PROLOG
Mendadak aku merasa segala asa 'kan menghilang.
Mendadak aku merasa penantian tak lagi berarti… Mendadak aku merasa segala mimpi dan khayalan akan tumpang tindih dan kemudian lenyap…
Mendadak aku ingin membalikkan badan ini, kembali ke masa lalu, kembali ke masa ketika aku masih belum mengerti pahitnya kehidupan seorang dewasa, ke masa ketika hanya ada segelintir dongeng kanak-kanak yang kini terlupakan, ke masa di mana ada sejuta impian serta khayalan tak berbatas, ke masa ketika aku masih bisa memandang ke masa depan dengan penuh optimisme.
Mendadak aku merasa hidup ini tidak lagi berarti… Mendadak aku menjadi tidak mengerti… Segala impian serta khayalan masa lalu berubah menjadi sejuta pertanyaan yang membingungkan. Ke mana sebenarnya aku harus melangkah? Untuk apa sebenarnya hidup ini? Untuk apa kita hidup jika pada akhirnya nanti kita akan mati? Apakah kematian merupakan jawaban akhir dari segala kebingungan ini? Apakah aku harus mati dulu untuk mengetahui untuk apa aku dilahirkan ke dunia ini? Jika memang ada Sang Pencipta, yang maha mengetahui segala-galanya di alam semesta ini, aku rasa pertanyaan kecil nan sepele seperti ini takkan menjadi masalah bagi-Nya bukan?
BAB 1
Sydney, 10 Juli 2018
Musim panas tampaknya perlahan-lahan sudah berlalu. Semilir angin musim gugur mulai terasa di seantero kota. Mulai tampak banyak orang yang mengenakan mantel dan topi ketika mereka keluar rumah. Meski demikian, kota Sydney tetap kelihatan ramai dengan aktivitas sejumlah penduduknya yang berangkat ke sekolah, bekerja, dan membuka bisnis penghidupan masing-masing. Segala jenis transportasi umum tampak dipadati oleh anak-anak kecil yang berangkat ke sekolah, anak-anak dewasa muda yang berangkat ke kampus, dan orang-orang dewasa yang berangkat ke tempat kerja. Sesekali akan tampak beberapa sepeda dan mobil pribadi yang berlalu-lalang di jalan utama di kota itu.
Erick Vildy sesekali menyesap susu panasnya pagi itu. Dia melihat ke jam tangannya sebentar. Masih pukul delapan pagi. Kelasnya akan dimulai jam sepuluh nanti. Duduk di tengah-tengah kafetaria universitas yang langsung menghadap ke jalan besar di depan, dia selalu menikmati saat-saat santainya seperti sekarang selama masa mengajarnya di universitas tersebut dua tahun belakangan.
"Kau tidak ada kelas hari ini?" tanya sebuah suara dari belakang.
Erick Vildy tidak menoleh ke belakang. Ia tersenyum sesaat karena ia sudah tahu siapa pemilik suara lembut sarat dengan atmosfer kewanitaan tersebut.
"Bukan sekarang. Jam sepuluh nanti. Aku masuk kelas academic writing. Kau? Kok tidak ada kelas dan masih bisa bersantai di sini?" tanya Erick Vildy menatap wanita yang kini berdiri tegak di hadapannya.
Mengenal Melisa Rayadi sejak kecil, tentu saja Erick Vildy sudah sangat mengenal wanita ini. Ia sudah hafal betul segala perangai, kepribadian, gerak-gerik dan bahkan segala pandangan dan pendapat wanita ini. Dan dari perangai Melisa Rayadi sekarang ini, Erick Vildy bisa sedikit banyak menebak pasti ada masalah yang muncul, dan tentu saja masalah tersebut berkenaan dengan dirinya.
Melisa Rayadi tidak menjawab apa-apa. Dia kesulitan mencari cara yang tepat untuk menjelaskan permasalahannya kepada Erick Vildy. Dia ingin Erick Vildy tanggap terhadap permasalahan tersebut, dan juga ingin agar permasalahan tersebut tidak menyulut emosinya. Menyerah dengan perang batin dalam dirinya sendiri, akhirnya ia mendaratkan pantatnya di sebuah kursi di hadapan Erick Vildy.
"Ada apa sih? Pasti ada sesuatu yang buruk kan?" Erick Vildy mulai mengerutkan dahinya.
Melisa Rayadi hanya bisa menganggukkan kepalanya.
"Dan sesuatu yang buruk itu ada hubungannya denganku?" tanya Erick Vildy lagi. "Ada apa sih?" tanya Erick Vildy lagi ketika dia tidak mendapat respon yang ditunggu-tunggunya dari lawan bicaranya.
Melisa Rayadi menghela napas panjang sejenak. Tampak Erick Vildy memesan minumannya yang kedua karena susu panasnya tadi sudah habis.
