Saat di lantai bawah pabrik Rafinasi...
Setelah membunuh Moissani Sekai dan asistennya, Maria Mizuki mendekat ke arah Haidee dan Adiraja yang diikat saling membelakangi di pojok ruangan. Lantai bawah merupakan ruangan inti pabrik, dipenuhi oleh mesin-mesin dengan berbagai fungsi. Udara di lantai bawah lebih lembap dengan aroma apak.
Maria Mizuki berdiri dengan angkuh. Ia memeriksa waktu melalui jam yang melingkar di pergelangan tangannya.
"Orang-orangku bilang kamu bersikeras membisu dan tidak ingin bekerja sama untuk mengungkap rahasia proyek Rekayasa Emosi Manusia yang masih tertinggal dalam tubuhmu." Maria Mizuki berbicara pada Haidee. "Aku akan memberimu kesempatan terakhir. Nilaimu sebagai Objek 011 akan mempengaruhi kehidupanmu."
"Apa Adiwangsa tahu tentang identitasmu?" Haidee mengalihkan pembahasan. Ia lebih tertarik terhadap hal lain dibanding memanfaatkan kesempatan terakhir yang Maria berikan.
"Kenapa dengan kakakku?" Adiraja yang diikat bersama Haidee menimpali.
"Perkenalkan, dia calon kakak iparmu."
"Dia?!" Adiraja memutar kepalanya. Ia memperhatikan Maria dari ujung kaki sampai ujung kepala, kemudian memasang ekspresi tidak puas dan menggeleng. "Aku tidak suka. Kamu yakin tipe seperti ini yang kakakku suka?"
Melihat ekspresi Adiraja yang tidak puas, mendengar kalimatnya yang meremehkan, tentu saja melukai harga diri Maria Mizuki. Ia akan menyalak, tapi Haidee berbicara terlebih dahulu. Sekarang kedua sanderanya bukan hanya meremehkan tapi juga menganggap keberadaannya sebagai makhluk tak kasatmata.
"Suka atau tidak, tidak ada hubungannya denganmu, kan. Keputusan sepenuhnya ada di tangan kakakmu." Haidee tahu Maria Mizuki marah, ia bahkan sengaja tidak memberi kesempatan wanita itu untuk memaki. Sengaja membuatnya semakin kesal. "Menurutmu kenapa kakakmu bisa suka dengan wanita seperti dia?"
Adiraja tidak langsung menjawab. Ia kembali memperhatikan penampilan wanita yang ada di depannya, dari ujung jempol kaki sampai ujung ubun-ubun kepalanya.
Mendadak Maria memperbaiki caranya berdiri. Ia bersikap lebih anggun dan memasang senyum termanisnya seolah ingin meninggalkan kesan baik, seolah ingin mengubah penilaian Adiraja yang sebelumnya tidak puas.
Selesai memperhatikan, Adiraja kembali menatap ke depan dan tetap menggeleng tidak puas. Haidee yang tahu penilaian akhir Adiraja dari gerakan kepalanya, hanya tersenyum.
"Hei!" Hana berteriak tidak terima.
"Sifat percaya diri, sifat angkuhnya mungkin sedikit mirip Ibu." Kalimat Adiraja membuat Maria mendadak kembali bungkam, fokus mendengarkan. "Selain itu tidak ada yang spesial, biasa saja. Mungkin kakakku diguna-guna, atau sedang khilaf. Dipengaruhi sedikit saja kakakku pasti segera sadar. Lagi pula aku dan Ibu pasti tidak setuju. Kalau dua anggota keluarganya tidak setuju Kakak bisa apa."
Haidee tertawa. "Memangnya kamu hidup di novel romantis abad ke berapa? Kakakmu sudah setua itu, suka dengan siapa, mau menikah dengan siapa, itu pilihannya. Otoritasmu sebagai adik juga terbatas."
"Oh, iya?" Adiraja beralih menatap Maria Mizuki dengan sinis. "Orang yang paling kubenci adalah orang yang berencana merebut kakakku. Memangnya dia siapa? Memangnya dia punya apa?"
Maria Mizuki membalas tatapan Adiraja, kemudian tersenyum licik. "Sayangnya kamu juga akan berakhir di sini. Bos kecewa dengan kinerjamu. Bukannya kamu sudah diperingatkan untuk mengorek informasi mengenai proyek Rekayasa Emosi Manusia dan Objek 011 sebelum membunuh Profesor. Sekarang, walau kita berhasil menangkap Objek..."
"Kalian rekan dan bekerja pada bos yang sama?!" Haidee memekik terkejut.
"Bagian itu aku juga baru tahu," jawab Adiraja tidak suka.
Maria Mizuki benar-benar merasa kesal. Tidak pernah ada orang yang pernah memperlakukannya seperti ini. Memotong kata-katanya, mengejeknya terang-terangan, meremehkannya. Ia benar-benar marah sampai-sampai ingin melepaskan satu tembakan dan segera membunuh siapa pun salah satu di antara kedua orang di depannya.
