Gelap, itulah yang Raka rasakan ketika ia terbangun dan melihat ke sekitarnya. Kegelapan itu sedikit membuatnya tak nyaman, tapi ia berhasil mengendalikan perasaan tak nyaman itu. Pemuda itu lalu mencoba berdiri dan langsung terkejut karena tubuhnya sama sekali tak merasa sakit, padahal ia baru saja dihajar habis-habisan. Raka mencoba melangkah mencari tempat yang lebih terang, namun ia tak menemukan apapun.
"Sial... Gelap banget disini..... Masa di alam bawah sadar gue gelap gini sih?!" Maki Raka kesal, tangannya terkepal karena terpikir kondisi Sembadra yang entah bagaimana. Pemuda itu berlutut dan memukul tanah dibawahnya, lalu berteriak keras menyangkal kelemahannya. "[Berisik! Kau mengganggu tidur panjangku, bocah!]" Ucap sebuah suara menggelegar dari arah belakang pemuda itu.
Secercah cahaya tiba-tiba menyala dari arah belakang Raka, membuatnya tertarik untuk mendekati cahaya itu. Cahaya itu ternyata berasal dari sebuah nyala api berwarna merah keemasan. Di tengah-tengah nyala api itu, tampak sebuah tombak berwarna putih dengan ujung berwarna oranye. Di bagian gagangnya penuh dengan ukiran berwarna hitam dan emas. Seluruh bagian tombak itu berpendar merah membara akibat panas dari api itu.
"Keren juga nih tombak, tapi, kok kebakar gitu ya?" Gumam Raka seraya mengulurkan tangan kearah api dibawah tombak itu. Tetapi, Raka dibuat bingung saat merasakan api itu tidak terasa panas, malahan terasa dingin dan menyejukkan. "Aneh, geni (api) kok adem sih? Bisa-bisanya ada geni yang beginian," ucap Raka berkelakar. "[Sepertinya murungmu sudah hilang, bocah,]" ujar suara yang tadinya Raka dengar. Kedua mata Raka membola saat mendengar kata-kata itu, dan dirinya refleks menoleh ke kanan kiri untuk menemukan asal suara tersebut.
"Keknya gue dah ngaco deh, perasaan gue kan cuma sendiri. Tapi, kok bisa ada suara sih tadi?" Gumam Raka seraya terkekeh rikuh, terlebih saat merasakan dingin yang melanda tengkuknya. "[Kau tidak mengigau, bocah. Kau memang benar-benar mendengar suaraku setelah sekian lama,]" suara itu kembali muncul, kali ini berasal dari tombak yang ada di depan Raka. "ASDFGHJKL!! KUAMPRET ANJ**** WHAT THE HELL?!" Raka memaki dan tubuhnya jatuh terduduk karena terkejut dengan suara yang terus-menerus terdengar di telinganya itu.
"[Bocah edan! Berani-beraninya kau berkata kasar di depanku, sang ****** ****** yang agung ini!]" teriak tombak itu keras diikuti kobaran api yang membesar di sekeliling tombak itu. "Eh sialan! Ini tombak bisa ngemeng beneran! Nama gue bukan bocah edan woi!" Raka balas meneriaki tombak itu seraya mencabutnya dan menginjak-injak gagang tombak itu. "[Woi! Jangan injak aku dasar bocah edan! Kau tahu apa yang sedang kau injak-injak ini?!]" Pekik tombak itu sambil melontarkan Raka dan melayang horizontal setinggi kepala Raka yang terduduk.
"Emang gue pikirin woi?! Lagian, gue kaget astaga, mana ada tombak bisa ngemeng kayak lo! Aneh banget tau gak?!" Olok Raka seraya menampar mata tombak itu dan segera bangkit berdiri. "[Beraninya...ini bocah... ASAL KAU TAHU SAJA BOCAH! AKU INI TOMBAK TERSAKTI YANG PERNAH ADA DI DUNIA INI! BUMI BERGETAR HANYA DENGAN MENDENGAR NAMAKU! DAN KAU MASIH BERANI TIDAK MENGANGGAPKU SEBAGAI PUSAKA ISTIMEWA?!]" cerocos murka tombak itu seraya menghantam kepala Raka dengan gagangnya. Ayunan gagang tombak itu begitu cepat sehingga Raka gagal menghindar dan melindungi kepalanya yang mengeluarkan benjolan sebesar bola pingpong.
