webnovel

Side Story : Children of Night Sky

Tales of Djinn Slayer

Oleh: Austra Keshan

Amsterdam, Belanda, 11 tahun setelah kakakku, aku terlahir ke Dunia ini. Semenjak kecil aku selalu menempel pada dirinya, dan aku menyayanginya karena membiarkanku melakukannya. Aku tahu aku mungkin sering membuat repot kakakku (mungkin terlalu sering), namun apa boleh buat, ibu dan ayah terlalu sibuk dengan pekerjaannya, dan tak menyempatkan waktu untuk bermain denganku.

Ayah memberiku nama Austra dan kakak Borea. Aku selalu menyukai nama kami, mereka terdengar indah dan unik, hingga suatu hari aku bertanya pada kakak, arti dari mereka. Kakak tersenyum mendengar pertanyaanku, ia pun beranjak mengambil sebuah foto yang dikirim temannya dari Selandia Baru, dan menunjukkannya kepadaku.

Mataku bercahaya melihatnya. Langit begitu indah dan dipenuhi warna, aku bersama rasa kagum dan penasaranku, lantas bertanya pada kakak, "mengapa langit bertaburan pelangi?".

Kakak lalu menjawab, "bukan pelangi, tapi Aurora Australis."

Kakak kemudian menjelaskan, dari situ lah ayah menamai kita. Aurora Australis di Selatan dan Aurora Borealis di Utara. Saat itu umurku baru 5 tahun, dan karena begitu terpesonanya dengan benda indah itu, aku memintanya untuk melihat Aurora secara langsung bersamaku.

Kakak tertawa kecil mendengarnya, ia pun berkata, "tentu, jika kakak sudah kerja nanti, kakak akan membelikanmu tiket ke Selandia Baru."

"Tidak!" Aku membentak. "Aku mau melihatnya bersama kakak!"

"Baiklah, mari kita memburu auroa bersama!"

"Janji?"

"Janji." Ia mengelus-elus kepalaku dengan senyuman yang begitu hangat, seakan-akan aku tak pantas mendapatkannya.

Setelah lulus sekolah, kakak mulai terobsesi pada budaya Jawa, dan berguru pada seseorang dari Indonesia. Terutama wayang dan gamelan. Karena cinta dan passion kakak pada Indonesia, gurunya mengajak kami berdua untuk datang ke negeri ibu pertiwi. Ibu dan ayah nampak tidak peduli, dan membiarkan kami pergi.

Kakak terlihat sangat mahir dengan wayang dan gamelan, dan dengan keterampilan itu, ia juga berniat lanjut ke jenjang profesional. Aku tentunya ingin bermain bersama kakak, namun aku lebih tertarik pada alat pukul yang ada pada set gamelan, kendang.

Kakak juga sangat menyukai membuat wayang, apalagi wayang golek. Karyanya begitu sempurna dan mendapat pesanan dari banyak orang-orang ternama. Kehidupan kami begitu bahagia di Indonesia, rakyat juga ramah terhadap kami. Namun jika kekasihku Verslinder adalah anggota termuda dari Dramu, maka aku adalah yang termuda dari kalangan Lishmi, setidaknya dalam tubuh ini.

Hal buruk datang di perjalanan menuju salah satu pertunjukan kami. Saat itu usiaku 12 tahun dan kendaraan yang membawa kami mengalami kecelakaan yang merenggut nyawaku. Akan tetapi setelah berpisah dengan tubuhku, Azrael berkata bahwa aku tak akan menetap untuk waktu lama di Alam kubur. Katanya urusanku belumlah selesai di Alam Dunia ini.

Setelah kehilangan diriku, kakak kian kehilangan akal sehatnya dan mulai mendalami hal-hal spiritual yang tidak waras. Ketika ia teringat akan diriku, ia mulai menangis dan membuat boneka besar yang menggambarkan diriku. Sampai ia mendapatkan ide gila untuk membawaku kembali ke Dunia ini.

Ia membangun sebuah menara dengan 1000 gamelan menempel pada dinding-dindingnya, lalu menempatkan boneka replika diriku di atas sebuah bangku singgahsana di tengah-tengah mereka. Kakak percaya bahwa dirinya mampu menjemputku ke Alam Kubur dan membawaku kembali ke Alam Dunia ini. Namun rencananya membutuhkan bantuan dan pengorbanan, dari makhluk yang mampu berpindah alam.

