“Hai, namaku Anthon!” ucapku sambil mengajak anak laki-laki di hadapanku salaman, namun dia hanya melirik sambil menunduk. Aku mendesah kesal dan kembali ke bangkuku.
Aku sudah mengajak kenalan hampir satu kelas namun mereka semua mengabaikanku, mungkin mereka masih malu karena bertemu orang-orang baru di SD ini.
“Padahal aku pikir bisa memulai pertemanan...,” gumamku sambil menyandarkan kepala di atas meja.
Masa kecilku di sekolah dasar tidak terlalu baik, aku sering mendapat olokan karena sulit bergaul dengan anak laki-laki seumuranku. Aku yang dulu sangat pendiam, hanya anak perempuan yang mau berinteraksi denganku dan karenanya aku dijuluki ‘banci’.
Panggilan itu sangat membekas di ingatanku hingga membuatku membenci mayoritas teman sekelasku waktu SD, aku tahu kalau itu hanya ejekan anak-anak yang belum memahami apa itu perasaan tersinggung, namun tetap saja... aku yang masih kecil menganggap perbuatan mereka itu jahat.
Kali ini aku ingin benar-benar mengubah apa yang membuatku terpuruk di masa kecil, dan menjalin pertemanan dengan benar. “Tapi realita tidak selalu sesuai dengan ekspektasi...,”
Aku melirik pada anak-anak yang sedang mengobrol dengan akrab, mereka seolah sudah ditakdirkan bersama entah karena daerah tinggal yang sama, orangtua yang saling mengenal, maupun berasal dari TK yang sama.
Beberapa hari berlalu begitu saja dan aku masih belum bisa memiliki teman, saat jam olah raga berlangsung aku berusaha bergabung dengan anak yang sedang bermain sepak bola.
“Aku mau main juga, dong!” seruku pada mereka, namun anak yang berdiri dekat denganku menolaknya.
“Kelompok kami udah pas, kamu main yang lain aja!” serunya sambil berlari mengejar bola, aku kembali duduk di tangga dekat gerbang dengan kesal.
Aku benar-benar geram dengan anak-anak seperti mereka yang seenaknya mengelompokkan siapa yang berhak dan tidak untuk ikut bermain bersama, namun aku berusaha sabar dengan mengambil nafas dalam.
Aku menghembuskan nafas perlahan hingga terdengar bunyi siul dari bibirku, “Keren, ayo lakukan lagi!”
Sahut anak yang tiba-tiba muncul dan duduk di sampingku, “Lakukan apa?”
“Itu loh, puh... puh...,” ucapnya sambil menunjuk bibir yang membentuk ‘O’ dan membuatku sedikit berpikir.
“Oh..., maksudmu siul?” dia mengangguk dengan antusias dan aku melakukan apa yang diminta, aku mengeluarkan suara siul cukup panjang hingga membuatnya terlihat bersemangat.
Dia bangun dan pergi ke arah anak laki-laki yang sedang mimun dari tumbler-nya, dia menarik anak itu ke arahku. “Vino, coba lihat! Dia bisa melakukannya!”
Aku kembali berisul dan membuat anak dengan rambut belah tengah itu ternganga, “Bagaimana bisa kamu melakukannya?”
“Iya, ajari kami!” pinta anak dengan tahi lalat di bibir tadi dengan antusias.
“Kalian tinggal memajukan bibir dan membuat lubang kecil lalu meniupnya,” jelasku dan mereka langsung mempraktekannya dengan wajah yang lucu.
Aku tidak bisa menahan tawa dan membuat mereka menatapku dengan sedih, “Susah banget...,”
“Pelan-pelan aja belajarnya,” saranku dan mereka hanya saling pandang, “oh iya, namaku Anthon, kalian Vino dan Ibad ‘kan?”
Mereka berdua mengangguk masih dengan wajah yang lesu karena tidak bisa bersiul, dan itu membuatku sedikit penasaran. “Kenapa kalian terlihat sedih?”
“Kalau kami nggak bisa bersiul, berarti kami nggak bisa jadi laki-laki.” Jelas Ibad yang membuatku makin bingung.
“Kata papaku, aku harus bisa bersiul agar sempurna menjadi laki-laki.” Sambung Vino yang membuatku mengerti arah dari masalah ini.
