Kalender menunjukkan sudah tanggal enam. Charlos menyiapkan kopernya untuk berangkat ke Singapura. Ia menyetir sendiri ke bandara Soekarno-Hatta di Jakarta dengan mobil Reva. Ia berencana akan mengembalikkannya saat Festival Jazz nanti.
Hari itu cuaca cerah. Perjalanan ke bandara sangat lancar. Charlos tiba dalam dua setengah jam. Ia memarkirkan mobil Reva, mengeluarkan kopernya sendiri dan berjalan menuju ke gerbang penerbangan internasional.
Berita mengenai dirinya dengan Rissa di internet sungguh di luar dugaan. Mudah saja bagi wartawan untuk menggosipkan hal-hal yang tidak masuk akal tentang dirinya. Ia hanya bisa berharap Reva tidak marah mendengar berita itu. Karena ia dengan Rissa sama sekali tidak ada hubungan apa-apa.
Ia masih memikirkan bagaimana caranya ia akan bertemu dengan Reva. Wajah Reva telah beberapa kali muncul di TV. Mulai dari acara infotainment sampai acara Dahsyat di RCTI. Tapi melihat wajah Reva di TV tidak mengobati rasa rindunya sama sekali.
Di dekat pintu masuk, sekertarisnya, Rendra, sudah menunggu. Mereka berangkat bersama. Kali ini maskapai penerbangan berangkat tepat waktu. Charlos berangkat pada pukul setengah sembilan pagi dan tiba di bandara Changi Singapura pada pukul setengah dua belas siang.
Mereka check in di sebuah hotel di kawasan Marina. Gedung tinggi yang menjulang seperti kembar tiga, di atasnya seperti bentuk kapal. Terdapat kolam renang di atasnya di mana kita dapat melihat pemandangan kota Singapura. Marina Bay Sands.
Charlos sangat mengagumi hotel itu. Suatu hari nanti mungkin ia juga akan membangun sebuah hotel di Singapura. Tapi saat ini tujuan bisnisnya adalah untuk bisnis tur dan travel. Ia harus bisa mendapatkan harga yang sesuai dengan yang ditawarkan CN Group. Ini masih menyulitkannya.
Pemikiran pimpinan CN Group, Tuan Harry Chen, sulit ditebak. Sebenarnya dia benci harus bertemu dengan pria bertubuh pendek, gempal, dengan rambut yang tipis itu. Usianya yang separuh baya tidak mengurangi kebugarannya. Dahinya lebar, pertanda betapa cerdasnya orang itu. Matanya yang sipit sering kali melayangkan tatapan tajam yang sangat tidak menyenangkan. Sikapnya yang arogan dan tidak bersahabat nyaris membuat Charlos mengambil keputusan untuk mencari rekan bisnis yang lain. Tapi kalau ia berhasil, maka keuntungannya dapat bernilai milyaran rupiah.
Jadwal hari pertama adalah jalan-jalan ke Sentosa Island untuk mengenal beberapa objek wisata di sana. Charlos telah hafal hampir sembilan puluh persen kawasan Singapura. Ia memilih untuk mengurung diri di hotel. Setelah makan siang, Rendra pergi sendiri.
Charlos masih terus mencoba menghubungi Reva melalui Whatsapp. Selama ini Charlos berusaha menelepon Reva, tapi tidak pernah diangkat. Pesannya pun tidak pernah dibalas. Charlos berusaha mengirim e-mail, tapi tidak ada hasil. Charlos menghela napas.
Mungkinkah Reva masih marah padanya karena mereka tidak bisa bertemu pada saat ia sedang di acara pernikahan? Nada suara Reva yang begitu sedih, sulit ia lupakan.
Ia masih berpikir cara yang tepat untuk bertemu dengan Reva, bagaimana ia harus bersikap, bagaimana ia harus memulai kata-kata. Mungkin ia harus segera mengungkapkan perasaannya. Apakah itu masuk akal? Apakah Reva akan menerimanya? Ia tidak perlu jawaban atas pertanyaan itu karena ia tidak akan mempertanyakannya pada Reva. Ia akan melakukannya begitu saja. Jantungnya mulai berdetak kencang. Rencana mulai tersusun dalam kepalanya. Ia tersenyum.
