BAB 7
Medan, pertengahan Januari 2013
Melisa Rayadi pulang dari kuliahnya jam dua siang. Siang ini dia tampak kembali bersemangat. Kemarin malam dalam perjalanan pulang, Erick Vildy sudah mencurahkan segala kegundahan, kekesalan, kekecewaan, dan kemarahannya tentang apa yang dilakukan oleh Stella Kuangdinata terhadap dirinya dan dua saudaranya. Selama satu tahun mereka dibodoh-bodohi. Lebih parahnya, 3E sama sekali tidak tahu mereka sesungguhnya telah berpacaran dengan satu gadis yang sama.
Baru pertama kali ini Erick Vildy merasa cinta pertama telah membuatnya menjadi orang paling bodoh sedunia. Dia yang biasanya awas, penuh perhitungan dan cermat dalam mengamati segala sesuatu, ternyata kali ini bisa jatuh juga ke dalam jebakan seorang perempuan pembohong. Namun, Melisa Rayadi mengatakan hal itu sudah berlalu. Apa pun yang sudah terjadi harus Erick Vildy jadikan sebagai pelajaran sehingga ke depannya, pengkhianatan dan kekecewaan yang sama takkan terulang lagi.
Dan siang ini… Melisa Rayadi langsung datang ke sanggar Solidaritas Abadi begitu ia pulang dari kampus. Dengan semangat ia membuka pintu gerbang dan pintu depan sanggar. Membayangkan 3E kembali fokus dalam mengembangkan sanggar untuk target pertandingan internasional mereka yang berikutnya, Melisa Rayadi sangat antusias sekali hari ini. Dia datang pagi sekali ke sanggar dan rencananya akan mempersiapkan segala perlengkapan dan peralatan latihan bagi anggota-anggota sanggar nanti malam.
Pintu depan terbuka. Melisa Rayadi melangkah masuk. Karena masih siang hari dan sinar matahari menerobos masuk, Melisa tidak perlu menghidupkan lampu. Dia melewati ruangan hall di lantai satu yang biasanya dipakai mereka untuk latihan. Dia langsung menaiki tangga ke lantai dua. Di lantai dua, seluruh alat bunyi-bunyian, tambur, barongsai dan naga tersimpan. Dia hanya perlu memasukkan seluruh perlengkapan tersebut ke dalam lift barang, menurunkannya dan kemudian mengeluarkannya lagi di lantai satu.
Dengan langkah-langkah yang ringan, akhirnya Melisa Rayadi tiba di lantai dua. Di lantai dua, terdapat dua kantor serba-serbi, lengkap dengan komputer, lemari dan segala perlengkapan kantor lainnya. Tiga E, Pak Faiz, dan kadang Bu Florencia memakai kedua ruangan kantor serba-serbi tersebut untuk urusan perusahaan keluarga mereka, dan kadang untuk urusan sanggar Solidaritas Abadi ini. Setelah dua kantor serba-serbi tersebut, tidak ada ruangan apa-apa lagi – langsung sebuah hall yang luas, seperti yang ada di lantai satu. Di ujung hall lantai dua ini, akan dijumpai sebuah pentas yang cukup tinggi, dengan televisi besar yang terpampang di atasnya, dan juga satu set peralatan sound system. Maklum, kadang Pak Faiz dan Bu Florencia mengadakan gathering kantor mereka, acara-acara arisan dan bahkan pertemuan-pertemuan penting dengan sanggar-sanggar naga barongsai lainnya yang berasal dari luar kota ataupun luar negeri. Melisa Rayadi menghela napas panjang. Memang enak menjadi orang kaya. Mau apa, dapat apa. Tidak perlu pusing-pusing. Berbeda sekali dengan keluarganya yang hanya tergolong biasa-biasa saja.
Melisa Rayadi langsung berjalan ke sudut hall. Di sanalah segala perlengkapan latihan ditumpuk menjadi satu. Dia mulai dengan menurunkan naga dan barongsai dulu. Naga dan barongsai akan diangkat ke suatu alat dorongan yang beroda. Dengan begitu, akan lebih gampang didorong ke dalam lift barang dan didorong keluar lagi. Namun… sungguh sial nasib Melisa Rayadi siang itu! Ia tidak hati-hati dalam menggeser tumpukan naga dan barongsai tersebut. Tiang-tiang badan naga berjatuhan semua, menimbulkan suara gaduh yang cukup memekakkan telinga. Akan tetapi, benda berikutnya yang ia lihat di balik tumpukan naga dan barongsai itulah yang membuatnya sempat memekik tertahan.
