webnovel

Teman Kecilku

Jessica melihat teleponnya saat setelah Angga menutup pembicaraan keduanya. Dia merasakan ada yang aneh dengan Angga, namun memutuskan untuk tidak terlalu memikirkannya

Di dalam kamar mandi, Alana yang sedang menggosok-gosokkan sabun di kepalanya, dan tiba-tiba kembali mengingat tentang kejadian yang dikiranya "mimpi" malam itu. Kejadian itu entah kenapa muncul kembali dalam pikirannya.

Wajah seorang pria yang mendekapnya dengan erat. Dekapan itu membuatnya sakit dan dia merasakan ada sebuah benjolan keras di perutnya ...

Setelah memikirkan kejadian yang penuh gairah malam itu, dia bergegas menyelesaikan mandinya dan berpakaian.

Alana sangat tahu bahwa memang mereka berdua telah melakukan "itu", tetapi keesokan harinya, dia tidur seorang diri di kamar itu! Apa yang telah dia pikirkan pada malam itu!

Setelah mandi, dia langsung berbaring ke ranjangnya dan bersumpah tidak akan pernah bermalam di tempat pria itu atau di rumah orang asing manapun lagi.

Malam ini, ribuan bintang yang bersinar menerangi langit malam.

————

Musim penghujan sudah dimulai di bulan November ini.

Alana tidak tahan dengan hawa dinginnya. Saat-saat musim hujan seperti ini, dirinya selalu memakai pakaian yang cukup tebal untuk menjaga tubuhnya tetap hangat.

Namun, walaupun sudah memakai pakaian yang cukup tebal, dia masih saja terkena flu!

"Tidak apa-apa, aku sudah terbiasa. Aku biasanya memang flu di awal-awal musim ini!" ujar Alana sambil mendengus dan menepuk-nepuk pundak Jessica.

"Tapi kali ini—"

"Huh! kau sangat cerewet, Jess! Sungguh aku tidak apa-apa!"

Alana menolak kembali ke kamarnya untuk beristirahat, dan memutuskan untuk tetap pergi ruang klub bersama Jessica.

Dirinya harus tetap pergi, apapun yang terjadi.

Hanya tubuhnya yang lemah membuat jalannya sedikit susah saat sudah berada di ruang klub mereka.

"Reynaldi! Syukurlah!! Kau benar-benar tepat waktu��� ujar Alana bersemangat saat melihat Reynaldi sudah berada di dalam ruangan.

Jessica menghela nafas lega ketika dia melihat Reynaldi. "Gadis ini sakit selama seminggu, dan dia tetap ngeyel untuk bertemu denganmu."

"Jika aku diam dan tidak melakukan apapun, bisa-bisa aku tambah sakit, tahu! Jadi, bergerak dan beraktivitas akan membuatku cepat sehat"

"Hiperaktif sekali kau?" Reynaldi terdiam dan kemudian bertanya, "Kau sangat lincah sekali ya?"

"Jangan-jangan kau menderita ADHD!" Alana mengerutkan kedua alisnya dan memandang pria itu kesal. "Kau seperti tidak mengenalku saja. Aku tidak tahan harus tidur terus dan tidak melakukan apa-apa"

"Jadi, kau tidak peduli jika orang lain tertular karena dirimu?" ucap Reynaldi.

"Aku--"

"Baiklah. Ayo ikut aku!"

Setelah Reynaldi berkata seperti itukepada Jessica, dia menyeret dan mengajak Alana keluar dari ruang klub.

"Rey, Lepaskan! Aku baik-baik saja! Aku … -uhuk-!"

Reynaldi berhenti dan menepuk-nepuk punggung Alana. " Batukmu itu sama seperti batuk nenek-nenek tahu."

"Rey -uhuk-uhuk ..."

Tenggorokan Alana rasanya gatal sekali dan batuknya menjadi semakin parah.

"Kau sudah pergi ke rumah sakit?" tanya Reynaldi.

"Kemarin dokter sudah meresepkan obat untuku. Obat flunya selalu sama dan aku juga sudah meminumnya tadi" jawab Alana

"Kalau begitu, kenapa tambah parah?"

Reynaldi sudah mengenal Alana sedari kecil, dia sudah tahu kebiasaan Alanan yang akan flu kalau sudah memasuki musim hujan. Namun, Alana pasti akan selalu sembuh tidak lebih dari seminggu. Ini aneh sekali menurutnya karena sudah seminggu Alana tidak kunjung sembuh.

Alana menatapnya, bisa Reynaldi lihat wajah kecil itu yang pucat. "Ini memang tidak baik, karena semakin parah saja!"

"Hm..."

"Kau mengejekku, ya?" tanya Alana jengkel.

"Bukankah jika kau marah malah semakin parah sakitmu nanti?"

"Reynaldi, kau sungguh berpikir yang tidak-tidak! Uhuk-uhuk-uhuk ... Aku-uhuk. Aku bukan ornag yang seperti itu!

Alana hanya ingin berlatih menari untuk mempersiapkan semuanya dengan baik. Selain itu, kompetisinya akan diadakan sebulan lagi, dan dia juga sedikit khawatir karenanya

"Eh? Kau mau membawaku kemana, Rey? Asrama anak perempuan lewat sana! Ap-uhuk-uhuk!" protes Alina ketika tubuhnya kembali diseret Reynaldi pergi.