Reva memang benar-benar telah memenuhi pikirannya selama ini. Walaupun sesekali ada bayangan Rissa. Tapi Charlos selalu berusaha menghapusnya. Ia hanya ingin fokus pada Reva. Ia ingin membuktikan dirinya sendiri tentang kebenaran cintanya pada Reva.
Sore itu Charlos, Rendra dan Tuan Harry Chen, pemimpin CN Group, mengadakan pertemuan formal yang kemudian dilanjut dengan makan malam di sebuah restoran di daerah Marina.
Keesokan harinya mereka mengadakan perjalanan ke perusahaan CN Group. Rapat mengenai pembahasan bisnis. Lebih tepatnya lagi seperti pelatihan manajer baru. Para pembicara tampak begitu bersemangat. Mereka menjelaskan tentang program wisata yang sebenarnya sudah sangat Charlos pahami. Mereka bertepuk tangan, meneriakkan yel-yel. Dengan bosan Charlos meniru gaya sang pembawa acara. Kantuk hilang, ketegangan beraksi. Saat mereka tiba pada inti pembicaraan, wajah licik Harry Chen mulai tampak. Pria gempal itu sengaja menunda keputusannya hingga esok hari.
Sabtu tiba. Charlos kembali mengadakan pertemuan dengan CN Group. Hasil yang cukup mengejutkan, CN Group mengundur persetujuan perjanjian bisnis hingga bulan berikutnya. Mereka masih belum bisa memastikan apakah nilai saham Golden Group akan meningkat sehubungan dengan bisnis ini.
"Kurang ajar! Apa menurut mereka ini main-main?" Charlos meninju kepalan tangannya sendiri saat mereka keluar dari ruang rapat. Rendra mengawasinya. Mereka terus berjalan, kembali ke hotel.
Setelah rapat yang melelahkan, sesekali Charlos mengecek ponselnya, masih tetap berharap ada kabar dari Reva. Tidak ada pesan masuk. Charlos mendecak kesal. Dia dan Rendra sedang bersiap-siap untuk pulang ke Indonesia dengan menggunakan penerbangan terakhir. Mereka akan tiba pada pukul setengah delapan malam. Masih ada banyak waktu untuk bersiap ke Festival Jazz. Dia mengecek e-mail-nya. Tanpa disangka ia mendapat satu balasan.
"Semeru Garuda Indonesia Hall jam setengah sebelas ya. Kamu tidak akan kabur lagi dari aku kan? Aku tahu dan sangat mengerti. Kamu malu kelihatan bersama aku. Walaupun begitu aku masih tetap berharap kamu benar-benar datang melihat penampilan aku di Festival Jazz. Aku minta maaf karena tidak segera membalas pesan dari kamu. Aku sangat sibuk. Aku tahu kamu juga sangat sibuk. Sampai bertemu nanti. Kangen. –Rev-"
"Wow!" Charlos bersorak, senang sekali. Rendra melirik padanya, bingung.
"Kenapa, Pak? Apa ini ada hubungannya dengan Ibu Carissa?" Rendra cekikikan.
Charlos terkesiap, otomatis menyembunyikan ponselnya ke dalam saku jasnya. "Ini bukan urusanmu!"
Rendra terkejut lalu menunduk. "Maaf, Pak."
Charlos menunggu sampai Rendra tidak memperhatikannya lagi. Kemudia ia membalas e-mail dari Reva.
"Aku pasti datang, Rev! Aku tidak perlu malu terlihat bersama denganmu. Kita akan bertemu malam ini. Aku juga kangen. –Charl-"
Mereka tiba di bandara. Beruntung sekali penerbangannya tidak terlambat. Mereka tiba di Jakarta tepat pukul setengah delapan malam. Setelah mereka mengambil bagasi masing-masing, Charlos berpisah dengan Rendra. Charlos melirik jam tangannya, sudah pukul delapan kurang sepuluh menit. Ia berjalan menuju ke tempat parkir sambil menggiring kopernya.
