webnovel

Diskusi

Di Kediaman Sejeong

Jiyeon Point of View

Aku menceritakan segalanya pada Sejeong begitu juga Doyeon yang dengan semangatnya mendengarkan ceritaku seolah aku adalah pendongeng sebelum tidur. Alasanku meminjam tumpukan buku ini juga tidak luput dari ceritaku. Aku berharap tidak terjadi hal buruk dengan pekerjaanku setelah ini. Ah, aku teringat sesuatu, sudah terlanjur begini maka tanyakan saja.

"Sejeong-ah, aku sempat mendengar jika kau mengetahui ...."

"Aku tidak tahu!" jawabnya memotong perkataanku. Tidak sopan sekali!

"Aku bahkan belum menyelesaikan perkataanku," kataku sinis.

"Kau harus lebih sopan pada eonni, jidat!" sembur Doyeon yang menatap sangar pada Sejeong. Aku mengangguk dan pindah duduk di samping Doyeon. Bocah ini, aku menyukainya.

"Eonni, kau mau kubantu untuk memecahkan kasus di buku ini? Aku sudah membacanya sampai selesai bahkan aku sudah hapal isinya di setiap seriesnya," tawar Doyeon dengan semangat. Energi anak muda memang berbeda.

"Pamer!" kata Sejeong menatap Doyeon kesal. Ck, merasa tersaingi sepertinya. Ada-ada saja.

"Jika kau tidak keberatan maka aku sangat berterima kasih," kataku menanggapi tawaran Doyeon. Rezeki tidak boleh di tolak, kan?

Aku dan Doyeon kembali berbincang membahas buku tuan tampan, eh. Sesekali Sejeong ikut bergabung saat aku sedang menganalisis dan dia juga membantu, dia memiliki jiwa detektif juga atau mungkin cenayang?

"Menurutmu apa ada yang aneh dengan jalan cerita dalam buku ini?" tanyaku pada Doyeon.

"Tidak ada, justru tulisannya terkesan nyata. Semuanya tergambarkan dengan jelas, setiap adegannya membuatku merinding saat membacanya. Tapi, aku suka. Hehehe,"

Anak ini polos sekali.

"Kau tidak pernah menonton berita?" tanyaku.

"Tidak! Itu bukan gayaku, eonni! Dia dan oppa yang hobi menonton berita," tunjuknya pada Sejeong. Oppa? Aku semakin pesaran pada sosoknya.

"Sebenarnya aku tidak begitu fokus pada adegan pembunuhannya tapi masalahnya adalah tempat, waktu dan gambaran tempat kejadian benar-benar persis seperti yang sebenarnya. Bahkan hal-hal yang disembunyikan dari publik dia juga bisa tahu dengan detail. Aku masih tidak habis pikir, jika bukan dia pelakunya bagaimana bisa dia mengetahuinya dengan baik?" analisaku.

"Bagaimana jika dia saksi mata?" kata Sejeong membuat atensiku teralihkan.

"Hahaha. Yang benar saja, jika hanya sekali mungkin bisa jadi. Tapi, ini berkali-kali. Apa masuk diakal?" kataku terkekeh menanggapi jawaban Sejeong.

"Bukankah pelaku pembunuhan seperti ini selalu memiliki kelainan?" tanya Doyeon. Aku mengangguk karena memang benar, tidak ada orang waras yang tega melakukan hal keji seperti ini.

"Bagaimana jika pembunuhnya meresa lebih senang jika ada orang yang melihat perbuatannya, saksi mata."

Ucapan Doyeon membuatku berpikir keras, benarkah ada orang yang seperti itu? Sungguh gila jika memang ada.

"Aku pernah membaca jika beberapa psikopat memiliki kepuasan tersendiri saat perbuatannya diakui. Dia tidak akan merasa senang saat ada orang lain yang menggantikan posisinya, walaupun dalam hal negatif. Psikopat adalah orang yang ingin keberadaannya disadari."

Anak ini bacaannya benar-benar menyeramkan, bagaimana gadis cantik dan terlihat anggun tapi memiliki hobi yang mengerikan.

"Dia menyukai segala hal yang berbau menyeramkan, jika dia takut dia akan datang ke kamarku dan menyelip ke dalam selimutku."

"Sejeong-ah, kau benar-benar cenayang ya?" kataku tanpa sengaja keluar begitu saja dari mulut sialanku.

"Sesukamu sajalah menyebutku apa!" dia lanjut mengunyah cemilan dan sesekali meminum minuman yang tadi disiapkannya sendiri. Aku melihat ke piring dan cemilannya nyaris habis, bahkan aku belum menyentuhnya.

"Aku akan mengambil cemilan lagi, kau tenang saja tidak perlu menatapnya seperti itu."

"Wah!" aku terkesan. Aku harus belajar darinya untuk membaca pikiran orang agar aku bisa dengan mudah membaca pikiran para kriminal itu.