Tampak tubuh Stella Kuangdinata yang sudah terkulai lemas di antara tambur-tambur dan kardus-kardus yang berisikan beberapa set peralatan bunyi-bunyian pengiring naga dan barongsai. Melisa Rayadi sontak mundur beberapa langkah dengan cepat sembari menutupi mulutnya dengan tangan kanannya.
Beberapa menit berlalu. Melisa Rayadi berusaha untuk menguasai dirinya kembali. Dia perlahan-lahan mendekati tubuh Stella Kuangdinata lagi. Tampak kedua matanya sudah membelalak kosong, seolah-olah dia dibunuh dengan tiba-tiba dan sebelum kekagetannya reda, nyawanya sudah melayang. Di sekitar mayat, sama sekali tidak terlihat noda-noda darah ataupun bekas-bekas kekerasan.
Melisa Rayadi memberanikan dirinya untuk memperhatikan kondisi mayat dengan lebih teliti. Jelas ia mulai berkeringat dingin dan jantungnya sudah berdegup kencang. Tapi, dia sendiri merasa penasaran mengapa Stella Kuangdinata bisa berakhir dalam bangunan sanggar Solidaritas Abadi, padahal pintu gerbang dan pintu depan dikunci dari luar dan tentu saja Stella Kuangdinata tidak memiliki kunci itu. Tiga E juga tidak pernah memegang kunci bangunan ini, jadi mustahil Stella Kuangdinata bisa mendapatkan kunci bangunan ini dari mereka bertiga. Yang memegang kunci hanya Melisa sendiri dan Sabrina Marcelina. Jelas juga tidak mungkin Stella Kuangdinata meminta kunci dari Sabrina Marcelina yang sama sekali tidak dikenalnya. Kalau begitu, bagaimana Stella Kuangdinata ini bisa berakhir di sini? Untuk apa dia masuk ke dalam bangunan sanggar Solidaritas Abadi dan akhirnya ia dibunuh di sini?
Melisa Rayadi semakin pusing. Diputuskannya untuk menelepon Pak Faiz, atau Bu Florencia, atau Erick Vildy saja. Biar mereka saja yang memutuskan bagaimana menangani perkara ini.
Namun, sebelum Melisa Rayadi mengeluarkan telepon genggamnya, lagi-lagi matanya tertuju pada bekas luka di dada Stella Kuangdinata. Bekas luka tersebut berbentuk lingkaran hitam. Bagian pakaiannya yang mendekati area tersebut, tampak seperti hangus terbakar. Melisa Rayadi seperti terjengat listrik bertegangan tinggi.
Bekas luka itu! Bekas luka itu…! Sama seperti bekas di pohon halaman belakang rumah 3E, ketika mereka melatih dan menyempurnakan kekuatan mereka…! Oh, Buddha… Semoga itu tidak benar… Semoga itu hanya kebetulan…
***
Singapura, 9 April 2018
Hari Senin biasanya membosankan… Namun, bagi Erdie Vio, hari itu dipenuhi dengan jadwal shooting yang cukup padat. Tampak petugas kamera yang sedang menyetel-nyetel seperangkat alat pengambil videonya. Tampak beberapa petugas tata rias yang sedang mendandani Erdie Vio sebelum ia memulai proses pengambilan adegannya. Tampak beberapa editor yang sudah siap di lokasi, sehingga begitu proses pengambilan adegan terakhir ini selesai, video tersebut sudah bisa langsung dikirim ke komputer mereka untuk kemudian diedit dan ditambahkan dengan beberapa efek CGI sesuai dengan keinginan sang sutradara.
Tampak beberapa kali Erdie Vio mengipasi dirinya. Maklum, udara di langit Singapura pada bulan April begitu panas dan pagi itu mereka shooting di luar ruangan, di puncak sebuah gedung tinggi di Singapura. Tampak juga si sutradara menjelaskan beberapa hal penting kepada Erdie Vio.