Tidak, Maria Mizuki tidak akan terpancing oleh usaha keduanya yang sengaja ingin membuatnya marah. Meski ia memang kesal, ia harus bertahan sedikit lagi.
"Aku sudah memberi Haidee kesempatan untuk hidup tapi dia melewatkannya. Bagaimanapun juga aku harus adil. Jadi, aku juga akan memberi satu kesempatan untukmu." Maria Mizuki berbicara pada Adiraja. "Aku tidak ingin membuat Adiwangsa sedih. Jadi, asal kamu mau membunuh Haidee, aku akan mengampunimu. Bukankah tujuan awalmu memang untuk membunuh dia."
Adiraja tersenyum merendahkan. Ia bahkan tidak berpikir untuk mempertimbangkan meski yang ditawarkan adalah kesempatan untuk hidupnya. "Sekarang, dibanding Haidee aku lebih tidak menyukaimu. Sekarang, dibanding membunuh Haidee aku lebih ingin membunuhmu. Bekerja sama dengan orang yang kubenci itu tidak mungkin."
Meski tidak memiliki apa-apa, Adiraja tetap mampu membalas dengan angkuh.
Maria mengangguk kepalanya mengerti. Sesi tawar-menawar telah berakhir. Padahal ia telah melunakkan hatinya, mencoba untuk berbaik hati dan memberi kesempatan terakhir. Sayangnya tidak satu pun dari kedua pria itu yang menyambut baik niatnya.
Tidak masalah. Maria tidak akan menyesal, ia sudah mengusahakan hal yang perlu ia usahakan. Sekarang ia hanya perlu menyelesaikan tugasnya dengan cepat.
Adiwangsa tidak perlu tahu mengenai identitasnya. Pria itu pasti akan sangat berduka karena adik dan temannya terbunuh dalam waktu yang sama. Mungkin saja kesedihan yang Adiwangsa rasakan justru akan membuat pria itu memikirkan ulang tawaran untuk melepaskan semua dan pergi ke tempat yang jauh, memulai kehidupan baru mereka.
Maria Mizuki menodongkan pistolnya. Ia melakukan eeny, meeny, miny, moe untuk memilih siapa yang akan ia bunuh lebih dulu. Ketika pistol berhenti pada Haidee, Adiraja yang ikatannya telah terbuka bangkit dengan cepat dan menubrukkan tubuhnya ke arah Maria. Maria terjatuh dan pistol yang ada di tangannya terlepas.
Haidee yang juga telah melepaskan ikatannya, merebut pistol Maria yang ada di lantai.
Pengalaman mengajarkan Maria untuk membawa senjata lebih dari yang dibutuhkan. Masih ada pistol yang disembunyikan di balik blazernya, juga sebuah pisau di saku celana kanannya. Dengan persiapan yang sedemikian matang, tidak ada alasan untuknya gagal menjalankan misi.
Ketika Maria telah menarik pistolnya yang lain, Haidee sudah tidak terlihat lagi. Begitu pun dengan Adiraja. Padahal ia hanya mengalihkan pandangannya sesaat, tapi kedua orang itu sudah menghilang.
Hana memutuskan untuk memburu Haidee lebih dulu. Pria itu mengambil senjatanya sehingga kehadirannya jelas lebih mengancam. Gerakan Adiraja lebih lambat, terbukti dari ikatan di tangannya yang belum berhasil dilepas sepenuhnya. Kemungkinan luka yang dideritanya yang membuat gerakannya terbatas. Asal berhasil menjatuhkan Haidee, menghadapi Adiraja bukan perkara sulit.
Permainan petak umpet dimulai.
Pandangan Maria terhalang oleh mesin-mesin yang memenuhi setiap tempat. Mesin dengan fungsi pencampuran, hidrogenasi, deodorizing, sampai packing, juga tumpukan kardus dapat menjadi tempat bersembunyi jika Maria tidak teliti mencari. Ia kesulitan menemukan target dengan cepat. Begitu terlihat, Haidee kembali mengendap-endap dan menghilang.
Maria Mizuki telah memutari tempat-tempat yang ia curigai, sampai akhirnya kembali ke titik awal. Ketika ia akhirnya berhasil menyudutkan Haidee dan berpikir telah menang, pistol yang harusnya ada pada Haidee, tidak ada di tangannya.
Dari belakang, muncul Adiraja yang tanpa peringatan segera melepas tembakan.
Maria Mizuki adalah wanita yang mengerikan, sama sekali tidak ragu untuk membunuh. Menembak dari jarak jauh bukanlah keahlian Haidee. Ia memiliki waktu untuk beradu fisik, tapi wanita itu tidak. Maria akan membunuh segera setelah mendapat kesempatan. Jadi, yang kemudian Haidee dan Adiraja lakukan adalah menyusun siasat. Haidee menyembunyikan pistol yang ada padanya, yang kemudian diambil oleh Adiraja saat mereka berpindah tempat.
