Mona berjalan keluar dengan berjinjit. Sebelum Restu berbicara, dia berbicara terlebih dahulu. "Bu, Ayah, kalian mengatakan paman ketiga itu sudah lama berbuat seperti ini. Coba amati, dengan dua baris tanah itu, apa yang bisa mereka dapatkan selama setahun? Aku khawatir jika tahun depan mereka akan mencurangi kita lagi. Jelas paman melakukan ini karena selama ini keluarga kita hanya diam ketika ditindas. Tapi kali ini, mulut ini tidak akan bisa diam. Jika dibiarkan, mereka akan melakukannya lagi dan lagi. Aku tidak bisa membiarkan semua ini begitu saja."
Kata-kata sang anak menyentuh hati Restu dan Dewi. Terlepas dari seberapa mudanya usia mereka.Sejak berpisah dari keluarga inti nenek, anak-anak jelas lebih dewasa dalam melakukan banyak hal. Jika tidak ada pengalaman pahit seperti ini, anak-anak sekarang mungkin masih berpikiran polos dan bermain seperti anak seusianya.
Sayangnya, semua sudah terjadi. Semua ini sudah takdir dan harus tetap dijalani.
Paman mandor, Paman Danu dengan cepat datang setelah dimintai pertolongan oleh Eka. Melihat Dewi dan Restu gelisah, ia merasa penasaran. Sebenarnya apa yang membuat mereka khawatir? Bukankah semua sudah beres?
"Restu, apa yang membuatmu begitu khawatir? Katakan padaku apa yang terjadi, apa yang tak beres? Anak itu berkata bahwa luas tanahnya salah. Aku ingat anakmu meminta aku untuk menandainya. Jadi, aku datang kesini untuk memastikannya".
Paman mandor membawa meneliti kembali tanda khusus yang dibuatnya bersama Rano. Ketika dia melihat batas perkebunan sayur milik saudara Restu, alisnya mulai berkerut.
"Restu, jangan khawatir, aku akan pergi ke rumah paman ketigamu. Aku benar-benar tidak malu memperkarakan harta dengan orang serakah itu."
Mandor tua itu melangkah ke rumah Zainal di pagi hari. Zainal yang hendak pergi ke kebun sayur untuk melihat tanamannya berpapasan dengan mandor tua itu.
"Zainal, kemarilah, keluargamu sudah selesai menanami ladang, menurutmu apakah ada yang salah?"
Zainal memiliki ketakutan di dalam hatinya ketika dia mendengar mandor menanyakan hal ini. Tapi,dengan cepat ia menyangkal, "Paman mandor, keluarga kami memang terbiasa menanam tanaman yang berbeda setiap tahunnya, apakah itu salah?
Paman Danu paham benar perkataan itu hanya alibi. Ia sudah sering berurusan dengan orang-orang yang keras kepala "Zainal, hari ini saya ingin mengukur kembali tanah keluargamu. Mari kita lihat, apakah ada kecurangan yang dilakukan keluargamu."
Wajah Zainal menjadi pucat ketika mendengar kata ini. Dia tahu seperti apa hasilnya jika benar-benar diukur kembali. Dia mungkin tidak takut pada hal lain, tetapi dia benar-benar tidak tahan jika nama baiknya dipermalukan.
Ia langsung memasang wajah tertawa sebagai topeng, menyembunyikan ketakutannya, "Um, paman mandor, keluarga kami tidak melakukan kecurangan. Kami baru akan memberi tahu keluarga Restu jika yang menanam 2 baris sayuran itu adalah kami. Tapi, kami menanamnya untuk keluarga Restu"
Paman Danu mengikutinya ke ladang dengan gelisah. Zainal ditatap tajam oleh kapten tua kali ini. Dia tidak berani mengatakan apa-apa lagi. Ketika dia melihat Restu dan DEwi, dia mulai berteriak dan tertawa. "Restu, Paman Danu bingung. Keluargamu kan tidak punya banyak jenis sayuran, jadi keluarga kami membantu dengan menanamkan dua baris untukmu. Saat panen nanti, hasil dua baris itu akan menjadi milik keluargamu."