"Jadi dalam adegan terakhir ini, tokoh utama pria, si Nicholas akan menyelamatkan sang tokoh utama wanita, si Merlyn yang jatuh bersama-sama dengan tokoh antagonis utama, si Paulo dari atap gedung tinggi ini. Jadi, si Merlyn akan berdiri di atas pentas itu, dan kemudian akan jatuh ke bantalan-bantalan yang ada di bawahnya. Begitu si Merlyn ini jatuh, kau sudah harus ikut melompat ke bawah juga. Mengerti ya?"
"Oke, Pak Julian…" kata Erdie Vio sembari mengangguk mantap. Erdie Vio memperhatikan jarak antara pentas ke bantalan-bantalan yang ada di bawahnya. Memang tidak setinggi bangunan ini yang memiliki 15 lantai, tapi jarak itu lumayan juga – kira-kira ada berjarak dua lantai begitu. Jadi dia harus melompat dari pentas di atas itu ke bantalan-bantalan yang ada di bawahnya, yang kira-kira berjarak dua lantai.
Erdie Vio menghela napas panjang sebentar. Sabrina Marcelina mendekatinya, memberikannya minuman kaleng dan duduk di hadapannya juga.
"Sudah siap untuk melompat menyelamatkan sang putri pujaanmu?" kata Sabrina Marcelina mengindikasikan sang aktris utama yang sedang bersiap-siap dengan tali pengaman dan alat-alat pengamanan utama lainnya.
"Siap dong…" kata Erdie Vio melirik ke aktris utama tersebut. "Sepertinya dia cukup tegang untuk adegan terakhir ini."
"Tentu dong… Dia kan manusia biasa, tidak sepertimu – tidak sepertimu yang memiliki semacam kekuatan aneh nan misterius yang tidak bisa dijelaskan dengan akal sehat," bisik Sabrina Marcelina.
Erdie Vio meledak dalam tawa renyah. Sejurus kemudian, para petugas keamanan sudah memasang tali pengaman dan penjepit-penjepitnya ke sekujur tubuh Erdie Vio. Erdie Vio hanya berdiri diam-diam saja membiarkan para petugas keamanan melakukan tugas mereka. Setelah semua alat pengaman dipasang, Erdie Vio mengedipkan matanya sekali ke Sabrina Marcelina.
Ayo! Semangat, Sayang…! Sabrina Marcelina memberikan semacam isyarat tubuh kepada sang kekasih yang akan segera memulai proses shooting- nya sebentar lagi.
Erdie Vio berdiri di posisinya. Tampak si aktris utama dan si pemeran tokoh antagonis utama yang juga mengambil posisi masing-masing. Semua petugas juga sudah siap dan stand by di posisi masing-masing.
"Oke ya…" terdengar aba-aba dari sang sutradara. "Semua sudah siap di posisi masing-masing?"
"Oke…" jawab semua petugas shooting serempak.
"One… two… three… Action!!" teriak sang sutradara dan pengambilan adegan pun dimulai.
"Lepaskan dia, Paulo! Kau takkan mendapatkan apa-apa dengan perbuatanmu ini. Segala kejahatanmu sudah ketahuan dan polisi sudah mengepung gedung ini! Menyerahlah! Dengan demikian, mungkin hukumanmu bisa diperingan!" teriak si Nicholas kepada Paulo.
"Tolong aku, Nicholas! Tolong aku…!" jerit si Merlyn di puncak ketakutannya.
"Aku sudah mengupayakan yang terbaik untuk kehidupanku. Di akhir semua ini, aku berhak selamat kan? Aku berhak selamat kan?" kata Paulo masih bersikeras dengan pendiriannya. "Aku tidak bisa mengalahkanmu, tidak bisa lebih baik darimu, dan di akhir semua ini, tetap saja menjadi seorang pecundang! Tapi, setidaknya Merlyn akan ikut denganku… Iya… Dia akan ikut denganku… Dia akan ke neraka bersama-sama denganku. Jika aku tidak bisa mendapatkan Merlyn, kau, dan laki-laki mana pun di dunia ini juga tidak boleh mendapatkannya. Kau camkan itu!"
"Tidak…! Nicholas! Tolong aku! Tolong…!" jerit si Merlyn lagi sambil mengayun-ayunkan tangannya ke depan.