***
Adiwangsa mengunjungi rumah sakit tempat adiknya dirawat. Status Adiraja adalah seorang tahanan. Karena luka tembak yang diderita Adiraja, ia dikirim ke rumah sakit untuk menjalani perawatan. Ruang tempatnya dirawat, dijaga dengan ketat.
Seharusnya ada dua petugas yang berjaga, tapi Adiwangsa hanya melihat seorang petugas yang sedang tertidur di kursi. Adiwangsa masuk ke dalam ruangan dan melihat satu petugas yang lain terbaring di lantai. Ketika diperiksa, petugas-petugas itu hanya pingsan.
Tidak ada tanda-tanda perkelahian. Kedua penjaga yang bertugas pasti diserang saat mereka sedang lengah. Ranjang rapi, pakaian Adiraja saat masuk rumah sakit masih tersimpan dalam lemari. Dari arah serangan, dapat Adiwangsa simpulkan serangan bukan berasal dari luar yang artinya Adiraja sendiri yang melakukannya.
Adiwangsa keluar dari kamar rawat dan mulai mencari. Tempat tujuannya adalah lantai paling atas.
Tepat seperti dugaan Adiwangsa.
Adiraja berada di atap dengan borgol yang mengantung hanya di tangan kirinya. Ia berdiri di tepi pagar dengan tatapan menerawang jauh. Adiwangsa perlahan mendekat.
"Raja!" Adiwangsa berdiri di sisi adiknya. "Aku sudah menghubungi Ibu. Kalau sampai malam ini tidak ada pergerakan, besok aku akan membawamu pergi. Tapi kamu harus kembali ke Indonesia, N Island sudah tidak lagi aman."
Adiraja tidak menanggapi. Tatapannya masih tertuju di kejauhan. Keheningan berlangsung cukup lama. Terhadap adiknya sendiri, Adiwangsa mendadak merasa begitu canggung. Alasannya tentu saja karena ia telah salah paham.
"Baru saja aku bertanya-tanya," Adiraja akhirnya bersuara "Seandainya wanita itu yang membunuhku apa Kakak akan semarah itu? Kalau wanita itu membela diri apa Kakak akan memaafkannya dan membiarkan kematianku begitu saja?"
Mendengar rajuk adiknya, Adiwangsa hanya bisa menelan ludah. Kalimat Adiraja membuatnya berpikir hal yang sama. Apa yang akan ia lakukan jika yang terjadi adalah hal yang sebaliknya. Sikap apa yang akan ia tunjukkan. Meski telah merenung sepanjang malam, Adiwangsa sama sekali tidak berpikir ke arah yang adiknya pikirkan. Ia tidak yakin bagaimana harus memberikan jawaban.
Adiraja menatap kakaknya. Tatapannya terlihat kecewa, terluka, kelelahan. "Aku benar-benar ingin tahu, kedudukanku dengan wanita itu siapa yang lebih penting? Aku dan Haidee siapa yang lebih berharga?" Tatapan Adiraja menembus ke dalam mata kakaknya. "Kenapa aku merasa keberadaanku seperti orang asing bagi Kakak."
Adiwangsa balik menatap adiknya, memahami, mencoba mengerti. Tiba-tiba kalimat yang ibunya katakan beberapa hari lalu mengiang kembali di telinganya. Tentang seberapa penting posisinya bagi Adiraja, tentang ia yang seharus memikirkan bagaimana perasaan Adiraja.
Hari ini, berdiri dengan jarak yang begitu dekat, menatapnya lekat-lekat, Adiwangsa sadar apa yang ibunya katakan benar. Adiwangsa tahu kesalahpahamannya, sikapnya yang tidak ingin mendengar penjelasan, kemarahannya, tidak hanya membuat adiknya kecewa. Lebih dari itu Adiraja terluka.
Ada banyak kalimat pembenaran bermunculan dalam kepala Adiwangsa untuk mendukung sikapnya. Kata-kata dan keinginan untuk membela diri pun telah ia pikirkan tapi yang kemudian Adiwangsa lakukan bukan berdebat, bukan membela diri. Ia memeluk adiknya dan mengatakan, "Maaf."
Adiraja sungguh mengagumi kakaknya, menyayanginya, dan menganggapnya berharga lebih dari apa pun. Ia bisa membuang semua, karier, meninggalkan ibu, keluar dari jalannya, demi kakaknya. Demi Adiwangsa.
Sekarang mereka berada begitu dekat. Kakaknya mungkin telah mengerti perasaannya, telah memahami semua yang ia lakukan, tapi rasanya tidak sama lagi. Tidak ada perasaan dipahami, bahagia, atau antusias. Sama sekali tidak ada.
Rasanya benar-benar sudah tidak sama lagi.
###