Jalanan basah sehabis turun hujan. Udara malam itu cukup dingin. Charlos merapatkan blazernya. Ia terus berjalan menuju mobil Reva. Ia membuka bagasi dan menaruh kopernya ke dalam. Lalu saat ia hendak membuka pintu, ada seseorang di dalam.
Charlos terkejut. Kaca mobil diturunkan. Reva tersenyum simpul. Charlos menatap langit untuk tertawa, masih tidak percaya. Lalu ia memandang Reva takjub. Kulit wajahnya putih dan bersih. Charlos menggelengkan kepalanya. "Aku... Oh please, Rev. Kamu..."
"Aku kan pemilik mobil yang sah. Tentu saja aku punya kunci duplikatnya," kata Reva sambil menunjuk kunci yang menempel di lubang starter.
Charlos masih terpaku berdiri di sana.
"Ayo masuk!" Reva memberi isyarat.
Charlos berjalan memutar lalu masuk ke pintu penumpang. Ia memperhatikan betapa gelapnya kaca mobil Reva. Ia nyaris tidak bisa melihat wajah Reva. Bagaimana mungkin mata Rissa begitu jeli sampai bisa melihat wajah Reva. Charlos menggeleng perlahan. Reva menjalankan mesin mobil dan mereka pergi meninggalkan bandara.
"Aku... aku masih bingung harus bilang apa."
Reva terkekeh. "Kamu mau bilang apa, Charl?"
"Aku benar-benar minta maaf soal waktu itu. Tiba-tiba ada wartawan. Kamu tahu kan kita sebaiknya jangan kelihatan media. Kenapa kamu tidak bilang sebelumnya? Setidaknya aku bisa bersiap-siap dan tidak perlu kabur seperti itu," kata Charlos. Ia tampak sedikit menyesal.
"Jangan salahkan aku, Charl. Kalau aku tahu, aku pasti akan memberitahumu. Lagipula kamu memang tidak akan pernah siap dengan media," kata Reva dingin.
Charlos tidak berani membahas tentang gosipnya dengan Rissa di internet. Mereka terdiam cukup lama. Sesungguhnya hatinya benar-benar bahagia ketika melihat Reva yang nyata ada di sampingnya. Ia berpikir sepertinya Reva khawatir kalau ia tidak akan datang ke Festival Jazz.
"Oke. Kita ganti topik pembicaraan. Bagaimana dengan Festival Jazz?"
"Hampir setiap hari aku berlatih saxophone. Ini benar-benar jenius. Aku bertemu banyak pemain jazz lainnya. Mereka sangat luar biasa. Kamu tahu Dave Coz? Wow! Dia itu keren!" jawab Reva bersemangat. Charlos senang sekali mendengarnya.
"Dave Coz? Keren. Tapi tetap saja, Festival Jazz akan lebih keren karena ada kamu, Rev!"
Mereka tertawa. Reva memandang Charlos, "Festival Jazz lebih keren karena ada kamu, Charl. Aku tidak akan keren kalau kamu tidak ada."
"Di sinilah aku," kata Charlos ceria. Reva membalasnya dengan tersenyum. Mereka terus bergerak. Jalanan sangat macet. Mereka mengantri untuk dapat memasuki kawasan JIExpo.
"Hei, Rev ngomong-ngomong bagaimana kamu bisa ke bandara? Kamu kan hari ini mau tampil. Kalau kamu sampai telat bagaimana?" Charlos melihat jam di dashboard, sudah pukul setengah sepuluh.
Reva hanya tertawa, dia menggeleng sambil mengangkat bahu, "Kadang-kadang itulah gunanya punya penjaga."
Reva menekan tombol di ponselnya, berbicara sangat singkat di telepon sampai Charlos tidak mengerti apa yang Reva katakan.
