webnovel

CH.231 Tersenyum

Kerja keras memang boleh, diperlukan bahkan, tetapi jangan lupa bahwa disetiap kerja keras yang ada, berhenti untuk istirahat juga penting. Buatku yang selalu bekerja keras dan hampir lupa diri, Kiera ada untuk selalu memperingatkanku. Itu pun sebenarnya kadang aku masih mau menerobos karena memang kerjaan belum selesai, tanggung gitu rasanya.

Kalau sampai aku tidak mendengarkan ucapan Kiera, bukannya marah, tetapi Kiera malah mendiamkanku dan meninggalkanku begitu saja. Memang sih akhirnya bebas, tapi itu berlaku kalau tidak mengenal sifat Kiera. Kiera kalau sudah diam saja itu mengerikan, artinya dia sudah mulai tidak peduli lagi dengan apa yang aku lakukan.

Buatku yang gila akan perhatian, tentu saja aku langsung saja meninggalkan pekerjaan bodoh itu dan memeluk Kiera dari belakang sambil minta maaf ke Kiera yang ngambek. Kalau sudah ngambek itu susahnya minta ampun. Coba saja orang lain di posisiku, bisa gila lama-lama.

"Papa, papa, kemarin papa pergi ke mana kok pulangnya sampai malam sekali? Feliha tidak melihat papa sejak pagi, sampai malam pun tidak."

"Ahh, papa ada urusan hari itu. Feliha mencari papa?"

Baru saja aku merilekskan diri dari urusan-urusan seperti itu, aku tiba-tiba dihadapkan dengan Feliha yang sifatnya tidak banyak berbeda denganku kalau soal menanyakan pertanyaan. Kalau pertanyaanku rentetan kereta, beda dengan Feliha, seluruh kereta di dunia ini digabung bahkan lebih panjang.

Anak baru hampir berumur 5 tahun, tetapi otaknya sudah terlatih untuk berpikir yang cukup kompleks. Mungkin anak ini sebenarnya sudah terlatih untuk bisa membaca segala sesuatu secara luas, tipe observan yang mirip denganku. Ternyata memang bukan hanya karena anak ini keturunanku, tetapi dia membawa gen yang mirip denganku dan sifat yang sama juga.

"Iya, kata mama, papa sedang bekerja. Apa papa melakukan pekerjaan yang berbahaya lagi? Seperti yang waktu itu papa melindungi mama dan Feliha?"

"Uhh… tidak berbahaya sih sebenarnya."

Ingin sebenarnya aku menghindari berkata bohong, tetapi Feliha melihatku seperti membaca buku, terlihat dengan jelas. Mata dan perasaan anak ini jeli sekali, di satu sisi observan mirip denganku, di sisi lain mirip dengan Kiera yang perhatian dengan sangat berlebihan.

Terkadang hal simpel begini pun bisa membuatku begitu bahagia. Bukankah waktu itu aku mencari arti kehidupanku? Tujuan selama aku hidup dan bernafas? Memang hidup bisa saja dijalani, tetapi sadar tidak sadar setiap orang membuat tujuan untuk digapai sebisa mungkin. Ada yang berkata karirnya harus bagus, tetapi ada yang berkata hidup simpel di pinggir kota juga tidak kalah baiknya.

Setiap alasan itu milik seorang masing-masing, tidak ada yang bisa memaksakan idealnya kepada orang lain. Terkadang orang sampai lupa betapa hidupnya berharga buat orang lain walau dirinya berpikir bahwa dia tidak berguna dan hanya seonggok sampah. Manusia punya keterbatasan, orang lain menutupinya dan menyempurnakan itu, itulah keluarga, yang paling dicintai.

"Papa… Feliha tahu papa berbohong lagi. Kenapa papa suka membahayakan diri sendiri? Feliha takut kalau sampai kehilangan papa."

"Tenang saja, papa tidak akan kalah sebegitu mudahnya."

Tersenyum dan terus melangkah, tidak banyak bedanya dengan waktu itu aku masih belum menemukan tujuan hidupku. Namun ada yang berbeda, kalau dulu aku tersenyum untuk kebahagiaan orang lain, sekarang aku tersenyum untuk diriku juga. Karena itulah, aku bahagia, aku tersenyum.