Nicholas maju beberapa langkah lagi. Paulo dan Merlyn mundur beberapa langkah lagi.
"Jangan mendekat!" teriak Paulo. "Jangan memaksaku melakukan pilihanku yang terakhir ini, Nicholas! Jika kau berani mendekat lagi, aku akan lompat!"
Paulo mundur beberapa langkah lagi. Dia tidak melihat di belakangnya sudah tidak ada apa-apa lagi. Tak ayal lagi, dia pun terjatuh ke bawah. Merlyn juga ikut terjatuh ke bawah.
"Tidak! Nicholas! Tolong!" jeritan si Merlyn begitu melengking tinggi memekakkan telinga.
"Merlyn! Merlyn!" Nicholas juga berteriak dan dia juga terjun ke bawah.
Tali pengaman langsung dikencangkan. Erdie Vio dan aktris utama wanita itu menggelantung di tengah, sementara si pemeran Paulo diulurkan lebih panjang ke bawah dan akhirnya diturunkan pelan-pelan ke bantalan-bantalan yang ada di bawahnya.
"Cut!" teriak sang sutradara. "Oke ya… Sudah selesai… Itulah pengambilan adegan terakhirnya. Adegan penutupan film ini sudah kita ambil kemarin sore, jadi sudah selesai. Thanks banget atas kerja samanya selama ini. Thanks banget… Thanks very much ya…"
Si sutradara menyalami Erdie Vio, si aktris pemeran Merlyn dan si aktor pemeran Paulo. Masing-masing dari ketiga pemeran utama film tersebut diberikan rangkaian bunga yang besar, dan juga diberikan lingkaran bunga di leher. Sementara itu, para petugas tata cahaya, tata rias, petugas kamera, dan sang sutradara sendiri saling berjabat tangan satu sama lain, mengucapkan terima kasih, dan saling bersyukur karena serangkaian proses shooting yang padat sudah selesai.
Semua tali dan penjepit pengaman pada tubuh Erdie Vio dilepaskan. Dia menghampiri sang putri pujaannya dengan senyuman lebarnya yang khas nan mempesona.
"Sudah selesai?" tanya Sabrina Marcelina. "Sudah bisa pergi sarapan kita? Sudah jam sembilan lewat nih… Perut pun sudah dari lapar menjadi kenyang karena masuk angin."
"Oke… Oke… Mau pergi sarapan, ya pergi sarapan kita. Jangan marah dong, Sayang…" kata Erdie Vio menggandeng tangan sang pujaan hati. Mereka berpamitan sebentar dan akhirnya turun ke lantai bawah.
Sesampainya di lantai bawah, manager Erdie Vio sudah menunggu. Dia sedang melayani para wartawan dan penggemar yang sudah sejak dua jam lalu menunggu di lantai bawah. Begitu melihat kehadiran sang aktor utama, semuanya langsung meninggalkan sang manager dan berlari mengerumuni sang aktor utama.
"Erdie Vio… Apakah proses shooting- nya sudah selesai?"
"Erdie Vio… Setelah ini, apakah Anda akan shooting film berikutnya lagi atau mengeluarkan album baru?"
"Erdie Vio… Bagaimana perkembangan hubungan Anda dengan Sabrina Marcelina ini?"
Banyak sekali pertanyaan dari para wartawan. Sambil menandatangani berbagai macam pernak-pernik bergambar dirinya yang disodorkan oleh penggemarnya, dia mulai kewalahan menjawab semua pertanyaan itu.
"Shooting memang sudah selesai. Setelah ini, apakah mau shooting film berikutnya, atau main naga dan barongsai saja, atau mengeluarkan album baru, saya belum memutuskan apa-apa. Capek… Mau istirahat dulu selama sebulan dua bulan begitu, Kawan-kawan," kata Erdie Vio dengan senyum dikulum.
"Erdie Vio…" tanya seorang wartawan lagi. "Saya dengar di Indonesia dulu, Anda sering tampil trio dengan kedua saudara Anda bukan? Anda bertiga sering dipanggil dengan nama 3E bukan? Ke mana dua saudara Anda yang lain itu? Apakah mereka juga akan bergabung dengan Anda main film dan mengeluarkan album baru di Singapura ini?"
