1 Prolog

"Ternyata gini rasanya naksir cewek alim..."

Tertanda: Joker.

***

Ini aku. Ini kisahku. Ini ceritaku. Yang tertarik pada gadis manis dan... manis. Iya, manis. Bukan cantik seperti yang lain. Bukan juga tidak cantik! Dia cantik ... Tapi lebih kearah manis. Tidak bosan jika dipandang. Terasa sejuk jika dilihat dari bawah pohon rindang, karena ada angin sepoi-sepoi. Iya, kan?

Sekarang mau deskripsi tentang apanya lagi? Bentuk wajah? Sifat? Atau sikapnya?

Aku sudah lama melihat dia sejak pertama masuk sekolah. Sejak dia mengikuti PLS. Dia begitu semangat, tidak banyak mengeluh, bahkan saat pertama sistem belajar mengajar sudah aktif dia langsung aktif di eskul olahraga, bola voli. Hebat! Aku kagum. Sungguh.

Memang, aku bukan bagian dari panitia saat dia PLS. Tapi aku melihat dia saat hari PLS hari ke tiga, yang artinya hari terakhir peserta PLS akan disiksa oleh para panitia dan kaka senior mereka. Saat itu, para peserta PLS sedang berbaris di lapangan dengan baju olahraga dari SMP masing-masing, termasuk dia pastinya. Pasti sudah tau kan apa yang akan dilakukan jika sedang berada di lapangan memakai baju olahraga?

Mereka senam zumba dipandu oleh para panitia dan juga guru-guru yang punya bakat senam zumba. Aku dan teman-tamanku sedang duduk bersantai ria sambil main game bersama. Awalnya kami memang main game, tapi saat musik mulai cepat suara-suara gaduh dari para peserta dan yang lainnya pun mulai mengganggu konsentrasi kami.

Aku mendongakkan kepala untuk melihat apa yang sedang terjadi. Siapa tau 'kan ada yang adu jotos, atau ada yang bagi-bagi sembako, mungkin? Jika ada yang bagi sembako, aku lah yang harus diantrian pertama. Kan lumayan tuh. Tapi, itu hanya ada dipikiran aku saja. Nyatanya yang aku lihat adalah penjaga koperasi yang terlihat ... uwow? Ntahlah. Yang pasti suara-suara gaduh itu didominasi oleh suara laki-laki yang menatap Ibu penjaga koperasi dengan tatapan berbinar.

"Gila! Semok bener, cuy!"

Puwiwiiiiiit...

"Assseeeeeekkk..."

"Getar-getar, Cuk"

"Waaaaw!"

Eeeeeaaaakkkk....

"Terussss, Buuuuuu!"

Ahahaha....

Wweeeeeeewww....

Kira-kira seperti itu lah suara dari para lelaki. Termasuk teman-temanku yang ternyata sudah menonton dengan mulut terbuka. Bahkan ada yang sampai berdiri untuk melihat lebih jelas lagi.

Sedangkan para gadis ada yang nampak malu-malu bergerak, ada yang senyam-senyum tak jelas, ada yang bertepuk tangan, ada yang asik ngerumpi ---padahal sedang senam---, ada yang cuek-cuek saja –Itu ikhlas apa tidak ya senamnya--, ada yang masih mengikuti gerakan dari ibu koperasi, bahkan yang lebih parahnya lagi ada yang teriak histeris sambil bertepuk tangan tak jelas. Kadang heran deh sama cewek, apa-apa pasti teriak.

Sibuk melihat sekitar, disitu lah aku melihat dia. Dia yang memakai baju olahraga kebesaran. Dia yang memakai jilbab panjang dari yang lain. Dia yang memakai papan nama kardusnya –Iyalah, kan masa PLS--. Dan dia yang masih bergerak mengikuti gerakan para panitia meskipun tidak terlalu lincah seperti ibu koperasi tapi bisa mengimbangi dengan gerakan anggunnya.

Dipandanganku saat ini, seperti ada adegan slow motion yang ada di film-film.

Ingin rasanya aku bernyanyi.