Mungkin, kalau saja mungkin aku memperbaiki tindakanku lebih cepat daripada ini, apa yang tidak perlu terjadi bisa dihindari saja. Contohnya aku tidak akan hidup dengan berbagai tubuh sampai beribu, puluh ribuan tahun.

Semakin menguningnya daun, orang berkata bahwa itu adalah akhir dari segalanya. Tidak, salah, justru saat daun itu menguning, itu artinya dia mencapai puncak kebahagiaannya. Saat gugur, bercampur dengan tanah, perjuangannya selama ini menjadi pupuk untuk daun-daun hijau yang baru. Itulah kenapa aku juga berniat memperbaiki semua sikap keturunanku yang buruk.

"Walau begitu Feliha tetap saja khawatir."

Kalau mengambek lucu amat sih Feliha, aku jadi ingin memeluknya erat sambil bercanda di atas kasur. Namun ada saatnya bahwa aku hanya bisa menahan diri dan tersenyum saja dari kejauhan melihat Feliha. Feliha adalah salah satu contoh bahwa aku berhasil menyelamatkan satu dari semua keturunanku.

Aku tersenyum juga tertawa bukan karena aku tidak serius atau hanya bercanda saja. Bisa dibilang aku mudah tersenyum hanya oleh hal sekecil apa pun. Tidak perlu hal yang terlalu besar untuk membuatku mencari kebahagiaan. Anggap saja bersama keluargaku sudahlah menjadi sesuatu yang mampu membuatku tersenyum.

Simpel memang, tetapi orang melupakan hal yang terbilang simpel itu dengan mengejar sesuatu yang terlalu besar dan muluk-muluk. Buat apa tujuan besar, tetapi yang kecil saja tidak mampu. Mending melatih diri terlebih dahulu sebelum mengambil sesuatu yang lebih besar supaya dirimu dapat berkembang juga.

"Feliha tidak percaya kepada papa? Memang Feliha tidak melihat kekuatan papa waktu itu? Masih meragukan ya?"

"Ehh tidak, tidak, maksud Feliha adalah bisa saja papa menghadapi yang di luar kemampuan papa, hal itu memungkinkan bukan? Termasuk kalkulasi papa kan?"

Ini anak jeli sekali, bahkan dia memperhitungkan faktor yang pengaruhnya begitu kecil. Mungkin kalau dilatih dengan benar, Feliha bisa saja menjadi jenius. Namun itu semua kembali kepada keputusannya, orang tua hanya bisa melakukan yang terbaik dan mempersiapkan segalanya untuk anak-anaknya.

Mungkin memang, anak menjadi jenius dan pasti menjadi terkenal itu bagus, tetapi tekanannya juga menjadi semakin besar. Tuntutan orang kepadanya juga semakin besar pasti, tidak mungkin tidak. Sedangkan yang kuinginkan adalah Feliha hidup bebas dan tenang saja. Nama boleh terkenal, tetapi mental terus tererosi apa gunanya?

"Masuk kok, papa sudah memperhitungkannya. Feliha jeli sekali ya?"

"Hehehehe, kan Feliha belajar dari papa juga. Feliha sekali-sekali melihat papa bekerja jadi Feliha tahu sedikit demi sedikit kalau papa tidak pernah meninggalkan segala kemungkinan yang ada."

Kemampuannya begitu baik, mengobservasi tindakanku begitu saja bisa. Namun dibanding itu, aku tidak ingin Feliha menjadi diriku yang dulu bahwa mengorbankan kesenangan bagi kemampuan. Kalau kemampuannya saja yang dihargai, guna apa kamu hidup. Namanya kemampuan, orang lain juga kalau mampu pasti bisa.

Sebenarnya parameter mana yang harus kulakukan dan mana yang tidak itu gampang. Kalau memang itu baik buatku dan itu bisa membuatku tenang dan senang, maka itu akan kulakukan. Tentu saja begitu juga kebalikannya, guna apa bekerja tetapi mengomel terus-menerus.

"Feliha pintar sekali ya? Padahal belum sekolah."

"Papa, papa, ngomong-ngomong soal sekolah, kapan Feliha bisa ke sekolah? Feliha tidak sabar membuat teman-teman dengan yang lainnya."

Lihat betapa bahagianya Feliha hanya karena satu kata sekolah, benar-benar ini yang dinamakan kebahagiaan, simpel bukan? Apa yang besar dari sekolah? Kurasa lebih banyak orang tidak menyukainya dibanding menyukainya. Namun anak ini semangat untuk bisa mencari teman dengan yang lainnya.

