Tentang Dion Mahardika, CEO muda yang memiliki segalanya. Pendidikan tinggi, Pekerjaan baik, Kekuasaan, Kekayaan, wajah yang tampan dengan tubuh tegap menawan. Tidak ada yang tidak terpesona dengan sosoknya yang berkharisama, semua orang mengaggumi Dion seperti tanpa celah. Tapi justru itulah letak celah itu berada, pria sempurna seperti Dion yang menyembunyikan sisi kelamnya dengan baik. Pria matang dengan kehidupan seksualitasnya yang menyimpang. Semuanya berjalan lancar dengan sempurna hingga akhirnya ibunya mengetahui penyimpangan itu, dan mengharuskannya menikahi gadis buta dari panti yayasan ibunya. Tentang Luna sarasvantika, gadis blasteran eropa yang buta karena sebuah kecelakan di negeri nan jauh dari kotanya yang juga merenggut kedua orang tuanya. Luna diasingkan keluarganya, tidak ada yang mau merawat gadis cacat sepertinya sampai pada akhirnya mereka memutuskan membuang Luna di panti asuhan dimana tempat terakhir orang tuanya meninggal. Luna berhutang budi dengan ketua yayasan, hingga ia merasa harus membalasnya dan ide gila yang ditawarkan ketua itu membuat Luna tidak memiliki pilihan lain selain menyetujui.
Aku menatap wajah ibu yang kemerahan menahan amarah. Kulihat air matanya yang masih turun deras meskipun ribuan maaf telah kusampaikan. Aku juga mendengar suara Chika menangis dibalik tubuhku. Adik perempuanku satu-satunya ikut meratapi nasib kakaknya. Sebelum datang dan bersimpuh dihadapan ibu, aku telah bersiap menghadapi kemarahan ibu dengan amukan. Apapun itu.. pukulan, tendangan, tamparan aku siap menerimanya. Tapi ternyata yang kudapatkan adalah yang paling menyakitkan, ibu tidak melakukan apapun padaku, hanya ada guratan lelah diwajahnya juga perasaan kecewa yang mendalam tampak enggan menatapku. Rasanya sakit sekali mendapat penolakan dari orang yang paling kucintai di bumi ini. Aku tidak menyangka rasanya akan seperti ini.
"Bu... Maafkan Dion." Suaraku terdengar parau, akupun tak bisa menahan tangisku. Dari banyak hal yang kulakukan, hal yang paling kuhindari adalah membuat ibu menangis. Tapi hari ini bukan hanya membuatnya menangis, aku telah menghancurkannya. Tapi aku bisa apa, ini bukan kehendakku, aku melangkah sesuai hatiku. Meski ini menyalahi kodrat, aku bahagia menjalaninya. Aku merasa hidupku benar-benar milikku.
Suara ibu yang sesegukan semakin menorehkan luka dalam pada diriku, aku hendak menggenggamnya tapi dengan cepat ibu menghempas tanganku jauh. Apakah ibu sangat membenciku?
"Bu.." aku kembali memanggilnya dengan lembut, tapi ibu masih diam seribu bahasa. Sampai setelah bermenit-menit terlewatkan, ibu akhirnya menghela nafas, air matanya masih turun namun tak lagi deras seperti air terjun. "Kamu mengecewakan ibu Dion. Sangat..."
"Dion minta maaf bu." Hanya itu yang mampu kuucapkan, aku tidak ada hak lagi bersuara. Semuanya murni kesalahanku. Ibu kembali menangis deras, sesaknya dada dapat pula kurasakan. Aku menjatuhkan kepalaku diatas pangkuannya, tanganku mencengkram erat pakaian ibu, seolah semua perasaanku dapat tersampaikan dengan baik. "Kenapa sampai seperti ini Dion? Apa salah ibu padamu? Aku membesarkanmu dengan mempertaruhkan seluruh hidupku! Dan ini balasanmu terhadapku? Kamu ingin membunuh ibu?"
Aku lantas mengangkat kepalaku, menggeleng dengan cepat tuduhan ibu kepadaku. "Enggak bu, Dion enggak bermasud kaya gitu."
"Lalu kenapa? Oh Tuhan Dion. Ibu harus bagaimana?" Ibu menutup wajahnya dengan tangan membuatku semakin mengepalkan tanganku juga.
"Dion minta maaf. Dio—"
"Putuskan hubunganmu dengannya." Yang kutakutkan akhirnya diungkapkan juga oleh ibu, aku tahu ibu pasti mengatakannya. Aku juga sadar telah menghancurkan perasaan ibu, melukainya dengan bilah tajam, tapi meskipun begitu.... Aku tidak bisa menerimanya. Itu juga hal sulit yang dapat kuterima.
"Dion...Di.. Dion tidak bisa bu, maaf..." Sesalku mengatakannya. Aku kembali menundukan kepala, tidak berani memandang beliau. Aku mencintainya, apa yang salah? Kami saling mencintai! Tidak melukai siapapun terkecuali ibuku, aku paham. Ini dosa besar! Aku juga paham. Tapi siapa yang memberikan perasaan ini? Siapa yang menghendakinya? Apa aku punya kuasa? Bukan aku yang menginginkannya. Tapi takdir...