Dalam kebudayaan daerahku memang ada sebuah pandangan khusus yang mengharuskan laki-laki bisa bersiul dan untuk perempuan dilarang, sebenarnya ini bukan masalah yang terlalu besar namun karena mereka masih anak-anak pasti menganggap hal ini sangat penting.
“Hei, ada banyak laki-laki di luar sana yang nggak bisa bersiul. Jangan menganggap kalau nggak bisa bersiul artinya kalian gagal jadi laki-laki.” Tuturku berusaha menyemangati mereka berdua.
“Jadi kamu bilang papaku bohong?”
“Bukan bohong, cuma kurang benar aja.” Jelasku dan mereka hanya diam sambil saling memandang.
“Pokoknya kamu harus ajari kami cara bersiul!” ucap mereka serentak membuatku terpaksa mengikuti permintaan mereka, namun justru dari sini aku bisa memulai hubungan pertemananku dengan mereka.
Aku tentu mengenal mereka, Vino dan Ibad adalah dua orang yang seingatku selalu bersama bahkan hingga dewasa. Namun hubungan kami tidak dekat, Vino adalah anak dari salah satu pejabat daerah dan setahuku dia memiliki sifat agak sombong.
Sedangkan Ibad adalah salah satu orang yang sering menghinaku di kehidupan sebelumnya, karena aku lebih dekat dengan anak perempuan daripada laki-laki.
Jujur aku tidak menyangka bahwa mereka adalah orang yang akan menjadi teman pertamaku di sekolah ini, tetapi semua kemungkinan bisa terjadi apalagi setelah aku memutuskan untuk mengubah hidupku.
Mereka berdua terus mengikutiku hingga beberapa minggu kemudian, dan aku perlahan mulai menyadari bagaimana sifat mereka yang sebenarnya. Vino yang aku anggap sombong ternyata hanya anak yang akan berbicara mengenai hal yang dia sukai saja, dan sulit mengikuti pembicaraan yang tidak dia pahami.
Sedangkan Ibad memang anak yang sangat aktif dan juga asal bicara, dia sangat pandai berbaur dan mengikuti apa yang dilakukan orang di sekitarnya.
Kali ini seluruh murid kelas satu dikumpulkan untuk melakukan pemeriksaan kesehatan, hal itu membuat kebanyakan dari mereka takut karena akan ada suntik imunisasi.
Aku paham mereka seperti itu karena rasa sakit yang selalu diibaratkan seperti gigitan semut tetap menyakitkan bagi anak-anak, dan aku menatap Vino serta Ibad yang merengek ketakutan saat giliran mereka tiba.
Giliranku memang sudah berakhir dan jelas aku bisa tahan dengan rasa sakit itu, namun aku tetap berada di kelas menemani mereka berdua.
“Aku nggak mau disuntik!” mohon Vino yang terlihat akan menangis, sedangkan wajah Ibad di sampingnya sudah memerah dengan air mata mengalir deras.
“Habis ini aku traktir es krim deh, jadi tahan sebentar ya!” bujukku berusaha menenangkan mereka namun tidak berhasil, kemudian aku teringat cara untuk mengalihkan perhatian mereka. “Kita coba latihan siul, yuk!”
Vino dan Ibad mulai tenang sambil menatapku, “Tarik nafas dalam... lalu majukan bibir... buat lubang kecil... lalu tiup perlahan...,”
Mereka berdua menutup mata sambil mencoba untuk bersiul, beberapa kali hembusan keluar dari mulut kemudian terdengar suara melengking yang membuat mereka membuka mata. “Aku bisa!”
Vino berusaha mencoba lagi dan berhasil, Ibad yang melihat keberhasilan Vino kembali mencoba beberapa kali hingga terdengar suara kecil dari bibirnya. “Aku juga bisa!”
“Kalian berdua hebat!” ucap perawat berpakaian putih sambil menempelkan kapas di lengan mereka, mereka berdua terlihat kebingungan. “Tidak sakit, ‘kan?”
Mereka berdua menggeleng sambil tersenyum lalu aku langsung merangkul mereka keluar ruangan dan membelikan es krim sesuai janjiku, ‘Sepertinya berteman dengan mereka berdua bukan ide yang buruk,’
***