"Gadis yang kemarin kaumarahi itu hari ini datang dengan pacarnya. Pacarnya tidak terima kau bentak-bentak dia. Pacarnya kini ada di ruang dekan. Dekan suruh aku memanggilmu sebentar. Dekan dan pacar gadis itu tampaknya menginginkan sebuah penjelasan darimu, Rick," Melisa Rayadi menyelesaikan narasi singkatnya dengan wajah penuh kecemasan.
"Gadis yang aku marahi kemarin? Maksudmu si Yolanda Velasquez, anak Spanyol itu?" sepasang alis Erick Vildy mulai naik.
"Iya loh..." kata Melisa Rayadi agak gelisah. Jelas tampak Erick Vildy mulai naik emosinya. "Makanya kubilang padamu kemarin, Rick. Kita ini mengajar di Australia, di universitas internasional, dan di kelas internasional pula, jadi kita bertemu dengan para mahasiswa-mahasiswi yang dari berbagai negara, bukan hanya dari Australia dan dari Indonesia. Mahasiswi Indonesia saja aku rasa akan memberontak jika kamu marahi seperti kamu memarahi si Yolanda ini kemarin. Apalagi dia ini dari Spanyol, dan mungkin saja sejak kecil dia tidak pernah diperlakukan seburuk itu, Rick."
Naiklah emosi Erick Vildy sekarang. Melisa Rayadi terperengah di tempatnya. Dia sudah mengenal Erick Vildy sejak mereka masih kecil. Meski kini sudah menjadi seorang dosen dan mengajar di kelas perkuliahan internasional, perangai dan kepribadian dasarnya masih saja belum berubah. Terkadang di saat tenang dan baik, Erick Vildy akan menjadi orang yang penuh dengan ide-ide cemerlang nan fantastis. Namun, di saat kalap dan marah, dia akan menjadi seseorang yang sangat emosional dan temperamental. Semua kata-kata dan tindak-tanduknya yang keluar akan sangat kasar dan tidak terperkirakan. Itulah yang tidak diinginkan Melisa Rayadi terjadi hari ini.
"Dia tuh tidak bisa! Sudah berkali-kali diterangkan, academic writing-nya masih amburadul. Penggunaan beberapa tenses dasar dan tata bahasa yang sederhana saja dia masih salah! Belum lagi kita menilik ke koherensi antara topik dengan isi karangannya! Umpamanya kau adalah aku, aku yakin kau juga akan marah besar. Ada 50 orang dalam kelas itu. Sepuluh orang sama sekali tidak bisa, dan bahkan aku rasa tidak cocok masuk jurusan sastra Inggris. Salah satunya ya dia! Sembilan lainnya tidak ada masalah dan berjanji akan membenahi pengetahuan dan kemampuan bahasa Inggris mereka. Kok dia sendiri yang sewot!" tampak mata Erick Vildy mulai menyala.
"Jadi apa yang kaubilang kepada mereka begitu mereka kausadari tidak menguasai academic writing yang kauajarkan?" tanya Melisa lagi.
"Ya aku bilang saja terus-terang. Mereka itu sebenarnya tidak cocok masuk jurusan sastra Inggris. Aku heran kok mereka bisa diterima di jurusan itu, di universitas bergengsi seperti ini pula! Jika mereka tidak mau mengejar ketertinggalan mereka mulai dari semester ini, aku tegaskan kepada mereka untuk siap-siap mempertimbangkan jurusan lain saja!"
Melisa menutupi mulutnya dengan kedua tangannya. Kedua bola matanya agak sedikit membesar sambil terus menatap ke Erick Vildy di hadapannya.
"Astaga, Rick! Aku memang tahu bahasa Inggrismu sangat paten dan kau bahkan bisa tembus sampai ke universitas di Sydney ini. Tapi, tolong ingatkan dirimu sekali lagi, Rick. Dia bukan dari Indonesia, bukan dari Asia – sama seperti kita! Dia itu dari Eropa, dari Spanyol, Rick…! Budaya di sana, dan cara para orang tua mendidik anak-anak mereka itu berbeda total dengan budaya dan kebiasaan kita! Lihat sekarang nih! Pacarnya datang meminta sebuah penjelasan!"
"Aku rasa aku tidak perlu menjelaskan apa-apa! Toh bukan aku yang salah! Toh otaknya sendiri yang tidak bisa mencerna pelajaran apa yang kusampaikan!"
"Pak Dekan menunggumu di ruangannya, Rick. Aku rasa kamu tetap harus menyiapkan sebuah penjelasan yang rasional. Pacarnya itu menganggap kata-katamu terlalu kasar, sama sekali tidak mendidik dan bahkan menjatuhkan mental si Yolanda ini. Kau tetap harus menjelaskan alasanmu di balik kata-kata kasar dan kemarahanmu itu, Rick," kata Melisa tetap teguh pada pendiriannya.
Erick Vildy memicingkan matanya sambil mengepalkan tangan kanannya.
"Aku paling benci ketika aku harus meminta maaf atas kesalahan yang sebenarnya bukan kesalahanku!"