"Hah?! Pusaka? Gak salah nih? Tombak burik kayak lo gini beneran pusaka sakti? Pfffftttt...! Jangan kebanyakan halu lo, dasar tombak sinting!" Olok Raka kasar sambil mengusap-usap kepalanya. "[Dasar..... Si Karna itu, kalau saja dia tidak membunuh Gatotkaca, pasti aku tidak akan terjebak disini bersamamu, bocah edan,]" keluh si tombak yang masih melayang. "Karna?" beo Raka seraya bangkit dan menatap tombak itu penasaran.
Tombak itu kembali menancapkan dirinya ke tengah api yang masih membara, membuat rasa penasaran semakin membuncah di hati Raka. Pemuda itu lalu berjalan mendekat dengan rasa penasaran yang semakin menyeruak di hatinya. "[Sekarang bukan saatnya kau mengetahui tentang siapa itu Karna. Kau tahu, temanmu itu dalam bahaya, karena Bhuta itu sedang mendekat kearahnya,]" ujar tombak itu dengan nada datar, membuat Raka teringat akan Sembadra di luar sana.
"Tunggu! Sembadra dalam bahaya, lalu apa yang kulakukan disini?!" Pekik Raka panik karena khawatir akan keselamatan temannya. "[Kalaupun kau keluar sekarang, kau bisa apa? Kau jauh lebih lemah daripada Bhuta itu, kau lihat sendiri kalau seranganmu tidak berdampak banyak pada Bhuta itu,]" ujar si tombak pada Raka. Raka menunduk dan menatap tombak itu dengan tatapan kesal, lantas diapun berteriak, "Oi! Memangnya kenapa kalau aku lemah, hah?! Aku harus tetap keluar karena temanku dalam bahaya! Aku tidak mau kena resiko temanku mati dimakan Bhuta sialan itu!".
Mendengar makian Raka membuat roh yang bersemayam dalam tombak itu tersenyum merasakan niat tulus Raka untuk menyelamatkan temannya. "[Apa kau butuh kekuatan, bocah?]" Tanya tombak itu, membuat Raka merasa curiga pada tombak itu. "Memangnya kenapa kalau aku butuh kekuatan? Kayak kau bisa ngasih aku kekuatan buat bunuh Bhuta itu," cibir Raka pada tombak itu. "[Kurang ajar! Kau pikir aku ini pusaka macam apa sampai Bhuta kelas teri macam itu tidak bisa kubunuh?!]" Omel tombak itu pada Raka. "Terserah, kalau kau cuma mau sesumbar macam itu akan kutinggal. Temanku membutuhkan bantuanku," ucap Raka seraya berbalik dan melangkah pergi.
"[Woi bangke! Kalau kau pergi sekarang kau cuma akan mati sia-sia, bodoh!]" Maki tombak itu, namun tidak digubris oleh Raka. Raka tetap melangkah pergi tanpa mengacuhkan tombak yang masih mengomel di belakangnya. "[Cih! Baik kau yang dulu maupun yang sekarang tetap saja keras kepala, Surya Putra! Jika kau meninggalkanku lagi, maka aku harus menunggu selama sepuluh ribu tahun lagi untuk bertemu reinkarnasimu yang baru!]" Teriak tombak itu kesal, yang terdengar seperti suara perempuan yang sedang ngambek.
Raka langsung terpaku di tempat, lalu menoleh kebelakang saat sebuah cahaya kembali bersinar di belakangnya. Betapa terkejutnya dia saat melihat seorang perempuan berpakaian layaknya seorang Puteri jaman kerajaan Majapahit tengah menatapnya dengan pipi digembungkan. "Weh...?" Gumam Raka dengan ekspresi seperti orang bodoh, terlebih saat perempuan itu lari menubruknya seraya menangis. "Huhuhuuuu...., Kau jahat, Surya Putra! Kau tidak tahu betapa risaunya diriku saat kau meninggal terbunuh oleh Mintaraga disaat kau belum bisa mengeluarkan kekuatanku sepenuhnya! Sekarang, saat aku baru saja bertemu denganmu kembali, kau malah mengabaikan ku dan mempertaruhkan nyawamu sendiri demi teman barumu! Padahal selama ini aku dengan setia menunggumu!" Perempuan itu kembali mengomeli Raka seraya memukul pelan dada bidang pemuda itu, membuat pikiran Raka kembali blank seketika.
"Heh? Aku gak kenal sama kau, kok kau malah sok kenal sama diriku?" Tanya Raka setelah perempuan itu agak tenang. "Dasar bocah edan! Aku ini tombak yang kau ejek tadi, bodoh! Padahal aku ini patnermu dari kehidupan sebelumnya!" Perempuan itu kembali mengomeli Raka, meski kali ini dia memukul dada Raka lebih ganas dari sebelumnya. "Woi woi! Sakit tau! Lagian, mana kutahu kalau tombak burik tadi bisa berubah jadi cewek manis gini," Raka mencibir gadis itu sambil menggerakkan tangannya untuk menahan pukulan si gadis.