Sabrina Marcelina terperengah mendengarkan pertanyaan demi pertanyaan dari si wartawan laki-laki yang teramat sangat lancar ini. Sabrina Marcelina hanya mangut-mangut. Memang menjadi seorang wartawan dituntut untuk bisa berbicara dan menulis dengan cepat nan lancar.
Erdie Vio saling berpandangan dengan sang pujaan hatinya. Sabrina hanya tersenyum simpul.
Erdie Vio tersenyum penuh semangat lagi, "Mmm… Tidak… Tidak… Mereka sibuk di luar negeri, dengan karier dan penghidupan masing-masing."
"Apakah itu berarti 3E sudah bubar? Ataukah masih ada kemungkinan 3E bakalan balik lagi dengan karya-karya selanjutnya yang luar biasa? Apakah 3E selanjutnya akan lebih fokus ke dunia hiburan atau dunia seni atraksi naga dan barongsai?" tanya si wartawan yang sama lagi.
Erdie Vio hanya tersenyum kali ini. Dia mulai kewalahan menjawab pertanyaan-pertanyaan dari si wartawan yang bisa dibilang cukup kritis ini. Dia memberi isyarat kepada sang pujaan hati untuk menggantikannya menjawab semua pertanyaan itu.
"Belum bisa diprediksi, Kawan-kawan," kata Sabrina Marcelina juga dengan senyumannya yang ramah. "Yang pasti hidup ke depannya itu sendiri juga belum bisa diprediksi. Semua rencana juga belum bisa disusun. Jadi, jikalau ke depannya akan ada reuni dari 3E, kami pastikan karya-karya mereka selanjutnya akan lebih gemilang, baik itu dalam dunia hiburan maupun dalam dunia seni atraksi naga dan barongsai. Ditunggu saja ya, Kawan-kawan Sekalian… Ini Erdie Vio juga sudah capek… Mohon beri jalan ya… Mohon beri jalan ya…" kata Sabrina Marcelina.
Para wartawan dan penggemar mulai membubarkan diri. Akhirnya Erdie Vio dan Sabrina Marcelina bisa menghapus peluh mereka dan bisa bernapas lega.
"Bang Erdie Vio…" panggil suara anak remaja yang entah dari mana datangnya. "Bang Erdie Vio…"
Erdie Vio celingak-celinguk ke sana ke sini dan akhirnya dirinya sempat agak terkejut melihat seorang anak perempuan lari-lari ke arahnya sambil membawa sebuah pictorial book yang bergambar dirinya.
"Aku suka melihat penampilan Bang Erdie Vio yang memainkan mutiara naga. Juga suka melihat Bang Erdie Vio yang bermain di film Kemelut Cinta. Minta tanda tangannya, Bang…" kata si anak remaja, yang kira-kira berumur dua belas atau tiga belas tahun.
"Maaf merepotkan…" kata si ibu yang menemani anak perempuannya. "Catherine ingin minta tanda tangan Bang Erdie Vio, jadi saya pikir sekalian saja mumpung sudah jalan-jalan sampai ke sini."
"Tidak apa-apa, Bu…" kata Erdie Vio sembari membolak-balikkan halaman demi halaman pictorial book tersebut, "Bahasa Indonesia Ibu fasih sekali. Dari mana, Bu?"
"Dari Jakarta… Catherine, anak saya yang paling bungsu ini, memang tergabung sebagai salah satu pemain musik pengiring atraksi naga di sekolahnya di Jakarta sana. Dia sering saya ajak lihat-lihat turnamen naga nasional yang diadakan di Jakarta. Sejak saat menonton pertandingan naga nasional tahun 2011 lalu, dia mulai nge-fans dengan 3E. Saat itu dia masih berusia enam tahun," kata si ibu malu-malu.
Di beberapa halaman awal, seperti biasa, ada pose Erdie Vio solo dalam memainkan mutiara naga, bermain film, dan berpose di berbagai suasana dan berbagai tempat. Dalam beberapa halaman terakhir, entah dari mana anak perempuan remaja ini mendapatkan foto-foto 3E pada masa-masa silam. Erdie Vio teringat memang 3E pernah diundang sekali lagi mengisi acara pembukaan dalam turnamen naga nasional di Jakarta pada Juli 2012. Saat itu, untuk mempromosikan 3E dalam acara pembukaan mereka, pihak panitia menawarkan membuat pictorial book 3E, yang foto-fotonya akan dipampangkan di layar besar auditorium pada saat turnamen naga berlangsung. Ternyata pictorial book tersebut disambut hangat oleh para penonton. Pihak panitia dan mereka bertiga juga mendapat uang lebih dari hasil penjualan pictorial book tersebut. Kini sudah enam tahun berlalu, dan Erdie Vio masih melihat foto-foto dirinya dan kedua saudaranya enam tahun yang lalu.