Zainal berpikir dia sudah berkata dengan sangat serius dan meyakinkan. Tetapi mona tak semudah itu dikelabui. Dia mengangkat wajahnya dan berkata dengan serius, "Paman, silahkan ambil kembali benih yang kau tanam. Kami tak mau kau menanamnya untuk kami karena kami ingin menanam jenis sayuran lain. Jika tidak, mandor akan mengurus semuanya"
Mona tidak peduli tentang alibi pamannya yang seakan menguntungkan keluarganya. Orang tua ini jelas menindas. Nenek pernah berkata di kehidupan sebelumnya, kita harus hidup mandiri jika tidak ingin ditindas.
Hari ini, Mona menyaksikan keluarganya akan ditindas oleh paman ketiga. Dan ia sama sekali tak akan membiarkannya.
Hari ini adalah pertama kalinya Zainal merasa bahwa anak di rumah keponakannya ini sangat sulit dikelabui. Mereka memang masih kecil, tapi pemikirannya kuat dan berani.
Ini adalah pertama kalinya lelaki tua itu dilawan oleh seorang anak. Warna di wajahnya mulai memerah. Mona dan Rano mengawasi dari samping. Melihat dirinya sedang dimarai anak kecil, paman sangat malu. "Paman, Kakek pernah berkata bahwa dia ingin kita menjadi orang yang jujur. Aku tak tahu paman memahami kejujuran atau tidak, tapi yang jelas, apa yang paman lakukan itu salah".
Mona membenarkan topi besar dan menyipitkan matanya. Sungguh, anak kecil ini terlihat sangat sombong kali ini.
Zainal ketakutan, kulitnya berubah warna menjadi pucat dalam sekejap. "Mona, paman bingung sekarang. Paman berjanji hal seperti ini tak akan terjadi lagi."
Mandor tua menimpali dari samping, "Oke, kamu harus pastikan kamu tidak akan mengulanginya lagi. Sekarang semua sudah beres, bersiaplah dengan aktivitas kalian masing-masing."
Setelah menyelesaikan urusan keluarga Restu, Paman Danu pergi. Sementara Zainal masih linglung, ia bingung mengapa rencananya bisa gagal semudah itu kali ini.
Dewi dan Restu merasa bebas kali ini. Mereka tidak harus dimanfaatkan orang lain kali ini.
Restu dengan sangat semangat memeluk putrinya, "Mona berkata benar, hari ini mayah belajar tentang tipuan paman."
Ranomengerutkan kening dan berkata, "Ayah, di masa depan nanti, kita tak boleh lagi diperdaya orang lain. Selama keluarga kita bersatu, kita tak perlu takut apapun, kita akan saling mendukung dan melindungi. Hanya saja, kami merasa tak nyaman ketika ada yang mengancam dan mengolok-ngolok keluarga kami "
Pria kecil itu menggelengkan kepalanya dengan tangan kecil di punggungnya. Perkataannya membuat semua orang bahagia.
"Anak baik, Ayah tahu apa yang harus ayah lakukan di masa depan. Ayo kita pulang."
Orang lain yang juga bangun pagi dan menanam sayuran saling menyapa keluarga Restu. Putra tertua dari keluarga nenek mengacungkan jempol kepada Restu, "Restu ini milikmu, bukankah tidak mudah merebut milikmu dari paman ketiga? Nikmatilah milikmu sekarang".
Restu tampak tak berdaya dan berkata, "Kakak, jangan tertawakan aku. Paman mandorlah yang membantuku. Tanpa dia aku bisa apa? Tapi, aku sangat puas karena paman Zainal benar-benar menerima imbas kecurangannya hari ini. Akhirnya, aku bisa bernafas lega. "
Setelah mendengarkan Mona untuk Paman Zainal, semua orang merasa puas. Mereka yang juga sering dimanfaatkan dan ditipu kini tersenyum lebar,
"Ngomong-ngomong, Restu, sebentar lagi musim hujan, pinjamlah uang dan bangunlah rumahmu. Jika tidak, semua keluargamu akan menderita. Jika nanti kamu butuh bantuan tenaga, bicaralah. Aku akan membantumu ."
Restu tersenyum dan berkata, "Terima kasih, Saudaraku, Aku akan sangat membutuhkan bantuanmu nanti. Aku akan mencari pinjaman nanti setelah bekerja", Restu menanggapi kakaknya dengan sangat sopan.