"Seperti permasalahanmu dengan Erwie dan Erdie dulu?" tanya Melisa menyipitkan matanya.
"Jangan bicarakan kedua orang itu lagi, bisakah kau!" nada suara Erick Vildy naik tiga oktaf sekarang. Ia lebih mirip berteriak daripada berbicara.
Erick Vildy mendorong kursinya mundur ke belakang. Dengan kasar, dia meneguk habis sisa kopinya. Dia langsung mengambil langkah-langkah cepat meninggalkan kafetaria kampus. Melisa Rayadi mengikutinya. Karena menyadari dia diikuti oleh Melisa, dia menghentikan langkah-langkahnya sejenak, terus menoleh ke belakang dengan kasar.
"Kenapa kau mengikutiku?"
"Tentu saja aku ikut kau ke kantor Pak Dekan, supaya kau tidak kehilangan kendali di sana dan melakukan sesuatu yang bisa membuatmu menyesal di kemudian hari," kata Melisa ketus.
Erick Vildy mendengus sesaat. Dia berbalik ke depan lagi dan meneruskan langkah-langkahnya ke kantor dekan.
***
Tuan Joseph Brown mempersilakan Erick Vildy duduk di salah satu kursi di ruangannya. Melisa Rayadi tidak masuk. Dia hanya berdiri di pintu luar dan menguping pembicaraan di dalam ruangan melalui celah pintu yang memang sengaja tidak ditutup rapat oleh Erick Vildy ketika ia masuk.
"Benarkah Yolanda Velasquez ini adalah salah satu mahasiswi Anda?" tanya Joseph Brown berusaha memilah kata-kata yang tepat nan sesuai.
"Iya, benar… Ada apa ya, Pak Joseph?" tanya Erick Vildy seperti seorang prajurit yang bersiap-siap maju ke medan perang.
"Perkenalkan… Ini Alejandro de Santino, kekasih Yolanda Velasquez. Saya dengar kemarin Anda memarahi Yolanda ini hanya karena dia tidak begitu menguasai materi yang Anda sampaikan. Benarkah itu, Pak Erick?" tanya Joseph Brown.
Alejandro de Santino memajukan tubuhnya ke depan beberapa senti, "Saya rasa… Saya rasa… Saya rasa sikap Pak Dosen kurang tepat. Memang pada awal Yolanda mendaftar ke jurusan sastra Inggris ini, kedua orangnya di Madrid sana juga tidak begitu menyetujuinya, Pak Dosen. Saya sendiri juga tidak begitu setuju. Saya rasa Yolanda ini lebih cocok di jurusan fashion designing daripada di jurusan English Literature. Namun, karena Yolanda begitu tertarik dengan jurusan sastra ini dan kelak ingin sekali menjadi seorang penulis novel atau penulis skenario, saya harap Anda juga seperti saya dan kedua orang tuanya, ikut mendukungnya, bukan malah menjatuhkan mentalnya."
Erick Vildy mengangkat tangannya ke udara sejenak.
"Bisa saya tahu dari mana Anda bisa menyimpulkan bahwa saya telah menjatuhkan mentalnya?"
Yolanda menarik lengan kekasihnya, bermaksud untuk menyudahi percakapan itu. Dia sudah sangat mengenal watak dosennya yang satu ini. Semakin didesak, pertahanan dan kekuatannya akan semakin ngeri. Yolanda mulai merasa takut-takut. Dia mulai menyesali keputusannya mengizinkan sang pangeran pujaan bertemu dengan dosennya pagi ini. Dia memiliki semacam firasat pagi ini akan menjadi pagi yang buruk buatnya.
"Tentu saja dengan membentaknya, itu sudah termasuk menjatuhkan mentalnya, Pak Dosen. Apalagi ini Anda juga ada bilang bahwa Yolanda sama sekali tidak cocok dengan jurusan sastra Inggris ini. Dan jika dalam semester ini, Yolanda tidak mau mengejar ketertinggalannya, dia harus mempertimbangkan jurusan lain. Saya rasa… Saya rasa… sikap Anda itu bukan mencerminkan sikap seorang dosen. Sikap Anda itu lebih mirip dengan sikap seorang hakim yang memang berniat menjatuhkan mental si tersangka sebelum Anda memberikan vonis hukuman penjara kepadanya. Maaf jika saya terlalu lancang. Tapi, saya rasa sebagai seorang dosen pun, Anda tetaplah seorang manusia. Manusia mana pun di dunia ini memerlukan apa yang namanya introspeksi diri."
"Dan ketika saya sudah siap dengan introspeksi diri saya, saya tetap tidak bisa melihat di mana kesalahan saya sehingga Anda pagi-pagi begini datang ke sini dan mengkonfrontasikan masalah ini dengan saya. Saya sama sekali tidak memberikan hukuman fisik kepada Yolanda. Saya hanya memberinya beberapa teguran. Mungkin saya sedikit kehilangan kendali sewaktu menegurnya, karena ini sudah semesternya yang ketiga di sini, sementara dia masih belum menguasai penggunaan beberapa tenses dan tata bahasa dasar dalam bahasa Inggris. Menurut Anda, apakah kekasih Anda ini cocok mengambil jurusan sastra Inggris?"