Sebuah mobil van besar dengan sirine yang meraung-raung membuka jalan. Dengan mudah Reva menerobos jalan. Reva mengikuti mobil itu dan masuk ke gerbang VIP. Beberapa mobil yang hendak mengikuti segera dicegah pria-pria berbaju hitam.
Mereka turun dari mobil yang kemudian disambut dengan banyak sekali kamera yang berusaha mengambil gambar Reva. Charlos membuntuti Reva. Sang penjaga menghalangi para wartawan supaya mereka bisa masuk ke dalam gedung. Mereka berlari sambil tertawa-tawa dan kemudian masuk ke ruangan Reva.
Dari jauh Charlos bisa mendengar betapa kentalnya musik jazz memenuhi udara malam ini. Napas mereka terengah-engah.
"Itu tadi sangat menyenangkan, Charl. Oh tidak! Kamu mungkin akan masuk majalah atau TV."
Charlos duduk di sebuah sofa bundar dan kemudian iseng mengambil brosur Festival Jazz yang tergeletak di meja. "Tidak masalah, Rev. Biar saja mereka ambil gambarku atau gambar kita berdua. Aku tidak peduli lagi." Charlos mengangkat bahu. Reva menautkan alisnya.
"Oh iya Rev, aku tidak punya tiket masuk. Aku ilegal."
Reva mendekatinya, memasukkan tangannya ke dalam saku celananya. "Itu tidak penting sekarang. Kamu sudah ada di dalam sini, berarti kamu legal."
Charlos tertawa. Tapi Reva tidak ikut tertawa bersamanya.
"Kamu yakin, Charl soal media? Mereka bisa saja mengatakan yang tidak-tidak tentang kamu."
Charlos meletakkan brosur kemudian berdiri berhadapan dengan Reva. "Hal apa yang tidak-tidak itu? Apa mereka akan bilang kalau aku pacar kamu?"
Reva membuka mulutnya untuk bicara tapi tidak ada kata-kata yang keluar. Charlos semakin mendekatinya.
"Aku pikir tidak semudah itu mereka menebak hal itu. Tapi kalau mereka bilang begitu, ya biarkan saja." Charlos memandang Reva langsung ke matanya. "Kenapa aku tidak boleh mencintai orang yang aku sayangi?"
"Tentu saja boleh, Charl."
"Dan bagaimana denganmu? Apa kamu juga bebas mencintai siapa saja?"
"Apa yang sebenarnya ingin kamu katakan?"
Charlos mengambil tangan Reva dan menaruhnya di dadanya.
"Aku tidak bisa berhenti memikirkanmu," ungkap Charlos. "Aku sedih karena sekalipun kamu sudah ada di Indonesia, tapi kita tetap saja tidak bisa sering bertemu. Aku ingin sekali datang ke sini, bertemu denganmu, berdua saja. Tapi aku selalu saja sibuk. Aku pikir kamu juga sama-sama sibuk." Charlos menatap Reva dalam-dalam. "Aku butuh kamu, Rev... Aku tidak tahu apa ini normal?"
"Aku tidak mau kamu terlalu terburu-buru, Charl." Reva melepaskan tangan Charlos.
"Terburu-buru? Apa kamu siap menungguku sampai nanti lagi dan nanti lagi? Entah kapan kita akan bertemu lagi." Charlos tampak gusar. Ia mengalihkan pandangannya ke saxophone Reva. Ia merasa benar bahwa pertemuannya saat ini benar-benar terwujud karena adanya Festival Jazz. Tapi itu berarti harus memakan waktu satu tahun lagi untuk Festival Jazz berikutnya dan itupun kalau Reva tidak acara lain. Intinya mungkin saja tidak akan pernah ada waktu yang tepat bagi mereka berdua selain sekarang.
"Kita bisa bertemu kapan saja. Ini hanya masalah menyocokkan jadwalku denganmu." Suara Reva terdengar kurang meyakinkan.
Charlos menggenggam wajah Reva dengan kedua tangannya. "Rev, aku sangat merindukanmu. Aku tidak tahan lagi untuk mengungkapkan perasaanku yang sebenarnya."
