Delvis menemui Figo yang sedang duduk sembari meminum segelas kopi, yang sepertinya dia pesan di mini market.
"Sedang apa di sini?" tanya Delvis, kemudian ikut duduk di bangku single yang ada di depan Figo. Suasana malam sangat terasa, angin malam juga terasa masuk ke dalam, sepertinya jika Delvis lebih lama lagi di luar begini, dia akan masuk angin.
Di atas meja, Delvis melihat ada sebungkus rokok, satu buah handphone dan satu gelas kopi dengan tulisan penyemangat yang ada di badan gelas. Tulisan yang biasanya orang lain, sengaja untuk memfotonya dan mereka upload di media sosial, difoto sebagus mungkin, agar terlihat menarik.
Figo tidak heran, ataupun terkejut ketika melihat Delvis bisa menemuinya. Karena, Figo sudah tau. Delvis berada di rumah sakit ini. Sewaktu, dia mengintip Zalfa tadi. Selain itu, di parkiran Figo melihat mobil Delvis ada di sana.
"Nongkrong mungkin," jawab Figo sembari menyesap rokok yang tersisa hanya setengah lagi.
Delvis tersenyum, Figo selalu punya jawaban yang tidak Delvis pikirkan sebelumnya.
"Kenapa tidak masuk, Kamu mau menemui Zalfa bukan?" Delvis tau, kedatangan Figo bukan untuk nongkrong, melainkan bertemu dengan Zalfa.
"Wanita itu sudah banyak yang menjaganya, memang salah, kalau Saya datang ke sini? Ini kan tempat umum, banyak orang yang sakit, kenapa juga harus menjenguk wanita yang sudah membuat hidup saya berantakan. Sama sekali tidak berguna." Kata-kata pedas itu, sama sekali tidak membuat Delvis tersinggung ataupun marah.
"Lalu, kenapa tadi mengintip?" tanya Delvis. Lelaki itu, melihat Figo yang tidak jadi masuk ke dalam ruangan Zalfa.
"Salah masuk kamar." Jawab Figo ngasal.
Delvis tertawa sedikit keras, sampai beberapa orang melihat ke arahnya, ada beberapa orang merasa pria itu aneh, tapi selebihnya mengatakan bahwa mereka tidak masalah, karena ketika melihat orangnya, wajah Delvis menolong.
"Sebenarnya apa yang membuat Kamu, masih menolak kenyataan bahwa Kamu masih menyayangi Zalfa sepenuhnya?" pertanyaan itu keluar, pertanyaan yang sering kali Delvis tanyakan jika ada kesempatan.
"Karena hidup itu harus egois, dan jangan lemah." Figo, si manusia berhati batu.
"Memang siapa yang bilang kalau Kamu lemah?" tanya Delvis mencoba mengusik Figo lewat perkataannya.
"Kita sudah bahas ini sebelumnya, Jika Anda tidak paham juga, sebaiknya jangan bertanya lagi, karena Saya tidak memiliki jawaban yang Anda inginkan."
"Ervina datangi Saya, ternyata masalah kalian masih sama." Delvis tidak berbohong, Eebina memang menemuinya.
"Tolong jangan ikut campur!" Figo menekan semua kata yang dia ucapkan. Rahangnya sudah mulai mengeras, tapi sebaliknya. Delvis tetap biasa saja.
"Dia yang mendatangi Saya, dia yang menangis kepada Saya, karena ulah Kamu, katanya. Saya tidak tau siapa yang benar dan siapa yang salah, jika Kamu, tidak pernah memberitahukan kebenarannya."
"Saya bisa urus semuanya sendiri."
"Urusan apa yang benar-benar bisa Kamu selesaikan dengan baik? Kamu dan Zalfa sudah terlalu lama, bahkan kalian mempermainkan Ervina jika begini." Dia sudah membicarakan hal ini berkali-kali. Tapi, Figo berkali-kali juga tidak pernah memberikan penjelasan yang sejelas-jelasnya.
"Siapa bilang? Siapa yang minta untuk dikejar-kejar Zalfa? Enggak ada kan, hubungan saya bersama Ervina baik-baik saja. Sebelum datangnya Zalfa ke kehidupan kami."
"Zalfa yang hadir, atau Kamu yang memancingnya untuk mendatangi kehidupan Kamu?"
"Sudahlah,"
"Apa perlu saya yang selesaikan ini semua. Kamu terlalu pengecut."
"Berhenti mengurusi segala urusan Saya."
"Terserah."