Reynaldi memelototinya dan berkata dengan kesal, "Bisakah kau diam? Diam saja dan menurut, oke?"

"Um ..." Alana terdiam dan memutuskan untuk menurut saja.

"Aku tidak bisa terus-terusan melihat temanku yang menyedihkan seperti ini"

"Reynaldi Putra!"

Alana merasa bahwa Reynaldi selalu membuatnya marah.

"Mengapa kau membawaku keruangan presma?" tanya Alana bingung saat mereka sampai di ruangan presma kampus.

Reynaldi menutup pintu, menyalakan pemanas, dan menyalakan komputer yang ada di ruangan itu untuk memutar musik.

"Apa yang sedang kau lakukan?"

"..."

"Ayo. Bukankah kita akan berlatih menari bersama?" ucap Reynaldi

Reynaldi meraih kedua tangan Alana.

Alana tertegun sejenak mendengar perkataannya barusan. "Hmm ... menari?"

"Alana, apakah kau sudah melupakan perjanjian kita?"

"Ah, tidak! Tidak, kok!" jawab Alana cepat.

Hanya saja saat Alana melihat uluran tangan pria itu, dirinya merasa ragu.

"Kenapa? Apa kau tidak mau berlatih?" tanya Reynaldi bingung.

"Bukan begitu ..." gumam Alana dan melangkah maju untuk menerima uluran tangannya. Saat tangannya digenggam seperti itu, dia merasakan perasaan hangat.

Berbeda dengannya, Reynaldi merasa seperti mengenggam est batu karena tangan Alana begitu dingin saat ia genggam.

Meskipun begitu, dia tetap memegangnya erat-erat tangan sedingin es itu.

"Kau ikuti langkah kakiku-uhuk- Pelan-pelan saja ... kiri, kanan ... kiri, kanan … Ya! Seperti itu!" Alana takjub dengan mulusnya gerakan Reynaldi.

"Kenapa?" tanyanya.

"Reynaldi, kau melakukannya dengan baik!"

Reynaldi hanya diam menatap Alana

Alana tidak pernah berpikir sebelumnya kalau kemampuan menari Reynaldi bisa berkembang begitu cepat. Mimpinya tentang kakinya yang hancur karena terinjak-injak itu cuman khayalan saja.

Saat dia menari seperti itu, dirinya merasa bahagia dan rileks.

"Reynaldi, kau sudah jago sekali! Kita pasti bisa memenangkan trofinya!-uhuk-uhuk" ujarnya bersemanngat yang malah membuatnya terbatuk-batuk lagi.

Mereka menari untuk terus hingga tiga lagu berikutnya. Wajah Alana pucat dan sesekali terbatuk-batuk, namun anehnya Alana tetap bersemangat saat menari tadi.

Dia paling mengerti Alana bahwa gadis itu sangat benci sakit dan saat harus beristirahat penuh, dia menjadi lebih cerewet.

"Reynaldi ... Bagaimana jika kau tertular gara-gara aku?" tanya Alana.

Mereka duduk bersebelahan di sofa. Alana tersenyum dan mengatakan hal itu dengan nada pura-pura sedih untuk membuat Reynaldi kesal.

Kalau begitu dia ada temannya, jadi tidak akan sakit sendirian, kan? batin Alana geli.

Reynaldi mengangkat sebelah tangannya dan berkata sambil mendengus. "Memangnya kau bisa menulariku?" tantangya.

"Huh!" Alana mengusap-usap hidungnya yang beler kemudian mengusap tangan yang penuh iler itu ke baju Reynaldi. "Lihat saja! Aku akan menularimu!"

"Alana, kau tahu kau seperti anak kecil?"

"Aku tidak tahu, aku tidak tahu, aku tidak tahu!" Alana terus menggesek-nggesekkan tubuhnya ke tubuh Reynaldi.

"Mengapa kulit perempuan ini tebal sekali ya?" katanya dengan nada jijik dan jengkel tetapi Reynaldi hanya terdiam saat Alana terus bergerak heboh dan tidak mendorong tubuh Alana menjauh ...

Mereka sudah seperti itu selama satu jam. Alana yang mungkin sedang sakit atau lelah, tertidur di sofa.

Ketika dia terbangun, hari sudah malam. Alana melihat Reynaldi fokus mengetik sesuatu dikursinya.

Reynaldi ...

Alana menatapnya lama …

Hidung mancung dan bibir tipis itu... Dia adalah anak keluarga "Wijaya" yang tidak dianggap oleh ibunya sendiri selama 19 tahun lamanya.

Reynaldi lebih tua darinya

Saat mereka SD, SMP, dan SMA ...

Selalu mendapatkan nilai bagus, wajahnya yang tampan, sifatnya yang baik. Dimata orang lain, mungkin Reynaldi terlihat sempurna.

Dia juga punya banyak penggemar. Tidak terhitung berapa surat cinta yang dia terima dari penggemarnya sedari SD hingga SMA.

Hmm ... Tapi kenapa Reynaldi tidak punya pacar ya? Alana bertanya-tanya dalam hati.

Bulu mata lentiknya itu, sungguh indah!

"Kenapa? Kau jatuh cinta padaku ya?"

Next chapter