"Rega, teri—"
"Kalau kamu butuh teman, kamu bisa hubungi aku," ucap Rega memotong ucapan Rea.
"Hm? B—butuh, teman?" tanya Rea, bingung.
Tangan Rega mengusap lembut kepala Rea, seraya melontarkan senyum kepada wanita yang kini tengah tertegun menatapnya.
"Jika Ferdinan dan Aldy tidak memilkii waktu untukmu, aku bisa menemanimu, Re," lanjut Rega.
Rea tersenyum, memalingkan pandangan matanya, tidak ingin terpesona dengan ketampanan dan juga perhatian yang diberikan oleh Rega untuknya.
"Istirahatlah. Lusa aku akan datang lagi ke rumahmu."
***
Cklek!
Rea membukakan pintu untuk Ferdinan.
Hari ini, Aldy tidak bisa datang ke rumah Rea, karena sedang ada deadline tugas. Ia meminta agar Rea yang datang ke rumahnya bersama Ferdinan.
Rea dijemput oleh Ferdinan, untuk pergi ke rumah Aldy, dengan sebuah motor besar milik Ferdinan, yang melaju kencang menyusuri jalan menuju ke rumah Aldy. Untung saja, rumah mereka bertiga masih berada di satu wilayah, jadi perjalanan Rea dan Ferdinan tidak terlalu lama.
"Rea memang suka sekali merepotkan, maaf ya, Al," ujar Ferdinan berbasa-basi.
"Aku tidak memaksa, ya … kalau memang tidak bisa, juga tidak masalah. Masih ada hari lain. Bukankah kamu yang ingin sekali berkunjung ke rumah Al, karena ingin bermain musik," sanggah Rea, selalu dibuat kesal oleh sahabatnya itu.
"Kalian berdua, kapan ya akur? Aku seperti melihat Tom and Jerry jika melihat kalian berdebat seperti ini," timpal Aldy seraya menggelengkan kepalanya.
"Sudah cukup basa-basinya. Jadi, kami kapan diperbolehkan masuk ke rumah kamu, Al? Mau bicara di tengah pintu terus?" tanya Ferdinan memberikan kode agar segera dipersilakan masuk ke rumah Aldy.
"Ayo! Kalian yang terus berdebat, jadi menyalahkan aku yang tidak mempersilakan kalian masuk," balas Aldy, menggerutu.
Ferdinan dan Rea masuk ke dalam rumah Aldy, masih saja berebut untuk bisa masuk lebih dulu. Mereka berdua memang jarang sekali akur jika dipersatukan seperti itu.
"Al … siapa ini?"
Seorang ibu dengan baju panjang semata kaki, datang menghampiri mereka.
"Teman, Bu …," jawab Aldy, kemudian masuk ke dalam kamarnya dan diikuti oleh Ferdinan.
Sementara Rea, hanya diam di tempat.
Tidak tahu harus menunggu dimana.
"Kenapa tidak menyusul?" tanya ibu tersebut, yang tak lain adalah ibu Aldy.
"M—mereka masuk ke dalam kamar, Bu … jadi, saya harus menunggu dimana?" jawab Rea terkekeh, bingung.
"Ikut masuk saja, tidak masalah. Kamu, siapa namanya?"
"Ouh, s—saya Rea, Bu …," ujar Rea memperkenalkan dirinya, kemudian menyalami ibu Aldy.
"Pacar Al?"
"B—bukan, bukan, Bu …," sanggah Rea, panik.
"Kalau pacar juga tidak masalah … ibu suka," tutur sang ibu yang terlihat menyukai Rea.
"T—tapi memang bu—"
"Ikut ibu ke dapur, yuk! Nanti, kalau main kesini lagi, sudah tahu dimana letak-letak penyimpanan di dapur. Jadi, kamu bisa buatkan minuman untuk teman-teman Al," ujar sang ibu sembari berjalan menuju ke arah dapur. Dan Rea mengikutinya dari belakang dengan perasaan yang bingung dan serba salah.
Sementara itu di kamar Aldy …
Ferdinan sudah memegang gitar dan memainkannya. Niatnya menemani Rea ke rumah Aldy, yaitu untuk memainkan alat musik yang dimiliki oleh Aldy. Sementara itu, Aldy masih fokus dengan laptopnya, mengerjakan tugas yang hanya tinggal beberapa jam lagi akan deadline.
"Rea kemana, Fer?" tanya Aldy, tanpa menoleh pada Ferdinan.
"Tidak tahu. Terkena perangkap ibumu, sepertinya," jawab Ferdinan, tidak mau tahu.