"Kapan 3E bisa reunian balik, Bang Erdie Vio? Terus terang… Kami semua, penggemar 3E di Jakarta sudah tidak sabar, menanti-nantikan kira-kira apa gerangan karya selanjutnya dari 3E," kata si anak perempuan itu dengan senyuman polosnya.
Erdie Vio terdiam seketika. Ada satu penggemar anak perempuan remaja, yang berasal dari satu negeri yang sama dengannya… Dan anak perempuan remaja ini juga menanyakan hal yang sama. Kapan 3E reunian balik? Oh, Buddha… Seandainya saja aku tahu jawaban terhadap pertanyaan itu, dan aku bisa menjawabmu, Catherine… Tapi, itu tidak mungkin. Tidak mungkin aku menceritakan sebab-musabab kenapa 3E bisa bersolo karier dan fokus ke jalan penghidupan masing-masing sekarang. Ini bukan cerita tentang boy band yang membubarkan diri setelah tidak lagi terjun ke dalam dunia hiburan, juga bukan cerita tentang girl band yang bubar begitu saja setelah masing-masing sukses di solo karier dan penghidupan masing-masing. Ini sudah menyangkut masalah pudarnya kekerabatan dan persaudaraan, juga tentang hilangnya persahabatan… Semuanya itu tidak bisa dijelaskan dengan gamblang.
Erdie Vio menandatangani pictorial book tersebut dan mengembalikannya kepada si anak perempuan remaja itu.
"Sekarang Bang Erick Vildy dan Erwie Vincent sedang fokus ke karier masing-masing di luar negeri. Mereka berdua sangat sibuk… Aku sendiri juga sangat sibuk… Jadi, aku belum bisa berjanji padamu kapan 3E bisa reunian balik dan membuat karya-karya baru lagi. Tapi, aku tetap berharap kau bisa mendoakan yang terbaik buat kami bertiga. Doakan saja, semoga 3E bisa cepat-cepat reunian kembali ya… Oke…?"
Si anak perempuan remaja itu mengangguk mantap dengan senyumannya yang polos nan penuh semangat. Ibu dan anak perempuan remaja itu pamit. Tampak si anak perempuan yang kegirangan telah berhasil mendapatkan tanda tangan idolanya.
"Oke… Masih kepikiran ke masa-masa silam?" pertanyaan Sabrina Marcelina ini langsung menyadarkan Erdie Vio kembali ke alam realita. Sejurus kemudian, Erdie Vio sudah kembali menampilkan senyumannya yang khas nan penuh antusiasme.
"Mau balik kantor dulu aku, Die… Nanti habis sarapan, ke kantor sebentar ya… Ada dua jadwal acara atraksi naga dan barongsai yang harus kauhadiri lusa dan Jumat depan. Masih ingat kan?" tanya Pak Qenny Winston Lee, sang manager, sembari mengerjap-ngerjapkan matanya di depan Erdie Vio.
"Oke… Oke, Pak Qenny Winston…" kata Erdie Vio sambil mencolek sebentar dagu sang manager yang memang sedikit feminin itu.
Pak Qenny Winston Lee langsung menepiskan tangan Erdie Vio dengan seraut wajah yang dingin tapi menggemaskan, "Jangan sembarang pegang-pegang ya, Die. Biaya perawatan wajahku ini mahal, bisa sampai 500 dollar per sekali terapi – asal kau tahu saja ya…"
Pak Qenny Winston berpaling ke arah pintu depan. Dengan goyangan pinggulnya, dia menelepon sopirnya dan berjalan ke arah pintu depan. Pas sekali ketika dia sampai di pintu depan, mobilnya juga sampai di hadapannya dan ia tinggal naik.