Tampak Alejandro de Santino memicingkan matanya sejenak, menahan segenap emosinya yang sudah bergejolak.
"Saya hanya memberinya beberapa teguran keras. Masih ada banyak jurusan lain. Kalau diri sendiri tidak cocok dengan suatu jurusan tertentu, mengapa harus dipaksakan? Jika satu teguran keras seperti ini tidak bisa dijadikan cambuk bagi diri sendiri untuk suatu perubahan yang lebih baik lagi ke depannya, saya rasa jangankan di sini, Pak Alejandro, di tempat mana pun di dunia ini, kekasih Anda itu takkan bisa mempertahankan keberadaannya."
Alejandro de Santino serta-merta menggebrak meja. Joseph Brown terkejut. Lelaki setengah baya itu kontan membetulkan letak kacamatanya. Melisa Rayadi yang berdiri di luar ruangan juga terperanjat. Hanya Erick Vildy yang tetap tidak bergeming di tempatnya.
"Yang Anda ajari itu adalah kekasih saya, calon istri saya, Pak Erick Vildy! Jadi, saya rasa Anda jaga sedikit cara bicara Anda!" mulai terdengar nada ketegasan di sini.
"Saya sudah berusaha semampu saya, sebagai seorang dosen, untuk mengajarkan yang terbaik kepada Yolanda. Jika maksud baik saya itu disalahtafsirkan, saya juga tidak ada pilihan lain," kata Erick Vildy dengan gigi-giginya yang mulai bergemeretak.
"Saya harap Anda bisa menegakkan keadilan di sini dan memberikan penjelasan yang berarti kepada Yolanda, kekasih saya, Pak Brown," teriak Alejandro de Santino mengarah ke Joseph Brown. "Jika tidak, Yolanda akan pindah ke universitas lain."
"Sabar dulu… Sabar dulu… Sabar dulu, Pak Alejandro. Saya akan membicarakan masalah ini dengan Pak Erick Vildy. Saya rasa Anda bisa kembali lagi besok dan saya akan mengusahakan yang terbaik untuk menyelesaikan persoalan ini. Bisakah…?" tampak Joseph Brown yang agak takut-takut dengan kemarahan dari Alejandro de Santino.
"Iya… Lebih baik memang begitu," kata Alejandro de Santino dengan tatapan matanya yang tajam. Akan tetapi, Erick Vildy malah balas menatapnya tanpa keder sedikit pun.
Alejandro de Santino menggandeng tangan sang kekasih. Keduanya segera berlalu dari tempat itu. Tinggallah Joseph Brown dan Erick Vildy.
"Tidak bisakah Anda lebih lembut sedikit, Pak Erick? Sikap Anda sama sekali tidak mencerminkan sikap seorang dosen. Saya agak heran sekarang kenapa pihak personalia bisa meluluskan Anda, dan kenapa Anda bisa bertahan mengajar di sini hampir dua tahun lamanya," kata Joseph Brown memandangi salah satu dosennya dengan segenap pandangan dingin.
Melisa Rayadi menyadari Erick Vildy akan segera kehilangan pekerjaannya di universitas ini. Namun, dia tahu Joseph Brown merupakan sesosok pimpinan yang tegas dan tidak bisa dibantah. Dia sama sekali tidak berani menginjakkan kaki ke dalam ruangan si dekan dan membela rekan setanah air dan seperjuangannya tersebut. Dia hanya bisa terpaku di luar dengan kekalutannya yang menjadi-jadi.
"Mengapa Anda begitu takut dengan mahasiswa-mahasiswi dan wali-wali atau orang tua mereka?" tanya Erick Vildy langsung menusuk ke pokok permasalahannya.
"Anda… Anda… Anda sampai mempertanyakan sistem management saya di universitas ini, Pak Erick Vildy! Anda bukan siapa-siapa di sini! Anda tidak berhak ikut campur ke dalam sistem management saya! Camkan itu!" terdengar teriakan Joseph Brown sekarang.
Erick Vildy terus memandangi Joseph Brown di hadapannya, seolah-olah menunggu sampai lelaki setengah baya itu selesai bicara, barulah ia menuangkan segala ide dan gagasannya.
"Anda harus tahu ayah dari Alejandro de Santino itu adalah salah satu pemegang saham di universitas ini, Pak Erick Vildy. Jika bukan karena sokongan dana dari ayah Alejandro de Santino itu, universitas ini takkan menjadi salah satu universitas swasta paling bergengsi di kota ini. Anda harus camkan itu dan Anda harus sadar dengan siapa Anda sedang berhadapan! Anda tidak boleh suka-suka di sini! Jika ayah dari Alejandro de Santino itu ada di sini, Anda…"
Langsung Erick Vildy menyela narasi panjang Joseph Brown yang belum selesai.
