webnovel

2. Rute A - Mengubah Kehidupan

“Kamu di sini dulu, ya...” ibu meletakkan tubuhku di atas kasur dengan perlahan, “sebentar lagi bapak pulang kerja, jadi ibu mau masak dulu.”

Aku hanya menatap beliau sambil memeluk guling kecil di sebelahku dan ketika ibu sudah beranjak menuju dapur, aku mulai mendekat ke arah sosok yang aku lihat dari pantulan cermin. ‘Apa yang sebenarnya terjadi?’

Pria misterius itu keluar dari cermin dan membuatku sedikit takut, langkahnya terhenti begitu aku memundurkan tubuhku perlahan untuk menjaga jarak darinya. Dia terlihat mengerti dengan apa yang aku pikirkan dan bibirnya bergerak hendak menjawab pertanyaanku. “Seperti yang saya katakan sebelumnya, kamu kembali menjadi anak usia 3 tahun.”

‘Maksudku, kenapa ini bisa terjadi? Seharusnya aku mati setelah terjun ke sungai,’ batinku sambil menatap tangan mungilku, ‘siapa anda?’

“Saya hanya pembawa pesan, tugas saya adalah menyampaikan hal yang harus diketahui oleh jiwa muda putus asa... bahwa bunuh diri bukanlah jawaban dari semua hal.”

‘Aku juga tahu... tapi semua ini begitu berat,’ aku mulai menitikan air mata dan sosok itu duduk di sebelahku dengan perlahan.

“Kamu beruntung, tidak semua orang diberi keistimewaan untuk memilih kehidupan yang benar-benar diinginkan. Sebagai anak usia 3 tahun, kamu masih punya kesempatan agar masa depan seperti yang kamu alami sebelumnya seakan tidak pernah terjadi.”

‘Jadi aku telah benar-benar kembali ke masa lalu?’ pria itu mengangguk perlahan, ‘tapi kenapa aku?’

“Kamu adalah orang yang berusaha hidup di jalan yang lurus, selalu mendahulukan kepentingan orang lain daripada keegoisanmu, menghindari permusuhan dan juga dosa, meskipun semua itu memberikan penyesalan yang terus membekas di ingatan.”

‘Karena aku selalu berusaha menjadi orang yang baik, maka Tuhan memberikan kesempatan kedua padaku?’ pria itu kembali berdiri mendengar apa yang aku pikirkan.

“Dengan syarat kamu harus memilih salah satu jalan yang akan berpengaruh pada masa depanmu!” pria itu mengangkat kedua tangannya dan muncul cahaya dari keduanya.

Aku hanya menatapnya tidak percaya sambil menelan ludah, “Apakah kamu akan memilih untuk mengubah hidupmu? Atau kamu memilih untuk memperbaiki hidupmu?”

Mataku menatap kedua tangan bercahaya tersebut sambil memikirkan pilihan yang harus aku ambil, sebuah pilihan yang akan menentukan masa depanku kelak.

‘Apa perbedaan dari kedua pilihan itu?’ tanyaku penasaran.

“Mengubah kehidupan artinya melakukan hal yang berbeda dari kehidupanmu sebelumnya, meskipun akan ada hal yang tetap sama karena beberapa pemicu dalam perjalananmu nanti.” Jelasnya yang membuatku ragu.

‘Kalau memperbaiki kehidupan?’

“Memperbaiki kehidupan artinya kamu akan menyelesaikan berbagai sumber penyesalan di kehidupanmu sebelumnya, tetapi kamu harus bijak dalam mengambil keputusan karena tidak semua hal yang kamu sesali adalah kesalahan.”

‘Lalu jalan mana yang memiliki risiko paling buruk?’

“Kedua jalan memiliki risiko yang sama besarnya, karena yang menentukan adalah pilihan-pilihan di sepanjang perjalananmu kelak. Kehidupanmu nanti tidak sepenuhnya sama dengan kehidupan sebelumnya, karena semua kemungkinan bisa membuatnya menjadi lebih baik atau lebih buruk.” Paparnya yang membuatku makin bimbang.

‘Hmm... ini adalah kesempatan kedua dalam hidupku, jadi aku ingin menjalaninya dengan cara yang berbeda. Tapi aku juga ingin memperbaiki semua penyesalanku...,’

“Apakah kamu sudah menentukan pilihanmu?” aku menatap pria berambut putih itu dan mulai mengambil nafas dalam.

“Aku memilih untuk mengubah hidupku!” ucapku dengan mantap dan pria itu hanya tersenyum, dia mendekat dan menyentuh kepalaku dengan tangan kirinya yang bercahaya sedangkan aku hanya memejamkan mata.