"Sudah jam 10 ini loh, Die…" kata Sabrina Marcelina langsung menggandeng tangan sang pujaan hati dan mereka berlalu dari tempat itu.
"Iya… Iya… Aku tahu… Aku sendiri juga sudah lapar kok…" tukas Erdie Vio.
Tak lama kemudian, sudah tampak sepeda motor Erdie Vio melaju keluar dari pelataran parkir gedung tinggi tersebut.
***
Waktu sudah menunjukkan pukul dua siang. Sabrina Marcelina pergi ke yoga sebentar. Jadi, Erdie Vio balik ke kantor sendirian. Karena dia sudah tidak lagi mengantar Sabrina Marcelina, dan karena cuaca siang hari di langit Singapura begitu panas, dia pulang sebentar ke apartemennya untuk mengganti sepeda motor menjadi mobil. Sampailah ia di kantor pada jam dua siang. Dengan menaiki lift ke lantai lima, ia langsung bergerak ke kantor sang manager. Dari jarak beberapa langkah ke pintu kantor sang manager, dia mendengar suara manager- nya yang begitu lantang. Kedengarannya ia sedang berteriak-teriak memarahi seseorang.
"Ada apa ini?" tanya Erdie Vio memunculkan kepalanya ke dalam ruangan dari celah pintu yang tidak terkunci.
"Ini loh…!" kata Pak Qenny Winston menunjuk ke seorang pemuda awal dua puluhan yang terduduk lemas dengan kepala menunduk di hadapannya.
"Ada apa dengannya?" kata Erdie Vio mendaratkan pantatnya di sebuah sofa di sudut ruangan kantor Pak Qenny Winston.
"Namanya James Huang… Seorang collector officer agen kita, bekerja dengan agen kita sejak tahun 2016, dan ketahuan menggelapkan uang-uang yang dibayarkan oleh pelanggan kita sebanyak 40 ribu dollar!" kata Qenny Winston tidak memberi ampun lagi. "Orang accounting sudah mengecek semua hasil korupsinya dan dengan bukti semua laporan keuangan yang ada, dia tidak bisa mengelak lagi! Menurutmu, Die… Dia harus kita serahkan ke polisi atau kita yang panggil polisi ke sini?"
Sontak kedua mata James Huang membesar. Tampak dia mulai berkeringat dingin dan tidak tenang.
"Yah kita pecat saja… Kenapa harus diserahkan kepada polisi? Memangnya dia baru saja membunuh orang? Kan tidak…!" kata Erdie Vio acuh tak acuh.
"Dia bukan sekali dua kali korupsi uang jasa kita yang dibayarkan oleh pelanggan, Die! Dia sudah sering melakukannya selama setahun belakangan ini! Ini bisa jadi kasus perdata yang serius jika kita menuntut ganti rugi dari dirinya dan keluarganya! Iya kan?" sepasang mata Qenny Winston mendelik tajam ke si pemuda yang ada di hadapannya itu.
Erdie Vio mendekati James Huang sekarang, "Kenapa kau melakukannya? Tidak cukup uang kan bisa mengajukan pinjaman kepada perusahaan."
"Ayo jawab! Kau tidak bisu kan?" satu tamparan didaratkan oleh Qenny Winston ke wajah James Huang.
Akhirnya, James Huang memberanikan dirinya mengangkat kepalanya dan memperlihatkan kedua bola matanya yang sudah tergenang air mata.
"Ayah ibuku mau mencari sebuah apartemen yang siap huni, yang merupakan milik kami sendiri," kata James Huang akhirnya, meski ia masih takut-takut dan tidak berani menatap kedua lawan bicaranya secara langsung.
"Memangnya selama ini tinggal di mana?" tanya Erdie Vio.
"Di apartemen sewaan. Harga sewanya naik terus dari tahun ke tahun. Ayah ibuku hanya berjualan mie pansit di pasar. Aku berjanji akan cari uang yang banyak membantu mereka membeli sebuah apartemen yang merupakan milik kami sendiri," kata James Huang akhirnya.
Satu tamparan dari Qenny Winston mendarat lagi ke wajah James Huang.