Kau bidadari. Turun dari monas. Ketiban emas. Kau tew—salah-salah.

Kau bidadari, turun dari surga. Tepat di hatiku. Eeeeaaaakk.

Oke. Katakan saja aku memang lebay. Tapi mulai dari situ aku seperti harus melihat dia, meski mungkin dia tak melihat aku. Mengapa seperti itu? Karna setelah itu aku seolah-olah berada di dekatnya. Mulai dari parkiran, kantin, lapangan saat aku melihat dia pertama kali, bahkan sampai di jalan ketika aku pulang sekolah pun aku melihat dia. Memang pulang sekolah ada pembatas? Memang ada yang aneh?

Tidak. Lebih tepatnya tidak tau. Apa mungkin ini takdir? Kenapa denganku? Apa iya aku sudah terkena cinta pandangan pertama? Tidak, tidak. Aku hanya tertarik sesaat. Mungkin sebentar lagi sudah biasa saja. Aku juga cuma merasa kenapa aku selalu lihat dia dimana-mana setelah aku melihat dia di lapangan pertama kali.

Mungkin ini hanya perasaanku saja. Iya, mungkin hanya perasaanku saja. Soalnya awal PLS aku memang tidak ada melihat dia. Padahal aku sering melihat-lihat peserta PLS bersama teman-temanku yang lain. Apalagi jika bukan melihat dedek gemes. Siapa tau ada yang klepek-klepek dengan kami. Maklum, kami joker. Jomblo keren.

Waktu berlalu begitu cepat. Sudah satu tahun berlalu. Aku juga sudah tidak terlalu memikirkan dia. Apa aku bilang, itu hanya perasaan sesaat. Aku juga sudah pernah memiliki hubungan dengan dedek gemes. Hanya sekali memang. Tapi setelah itu, aku kembali mengejar-ngejar adik kelas yang baru pindah dari sekolah lain. Dan kebetulannya, adik kelas itu ternyata sekelas dengan gadis itu. Dan yang mengejutkannya lagi, adik kelas yang akan aku kejar itu teman satu SMP gadis itu.

Ntahlah. Aku merasa... tidak-tidak. Dia bukan tipeku. Gadis itu bukan tipe ku sekali. Dia terlihat nerd sekali. Aku tidak suka. Kulitnya juga tidak semulus dan seputih temannya yang sedang aku kejar-kejar itu. kejar-kejar dalam artian mengejar cintanya, ya. Aku juga tidak tau namanya. Tidak ingin tau lebih tepatnya. Sewaktu di lapangan dulu, saat aku melihat dia pertama kali aku tidak terlalu memperhatikan papan namanya yang digantung di lehernya. Untuk apa juga? Yang aku tau nama gadis yang kukejar cintanya itulah nama yang cantik.

Sadira Rakhshand.

Hanya itu yang perlu aku tau. Tidak dengan gadis itu, apalagi dengan mantanku. Tidak. Sudah jadi mantan, ya sudah. Untuk apa dikejar apalagi harus tau urusannya. Tapi, jika mantan membutuhkan bantuan, dengan senang hati aku membantu. Jika aku juga tidak sibuk, ya.

Oke. Saat ini masih berjalan dengan semestinya. Aku masih mengejar-ngejar cinta Sadira. Sadira. Ya, saat ini. Aku biasa memanggil dia Sara. Hanya aku seorang, karna itu panggilan kesayanganku, menurutku.

Sara orangnya kecil, tapi imut. Cantik, kulitnya putih. Pipinya chubby, hidungnya mancung tapi kecil, terkesan imut. Alisnya tidak terlalu tebal, matanya bulat, dibagian pipi kanan-kiri terdapat dimple, ada gigi gingsul satu di sebelah kiri, dan bibirnya agak tebal.

Jangan salah kira dengan tubuh kecilnya. Dia seperti kata istilah "Kecil-kecil cabe rawit". Iya, dia tidak bisa diam. Lebih tepatnya sih cerewet. Kalo di kelas tidak bisa diam. Jalan sana jalan sini, jalan kanan jalan kiri, ke belakang ke depan, masuk keluar masuk keluar lagi, eh keasikan jalan keluar masuk kelas dia akhirnya tak sengaja tertabrak temannya sendiri. Jadilah mereka tabrakan beruntun. Lucu, bukan? Sara memang lucu.