“Kamu akan menjalani hidup dengan kesadaran usia 22 tahun, gunakanlah kesempatan ini dengan sebaik mungkin agar masa depan yang diakhiri dengan bunuh diri tidak pernah terjadi.” Lirih pria itu dan ketika aku membuka mata, sosoknya telah menghilang.

Aku turun dari kasur dan pergi ke dapur untuk menemui ibu, “Ibu, aku mau buku tulic!”

Ibu kaget melihatku sudah ada di dapur, beliau langsung menggendongku dengan lembut. “Sayangku mau belajar menulis, ya? Pintarnya!”

Aku hanya mengangguk, berusaha bertindak layaknya anak usia 3 tahun yang masih polos. Walau sebenarnya aku hanya ingin menulis segala hal yang bisa aku ingat tentang kehidupan sebelumnya, sehingga aku bisa menyusun rencana agar setiap tindakanku tidak berujung penyesalan.

Yang menjadi inti dari masalah hidupku adalah sifat yang pendiam dan pemalu, meskipun aku terlahir dari bapak yang sangat aktif sebagai pembawa acara dan ibu yang mudah akrab dengan orang baru... aku yang sejak kecil selalu berada di dalam rumah menjadi pribadi yang sulit bergaul hingga saat bicara sering terbelit.

Kalau aku ingin mengubah hidupku, maka aku harus mulai dari mengubah kepribadianku menjadi orang yang supel, pintar bergaul, juga lebih percaya diri.

Dulu aku sulit interaksi dengan teman seumuran dan orang dewasa karena masalah bahasa, bapak dan ibu selalu mengajariku dengan Bahasa Indonesia sedangkan lingkungan sekitarku selalu memakai bahasa daerah.

“Tulis apa sih, Sayang?” aku langsung menyembunyikan catatanku begitu mendengar ibu datang, “kenapa ditutupi?”

“Yang ini jelek! Jangan lihat!” dalihku berusaha sepolos mungkin.

“Tidak apa-apa, kamu kan masih belajar...,” ucap ibu sambil berusaha mengambil buku yang aku tindih dengan tubuh kecilku.

Aku bangun sambil memeluk buku itu, “Oh iya, Bu. Bica ajali aku bahaca daelah?”

“Bahasa daerah?” tanya ibu dan aku hanya mengangguk dengan antusias.

“Iya, aku mau belajal bahaca daelah!” ucapku sambil menahan tawa mendengar kalimat yang terdengar cadel keluar dari mulutku.

“Kamu tahu tidak, waktu besar nanti kamu pasti lebih butuh Bahasa Indonesia daripada bahasa daerah.” Jelas ibu sambil menarikku ke pangkuannya.

Aku tahu dan sudah dengar ini sejak dulu, tapi entah mengapa rasanya kesal karena hal seperti ini sangat berpengaruh pada kehidupanku. “Pokoknya aku mau diajali bahaca daelah!”

Ibu hanya tersenyum lalu ada tangan yang mengusap kepalaku dari belakang, “Jagoan kecil bapak mau belajar bahasa daerah?”

“Bapak!” seruku saat melihat bapak pulang kerja, kemudian menggendongku.

“Jalan-jalan dulu, yuk!” ajak bapak dan aku hanya mengangguk riang.

Langit jingga dan hembusan angin yang sejuk membuatku menelisik suasana desa tempat tinggalku, masih dipenuhi pepohonan dan jarang ada kendaran selain sepeda. Hingga bapak membawaku ke kerumunan warga yang sedang bercengkerama, “Bapak! Tulun!”

“Mau turun, ya?” bapak menurunkanku di tanah yang tidak terlalu berbatu, aku berjalan mengahampiri kerumunan warga di depanku.

Aku lupa kalau kakiku masih kecil dan batu yang berusaha aku hindari justru membuatku terjatuh, aku berusaha berdiri sambil menepuk debu di baju lalu berusaha menyapa orang-orang di hadapanku. “Cole Paman, Bibi, Kakek, Nenek!”

“Wah, pintarnya! Walau jatuh tapi tidak menangis,” puji wanita yang mengenakan daster, sambil menggendongku. “Siapa sih nama jagoan kecil ini?”

“Namaku Anthon, Nek!” sahut bapak dengan suara yang dikecilkan mewakiliku.

Melihat reaksi mereka membuatku tertawa dengan polos, menutupi niat tersembunyiku. ‘Inilah awal dari perubahan hidupku.’

***

Next chapter