Setelah Luna bangun pagi harinya, dia tidak melihat Galang di dalam rumah, hingga dia selesai sarapan. Gadis itu merasa agak lega juga karena setelah kejadian tadi malam, dirinya malu bila berhadapan dengan Galang sekarang.
Namun, saat akan berdiri dari kursinya, Luna tersentak kaget saat melihat Galang yang menuruni tangga dan menatap dirinya.
Dia langsung menundukkan kepalanya, dan berteriak, "Paman, aku berangkat sekolah dulu!" Dan segera berlari keluar rumah menghindari Galang.
Setelah masuk ke dalam mobil, Luna menghela napas lega. Dia mengecup dahinya yang berkeringat karena habis berlari dan gugup tadi.
Tapi setelah dia menunggu beberapa saat, dia merasa ada yang tidak beres, sebab Hilman tidak segera menjalankan mobilnya dan hanya diam di kursi pengemudi.
"Pak Hilman, kenapa tidak berangkat?" tanyanya bingung.
Saat akan menjelaskannya, Hilman terdiam dan dapat melihat pintu belakang dibuka.
Luna terkejut saat mengetahui Galang yang masuk dan duduk di sebelahnya. Segera setelahnya, Fero masuk ke dalam mobil, kemudian duduk di depan, sebelah Hilman.
"Uhm, Paman. Apa kau tidak salah masuk mobil?" tanya Luna.
Saat pria itu menoleh dan menatapnya, Luna menjadi gugup.
Kenapa dia ikut naik mobil ini? batin Luna.
Galang menoleh ke arah Hilman, mengabaikan Luna, dan segera berkata, "Berangkat."
Sedangkan, Fero yang melihat sikap Direkturnya hanya bisa menghela napas pelan.
Dirinya mengetahui ada perbedaan dalam diri Galang, setelah sikap dan kepribadian Luna yang berubah, namun dia tidak pernah membicarakan itu pada Galang dan hanya diam.
Di belakang, Luna bergeser sejauh mungkin dari Galang, untuk menghindari terlalu dekat dengannya. Namun, Galang melihat ke depan dan sepertinya tidak memperhatikan gerak-gerik gadis itu.
Hingga, mobil berbelok di tikungan yang tajam, yang membuat tubuh Luna oleng dan terjatuh di pangkuan Galang.
Gadis itu terkejut dan saat akan bangkit, tubuhnya ditarik kembali oleh Galang dan malah pria itu mendudukannya di pangkuan.
"Luna, lihat aku!" Galang memegangi wajah Luna dan menariknya lebih dekat ke wajahnya, membuatnya menatapnya.
"Kejadian seperti tadi malam, atau bahkan hal-hal yang lebih intim dari itu, aku pasti akan melakukannya denganmu cepat atau lambat! Bahkan, akan lebih dari sekali! Kau masih mau bersamaku?" kata Galang dengan putus asa. Pria itu tahu jika dirinya terlalu berlebihan tadi malam.
Malam itu pikirannya kacau dan saat melihat Luna, dia sangat menginginkan gadis itu. Tapi dia tidak tahu jika Luna sangat pemalu dan begitu lugu kemarin malam.
Galang tidak pernah melihat relasi itu saat dia mencium Luna.
Pria itu memeluknya lebih erat. Sungguh dia sangat mencintai Luna! Gadisnya.
Dihadapan gadis itu, dirinya sungguh tidak berdaya.
"Aku tahu" ujar Luna pelan.
Hilman dan Fero yang mendengar percakapan keduanya terkejut.
Apa yang dilakukan Tuan Muda dan keponakannya itu tadi malam? batin mereka bertanya-tanya.
Galang menundukkan kepalanya dan mencium dahi Luna dan berkata, "Bagus."
Ciumannya turun ke hidungnya, dan kemudian mendarat di bibir merah mudanya, dan menciumnya lebih dalam.
Luna meremas kemeja Galang hingga kusut, memejamkan kedua matanya, dan balas menciumnya dengan wajahnya yang mendongak ke atas.
Galang yang melihat gadisnya membalas ciumannya, tersenyum dalam ciuman mereka dan semakin mengeratkan pelukannya.
Hingga, suara Hilman membuat mereka berdua menghentikan ciuman panasnya.
"Sudah sampai, Nona" ujar Hilman.
Dalam pelukan Galang, Luna terengah-engah, mendongakkan kepalanya dan berkata, "Paman, aku harus pergi ke sekolah."
Di lain sisi, Galang sebenarnya tidak ingin melepas Luna, namun dia menahan dirinya dan membuka pintu mobil di sebelahnya.
Dia mengusap pelan bibir luna dengan ibu jarinya sambil berkata, "Jangan berdekatan dengan laki-laki itu, lagi! Juga laki-laki lain di sekolah. Paham?"
Luna cemberut dan membalas, "Kalau begitu kau bisa merantaiku, hingga aku tidak bisa dekat-dekat dengan teman laki-lakiku, bahkan perempuan juga."
Galang tersenyum, dan berpikir jika itu adalah ide bagus juga, karena Luna tidak akan dekat-dekat dengan siapapun lagi, kecuali dirinya.