"Jika ayah dari Alejandro de Santino itu ada di sini, dia takkan seperti anaknya itu, takkan seperti Anda yang membicarakan hal-hal yang tidak logis! Jelas sekarang, Pak Joseph!" dentum Erick Vildy seketika.
Kesabaran Erick Vildy sudah mencapai titik maksimal. Memang Melisa Rayadi benar adanya. Dia tidak mungkin bisa sabar sesabar-sabarnya dalam kondisi dia harus meminta maaf atas kesalahan yang dia yakin bukan merupakan kesalahannya.
"Anda… Anda…" mulut Joseph Brown menganga lebar, shocked dengan perangai asli yang ditunjukkan Erick Vildy di hadapannya.
"Dengarkan saya, Pak Joseph! Saya murni bergelut dalam dunia pendidikan, bukan dalam dunia bisnis. Saya tidak bisa seperti Anda, yang demi posisi, jabatan, dan gaji Anda itu, lantas bersikap munafik dan memutarbalikkan antara kebenaran dan kepalsuan! Jelas-jelas saya hanya menegur si Yolanda itu; saya sama sekali tidak memberinya hukuman fisik! Karena gengsi dan harga diri, si Alejandro itu mau menggunakan kekuasaan dan kedudukannya untuk menginjak saya sehingga saya mau meminta maaf atas kesalahan yang sesungguhnya tidak saya perbuat! Saya mau tanya, Pak Joseph! Otak Pak Joseph ada kan?"
Joseph Brown tidak bisa menahan emosi dan amarahnya lagi, "Keluar sekarang juga, Pak Erick! Keluar sekarang juga dari ruangan saya!"
Terdengar teriakan Joseph Brown yang membahana dari dalam ruangannya. Melisa Rayadi menutup kedua telinganya kuat-kuat.
"Tanpa Anda suruh, saya juga sudah mau keluar dari ruangan ini sejak tadi, Pak Joseph! Saya tidak mau mengajar di sini lagi. Anda cari saja dosen-dosen lain yang bisa bersama-sama dengan Anda menjilat pantat para mahasiswa-mahasiswi kaya raya itu!"
Erick Vildy langsung keluar dari ruangan sang dekan universitas itu, meninggalkan sang dekan dengan sepasang bibirnya yang menganga. Melisa Rayadi mengejar-ngejar rekan setanah airnya lagi.
"Rick! Rick! Tunggu sebentar! Kau mau keluar begitu saja dari universitas ini?"
"Iya! Aku sudah tidak tahan dengan segala macam sandiwara kemunafikan dan permainan politik ini! Tidak di Medan, tidak di Sydney, semua manusianya sama saja! Cih! Menjijikkan!"
"Jadi rencanamu sekarang bagaimana?"
"Ya tentu saja aku akan mencari universitas atau sekolah lain, Melisa Sayang… Masa aku mau berakhir sia-sia di sini, dan kemudian balik ke Medan lagi untuk ditertawakan orang-orang, terutama oleh kedua orang itu! Jelas itu mustahil bukan?" kata Erick Vildy lagi-lagi dengan gigi-giginya yang bergemeretak.
"Sudahlah, Rick… Jelas-jelas kau tahu bukan tempatnya yang salah, tapi manusianya yang salah. Bukan Medan yang salah, juga bukan Sydney yang salah, tapi manusia-manusianya yang salah, Rick…" kata Melisa.
"Iya… Aku mengerti sekarang… Ke mana pun aku pergi, sama saja… Manusia-manusianya yang menentukan nyaman tidaknya suatu tempat, bukan tempat itu sendiri. Tapi, aku akan tetap di sini. Aku takkan kembali sebelum aku mewujudkan impianku. Aku takkan kembali hanya untuk ditertawakan oleh banyak orang, terutama oleh kedua orang itu! Tidak akan!" kata Erick Vildy seraya mengepalkan tangannya lagi.
Melisa Rayadi terhenyak seketika. Dia menatap Erick Vildy dengan tatapan nanar. Dia menangkap maksud yang sebenarnya dari kalimat terakhir lelaki itu.
"Sudah hampir lima tahun…" kata Melisa Rayadi dengan pandangannya yang menerawang, "sudah hampir lima tahun, dan kau belum melupakan gadis itu, Rick… Kau belum melupakannya…"
"Tentu saja aku akan ingat selalu… Aku akan mengingatnya selalu, mengingat semua kenangan kebersamaan kami dulu, dan mengingat cinta yang pernah kami bagi bersama. Aku akan mengingatnya selalu, Mel, meski kini dia sudah tidak ada lagi di dunia ini…"
Erick Vildy berlalu begitu saja. Melisa Rayadi mengikuti kepergian laki-laki itu dengan sepasang matanya yang mulai berair.
***
Malam sudah menyapa seantero kota. Kota Sydney tetap aktif di malam hari karena merupakan kota pelabuhan yang sibuk. Banyak kapal besar dan kecil yang berlabuh dari pelabuhan ataupun mendekat ke pelabuhan.