"Charlos." Reva memegang tangan Charlos dan perlahan menariknya lepas dari wajahnya. "Aku mengerti kalau kamu merindukanku. Tapi perasaan seseorang itu bukan untuk dipaksakan, Charl."
"Jadi menurutmu, aku memaksa perasaanmu?"
"Bukan perasaanku, Charl. Tapi perasaanmu!"
Charlos terheran-heran dengan pernyataan Reva. Dahinya berkerut, tatapannya semakin dalam. "Orang yang aku cintai tepat di depanku sekarang."
"Tidak, Charl..."
"Kenapa tidak?"
"Charlos William. Akan ada banyak masalah di depan kita yang harus kita lalui kalau kamu berpikir seperti itu. Aku tidak ingin kamu dalam masalah, Charl. Bukannya aku tidak peduli dengan perasaanmu. Tapi kita sama-sama sudah dewasa, Charl. Kamu harus memikirkan segalanya."
"Maafkan aku Reva, tapi aku memang sungguh mencintaimu. I love you, Rev."
Hening sejenak. Charlos menelan ludah. Ia hampir kehilangan nyalinya menghadapi ketegangan yang ganjil. Mereka saling bertatapan cukup lama. Beberapa detik kemudian Reva menarik Charlos dan menciumnya.
Seperti jaring laba-laba yang terjalit satu sama lain, mereka saling bertautan, mencurahkan segala hasrat yang ada, mengobati setiap kerinduan yang telah meracuni mereka, menjadikannya seperti obat yang selalu saja dibuat kecanduan setiap kali mereka meminumnya.
Charlos ingin melepasnya, tapi Reva sangat bernafsu. Ia terkejut, betapa mereka begitu terhanyut dalam badai gairah. Charlos tidak ingin memikirkan hal lain selain Reva yang ada di hadapannya. Reva memainkan lidahnya. Charlos mengerang. Ia memegang dada Reva, merasakan betapa jantung Reva berdetak sangat kencang sama sepertinya. Tangan Reva menyusup ke leher Charlos. Mereka bergerak bersamaan seperti irama musik jazz yang mengalun indah.
Tiba-tiba terdengar ketukan pintu. Mereka tersentak kemudian berhenti. Reva tersenyum, kening Reva tampak berkeringat. Reva memakai jaket kulit yang waktu itu mereka beli di factory outlet di Jalan Riau dan mengambil saxophone yang tergeletak di meja. Reva membuka pintu, sang penjaga mengingatkan Reva kalau sebentar lagi waktunya untuk tampil.
"Sampai bertemu nanti, Charl," Reva tersenyum lagi sambil menyibakkan rambut ke belakang.
"Dah! Semoga sukses ya!"
Semeru Garuda Indonesia Hall sangat ramai malam itu. Semua para penggemar jazz menanti untuk penampilan Reva. Mereka bertepuk tangan riuh saat Reva memasuki panggung.
Reva memainkan saxophone dengan sangat indah. Pertama-tama Reva tampil solo untuk beberapa lagu yang diiringi juga oleh drum dan gitar. Lalu Reva juga tampil dengan orchestra jazz.
Charlos duduk di tengah-tengah para penggemar jazz, menikmati hanya satu suara di antara suara-suara gaduh lainnya, yaitu suara saxophone Reva.
Dua jam telah berlalu. Banyak orang yang memberi Reva karangan bunga. Beberapa ada yang meminta tanda tangan dan foto bersama. Charlos sangat letih, tapi ia terlalu bersemangat.
Setelah penampilan Reva selesai, Charlos masuk ke ruangan Reva dan mereka langsung berpelukan. Reva mengecup bibirnya sekali di hadapan penjaganya yang langsung memalingkan wajahnya dan kemudian meninggalkan mereka berdua. Reva melempar beberapa karangan bunga dari penggemarnya ke sudut ruangan.
"Apa kamu bermaksud mengabaikan itu semua?" Charlos memandangi karangan bunga yang seolah tak ada harganya itu.
"Aku tidak mau kamu cemburu. Penggemar aku hanya kamu seorang, Charl." Suara Reva terdengar mendayu-dayu.