"Kamu pikir ibuku pemburu," gerutu Aldy.
"Tadi aku lihat sepertinya ibumu menyukai Rea. Mungkin Rea sedang di sandra," lanjut Ferdinan, bicara seadanya.
"Mendengar jawaban dari kamu, membuatku naik darah. Lebih baik aku hampiri saja. Sedang apa, ya?"
Aldy beranjak, keluar dari kamarnya.
Ia mendengar suara orang yang sedang berbicara dari arah dapur. Juga terdengar suara seperti sendok yang bersentuhan dengan cangkir.
Kaki Aldy melangkah menuju ke dapur, untuk memastikan.
"Ibu? Rea?" tanya Aldy heran.
"Al?" balas Rea, sedikit terkejut.
"Kamu ngapain?" tanya Aldy, mendekat pada Rea.
"Ibu sedang memberitahu, dimana letak penyimpanan yang ada di dapur. Agar terbiasa nantinya," sahut Ibu Aldy sembari menutup toples berisi gula pasir.
"Terbiasa? Seperti setiap hari saja, Rea akan berkunjung ke rumah," gumam Aldy, tidak paham dengan maksud ibunya.
"Kamu ini … suka sekali pura-pura tidak mengerti," balas sang Ibu.
"Bu—"
"Bawa ke kamar saja ya, Rea … Ibu sudah ada janji dan harus segera pergi," ujar sang sang Ibu, tidak ingin mendengar protes dari anaknya. "Al, ajak Rea ke kamar saja. Ibu belum rapikan ruang tamu."
Ibu Aldy berlalu, meninggalkan Rea dan Aldy berdua di dapur.
"Re, kamu tidak apa-apa?"
"Ibu kamu … mengira aku pacar kamu. A—aku sudah berusaha menyanggah, ta—"
"Ssst! Sudah, tidak apa-apa. Sini, aku bantu membawanya," ujar Aldy,mengambil alih nampan yang sedang di pegang oleh Rea.
Aldy berjalan lebih dulu dan Rea mengikutinya dari belakang.
"Lama sekali … lamaran dulu, ya?" tanya Ferdinan,menyambut kedatangan Rea dan Aldy. "Wah … tidak perlu repot-repot. Aku jadi enak …."
Rea menggelengkan kepalanya dan kemudian menepuk bahu Ferdinan, kesal.
"Sudah, jangan mulai lagi!" perintah Aldy ketika melihat Rea dan Ferdinan terlihat akan bertengkar, lagi. "Fer, kamu diam saja. Silakan kamu mainkan seluruh alat musik yang ada di kamar ku. Jangan ganggu aku dan Rea."
"Siap!"
Rea terkekeh dan lagi-lagi menggelengkan kepalanya.
"Mana Rea, file yang rusak dan hilang?" tanya Aldy.
"Oh, ini," jawab Rea mengeluarkan flash disk dari dalam tasnya.
"Meski tidak bisa kembali semuanya, tapi aku berharap beberapa file yang penting masih tersisa," ujar Rea berharap.
"Bisa kembali, meski tidak semuanya. Aku coba dulu, ya … kamu banyak berdoa," balas Aldy, kemudian mencubit pipi kiri Rea.
"Cubit-cubitan, ooh …," sebuah lirik disenandungkan oleh Ferdinan, guna menggoda Rea dan Aldy yang terlihat begitu akrab.
"Mau aku pukul?" tanya Rea mengangkat tangannya.
"Rea, sudah … sudah, Rea …," pinta Aldy menenangkan Rea, yang tidak pernah bisa menahan emosinya jika sudah berhadapan dengan Ferdinan.
***
Sunyi.
Ferdinan tertidur di atas tempat tidur Aldy dengan memeluk gitar akustik milik Aldy.
Ia lelah bermain gitar sembari menyanyi, untuk menunggu Rea dan Aldy yang sedang mengembalikan file milik Rea yang hilang di dalam flash disk.
Bukan hanya Ferdinan saja. Rea juga terlihat sudah lelah, menunggu terlalu lama.
Ia tidur dengan menyandarkan kepalanya di atas meja belajar Aldy, tepat di sebelah laptop.
Aldy hanya tersenyum melihat kedua sahabatnya yang kelelahan hingga tertidur pulas seperti itu. Aldy juga mengambil foto Rea yang sedang tidur, dengan ponselnya. Ia terkekeh, lalu mengusap pelan kepala Rea. Bukannya terbangun, Rea justru semakin nyenyak karena usapan lembut yang diberikan Aldy untuknya. Aldy hanya tersenyum, tidak tega untuk membangunkannya.