Di pusat kota, kita bisa menjumpai banyak kafe dan pusat-pusat pembelanjaan yang dipadati oleh banyak pengunjung dari berbagai negara. Para pekerja yang bekerja di tempat-tempat ini kebanyakan didatangkan dari negara-negara Asia, bukan dari Australia sendiri.
Tampak Melisa Rayadi menikmati es krimnya di salah satu kafe yang tampak khusus menjual es krim. Satu temannya yang lain juga tampak sedang menikmati es krimnya yang berwarna cokelat gelap.
"Jadi akhirnya Erick sudah keluar pagi tadi dan tidak lagi mengajar di universitas yang sama dengan kita?" tanya Quiddie Smith menatap ke teman bicaranya dengan sejuta rasa penasaran.
"Begitulah," jawab Melisa Rayadi singkat apa adanya.
Melisa Rayadi berpaling lagi ke Quiddie Smith. Dia sangsi apakah mau menceritakan segala keluh kesahnya kepada si Quiddie ini. Namun, karena Quiddie memang adalah gadis campuran antara Australia dan China, tentu saja sedikit banyak ia bisa mengerti permasalahan orang timur yang disampaikan dengan budaya orang barat.
"Ada apa?" Quiddie Smith tersenyum. "Terus terang saja, Mel. Mengenalmu selama dua tahun belakangan ini di universitas, aku merasa aku belum tahu banyak hal tentangmu. Apakah aku benar?"
"Misalnya apa?" Melisa Rayadi juga ikut-ikutan tersenyum.
"Misalnya adalah… Apa sebenarnya hubunganmu dengan Erick Vildy?" Quiddie Smith langsung menuju ke pokok permasalahannya. Dia merasa karena Melisa Rayadi yang mendadak mengajaknya hang out malam ini, pastilah gadis itu memiliki sesuatu permasalahan yang dia tidak tahu mau sharing ke siapa lagi.
Melisa Rayadi menghela napas panjang, "Kami adalah teman semasa kecil. Sekolah bersama, dan bahkan kuliah bersama. Ketika kami lulus S1 lima tahun lalu, dia memutuskan untuk bekerja di Australia sini. Aku ikut dengannya sampai ke sini. Dan, dua tahun lalu, salah satu kenalan ayahnya merekomendasikan kami mengajar di sebuah universitas swasta. Jadilah kami seperti yang kaulihat sekarang."
"Oh… Jadi kalian masuk dan bekerja di universitas karena ada koneksi?" Quiddie Smith mengerti sekarang. "Makanya aku jadi heran… Baru 26 tahun dan 25 tahun, kalian sudah jadi dosen dan mengajar S1."
"Tentu dong… Tamatan S1 jelas tidak mungkin diperbolehkan mengajar S1… Mulanya kami bekerja di sebuah restoran Asia di sudut kota. Bosnya orang Korea. Sampai akhirnya kenalan bisnis ayahnya di sini ketemu kami di sana dan merekomendasikan pekerjaan kami yang sekarang. Tapi, sekarang dia sudah kehilangan pekerjaan itu. Aku tak tahu lagi harus bagaimana. Jika ayah ibunya telepon dari Indonesia nanti, tak tahu lagi aku apa yang harus aku jawab."
"Kau mencintainya bukan?" tanya Quiddie Smith berterus terang.
"Ampun, Quid! Begitu gampangnya kau menyebutkan kata itu! Terus terang saja, sudah belasan tahun berlalu, dan bahkan sampai sekarang aku tidak memiliki kekuatan untuk menyampaikan kata itu kepadanya," kembali Melisa menghela napas panjang.
"Kalian orang timur sungguh aneh deh…" Quiddie menggeleng-gelengkan kepalanya. "Jika memang suka, katakan saja. Kenapa harus dipendam-pendam? Hidup ini singkat. Jangan sampai di akhir nanti, kau menyesal tidak pernah menyatakan perasaanmu pada Erick Vildy. Iya nggak?"
Melisa Rayadi tersenyum sumbang, "Sejak SMA dulu, dia mencintai gadis lain, Quid… Bahkan sampai sekarang. Menurutmu, bagaimana aku bisa berkesempatan untuk menyatakan perasaan ini padanya?"
Quiddie Smith memandangi lawan bicaranya tanpa berkata apa-apa. Dia mengerti posisi Melisa selama belasan tahun ini pasti sangat sulit. Umpamanya dia adalah Melisa, jelas dia sudah mencari cinta yang lain, jelas dia takkan mampu bertahan selama itu dalam harapan kosong dan mimpi yang semu. Kali ini Quiddie Smith yang menghela napas panjang. Apakah ini yang dinamakan cinta yang benar-benar cinta? Jelas-jelas dia tahu laki-laki yang diharapkannya itu mencintai perempuan lain, sama sekali tidak memandangnya walau sekali, dan dia masih menyokong, membantu, dan mendukung laki-laki itu ke mana pun ia pergi. Wow… Fantastis…!
