1 Peristiwa Ajaib Hari Ini

Drrrttt... drrrttt...

Seorang gadis merabakan tangannya mencari sumber getar yang baru saja membangunkannya dari mimpi. Mimpi indah dari seratus satu mimpi buruk yang dialaminya selama beberapa bulan ini.

"Halo"

"Astagaa, Naaaa! Kamu baru bangun?! Gimana pengurusan berkas kamu? Kapan selesainya kalau kamu tunda-tunda terus?!" Oceh seseorang diseberang sana.

"Iyaaa, ini juga mau ke kampus kok, ma. Ana mandi dulu, yaa," Jawab Ana langsung mematikan telepon tanpa menunggu respon dari ibunya itu. Ya, memang kurang ajar namun Ana memilih jalan pintas daripada mendengar omelan ibunya yang akan semakin panjang pagi-pagi ini.

Tujuh belas April, pukul sepuluh kurang lima belas menit. Ana menghela nafas sedikit menyesal telah bangun seterlambat ini. Dengan sedikit memaksa tubuhnya ia beranjak menuju ke kamar mandi. Sekitar tiga puluh menit gadis itu telah siap menggendong tas ranselnya dengan sebelah tangannya menenteng beberapa jilid skripsi yang akan dibawanya ke kampus hari ini. Targetnya hari ini adalah mengumpulkan tanda tangan penguji, pembimbing, dan dekan fakultasnya di skripsi yang baru kemarin sore dijilidnya. Berat.

Ana menyusuri koridor kampus dengan separuh nyawa yang belum dihirupnya sempurna. Butiran keringat seukuran biji jagung jatuh bebas membanjiri dahi dan pelipisnya. Sungguh, berjalan dari kost dengan membawa skripsi-skripsi ini cukup membuatnya kewalahan. Ditambah lagi matahari terlihat sangat sumringah menyaksikan kegiatan Ana hari ini.

Ana terus berjalan dengan tangan yang menenteng erat jilidan skripsi-skripsinya seperti melarangnya untuk melarikan diri. Namun, tiba-tiba...

Brukkk!

Ana membuang nafas kasar mendapati kini lima rangkap skripsinya berceceran di lantai akibat kresek yang dipakainya jebol. Menyusahkan saja. Belum lagi tiga rangkap skripsi yang memenuhi ranselnya juga membuat punggungnya serasa remuk perlahan. Baru saja ia ingin menunduk memungut rangkapan skripsinya, seseorang lebih dahulu datang membantunya.

"Kamu mau ke jurusan 'kan, Na? Biar kubantu," Ucap lelaki itu sembari merapikan tumpukan skripsi yang berada ditangannya.

"Eh, tidak usah, Sa. Biar aku saja"

"Tidak apa-apa, Na. Aku juga ingin kesana," Tolak lelaki itu lagi.

Meskipun merasa tidak enak, akhirnya Ana mengiyakan. mereka berdua memasuki lift menuju ke lantai empat.

"Sudah finalisasi akhir tidak?" Tanya Esa memulai pembicaraan.

"Ah? Belum. Aku baru berencana mengurusnya hari ini setelah meminta tanda tangan."

Esa mengangguk paham. Suasana kembali canggung. Beberapa kali diliriknya gadis di sampingnya yang sedari tadi tertunduk meremas jarinya. Jelas sekali terlihat bahwa Ana merasa tidak nyaman harus berada di dalam lift berdua dengan dirinya.

Ting!

Lift terbuka, buru-buru Ana keluar menghirup udara sebanyak mungkin. Wajar saja, Ana bukanlah gadis yang terbiasa berdua dengan orang yang tidak terlalu dikenalnya. Terlebih lagi tersebar rumor bahwa lelaki itu sedang dekat dengan salah satu mahasiswi famous di kampusnya. Ia tentu menghindari gosip-gosip yang mungkin saja dimunculkan oleh orang yang kurang kerjaan.

Walaupun mereka sama-sama mengambil jurusan teknik, tapi mereka sama sekali tak terlalu akrab bahkan sampai mereka baru beberapa hari yang lalu secara resmi menyandang gelar sarjana teknik. Melawan hukum alam memang.

Ana gadis introvert yang sedikit tertutup dan tidak mudah bergaul dengan orang lain nekat mengambil jurusan yang terkenal kesolidaritasannya yang tinggi. Benar sekali, meski selaku berpikir telah salah jurusan, Ana juga enggan untuk mundur dan beralih ke jurusan lain. Gadis ini telah bersusah payah bertahan selama hampir empat tahun ini.

Esa dan Ana memasuki kantor jurusan mereka dan langsung meletakkan rangkapan skripsi Ana di atas kursi tunggu.