Gadis itu turun dari pangkuannya dan segera pamit, "Paman, aku pergi ke sekolah dulu." Kemudian segera keluar dari mobil.
Saat berjalan di koridor sekolah, Luna berpikir jika Galang bisa mengelabuinya tadi malam, bagaimana pria itu membatasi pergaulannya dengan teman laki-lakinya. Setidaknya sebelum pentas seni selesai, dia masih harus berurusan dengan Ezra dan membantunya.
Luna berjalan dengan lemah sepanjang koridor. Dirinya merasa lelah, baik secara fisik maupun mental saat berhadapan dengan pamannya.
Gadis itu bahkan dengan mudah dikelabui dan Luna malah menerimanya secara sukarela dan menyerah begitu saja.
Setiap memikirkan itu, kepalanya menjadi pusing, dan kemudian dia berhenti saat merasakan sebuah benda mengenai kepalanya dan ternyata itu adalah sebuah tutup pulpen yang jatuh dari lantai atas.
Luna mengelus kepalanya dan mendongak ke atas, kemudian dia melihat Rangga yang bersandar di tepi pagar lantai dua.
Pemuda itu menatapnya dengan pandangan merendahkan, namun tidak berbicara apapun. Dan di sampingnya, seorang pemuda lain berdiri juga menatapnya.
Luna mengenali pemuda itu, Dia adalah teman Rangga yang membelikan kemejanya waktu pertama kali mereka bertemu.
Gadis itu merasa bersalah, sempat khawatir pada Ranggam namun merasa lega saat wajah pemuda itu tidak tampak adanya lebam maupun luka. Mungkin, kakaknya tidak menghukumnya terlalu keras, batin Luna.
Dia tersenyum dan bertanya, "Apa kau baik-baik saja kemarin?"
"Kenapa kau peduli dengan itu?" ujar Rangga yang masih menatapnya dengan pandangan aneh.
Luna tidak bisa berkata apa-apa, dan untungnya bel sekolah sudah berbunyi, jadi dia langsung berkata, "Aku akan masuk kelas dulu" Dan langsung pergi dari situ.
Setelah Luna pergi, Darma menyentuh lengan temannya dan bertanya, "Ada apa? kau berubah hari ini. Apa karena gadis itu, Luna? "
Rangga hanya diam dan mengabaikannya.
Darma kemudian berbisik padanya, "Kau tidak seperti biasanya. Selain itu, sejak kau mulai mengejar Luna, kau melupakan temanmu ini. Dan saat melihatmu yang tidak peduli padanya seperti tadi, apa kau masih menyukai Luna? "
Rangga meliriknya sebentar, kemudian menyalakan sebatang rokok dengan kesal, menghisapnya, dan menjepitnya di sela-sela jarinya.
"Kakakku menyuruhku untuk menjauhinya, jika tidak, kakakku akan mengirimku ke luar negeri" ujar Rangga pelan.
"Wah, kakakmu saja bahkan tidak berani dekat-dekat dengan gadis itu. Memangnya siapa, sih dia?" tanya Darma penasaran.
Rangga menyipitkan matanya dan menghisap rokoknya lagi, kemudian menghembuskan asapnya.
"Keponakan Galang" jawab Rangga singkat.
"Ah! Pantas saja, kamu tidak ingin macam-macam dengannya!" uja temannya.
Dia menepuk pundak Rangga pelan dan berkata, "Kita memang tidak bisa macam-macam dengan Mahardika, tapi keluargamu, Pradana, juga lumayan memiliki kekuasaan, kan? Kau masih pantas mendapatkan Luna, keponakannya. Kenapa dia tidak menyetujui hubungan kalian?"
Rangga membuang rokoknya dan berkata, "Sudahlah. Ayo, kita ke kelas." Dengan itu mereka berdua berjalan kembali menuju kelasnya.
Sebenarnya, pemuda itu juga memikirkannya. Keluarnya, Keluarga Pradana juga termasuk keluarga yang terpandang, bahkan sebanding dengan Keluarga Mahardika. Jika mereka menikah, itu tidak akan menjadi masalah, dan malah menguntungkan kedua belah pihak.
Tetapi dia tidak pernah menyangka bahwa Galang menyukai keponakannya dan mengklaimnya sebagai miliknya! Pria itu sudah gila!
Apa pria itu tidak memikirkan bagaimana jika hubungan mereka diketahui publik? batinnya.
Darma yang berjalan di sebelah bertanya, "Kau mengambil kelas merajut, kan? Apa kau tahu betapa galaknya guru yang mengajar?" pemuda itu memegangi pundaknya dan merinding sendiri saat memikirkan guru mata pelajaran merajut yang dikenal memang galak.
Dia menoleh ke arah Rangga saat tidak mendengar jawaban dan melihat temannya itu seperti sedang melamunkan sesuatu.
Darma mengusap hidungnya pelan dan berkata, "Kau sangat sedih sekarang, ya? Apa kau sudah menyerah pada Luna?""
Rangga terkejut dengan pertanyaan itu, dan itu membuatnya menyadari jika untuk pertama kalinya dia jatuh cinta kepada seseorang.
Timbul tekad dalam dirinya dan dia tidak akan menyerah begitu saja! Terlalu cepat untuknya menyerah begitu saja.