Kehidupan tidak selalu berjalan dengan mulus, banyak rintangan serta cobaan yang membuat kita terpuruk dalam kesedihan dan putus asa untuk menghadapinya. Meskipun aku berusaha menjalani hidup dengan benar dan lurus, namun penderitaan ini membuatku makin menyesali segala pilihan yang telah aku buat. Aku melewatkan segala hal demi apa yang aku prioritaskan, mengabaikan perasaanku demi orang lain, dan menjadi pribadi yang tidak mengerti cara menjalani hidup dengan penuh kesenangan. Hingga bunuh diri menjadi jalan untuk mengakhiri kehidupanku yang menyedihkan ini, dan semua penyesalan dalam diri membawaku kembali ke masa lalu. Ingatlah bahwa setiap pilihan yang kalian ambil berpengaruh terhadap masa depan, dua rute kehidupan mungkin salah satunya akan membawa akhir yang bahagia... atau menjadi akhir yang tragis, karena mengubah masa lalu bisa membuka berbagai kemungkinan. Jika kamu diberi kesempatan kedua, apakah kamu akan memilih untuk mengubah hidupmu atau memperbaiki hidupmu?
Seorang pria berjas hitam legam meletakkan lembaran kertas di atas meja sambil mendesah, wanita berkerudung di sebelahnya menatapku dengan wajah serius. “Sampai kapan masa percobaanmu?”
“Kalau dihitung secara efektif berarti ini bulan ke-tiga, namun saya bergabung di sini sejak enam bulan lalu.” Jawabku berusaha menatap mata pria itu meski merasa gugup.
“Dirumahkan selama tiga bulan akibat pandemi ‘kan? Seharusnya saya perjelas ini lebih awal, kamu tidak cukup berpengalaman dan tidak bisa memenuhi ekspektasi saya meski lulus dengan predikat cumlaude.” Jelas pria berusia 30 tahun itu, dan aku bisa menebak ke mana arah pembicaraan ini.
“S-saya akan berusaha lebih un—“
“Saya belum selesai bicara!” bentak beliau dan aku hanya bisa menunduk, “saya bosan dengan janji yang tidak ada kepastiannya seperti itu. Kontrak kerja kamu akan saya akhiri, terima kasih dan semoga kamu bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih baik.”
Wanita berkerudung yang bekerja sebagai HRD hanya diam sambil menggiringku keluar dari ruangan direksi, pekerja lain menatapku sekilas saat keluar dari pintu kaca yang tidak kedap suara tersebut, namun mereka membuang muka dengan mudahnya seakan bukan apa-apa. Memang tidak ada yang cukup dekat denganku di kantor ini karena aku masih karyawan baru, namun apakah tidak ada dari mereka yang memiliki rasa simpati?
Ini sudah jam 6 sore, satu jam setelah pulang kantor dan aku masih harus menunggu bus karena tinggal di luar kota, jika saja aku punya kendaraan sendiri pasti akan lebih mudah. Tapi itu sama saja menyalahkan orang tua yang membanting tulang demi bisa membayar uang kuliahku.
Azan isya’ berkumandang dan aku masih berjalan menuju rumah, tempatku beristirahat setelah bekerja seharian. Meskipun tak lagi memiliki atap setelah roboh beberapa hari lalu, namun aku masih bersyukur karena masih ada beberapa bagian yang bisa digunakan untuk berteduh dari teriknya panas.
Gelapnya malam dan pintu yang terkunci seakan menjadi pertanda bahwa tidak ada orang di dalamnya, bapak dan ibuku bekerja sampai malam karena hanya buruh pabrik sedangkan adikku pasti sedang di rumah temannya untuk lari dari pahitnya keadaan keluarga kami.
Aku meletakkan tas dan pergi keluar untuk mencari makan dengan berbekal uang sepuluh ribu, uang yang berusaha aku hemat karena tidak mendapatkan penghasilan selama dirumahkan. Aku merasa kesal pada orang yang seenaknya mengambil keputusan tanpa memikirkan perasaanku, ‘Kalau tahu begini lebih baik aku cari pekerjaan lain setelah dirumahkan, padahal aku sangat berharap pada pekerjaan pertamaku ini.’
Aku merogoh ponsel usang dari saku celana sambil mencoba menelpon orang-orang—yang aku anggap teman—dengan penuh harap.
“Halo! Jaf—”
“Sorry, aku lagi di jalan. Nanti aja kalau aku udah sampai rumah!” dan panggilan itu terhenti, aku berusaha mencoba menelpon temanku yang lain namun tak tersambung.
Hingga akhirnya ada satu yang mengangkat panggilanku, “Halo! Suc—“
“Kenapa kamu telepon pacarku?” suara laki-laki itu membuatku langsung mematikan ponsel tanpa mengatakan apapun.
Memang temanku tidak banyak, dan aku tidak yakin dengan hubungan pertemanan yang terasa kaku ini… tapi apakah aku salah jika berharap ada seseorang yang bisa menjadi tempatku berbagi?
Aku berjalan di pinggir jalan sambil menghindari genangan air bekas hujan, namun motor dengan suara knalpot yang memekakkan telinga lewat dan membuat air membasahi separuh badanku, namun aku tidak bisa marah pada orang yang sudah berjarak ratusan meter dariku dan hanya diam sambil kembali berjalan ke warung makan terdekat.