Charlos tersenyum, "Kamu memang sangat luar biasa. Aku tidak tahu harus memilih kata apa yang tepat untuk menggambarkan betapa hebatnya penampilan kamu tadi."
"Terima kasih, Charl." Reva mengambil saxophone lagi. "Kalau tadi aku main saxophone untuk semua orang. Untuk sekarang ini, aku akan bermain untukmu seorang."
Reva mengedipkan mata sambil tersenyum manis lalu mulai meniup saxophone. Reva memainkan lagu My All yang diadaptasi menjadi musik jazz yang indah.
Aku akan memberikan segala milikku untuk memiliki sekedar satu malam saja denganmu. Aku akan merelakan hidupku untuk merasakan tubuhmu di sampingku. Karena aku tidak bisa terus berjalan, hidup di dalam kenangan lagu kita. Aku akan memberikan segala milikku untuk cintamu malam ini.
Lirik lagu yang secara langsung Reva tujukan untuknya. Reva mengakhiri lagu itu dengan ciuman yang hangat. Charlos merasa pusing. Ia tidak tahu apakah ia sedang berbuat benar atau salah. Ia begitu menikmati malam ini, tetapi ia juga merasa khawatir. Apakah cinta ini akan terus berlanjut ataukah ia akan kehilangan Reva untuk selamanya?
Malam itu Charlos menginap di kamar hotel yang sama dengan Reva. Charlos sedang berganti pakaian dan kemudian Reva memeluknya dari belakang.
"Aku ingin sekali kita seperti ini setiap hari. Aku bersama denganmu. Jangan tinggalkan aku, Charl," Reva mengatakannya seolah-olah mereka akan berpisah.
Charlos berbalik dan memeluknya dari depan, "Aku tidak akan meninggalkanmu, Rev. Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat. Bagaimana kalau kita ke Bali? Kita akan bersenang-senang di sana."
Reva mengecupnya lagi. "Sungguh?" Charlos mengangguk.
Charlos menanggalkan kemejanya kemudian menarik lepas kaus Reva. Mereka kembali menyatukan bibir mereka. Bibir Reva terbuka, kemudian Charlos menjelajah dengan lidahnya. Tangan Charlos turun untuk menyentuh dada Reva, meremasnya perlahan. Rasanya panas dan berkeringat. Ia juga sangat berkeringat.
Tubuh Reva semakin menekan ke dada Charlos. Reva mencium pipi kemudian turun ke leher Charlos. Jari-jarinya yang panjang menelusuri lekuk six pack di perut Charlos. Tangan Charlos yang satu lagi meremas rambut ikal Reva. Mereka saling berpandangan.
"I love you, Charlos."
Charlos memandangi bibir Reva yang merah. Ia menyentuh lembut bibir itu. "I love you too, Rev."
Charlos menciumnya perlahan. Reva semakin memanas. Reva terus menekan tubuh Charlos, sehingga mereka berdua terjatuh di kasur dengan posisi Reva di atas. Reva tersenyum sambil mengelus rambut Charlos kemudian mendekap wajahnya.
"Kamu milikku. Sampai selamanya milikku."
"Tentu saja, Rev." Charlos balas tersenyum.
Reva berguling ke samping kemudian menghela napas. "Aku mengantuk sekali, Charl." Suara Reva agak serak. Reva memejamkan matanya.
"Tidurlah. Aku juga mengantuk."
"Selamat malam, Sayang."
Kemudian Charlos diam, menunggu. Jantungnya masih berpacu dengan cepat. Reva berbaring di sampingnya masih bertelanjang dada. Ia menengok dan melihat hidung Reva yang mancung. Mata Reva yang terpejam terlihat begitu natural. Ia mengarahkan tubuhnya ke Reva lalu mengecup keningnya dengan kilat.
"Selamat malam."
Charlos tahu bahwa Reva tersenyum. Matanya benar-benar lengket sekarang. Ia tertidur dan Reva berbaring di sampingnya sambil memeluknya.