Delvis berdiri. Dia tidak tau, bagaimana caranya agar Figo luluh, sejauh ini dia sudah berusaha mengupayakan yang terbaik, tapi Figo tidak pernah bisa menerimanya dengan baik. Delvis jelas, menginginkan agar tidak ada yang terluka dalam permainan ini. Terutama Zalfa, yang sering kali menangis dan Delvis merasa, yang sangat amat dirugikan dalam hubungan percintaan ini adalah Zalfa.
Perempuan itu, hanya terlihat kuat, tapi dia sebenarnya sangat rapuh. Delvis lelah melihat Zalfa diam-diam menangis sendirian, dia tahu bagaimana Zalfa, siapa wanita itu, tapi tidak tau apa yang sebenarnya ada dalam hati dan pikiran Zalfa, sampai perempuan itu sangat ngotot, agar Figo harus bisa dimilikinya.
Delvis memukul stir mobilnya. Dia bahkan rela untuk menjadi terbaik, melindungi Zalfa, atau apapun yang bisa membuat perempuan itu bahagia, asal jangan lagi, Zalfa menangis dan tersakiti karena Figo. Delvis yakin, suatu saat nanti, lelaki itu akan sangat merasa kehilangan dan juga bersalah. Delvis menjalankan mobilnya, dia keluar dari area rumah sakit, setelah membayar parkir.
Figo sudah terlalu lama berada di sini, dia bahkan sempat ketiduran, beruntung handphonenya tidak ada yang mengambil, dia kembali kepikiran dengan apa yang dikatakan Delvis, dia merasa apa yang dikatakan Delvis memang benar, dia membuang bekas gelas kopi itu ke tempat sampah, lalu mengantongi rokoknya. Dan pergi dari depan minimarket itu, dia ingin menemui Zalfa, dia berdoa semoga Dewan sudah tidur, dan Zalfa belum, agar dia bisa masuk.
Sementara itu, Zalfa terusik dari tidurnya, dia memimpikan sesuatu, sampai membuatnya sedikit gelisah.
"Kenapa?" tanya Dewan yang baru keluar dari kamar mandi, lelaki itu habis wudhu. Karena sekarang sudah pukul dua pagi.
"Enggak, cuma aus," jawab Zalfa. Dia tidak mungkin, memberitahukan isi mimpinya pada Dewan.
"Emang diinfus bisa buat kita aus ya?" Pertanyaan konyol itu disambut senyuman oleh Zalfa.
"Dikira, infusannya diminum."
"Udah malem, ngelucu aja kerjaan Lo," ujar Zalfa.
"Udah pagi kali. Lagian Lo kebangun karena gue gak ada di samping Lo kan, ngaku aja."
"Enak aja, mana sudi. Gue kebangun karena ada suara air, Gue pikir ada setan, keran air jalan sendiri."
Definisi cewek selalu benar dan jago ngejawab adalah Zalfa.
"Gue laper nih, enaknya makan apa ya?" Ujar Dewan, dia hanya ingin mengetes Zalfa saja. Biasanya, orang kalau bengun tengah malem, antara kebelet, lapar atau belum sholat.
"Nasi goreng," jawab Zalfa cepat, dia membayangkan nasi goreng abang-abang di grobak. Malam-malam begini makan itu kayaknya enak."
Dewan tersenyum, tidak salah. Zalfa memang lapar. Tapi, dia hanya hanya sebentar memperlihatkan senyumnya, setelah itu dia berpura-pura biasa saja.
"Yaudah, Gue beli dulu," ucap Dewan.
"Jangan.. nanti dimarahin sama dokter."
"Jangan bilang-bilang kan bisa," jawab Dewan.
"Tapi,"
"Emang dokter bilang Lo gak boleh makan apa?"
"Enggak ada sih, cuma jangan makan sembarangan aja."
"Nah itu tau, Lo kan gak makan sembarang, orang makan nasi goreng, iya kan? Kalau makan sembarangan mah, makan di tengah jalan kali," uajr Dewan, mampu membuat Zalfa berpikir, apa yang diucapkan Dewan memang benar.
"Iya ya, dokternya ngelucu."
"Yaudah, Lo tunggu aja sini, Gue mungkin agak lamaan," ujar Dewan. Dia hendak pergi ke musolah dulu soalnya. Lagipula, mencari tukang nasi goreng grobak jam dua pagi dimana? Pasti semuanya sudah pada pulang biasanya mereka hanya
"Iya, ok."
Figo berlari ke arah samping, kala pintu itu terbuka dan Dewan terlihat keluar dari sana. Setelah dirasa cukup aman, barulah Figo masuk ke dalam ruangan itu.