Bagaimana aku bisa tau? Karna kelas Sara dan kelas aku depan belakang. Maksudnya? Maksudnya, kelas Sara itu di belakang kelas aku dan kelasku di depan kelas Sara. Jangan terkejut. Kelas aku halaman belakangnya tidak kotor seperti kelas lain yang paling ujung, termasuk kelas Sara yang paling ujung—Banyak sampah--.

Selama aku berhubungan, dalam artian pedekate dengan Sara. Sudah dipastikan aku juga akan melihat gadis itu. Gadis berbaju olahraga yang kebesaran. Gadis yang selalu memakai baju apa saja kebesaran. Mulai dari seragam putihnya, seragam batiknya, seragam pramukanya, dan yang kalian tau, seragam olahraganya yang sekarang. Seragam SMA nya. Oh jangan lupakan jilbab besarnya itu. Masih saja besar-besar. Apa dia tidak ingin dikecilkan sedikit. Setidaknya agar tidak membuat gerah. Eh, tunggu sebentar ... Untuk apa juga aku pikirkan dia?

Sampai waktu pedekate ku berakhir, dan tidak ada hasil apa-apa, aku selalu seperti melihat dia dimana-mana. Sekarang tepat akhir semester satu di kelas tigaku ini, aku sudah berhenti mengejar-ngejar Sara si kecil yang imut. Mengapa? Tidak cocok, maybe. Dan, pikiranku sudah tak bisa dijauhkan lagi tentang dia. Iya, dia. Gadis yang selalu memakai baju kebesarannya. Gadis nerd aku bilang. Gadis anggun saat aku pertama kali melihat, tapi langsung kubantah kuat-kuat. Gadis yang selalu memakai jilbab besarnya—Mahkotanya--. Dan gadis yang dulunya hitam manis menjadi kuning langsat, menjadi lebih bersih. Terlihat lebih manis. Apalagi senyumannya.

Sepertinya, otakku memang sudah terkena virusnya saat aku pertama kali melihatnya.

Dan bulan ini, di bulan musim penghujan, aku memutuskan untung mendekatinya. Cukup penasaran juga dengannya. Apa dia bisa didekati seperti gadis-gadis lain, padahal dia memakai jilbab panjangnya itu. Oke, aku putuskan, aku bulatkan tekadku untuk bisa mendapatkannya!

Dan aku sudah mengetahui namanya. Sangat cantik, seperti orangnya yang manis. Eh, ada hubungannya? Sudahlah, sepertinya aku harus memeriksa isi kepalaku ke dokter saraf. Lupakan!

Bulan ini, Januari. Tanggal 4. Pukul 10:00 am. Aku mengiriminya chat.

Jannah Syauqiah

Terakhir dilihat kemarin pukul 21:15

Assalamu'alaikum...

Orang yang baik, diawali dengan salam, kan. Jadi aku akan mencoba mendekatinya dengan salam. Siapa tau dia langsung terpesona dengan tutur kataku sebelum bertamu. Iya, kan. Anggap saja aku sedang bertamu ke rumahnya, lalu mengucap salam jika ingin masuk ke dalam rumahnya. Itu juga jika dipersilahkan masuk, sih.

Dari sini lah kisahku dengannya mulai. Dari sinilah ceritaku dengannya mulai, di awal semester dua kelas dua belasku. Dari sinilah aku akan selalu diingatkan tentang-Nya. Dan dari sinilah aku berhenti berpikiran untuk mengejar ciptaan-Nya. Beralih mengejar yang menciptakannya.

Yang awalnya aku yakin, bukan, sangat-sangat yakin jika aku akan mendapatkannya menjadi tidak yakin dengan pikiran dan tekadku sendiri. Ya, aku jadi merasa tak ada apa-apanya jika disandingkan dengan dia.

Terlalu sempurna untukku yang banyak kekurangan.

avataravatar
Next chapter