Pipi gadis itu lantas berubah merah padam saat mendengar cibiran Raka yang ia sangka sebagai pujian. Gadis itu lalu menundukkan kepalanya, lalu memegang kedua pipi Raka dengan tangannya. "Kau butuh kekuatan untuk menyelamatkan temanmu kan, Surya Putra?" Tanya si gadis seraya menatap lurus kearah kedua mata Raka. "Mohon maaf ya, namaku Rakai Yudha Taksaka, bukan Surya Putra. Kalau mengenai aku butuh kekuatan itu, ya emang bener sih, tapi, emangnya kau bisa meminjamkan ku kekuatan?" Raka menjawab pertanyaan si gadis seraya mengkoreksi soal namanya.
"Sebenarnya aku malas mengakuinya, tapi, namamu sekarang jauh lebih indah dari namamu di masa lalu...." Komen gadis itu seraya mencubit gemas pipi Raka. "....tapi, berhubung kau sudah bereinkarnasi dan menjadi lebih kuat dari sebelumnya, maka kali ini akan kuizinkan kau menggunakan kekuatan penuhku sebagai pusaka suci dari Khayangan, namun, aku hanya bisa memberimu beberapa menit saja," gadis itu menambahkan. Gadis itu lalu mundur beberapa langkah diikuti tubuhnya yang kembali bersinar. "Sekarang, keluarlah dan panggil namaku, Rakai Yudha Taksaka, sang Adipati dari kerajaan Ngastinapura...." Ucap gadis itu seraya mengirim kesadaran Raka keluar dari alam bawah sadarnya.
~Kuntawijaya~
Pilar cahaya yang tadinya menyelimuti tubuh Raka akhirnya memudar, menampakkan tubuh pemuda itu dalam keadaan berpendar keemasan. Tanah di sekitar tubuh Raka tampak melebur menjadi lahar akibat panas dari tubuhnya yang diluar nalar. Simbol matahari di dahi Raka kini terbentuk sempurna, menandakan kekuatan yang tadinya hanya muncul setengahnya kini telah sepenuhnya keluar. Matanya yang tadinya tertutup kini terbuka perlahan, menampakkan simbol teratai berwarna emas yang terukir di mata pemuda itu.
'[Nah, Rakai, sekarang teriakkan namaku...]' ujar suara si gadis yang muncul di kepala Raka. Raka memajukan sebelah tangannya, mengumpulkan energi berwarna keemasan bersuhu tinggi di telapak tangannya. "Muncullah, Vasavi Shakti!" Panggil Raka pelan, dan sebuah kilatan cahaya menyambar dari langit membentuk sebuah tombak yang melapisi energi emas di tangan Raka. Sembadra dan Bhuta Rambut Geni yang melihat fenomena janggal itu menatap Raka dengan terpukau karena keindahan tombak Raka.
Raka menarik nafas pelan, lalu menatap tombak itu dengan tatapan sayang. "Lama tak berjumpa, Vasavi Shakti. Bisakah kau bantu aku untuk memusnahkan Bhuta itu?" Tanya Raka ramah, yang dijawab dengan pendar lembut dari tombak itu. Si Bhuta yang mendengar perkataan Raka langsung naik darah. "[Bocah sialan! Akan kuremukkan tubuhmu sekali lagi!]" Jerit murka Bhuta Rambut Geni seraya menerjang kearah Raka. Bhuta itu melayangkan sebuah pukulan bertenaga penuh pada Raka, namun ditahan Raka dengan menggunakan pangkal tombaknya. Hembusan angin kencang terbentuk dari beradunya tinju si Bhuta dengan pangkal tombak Raka. Adu kekuatan itu dimenangkan oleh Raka, terbukti dengan terlemparnya si Bhuta sejauh beberapa meter kebelakang.
Raka menghembuskan nafas pelan, lalu menatap tajam si Bhuta yang dengan susah payah berdiri di depannya. "[Bocah sialan! Beraninya kau melemparkanku seperti tadi, akan kucabik-cabik tubuhmu hingga jadi bubur!]" Bhuta itu berteriak murka, tidak menyadari bahwa Raka sudah berjarak beberapa langkah dari tubuh besarnya. "Hei, kau tahu? Aku sudah muak mendengar ocehanmu, dasar Bhuta sialan!" Ucap Raka kesal seraya menusukkan tombaknya ke bahu kanan si Bhuta, menyebabkan sebuah pilar api panas muncul dan menembus bahu Bhuta itu. Tak berhenti sampai disitu saja, Raka lalu menebaskan ujung tajam tombak miliknya ke kedua tangan si Bhuta, membuat kedua tangan Bhuta itu putus hingga sikutnya.