Kembali angan-angan Melisa menyapa masa lalu…
Medan, 21 September 2012
Melisa Rayadi memangku sekotak cake yang berukuran medium. Dia bersembunyi di balik tambur-tambur, di balik barongsai-barongsai dan naga-naga yang disimpan dalam bangunan sanggar milik ayah Erick Vildy. Dia tahu Erick Vildy sedang membereskan beberapa persoalan administrasi dan dia akan pulang yang paling terakhir di antara semua anggota sanggar naga. Tampak laki-laki itu mulai menuruni anak-anak tangga dari lantai tiga ke lantai dua. Melisa Rayadi sudah begitu mengenal sosok Erick Vildy dari kecil, bahkan caranya berjalan dan derap-derap langkah kakinya sudah tidak asing lagi bagi Melisa.
Begitu Melisa yakin Erick Vildy sudah sampai di lantai dua, lilin-lilin yang dipasang di atas cake segera dinyalakan. Namun, begitu ia hendak membawa cake tersebut keluar, dia mendengar adanya derap-derap langkah kaki yang lain mendekati tempat Erick Vildy berpijak.
"Lho? Kau belum pulang, Stel?" tanya Erick Vildy terkejut.
Stella Kuangdinata mendekati Erick Vildy juga. Dari belakang punggungnya dikeluarkannya sekotak cake juga – dengan ukuran yang lebih kecil – dan dengan lilin-lilin kecil yang menyala di atasnya.
"Happy birthday… Happy birthday… Happy birthday to you…" terdengar nyanyian dari Stella Kuangdinata untuk Erick Vildy. Hancurlah seluruh pengharapan dan dunia Melisa Rayadi yang bersembunyi di balik barongsai dan naga dalam ruangan yang sama.
"Happy birthday, Rick… Panjang umur, sehat selalu… Semoga impian dan cita-cita tercapai," kata Stella Kuangdinata menyeringai.
"Thanks very much…" kata Erick Vildy mendaratkan satu ciuman mesra ke dahi sang putri pujaan. "Selain Erwie dan Erdie, kaulah yang mengingat hari ulang tahunku… Thanks, Sayang…"
"Tentu dong… Satu tahun kita bersama, jelas tidak mungkin aku bisa melupakan ulang tahunmu…" kata Stella tersipu-sipu malu. "Aku sudah siapkan satu perayaan kecil buatmu malam ini, Rick… Ke Sun Plaza saja yuk…"
"Oke… Oke... Bagaimana kalau kita mengajak Erwie dan Erdie? Bisa dibilang mereka adalah saudara angkatku. Lagipula, satu tahun kita bersama aku belum memperkenalkanmu pada mereka. Di malam ulang tahunku ini aku akan memperkenalkanmu pada mereka. Bagaimana…?"
Stella Kuangdinata tersipu-sipu malu lagi. Dia memutar balik badannya dan berdiri membelakangi Erick Vildy sekarang.
"Aku… Aku… Aku ingin merayakan ulang tahunmu ini, hanya denganmu, Rick… Tidak dengan yang lain… Aku tahu esok-esok hari kau masih punya banyak waktu untuk merayakannya dengan kedua saudara angkatmu itu, tapi… setidaknya… malam ini berilah waktumu hanya untukku seorang… Bisakah…?"
Erick Vildy akhirnya mengangguk mantap.
"Oke… Oke… Baiklah kalau begitu… Tunggu aku di mobil sebentar, Stel… Aku bereskan sedikit ini dulu dan habis itu, kita ke Sun Plaza. Oke…?" kata Erick Vildy menunjuk beberapa alat musik naga dan stick tambur yang masih mengonggok di lantai.
"Sudah jam tujuh lewat nih… Jangan lama-lama ya, Sayang…" kata Stella sedikit mengelus dagu sang pangeran pujaan sebelum akhirnya ia meninggalkan ruangan tersebut.
Tinggallah Erick Vildy seorang diri. Saat dia mulai memunguti alat-alat musik naga yang ada di lantai, dia mendengar adanya suatu isakan tangis. Dia berhenti sejenak. Jelas suara itu berasal dalam ruangan yang sama. Dia mencoba untuk berkonsentrasi lagi melacak dari mana sumber suara isakan tangis tersebut. Akhirnya ia sadar, suara isakan tangis tersebut berasal dari balik naga-naga dan barongsai-barongsai yang ditumpuk di sudut ruangan. Erick Vildy berjalan ke sudut ruangan. Disingkirkannya beberapa barongsai dan naga. Dia sungguh terperanjat menyadari keberadaan Melisa yang menangis tersedu-sedu dengan sejuta air mata yang menganak sungai di ekor matanya.
Melisa Rayadi juga terperanjat karena keberadaannya diketahui oleh Erick Vildy. Dia cepat-cepat menyeka ekor matanya dan mengeringkan air matanya. Namun, ketika ia berdiri, tentu saja Erick Vildy dengan sigap mengetahui bahwa perempuan itu baru saja menangis. Erick Vildy melihat ke sebuah tambur yang tepat ada di samping Melisa. Tampak di atas tambur sebuah cake dengan beberapa lilin kecil yang sudah terbakar sampai setengah.