Sejeong ke luar dari ruangan. Seperti katanya dia akan mengambil tambahan cemilan. Doyeon masih menatapku dengan senyumnya. Anak ini kenapa sebenarnya?

"Eonni, kau tahu jika aku benar-benar senang mengenalmu. Aku berharap kau akan menjadi kakak iparku,"

"Yak! Belajar saja yang benar dan jangan mengatakan hal yang aneh,"

"Aku sudah lelah belajar! Eonni, apa menjadi polisi itu menyenangkan?" tanyanya mengubah duduknya menjadi lebih dekat denganku.

"Aku seorang profiler!" kataku kesal karena dia selalu saja menyebutku polisi-polisi.

"Memangnya apa bedanya?"

"Ck, tidak begitu jelas sih bedanya. Polisi itu terpecah menjadi beberapa bagian dan aku salah satu bagiannya, profiler. Sebenarnya kerjaku hanya di kantor dan ya hanya sesekali ke TKP jika memang ada hal yang dibutuhkan," jawabku tidak yakin. Ck, kenapa aku jadi meragu begini?

"Terserahlah apa itu polisi atau detektif, profiler. Tapi, profesimu ini terlihat keren. Aku juga mau menjadi profiler!" katanya semangat.

"Hahaha. Kuharap kau siap untuk tidak memiliki waktu berkencan bahkan istirahat,"

"Be... benarkah? Kalau begitu tidak jadi, aku tidak mau menjadi tua tanpa pendamping!"

Ck, bilang saja perawan tua. Tunggu! Apa dia sedang menyindirku? Kakak dan adik sama saja ternyata, menyebalkan. Sepertinya yang bermarga Kim itu memang menyebalkan.

"Kau tahu jika series buku ini tidak sesuai waktu kejadian?" tanyaku mengalihkan keperbincangan awal.

"Oh, itu aku tahu. Menurutku itu sengaja dilakukan agar orang semakin penasaran untuk membaca tulisannya,"

"Ck, licik sekali si Kim Myungsoo itu!"

"Hahahaha,"

"Kenapa kau tertawa?" tanyaku pada Doyeon.

"Tidak! Hanya lucu saja," jawabnya singkat dan memakan cemilan di atas meja.

"Eonni, ini seri yang menurutku sangat sadis!" tunjuknya pada buku yang sedang kubaca.

"Kenapa?" tanyaku.

"Ini seharusnya menjadi buku pertama, jika dilihat dari tahun kejadiannya. Jika di buku yang lainnya hanya ada satu kasus maka di buku ini ada dua kasus. Pembunuhan di taman festival anak-anak, dilanjutkan dengan pembantaian sebuah keluarga tapi untungnya menyisakan saksi."

Doyeon menggigit bibirnya setelah mengatakan penjelasannya. Tatapannya mengingatkanku pada Myungsoo. Tatapan yang sama saat di ruangan introgasi, atau ini hanya perasaanku saja.

"Aku baru ingat!" katanya cepat sambil menepuk tangannya kuat. Dia merebut buku di tanganku dan membolak-balik lembarannya.

"Apa?" tanyaku penasaran.

"Aku tidak mengerti dengan tulisan ini!" tunjuknya pada satu paragraf akhir buku. Aku membacanya dengan teliti, jika dia saja tidak mengerti berarti bukan paragraf biasa, kan.

"Wah, aku juga tidak paham dengan maksud tulisan ini."

Aku menggeleng karena menurutku kalimatnya memiliki makna ganda, ambigu. Apa aku tanyakan saja padanya langsung? Tapi, tapi nanti dia pasti akan mengejekku dan mengataiku bodoh atau bahkan lebih parahnya dia akan mengira aku hanya ingin melihat wajah tampannya saja, bisa besar kepala dia.

"Eonni!"

Aku terbangun dari lamunanku dan mendapati dua orang sedang menatapku aneh. Aku tidak melakukan hal buruk kan selama melamun? Tolong katakan tidak.

"Ada apa?" tanyaku memastikan.

"Kau masih mau membaca buku itu dan menganggurkan cemilan yang sudah susah payah kusiapkan?" tanya Sejeong.

"Halah! Kau hanya mengeluarkannya dari kulkas dan menyalinnya ke piring. Berlebihan sekali, si jidat ini!"

"Tak"

"Ah, sakit!"

Doyeon memelukku mencari perlindungan. Aku hanya tersenyum dan memakan cemilan. Aku sudahi saja membaca bukunya toh tidak banyak lagi yang perlu dibaca. Aku akan mendiskusikannya dengan tim nanti.

"Jangan mencoba menjadi korban kau Kim Doyeon!"

Sejeong belum menyerah dan menarik-narik kaki panjang Doyeon dengan penuh tenaga.

"Eonni, selamat aku dari ahjussi ini!"

Aku tidak dengar! Aku tidak dengar! Ah, cemilan ini enak sekali. Apa lebih baik aku membungkusnya saja dan berbagi dengan pria-pria kesepian itu? Ah, sangat disayangkan aku akan memakannya sendiri saja.