Bhuta itu meraung kesakitan saat serangan Raka melukai tubuhnya, ditambah sebuah tendangan keras mengenai perutnya hingga terlempar puluhan meter kebelakang. Raka melompat dan melayang tenang di udara, tatapannya terfokus pada si Bhuta yang merintih kesakitan seperti yang ia rasakan sebelumnya. '[Rakai, waktumu akan segera habis. Setelah ini kekuatan penuhku akan tertidur kembali hingga kau bisa menguasainya secara penuh,]' ucap suara si gadis yang bersemayam dalam tombak yang Raka pegang, membuat Raka sedikit terkejut. 'Jangan khawatir, Vasavi Shakti, waktu yang kau berikan padaku untuk menggunakan kekuatan ini sudah lebih dari cukup untuk memusnahkan Bhuta itu,' balas Raka melalui telepati.
"[Kurang ajar, bocah! Akan kupastikan kau menderita karena sudah melukaiku! Kau akan mati oleh kakakku, raja dari para Bhuta di wilayah ini!]" Ancam si Bhuta yang putus asa saat melihat kekuatan Raka yang meluap-luap. Raka mengangkat tombaknya keatas kepala untuk mengambil ancang-ancang melemparkan tombaknya. Sebuah senyuman tipis tercipta di bibir Raka mendengar ancaman si Bhuta yang berdiri dan mencoba melarikan diri dengan tertatih-tatih. "Kau pikir aku akan membiarkanmu lari? Tidak! Kau akan mati disini, Bhuta sialan!" Teriak Raka seraya melemparkan tombaknya kearah si Bhuta.
Tombak itu melesat layaknya meteor berwarna keemasan dan menembus kepala Bhuta itu seperti jarum panas menembus mentega lunak. Bhuta itu mati tanpa sempat merasakan rasa sakit dari ditembus Vasavi Shakti, dan bangkainya terbakar oleh api. Raka mengarahkan tangannya kedepan, dan Vasavi Shakti kembali ke genggamannya dalam sekejap. Pemuda itu lalu beranjak turun dan menebas pagar gaib yang melindungi tubuh Sembadra, yang tampaknya sudah pulih dari dirasuki oleh roh penjaga yang ia miliki. Sembadra tampak menatap tak percaya kearah Raka, terlebih saat tombak yang Raka pegang tiba-tiba terurai menjadi butiran cahaya dan menyatu kembali dalam sosok perempuan cantik berpakaian ala Putri kerajaan Hindu di jaman dulu yang berdiri disamping Raka.
"Raka, tidak kusangka....ternyata aku benar mengenai satu hal dalam dirimu...." Gumam Sembadra yang masih memberikan tatapan tak percaya kearah Raka. "Benar mengenai apa, kalau aku boleh tahu?" Tanya Raka bingung. "[Bahwa kau memang benar adalah `Sang Adipati` yang sudah bereinkarnasi, bocah,]" ucap sebuah sosok yang tiba-tiba muncul disamping Sembadra. Sosok itu tampak mengenakan pakaian yang hampir sama seperti perempuan disamping Raka, hanya saja dengan warna yang lebih cerah.
"Sekarang, kalian semua benar-benar membuatku bingung, sejak tadi kalian mengatakan bahwa aku adalah reinkarnasi seseorang, tapi aku sama sekali tak bisa mengingat siapa aku di masa lalu," Raka berkata dengan nada ragu karena ucapan ketiga perempuan di sekitarnya. "[Tidak perlu merasa bingung, Rakai, kami akan menjelaskan semuanya padamu. Sekarang, kita harus keluar dari sini terlebih dahulu,]" ucap perempuan jelmaan Vasavi Shakti pada Raka. "Baiklah kalau begitu, tolong bawa kami keluar dari sini, Vasavi Shakti," ujar Raka menanggapi perempuan itu.
"[Kau bisa memanggilku Shinta, Rakai,]" Shinta berkata seraya tersenyum pada Raka, membuat pipi Raka memanas entah karena apa. Raka berdeham pelan untuk meredakan kegugupan yang tiba-tiba melandanya, diikuti tubuh Shinta yang bersinar terang layaknya matahari. Keempat makhluk itu akhirnya melesat ke langit, meninggalkan alam gaib yang sangat berbahaya bagi manusia biasa.
Bersambung