"Apa yang kaulakukan di sini, Mel? Kok belum pulang?" Erick Vildy tidak tahu lagi kata-kata apa yang mesti diucapkannya untuk menetralisir kekakuan tersebut.
"Tidak apa-apa… Aku sedang membereskan beberapa peralatan bunyi-bunyian naga. Sebentar lagi aku pulang. Kau pulanglah dulu. Sudah jam tujuh juga… Nanti kau ditunggu tuh…" kata Melisa setenang dan sedingin mungkin, namun tidak disadarinya suaranya itu sedikit gemetaran.
Menyadari ia telah salah bicara, Erick Vildy menepuk jidatnya sebentar.
"Terima kasih ya, Mel…" kata Erick Vildy setelah lima detik membisu. "Thanks karena sudah mengingat hari ulang tahunku. Aku… Aku… Aku ingin merayakannya denganmu juga, tapi… tapi… tapi…"
Kali ini Melisa Rayadi berpaling, mencoba untuk memberikan senyuman yang paling indah, yang paling menenangkan.
"Tidak apa-apa, Rick… Aku mengerti kok… Kau pulanglah dulu. Aku yang tutup pintu nanti," kata Melisa memberikan cake- nya kepada Erick Vildy. "Maaf… Kau lama sekali tadi. Lilin-lilinnya sudah sampai setengah, kau baru datang. Happy birthday, Rick… Impian dan cita-cita cepat terwujud ya…" kata Melisa dengan sebersit seringai pada wajahnya.
Erick Vildy menerima cake itu dengan segenap perasaan bersalah, segenap keharuan yang berbaur dengan sejuta kebahagiaan dan kebingungan nan dilematis dalam batinnya.
"Thanks very much, Mel… Thanks sekali karena kau sudah mengingat hari ulang tahunku…" kata Erick Vildy menerima cake tersebut.
Melisa Rayadi membalas kalimat laki-laki pujaannya dengan sebersit senyuman – senyuman yang agak sumbang sebenarnya. Dia berbalik badan lagi, pura-pura merapikan beberapa peralatan musik naga dan barongsai yang terdapat di atas tambur. Tak kuasa, air matanya mengalir setetes lagi dan membasahi tambur yang ada di depannya.
Pantulan sinar lampu oleh air mata itu tentu saja tertangkap oleh sinar mata Erick Vildy yang awas. Dia tidak bisa berkata dan berbuat apa-apa. Stella sedang menunggunya di mobil. Dia hanya bisa membalikkan badan, meninggalkan Melisa Rayadi – teman semasa kecilnya – dalam seribu duka dan nestapa, dalam keterpurukannya ke dalam jurang kesedihan dan kekecewaan yang tidak berujung.
"Cake dari siapa itu?" tanya Stella sedikit berseloroh ketika dia melihat Erick Vildy memangku cake lain yang bukan cake- nya.
"Dari mamaku dong…" kata Erick Vildy berusaha menyembunyikan kekalutannya dalam suatu seringai. "Yuk… Ke Sun Plaza kita…"
Tak lama kemudian, terdengar suara deru mesin mobil meninggalkan halaman bangunan sanggar.
Tak kuasa Melisa Rayadi kembali ke alam realita.
"Itu terjadi saat ulang tahunnya yang kedua puluh. Dia bertemu dengan gadis itu saat pertandingan naga nasional se-Indonesia di Batam. Gadis itu hanya memerlukan waktu satu tahun untuk membuat Erick tidak bisa melupakannya sampai detik ini. Namun aku… aku…" tampak mata Melisa Rayadi mulai berkaca-kaca, "aku telah menghabiskan waktu belasan tahun, dan sampai detik ini masih belum mendapatkan cinta yang kuharap-harapkan selama ini."
"Tapi dia menerima cake- mu juga waktu itu kan?" tanya Quiddie tersenyum sumbang.
"Ya, tapi yang ada dalam hatinya sampai sekarang adalah Stella, bukan aku, Quid… Tidak peduli betapa kerasnya aku berjuang, dia tidak pernah melihat ke arahku walau hanya sekali, Quid. Yang ada dalam hati dan pikirannya hanyalah Stella, Stella, dan Stella…" kata Melisa Rayadi langsung berdiri dari tempat duduknya.
"Sudahlah… Kau pasti bosan mendengarkan cerita percintaanku yang gagal. Es krimku sudah habis. Es krimmu juga sudah habis kan? Ayo kita pulang…" kata Melisa Rayadi langsung bergerak ke meja kasir dan melakukan pembayaran.
Quiddie Smith merapatkan bibirnya. Karena tampak Melisa Rayadi sudah mau pulang, dia memutuskan untuk tidak bertanya lebih lanjut lagi. Masih ada banyak kesempatan, pikirnya dalam hati.