Singgah sejenak ke Polda Metro Jaya
Aisyah sedang melemaskan jari-jemarinya. Banyak sekali laporan kejahatan yang mesti ia selesaikan sebelum cuti ini. Arsy, ibunya sudah merengek agar Aisyah pulang agak sebentar. Entah apa yang sedang direncanakan?
Tapi, sejak bertugas di Ibu Kota, Aisyah memang sangat sibuk dan belum pernah pulang sekali pun. Terakhir, enam bulan lalu, Arsy yang ke sana ditemani Sekar, yang kebetulan libur sekolah.
Aisyah, hanya tinggal di sebuah pavilion yang ia sewa pertahun. Baginya, tempat itu sudah cukup untuk istirahat. Tak perlu menyewa satu rumah, untuk ia tinggali sendiri, yang bahkan sangat jarang sekali ia tempati berlama-lama. Terkadang Aisyah tertidur di kantor, lalu pulang untuk mandi dan berganti pakaian saja, bahkan kadang pakaian ganti pun sampai dibawa ke kantor.
Jadi, mubazir sekali jika harus mengeluarkan uang lebih banyak hanya untuk menyewa tempat tinggal, yang sering ditinggal tak berpenghuni.
Ketika Arsy datang, ia sempat menyarankan agar Aisyah pindah saja. Terlalu sempit. Tapi, Aisyah tak mengindahkan. Lagi pula ibunya hanya datang sesekali.
"Ai… Loe beneran jadi cuti?"
Bagas datang dan menarik kursi untuk duduk di sebelah Aisyah.
"Kenapa emang kalau iya?"
Bagas menghela nafas, "Gue nggak bisa tanpa loe!"
Aisyah mengibaskan tangan, "Sinting loe, Ndan!"
"Gue serius, Ai. Komandan tanpa wakil, ibaratkan kopi tanpa gula, pahit!"
"Garing banget!"
Aisyah meregangkan tangannya ke atas, lalu memutarnya ke kiri dan ke kanan. Bagas sedikit menghindar saat tangan Aisyah hampir mengenai wajahnya.
"Kenapa sih, Ndan? Ada masalah apa loe?"
Kali ini Aisyah menegakkan punggungnya. Ia melirik jam di tangan. Jam delapan malam.
"Gue cuma nggak bisa aja kalau nggak ada loe."
Bagas mulai memelas. Ia benar-benar butuh kehadiran Aisyah. Ada beberapa kasus prostitusi yang harus segera dituntaskan. Dan tanpa kehadiran Aisyah, rasanya berat untuk melangkah. Ia takut tergoda. Tak ada yang mengingatkan nantinya. Ini modus.
"Mak gue nyuruh pulang. Penting katanya, jadi ya gimana dong!"
Aisyah kembali melanjutkan laporannya sedikit lagi. "Loe kenapa masih di sini, Ndan?"
"Nunggu loe."
Aisyah melirik Bagas, yang tersenyum sambil mengangkat alis.
"Nggak ada cewek lagi yang bisa loe gombalin? sampe-sampe sekarang gue yang loe jadiin korban." Polwan manis itu kembali mengarahkan pandangan pada kertas dan layar komputernya.
Bagas menghela nafas. Meskipun yang Aisyah tahu dia seorang pencinta wanita, bukan berarti tak ada satu gadis yang benar-benar ada di hatinya. Menyukai Aisyah secara diam-diam, membuatnya makin hari kian gelisah.
Aisyah benar-benar bukan tipe cewek yang mudah untuk ditaklukkan. Walaupun, menjadi satu-satunya cowok terdekat, tak menjamin, polwan itu akan menyukainya. Apalagi, demi mengaburkan perasaannya dari Aisyah, ia bahkan rela seolah-olah jadi fuckboy, yang benar-benar suka sekali menggoda banyak wanita.
Namun, sandiwara menjadi fuckboy, rupanya terlalu didalaminya. Hingga membuatnya benar-benar suka menggoda cewek secara spontan. Dan Aisyah lah yang selalu memukul, bahkan menendang pantatnya kalau beraksi saat sedang dinas.
Bagas menikmati hari-hari yang dilaluinya bersama Aisyah. Walaupun gadis ini dingin sedingin es, ia tetap merasa nyaman. Biarkan Aisyah menjadi es, dan dia akan menjadi api yang bisa mencairkan.
Dan mereka dijuluki Dispenser Couple. Aisyah tidak menyadari julukan itu, yang mengetahui hanya Bagas. Dan polisi gagah itu selalu tersenyum setiap kali ada yang memanggilnya seperti itu.