Walau aku ingin langsung memasukannya ke TK karena itu yang paling mencukupi sekarang, aku masih perlu bertanya kepada Kiera. Bagaimana pun namanya hidup sebagai keluarga, segala keputusan harus dirembug bersama, kalau tidak pasti ada yang menang karena egonya.

"Bagaimana kalau kita tanya mama dulu? Papa sih menyetujuinya saja."

"Mama? Hn! Oke deh kalau begitu."

Kebiasaan kami di rumah biasanya tidak begitu banyak, kecuali aku tentu yang selalu bekerja. Mungkin aku memang tidak terlihat punya banyak pekerjaan, tetapi karena barusan aku berhubungan dengan dunia sana yang terisi oleh monster-monster, aku menjadi sibuk sekali.

Sedangkan Kiera dan Feliha biasanya sering-sering ke rumah Shin dan Lala. Saat Kiera dan Lala mengobrol, Feliha bermain dengan Tsuzumi yang dulu juga dekat denganku. Sekarang aku masih penasaran apakah pandangan Tsuzumi terhadapku berubah lagi setidaknya ke arah baik lagi tidak ya? Dibenci orang itu memang sudah biasa, tetapi aku ingin meminimalisir itu.

"Mama, bolehkah Feliha masuk ke sekolah? Feliha ingin bersekolah dan membuat teman!"

"Huh? Feliha ingin bersekolah?"

Tentu saja karena Feliha datang denganku, Kiera langsung mengalihkan pandangannya ke diriku sambil memasang muka 'apa yang sebenarnya sedang terjadi'. Tidak ada awan gelap, tidak ada hujan, tetapi tiba-tiba petir datang, itu perasaan Kiera sekarang kutebak. Benar-benar petir di siang bolong pertanyaan Feliha itu.

Aku yang hanya bisa menerima permintaan Feliha hanya bisa membalas dengan senyum kecil dan kedua pundak yang kunaikan. Itu memberikan tanda untuk Kiera menjawab apa saja yang terbaik dan terserah yang Kiera mau. Tidak ada paksaan, hanya sebuah permintaan dari Feliha.

"Tentu saja! Di rumah memang menyenangkan, tetapi Feliha juga ingin punya teman sebaya Feliha yang bisa Feliha ajak bicara."

"Begitu ya…?"

"Tidak boleh…?"

Kalau aku diposisi Kiera dan melihat wajah imutnya bertanya dengan sedikit mewek, aku pasti akan menerimanya langsung. Orang tua paling tidak tega mendengarkan tangisan anaknya sendiri, atau harus kutambahkan tujuh keturunan dibawahnya sendiri, hahahaha.

Seharusnya Kiera juga mengerti keinginan Feliha seperti apa, dan sebagai perempuan seharusnya Kiera mengerti perasaan Feliha. Susah terkadang memahami perasaan perempuan, tetapi karena sudah pernah hidup sebagai Kioku penuh sebagai perempuan, setidaknya sampai aku mendengar penjelasan dari Alter Egoku, aku bisa mengetahuinya banyak.

Seorang mama itu paling sukar menerima segala macam permintaan anak-anaknya karena tentu dia tidak ingin membiarkan anak-anaknya menderita. Biarkan saja orang tua yang menghalangi penderitaan yang besar itu mengenai anak-anak mereka, karena itu tugas orang tua menjagai anaknya sendiri dengan pasti.

"Ahhh boleh-boleh, mama setuju kok. Minta papa urusin sana."

"Benarkah? Yeayy, papa tolong masukin Feliha ke sekolah mana pun. Feliha sudah tidak sabar masuk ke sekolah!!"

"Hahaha, iya deh. Nanti papa riset soal sekolah man yang Feliha bisa masuk. Oh ya Feliha ingin masuk ke sekolah yang khusus perempuan atau yang campur?"

Dulu variasi seperti ini jarang karena tingkat keamanan di negaraku dulu besar. Namun sekarang semakin banyak tindak kriminal yang berbahaya dan mengancam. Bisa saja anak kecil yang orang tuanya adalah kriminal juga akhirnya bertindak sebagai kriminal.

"Campur saja!!"

"Baiklah, itu anak papa yang semangat dan yang senyumannya indah."

Next chapter