"Cari siapa, nak?" Tanya salah satu dosen yang terlihat sedang duduk santai.

"Maaf, bu. Pak Edi ada?" Jawab Esa.

"Wah, hari ini Pak Edi tidak datang. Pak Edi sedang sakit."

"Yah, batal lagi satu misi hari ini," Keluh Ana pelan.

"Yasudah, sekarang kita cari pembimbing dan dosen pengujimu saja."

Ana mengernyit mencoba mencerna apa yang baru saja diucapkan lelaki disampingnya itu. 'Kita' katanya?

"Maksudnya, Sa?"

"Ya karena hari ini misiku juga tidak terlaksana, aku putuskan membantumu saja berkeliling berburu tanda tangan," Jelas Esa diakhiri senyumnya yang cukup menawan.

"Tidak perlu, Esa. Aku bisa sendiri. Aku saja. Aku tidak enak merepotkanmu terus."

"Tidak apa-apa, Ana. Hari ini aku juga sedang tidak sibuk. Sekarang hubungi saja dosen yang sekiranya bisa ditemui hari ini."

"Baiklah," Lagi-lagi Ana pasrah.

***

Sekitar hampir tiga jam mereka berkeliling menemui beberapa dosen hari ini. Sungguh Ana merasa sangat tidak nyaman telah merepotkan lelaki ini.

"Hmmm, Esa. Ada yang bisa kulakukan sebagai bentuk terima kasihku hari ini?"

Esa tertawa mendengar penuturan yang tiba-tiba dari gadis yang sedari tadi banyak diam itu.

"Tidak perlu, Ana."

Ana menggeleng cepat menolak jawaban Esa, "Harus, Esa. Hari ini dua kali aku menurutimu. Sekali ini tolong turuti supaya aku bisa membalas Budi."

"Baiklah. Di depan nanti ada warung Sop Saudara. Traktir aku makan saja, oke?" Putus Esa yang diangguki mantap oleh Ana.

Mereka memasuki warung bertema putih itu dan langsung memilih tempat duduk. Tak begitu lama untuk menunggu pesanan mereka datang.

"Setelah ini, kamu akan kemana?" Tanya Esa.

"Pulang ke kost. Kurasa sudah cukup hari ini. Lagipula tinggal tanda tangan Pak Edi dan Pak Dekan yang belum ada."

"Hahaha. Maksudku, setelah lulus ini, Ana."

Ana menggaruk tengkuknya malu, "Oh, maaf. Aku juga belum tahu pasti akan kemana. Kalau kamu?"

"Sepertinya aku akan langsung mencari kerja. Mengumpulkan uang yang banyak, lalu mendirikan rumah tangga. Wah, ternyata sangat gampang kalau sekadar diucapkan hahaha."

"Memangnya sudah ada calon?" Timpal Ana berusaha ikut mencairkan suasana.

Esa terdiam lalu menatap Ana lekat, "Sudah ada."

Ana yang menyadari dirinya sedang ditatap oleh Esa merasakan sesuatu yang aneh dalam dirinya. Seperti sengatan kecil yang ada di ujung kakinya. Ia tidak mengerti apa yang sedang dialaminya saat ini.

"Ciri-cirinya perempuan, tapi aku belum mengenalnya hahaha," Lanjut Esa memecah keheninga.

***

"Oh jadi selama ini kamu tinggal di kost ini? Padahal cukup dekat dari kampus tapi aku bahkan baru tahu sekarang," Ucap Esa mengamati bangunan tiga tingkat itu.

"Iya, Sa. Sekali lagi terima kasih ya sudah membantu hari ini."

"Tidak masalah. Oh iya, kamarmu lantai berapa, Ana? Biar kubantu membawakan skripsimu."

"Kali ini tidak usah ya, Esa. Biar aku saja."

"Hmmm baiklah. Kapan-kapan kalau butuh bantuan, hubungi aku saja. Kamu punya kontak WhatsApp-ku 'kan? Kalau tidak ada, kontakku ada di grup angkatan. Yang foto profilnya paling gagah, Ana. Jangan sungkan-sungkan. Aku pamit dulu."

Ana seperti biasa, hanya tersenyum mendengar kenarsisan lelaki yang menolongnya sehari ini. Dipandanginya motor lelaki itu sampai hilang di perempatan jalan barulah kemudian masuk ke dalam kostnya.

Ada apa ini? Mengapa hari ini tiba-tiba saja ia berinteraksi lama dengan lelaki yang jarang sekali berbicara dengan dirinya. Ana bingung tetapi rasa lelahnya ternyata lebih kuat dari penasarannya akan peristiwa ajaib hari ini.

avataravatar