Saat aku masuk, beberapa pengunjung menatapku dengan tatapan jijik dan aku menyadarinya karena aku datang dengan penampilan kumal dan sedikit berlumpur akibat cipratan kubangan air, namun aku berusaha tidak memperdulikannya dan langsung memesan makan.
Aku memesan makanan untuk dibawa pulang agar tidak perlu membeli minum, namun saat aku merogoh kantong celanaku ternyata uang di dalamnya basah. Ibu penjual warung melihatnya dan langsung mengambil bungkusan plastik yang aku bawa, lalu mengusir seakan aku kucing kampung yang mengemis makanan padanya.
Aku pulang dengan tangan kosong dan juga perut yang terus berbunyi karena lapar, berbagai pikiran buruk merasuk dalam kepalaku.
‘Apa ini hukuman untukku? Padahal selama ini aku selalu berusaha menjadi orang baik, rajin belajar sampai tidak pernah ikut nongkrong dengan teman. Berusaha ramah pada setiap orang meskipun aku sering terbelit saat bicara, bahkan tidak pernah pacaran karena ingin fokus membantu keuangan orang tua.’
Aku berhenti sejenak di pinggir jembatan sambil menatap sungai yang mengalir cukup deras menghantam bebatuan, berusaha mengabaikan suhu dingin yang menusuk sambil merenungkan kembali perbuatanku, banyak hal terlewat karena pilihanku di masa lalu sehingga muncul rasa penyesalan yang terasa menyesakkan dada dan mendorong tetesan air dari mataku.
‘Apakah kalau aku mati… akan ada yang berubah di kehidupan orang-orang yang aku kenal?’ pikiranku mulai meracau tidak jelas saat berdiri sendirian di tempat sepi itu.
Entah apa yang aku pikirkan hingga tiba-tiba aku memberanikan diri untuk memanjat besi pembatas dan menjatuhkan tubuhku ke dalam derasnya arus, yang terlintas dibenakku adalah… kematian menjadi jawaban dari keputusasaan ini.
Tubuhku terombang-ambing ke segala arah, menabrak bebatuan sungai hingga kesadaranku hilang dan tubuhku terkulai lemas mengikuti arus.
“Apakah ini yang kamu harapkan?” sebuah suara muncul entah darimana, namun aku tidak memberikan jawaban apapun. “Seberat itukah hidupmu sampai ingin mengakhirinya?”
“Iya,” lirihku pada suara yang mungkin berasal dari malaikat pencabut nyawa.
“Apakah kamu ingin mengulangi hidupmu dari awal?”
Pertanyaan yang tidak masuk akal itu membuatku membuka mata perlahan, menampilkan cahaya yang begitu menyilaukan, tanganku bergerak untuk menutupi mataku dari cahaya itu namun justru menyenggol sesuatu... atau seseorang di sampingku.
“Sayang, kenapa bangun?” suara wanita itu membuatku membuka mata lebih lebar sambil melihat ke arah sumber suara.
“I-Ibu?” gumamku saat melihat wanita muda di samping adalah ibuku.
“Iya, Sayangku… mimpi buruk, ya?” pertanyaan itu tidak aku tanggapi dan aku malah sibuk menelisik sekitar.
Rumah yang masih beralaskan tanah dan dinding bata kasar itu membuatku terbelalak, aku bangun dan lari mencari cermin namun segalanya terlihat begitu besar dan lebih tinggi dari pada sebelumnya.
Aku melompat untuk bisa melihat cermin di meja rias ibu, seketika aku sadar setelah ibu datang dan menggendongku, lalu saat aku melihat pantulan di cermin… ternyata dugaanku benar. Aku kembali jadi balita.
“Bagaimana? Apa kamu masih ingat wajahmu saat berumur tiga tahun?” suara itu kembali muncul dan membuatku menoleh ke segala arah.
“Kamu capa?” tanyaku dengan lantang namun yang terdengar justru berbeda dari yang aku pikirkan.
Ibu memelukku dengan erat, “Kamu bicara sama siapa, Sayang?”
“Ada cuala…” aku menghentikan ucapanku yang terdengar tidak jelas dan melirik ke arah cermin yang menampilkan pantulan tubuh ibu, aku, dan seorang pria serba putih hingga rambutnya yang belum pernah aku lihat.
“Hanya kamu yang bisa melihat saya, jadi tolong diam dan dengarkan dengan seksama.”
Aku hanya diam sambil merasakan tepukan lembut ibu di punggungku, ‘Apa yang sebenarnya terjadi?’
“Kamu menentang takdir yang telah ditulis dengan cara bunuh diri, jadi saya ingin memberikan kamu kesempatan untuk memilih.” Papar orang berpakaian serba putih itu dengan wajah datar sambil menatapku dengan serius dan terlihat menyeramkan.
‘Memilih apa?’ tanyaku dalam hati yang dapat didengar oleh pria serba putih itu.
“Kamu telah mendapatkan kesempatan untuk kembali menjadi anak usia 3 tahun, apakah kamu ingin menggunakan kesempatan kedua ini untuk mengubah hidupmu? Atau kamu ingin memperbaiki hidupmu?”
***