"Dispense…r…"
Seorang Perwira melewati mereka. Saat akan menyapa demikian, Aisyah langsung mengangkat kepala, hingga membuat Perwira tadi melebur huruf R menjadi tak terlalu jelas.
"Itu Dispenser apa maksudnya?"
Aisyah mulai bingung dengan sapaan aneh, beberapa bulan belakangan ini.
Bagas tertawa garing, "Dispenser, masa loe nggak tau."
"Nggak!"
"Yang Hot and Cool."
Aisyah hanya mencebik malas. Menurutnya, jawaban Bagas hanya ngasal saja.
Beberapa saat hening.
"Kelar. Ndan, gue udah tanda tangan, tinggal loe, Heru sama Dimas. Trus loe urusin sampe kelar ke jalur atas ya."
Aisyah memberikan beberapa bundel laporan yang baru selesai ia kerjakan.
Bagas lalu meraihnya, mengambil pulpen di hadapan Aisyah, memaraf tiap lembar, lalu menanda tangani. Ia kemudian menyimpan bundelan laporan itu ke dalam laci mejanya yang berada di depan Aisyah, dan menguncinya.
Aisyah juga beres-beres. Besok ia pulang dengan penerbangan siang. Takkan terkejar kalau ambil pesawat awal. Ia pun belum sempat packing, karena terlalu sibuk melakukan pengintaian gembong narkoba, yang pengedarnya berhasil mereka tangkap di Hotel Elle.
Tapi, gembong tersebut belum juga tertangkap.
Selain itu, ia, Bagas dan timnya juga sempat sibuk melumpuhkan beberapa pembegal yang meresahkan di tiga titik daerah perumahan elit, yang suka sekali beraksi tanpa kenal waktu.
Ada beberapa luka lebam di lengan dan pahanya. Aisyah sempat jatuh terguling-guling saat hendak menggapai baju si pembegal. Tapi, pada akhirnya, tugas itu terselesaikan juga.
Aisyah dan Bagas sudah keluar dari kantor. Mereka sedang menuju parkiran.
"Besok jam berapa loe take off?"
"Jam dua."
"Gue anter."
"Loe nanya apa gimana?"
"Gue mau nganter loe."
Aisyah lagi-lagi mengibas tangan.
"Repotin loe, gue nggak mau."
"Nggak kok."
"Ndan…"
Aisyah berhenti di sisi pintu penumpang mobil Bagas.
Refleks Bagas melihat, sedikit berdebar-debar hatinya, apa yang hendak dikatakan Aisyah. Terdengar agak serius. "Ya…"
"Gue laper! Lupa gue kapan terakhir makan!"
Bagas menepuk jidad. Aisyah memang pekerja keras, ia kadang tak mengindahkan kesehatannya sendiri.
"Kirain apaan, serius amat tadinya," ucap Bagas saat mereka sudah sama-sama di dalam mobil.
"Eh, serius, gue laper banget."
"Mo makan apa loe?"
Bagas sudah mulai keluar area Gedung Metro.
"Warteg aja."
Bagas tertawa, "Ah selera loe."
"Gue suka makan di kaki lima, warteg kaki lima deket kontrakan gue aja. Enak di situ."
Bagas melirik Aisyah sambil tersenyum bangga. Dia seorang perwira, gajinya juga cukup besar, tapi tak pernah merasa tinggi. Ia bahkan belum memiliki kendaraan apa pun di sini. Sehari-hari hanya menggunakan ojek online. Apa yang sedang ia rencanakan? Entahlah.
"Oke deh."
Bagas mulai melajukan kendaraan dengan kecepatan sedang.
"Eh, besok beneran gue jemput, anter loe. Tenang aja."
"Serah loe deh, yang jelas malam ni, loe juga harus nanggung makan gue. Gue kerja sampe malam demi loe. Komandan Kampret!"
Bagas kembali tertawa. Aisyah tersenyum kecil saja saat mengatainya begitu, sudah membuatnya bahagia. Aisyah benar-benar gadis yang manis dan tak bosan untuk dipandang.
Menyimpan rasa sekian lama, bahkan saat perjumpaan pertama ketika Aisyah baru datang dan ditempatkan di lokasi dan satuan tugas yang ia naungi, telah membuat Bagas teruji akan rasa cintanya. Ia tak pernah berhenti mencintai Aisyah, yang bahkan tak sempat meliriknya atau laki-laki lain, saking seriusnya menjalankan tugas sebagai abdi negara, yang ia lakukan dengan sepenuh hati.
***
***