"Yah begitulah manusia…" kata Erdie Vio dengan senyuman simpulnya, "Jika saja kau mengajukan pinjaman kepada perusahaan, mungkin saja sekarang kau sudah menghuni apartemen baru, dan tiga tahun lagi apabila kau masih bekerja di sini, kau tidak perlu melunasi cicilannya lagi karena perusahaan yang akan melunaskannya untukmu."
Mata James Huang membesar. Tampak sedikit sorot penyesalan di sana.
"Mungkin kau baru bekerja di sini selama dua tahun, jadi kau kurang tahu betul tentang kebijakan perusahaan yang satu ini. Bagi karyawan-karyawati yang loyal, dengan prestasi kerja memuaskan, dan yang sudah bekerja lima tahun ke atas, apabila membutuhkan peminjaman dana, bisa diajukan ke perusahaan. Segala syarat dan ketentuannya akan diputuskan oleh perusahaan," kata Erdie Vio tenang nan santai.
Sekarang Qenny Winston menatap Erdie Vio lurus-lurus. Dia mereka-reka apa yang akan dilakukan oleh Erdie Vio jika si James Huang ini memohon kesempatan kedua.
"Jadi… Jadi… Jadi sepertinya aku sudah tidak diberikan kesempatan kedua lagi ya?" tanya si James Huang yang memang bermuka tembok.
Tebakan Qenny Winston benar adanya. Sekarang dia jadi penasaran kira-kira apa jawaban Erdie Vio terhadap orang yang bermuka tembok seperti ini.
Erdie Vio tersenyum lebar sekarang, "Kau masih muda, jadi pengalamanmu masih kurang. Kau harus ingat, James Huang… Kadang kesempatan itu hanya datang sekali, tidak dua kali."
Mendengar itu, James Huang hanya bisa merapatkan bibirnya.
"Kau beruntung sekali karena mood Pak Qenny Winston hari ini lagi baik. Jika tidak, kau akan kehilangan lebih dari 40 ribu dollar hari ini, James Huang. Jadi, apa lagi yang kau tunggu? Sebelum kau berurusan dengan polisi, aku rasa lebih baik kau cepat pergi dari sini."
"Terima kasih, Bang Erdie Vio… Terima kasih, Pak Qenny Winston… Terima kasih karena tidak mengkonfrontasikan hal ini lebih lanjut denganku," terdengar kalimat James Huang yang tergagap-gagap.
James Huang mengangkat tubuhnya dari kursi dan segera menghilang keluar.
"Kenapa kau melepaskannya begitu saja?" Qenny Winston menepuk ringan bahu Erdie Vio. "Enak saja dia ya telah ambil uang perusahaan sebanyak 40 ribu dollar dan kini masih enak-enak melanglang di luar sana. Kau kadang terlalu baik deh, Die…"
Sebenarnya Qenny Winston kurang setuju dengan cara penyelesaian Erdie Vio. Namun, karena Erdie Vio juga termasuk salah satu artis yang berpengaruh dan mendatangkan banyak keuntungan buat perusahaan selama tiga tahun terakhir, mau tak mau dia ikut-ikutan menyetujui cara penyelesaiannya.
Erdie Vio tersenyum lebar lagi, "Aku tahu bagi perusahaan ini, kehilangan 40 ribu dollar sama sekali tidak berpengaruh dan tidak bisa menggoyangkan stabilitas perusahaan ini. Namun, jika kau menuntut si James Huang itu ganti rugi uang 40 ribu dollarnya, itu akan menjadi masalah hidup dan mati baginya. Sudahlah… Mundur beberapa langkah merupakan persiapan awal kita untuk maju sepuluh langkah."
"Jadi apa yang harus aku laporkan mengenai raibnya uang perusahaan sebanyak 40 ribu dollar ini?" tanya Qenny Winston dengan senyuman skeptis terhadap Erdie Vio.
"Laporkan saja apa adanya. Bilang saja kita memecatnya dan tidak ingin memperpanjang masalah ini dengan segala macam tuntutan dan prosedur di kantor polisi, apalagi pengadilan. Bilang saja uang itu akan kita ganti dengan popularitas film Kemelut Cinta yang sedang naik tayang sekarang ini. Sudah bisa kan…?"
Qenny Winston merapatkan bibirnya.
"Awas ya kalau aku sempat kena ngomel di rapat direksi ya…" kata Qenny Winston mulai menghidupkan komputer dan membuat laporannya.