" Tasya berteriak ketika Erza berani menarik kerah bajunya dan langsung mengangkat dirinya. Saat ini, Tasya sangat ketakutan dan berteriak dengan keras. Hal tersebut mengundang simpati dari para pejalan kaki di sekitar mereka.
"Ada apa ini?" tanya salah seorang pejalan kaki yang berhenti.
"Wah, kamu beraninya dengan anak kecil, ya? Lepaskan dia!" kata yang lain.
"Semuanya, ini adikku. Dia baru saja membuat masalah di luar dan orangtuanya marah. Aku harus memberinya pelajaran hari ini." Erza menjelaskan.
"Siapa yang adikmu? Bantu aku! Aku tidak kenal dia, bantu aku paman dan bibi." Tasya hendak menangis saat ini, tetapi dia tidak pernah berpikir bahwa pria ini begitu tidak tahu malu.
"Ternyata seperti itu." Sayangnya, tidak ada yang percaya kata-kata Tasya, dan bahkan setelah mendengar kata-kata Erza, mereka lebih mendukung Erza.
"Lepaskan ak-!" Kata-kata Tasya belum selesai, tetapi Erza sudah memukul pantatnya untuk memberi hukuman padanya.
"Bajingan!" gertak Tasya. Selanjutnya, suara pukulan yang tidak terlalu kencang dari Erza terus terdengar.
"Jangan pukul aku, jangan pukul aku." Kemudian, Tasya tiba-tiba menangis. Dia merasa malu karena dipukul seperti ini di depan umum.
"Oke, cepat pulang. Lupakan apa yang terjadi hari ini." Melihat gadis kecil itu mulai menangis, Erza merasa masalah ini sudah selesai dan dilupakan saja. Lagipula, Tasya masih kecil. Tapi tiba-tiba, suara tangis Tasya lebih nyaring lagi. Ini membuat Erza sedikit terdiam. Dia tidak pergi, dan tidak tahu apa yang harus dia lakukan.
"Kenapa kamu harus menangis sekencang itu?" Setelah ragu-ragu, Erza masih mendekat.
"Kamu benar-benar memukulku! Bajingan!" Tasya masih ingin memarahi Erza.
"Jangan menangis di sini. Aku akan mengantarmu pulang. Cepat masuk ke mobil." Erza membujuk Tasya. Tasya mendengarkan kata-kata Erza dan melihat orang-orang di sekitarnya. Dia langsung membuka pintu mobil dan masuk. Sedangkan Erza, dia meletakkan sepeda Tasya di bagasi.
"Di mana rumahmu? Aku akan mengantarmu pulang dulu." Setelah Erza masuk ke dalam mobil, dia memutuskan untuk segera mengantar Tasya pulang.
"Aku tidak ingin pulang." Tasya menatap depan.
"Apa kamu tidak tahu apakah orangtuamu akan khawatir?" Wajah Erza juga sangat tidak berdaya. Anak-anak seusia ini benar-benar sedikit labil.
"Orangtuaku?" Mata Tasya sedikit redup. Setelah melihat ekspresi Tasya, Erza tercengang. Pasti ada sesuatu yang terjadi pada gadis ini, tapi Erza tidak bertanya banyak, "Kemana aku harus membawamu?"
"Bisakah kamu membelikanku makan?" tanya Tasya memelas.
"Kamu bahkan tidak mampu makan?" Erza melirik gadis ini. Di sekujur tubuhnya ada pakaian dari merek terkenal, tapi dia tidak bisa membeli makanan.
"Hei, kamu baru saja memukulku. Tidakkah kamu ingin meminta maaf padaku?" kata Tasya mengelak.
"Aku menghukummu tadi." Erza menjawab dengan singkat. "Ngomong-ngomong, kamu mau makan apa?"
"Kamu benar-benar akan membelikanku makan?" tanya Tasya kegirangan.
"Tentu saja," jawab Erza.
"Aku ingin makan daging panggang dan minum bir," kata Tasya penuh semangat. Erza benar-benar tidak mengerti apa yang terjadi dengan gadis ini. Dia sudah berani minum bahkan dengan pria asing.
"Tidak usah minum, ya?" bujuk Erza.
"Aku tidak banyak minum, kok." Tasya mengerucutkan bibirnya. Setelah berbicara, Erza juga menuju ke rumah makan terdekat.
"Oh, iya, siapa namamu? Namaku Tasya." Tasya sepertinya baru saja melupakan apa yang terjadi, dan sikapnya terhadap Erza telah banyak berubah.
"Erza." Tapi Erza sebenarnya tidak memedulikannya.
"Itu yang di depan. Bir di sana sangat enak." Pada saat ini, Tasya menunjuk ke sebuah restoran tidak jauh dan berteriak dengan bersemangat. Erza juga menghentikan mobilnya. Sejujurnya, Erza tidak terlalu menyukai daging panggang, namun jika itu disajikan bersama dengan bir, rasanya benar-benar enak. Setelah keduanya turun dari mobil, mereka memasuki restoran dan duduk. Lalu, mereka mulai memesan makanan.
"Pelayan, bawakan aku dua botol bir." Tasya tiba-tiba berkata tanpa ragu.