"Oh Tuhan Dion, apa yang harus kulakukan padamu! Kamu telah mencoreng nama keluarga! Kamu bahkan telah menusuk ibu dengan kejam!"
"Dion mencintainya bu, perasaan kami tulus. Kami tidak saling menyakiti. Apa salahnya mencintai?"
"Perasaanmu salah Dion. Cintamu menyimpang, tidak pantas kamu mengatakannya dihadapanku begitu! Kamu menyalahi kodratmu sebagai seorang pria! Kamu seharusnya mencintai seorang wanita!!! Bukan Pria!!!!!!!!" Ibu memekik kencang, tubuhnya kembali bergetar dengan pipinya yang kembali basah. Aku tidak tega melihatnya seperti itu, aku hendak memeluknya tapi ibu mendorongku menjauh dengan seluruh kekuatannya. Bagiku kekuatan ibu tidak ada apa-apanya. Aku bahkan tidak bergerak sama sekali. Ibu terus mendorong, Sampai ibu memilih menyerah lalu menangis dipundakku. Aku memeluk ibu erat.
"Kamu harus dibenarkan! Apapun akan ibu lakukan untukmu nak. Kamu harus berubah. Kumohon jangan seperti ini."
"Bukan Dion yang menginginkannya bu. Tapi perasaan ini yang memilih. Aku mencintainya dan aku tidak bisa menolak perasaan itu." Aku merasakan pukulan kecil dipunggungku. Ibu memukulku berulang kali. Aku tidak mempermasalahkannya sudah kukatakan aku sudah siap menerimanya. Lagipula ini tidak menyakitkan. Ini bahkan tidak ada apa-apanya dibandingkan hati ibu yang terluka.
Ibu melepaskan pelukannya, wajah kami begitu dekat. Ibu membelai wajahku penuh sayang, yang malah membuat tangisanku semakin keras. Aku tidak tahan melihat ibu seperti ini. Brengsek! Sialan! Damn it! Aku ingin membunuh diriku sendiri.
"Tinggalkan Dion. Aku akan mencari pasangan untukmu. Kau akan segera menikah!"
***
Aku kembali ke apartemenku setelah mendapat ultimatum ibu, beliau tidak main-main dengan perkataannya. Sudah kupastikan aku akan menikah entah dengan siapa. Aku tidak dapat menolak sebab ibu mengancam tidak akan bisa kutemui lagi bahkan hanya sekedar untuk melihat mayatnya ketika ibu benar-benar melakukan ancamannya.
Aku tidak bisa berpikir jernih pada saat itu, selain mengiyakan permintaan ibu. Lalu bagaimana nasib hubunganku dengan Ray? Haruskah kami mengakhirinya? Aku membuka pintu unit perlahan. Aroma masakan enak langsung tercium hidungku. Aku menuju ruang dimana bau itu berasal dan mendapati Ray tengah mengaduk masakannya. Melihatnya isi kepalaku kembali bertanya-tanya dalam benakku bisakah hatiku melepaskannya?
Sepertinya Ray menyadari kedatanganku, ia segera menolehkan wajahnya dan tersenyum manis menyapaku. Ray berperawakan normal layaknya diriku, tubuhnya berotot, tinggi badannya 180 sama sepertiku, wajahnya tampan dengan rambutnya yang di selalu disisir ke belakang. Matanya yang kebiruan membuatnya semakin terlihat mengesankan. Tidak ada sisi feminim dari dalam dirinya, ia bahkan sangat berwibawa. Tidak akan ada yang menyadari bahwa kami memiliki hubungan gelap dibelakang. "Sayang kau sudah pulang? Aku masak sup kesukaanmu." Ray mendekat setelah sebelumnya mengecilkan kompor yang tengah memasak supnya. Aku mengangguk kemudian mendapat kecupan di keningku.
Saat Ray hendak mencium bibirku, aku mengalihkan wajahku dengan alibi sedang sariawan. Ray terlihat akan memperotes tapi kemudian hanya mendengus sembari berlalu.
"Ada apa? Kau kembali dengan wajah sembab begitu?" Ray bertanya dengan nada sedih, aku bisa merasakannya.
"Ibuku sudah tahu semuanya." Ucapku kemudian. Aku melihat Ray tampak menegang tanpa enggan memutar tubuhnya. Kami sudah membicarakan masalah ini sebelumnya, suatu saat hubungan kami pasti akan tercium baunya oleh ibu. Ray tidak punya keluarga, dia tidak terlalu masalah dengan hubungan ini tapi untukku... aku tidak bisa mengabaikan ibu begitu saja. Bagiku ibu dan Chika juga segalanya. Tidak ada lagi yang lain setelah bajingan yang tidak akan pernah kusebut ayah pergi meninggalkan luka untuk keluarga kami, terkhusus untukku. "Ibu.. ingin aku menikah Ray. Dengan... seorang wanita." Aku mendengar bantingan keras dari gelas kaca yang pecahannya berhamburan dilantai. Ray tidak menjawab apapun selain bereaksi seperti itu lalu meninggalkanku setelah membanting pintu keras.
Memanjat pangkal hidungku, aku kembali menangis. Sial! Kenapa rumit begini.