Demi tujuan itu, kakak meninggalkan tubuhnya dan pergi ke alam jin bersama dengan keris yang dibuat oleh para ahli spiritual Jawa. Ia mendatangi kerajaan jin di Selatan dan meminta mereka untuk membantunya membawaku kembali.

Para jin meminta banyak syarat, seakan meminta kakak untuk melayani mereka. Namun kakak tidak membeli omong kosong itu dan mulai membantai beberapa jin. Jiwa dan keimanan kakak sangatlah kuat, begitu kuat hingga mampu melawan sihir-sihir mereka.

"Aku tak peduli berapa ribu tahun kalian akan hidup, jika aku penggal kepala kalian di sini, maka matilah kalian!"

Kekuatannya yang luar biasa membuat kerajaan itu tunduk padanya. Kini dengan jin berada di pihaknya, kakak siap menjalankan rencananya untuk membawaku kembali ke Dunia. Sayangnya, rencana ini mungkin tidak seindah kalimat itu sendiri.

Kembali ke menara yang ia bangun, kakak memasang satu set gamelan di hadapanku. Ia duduk di sana penuh dengan permohonan maaf, menyenandungkan syair yang memanggil-manggil nama Tuhan.

Satu pentungan gamelan memecah sunyi di dalam menara. Diikuti lantunan melodi yang mendayu-dayu, memanjakan udara. Satu demi satu, keseribu gamelan mulai berbunyi, mengikuti arahan kakak, bermusik ria tanpa seorang jua menyentuh mereka.

Menara pun bergetar menggemuruh. Kumpulan cahaya tertarik masuk ke dalam replikaku, saat itu Munkar dan Nakir mengucapkan salam perpisahan kepadaku, dan berkata akan menyambutku kembali saat waktunya tiba.

Aku bisa merasakan ruhku terhanyut dalam alunan musik. Diriku tertarik masuk ke dalam tubuh palsu yang kakak buat untukku. Tubuh ini tak memiliki indra untuk memberitahuku apa yang terjadi, namun jiwaku mampu mendengar, melihat dan merasakan kehangatannya.

Kakak melihat tubuhku bergerak, aku tak tahu ekspresi dan perasaannya saat itu, tapi yang jelas, ia berdiri, terlepas dari permainan musiknya. Ia mengangkat tubuh ini dengan kedua tangannya dan menggendongku keluar dari menara itu.

Dan begitu ia melangkah melewati pintu menara, perlahan gamelan-gamelan di sana berhenti berbunyi, dan yang tersisa hanyalah seribu mayat jin yang meluap menjadi kobaran api.

Setelah membawaku kembali ke Alam Dunia, kakak menyewa pesawat pribadi untuk membawa kami ke negeri selatan, Selandia Baru. Ia menaruhku pada kursi roda karena tubuhku belum sempurna mampu digerakkan pada saat itu.

Sesampai di sana ia berkata pada si pilot, "saat aku kembali mungkin orang yang duduk di kursi ini tidaklah sama, aku harap kamu masih mau mengantar kami saat itu terjadi."

Si pilot hanya mengangguk dengan senyuman. Aku bisa melihat kesedihan di matanya namun aku tak mengerti kenapa.

Kakak mendorongku naik ke sebuah bukit dengan langit terbentang luas di hadapan kami. Ia memintaku untuk bersabar, menunggu sebentar saja, dan terus memandangi langit.

Malam pun tiba, dan langit tidaklah sehitam yang aku ingat. Kirana mulai terbentang dan menari-nari di Angkasa. Berbagai warna melukis langit dan memancarkan keindahan mereka, menembus mata dan jiwa kami. Ah Aurora, kita tak saling kenal namun begitu rindu rasanya hati ini saat bertemu.

Tapi sayangnya, meski pandanganku dihiasi gemerlap cakrawala yang berpancarona, malam itu, bukanlah malam yang membahagiakan, setidaknya tidak untukku.

Tiba-tiba aku bisa merasakan jiwaku akhirnya sempurna, dan tubuh palsu ini juga mampu kugerakkan sesuai kehendakku. Begitu gembira, begitu senang, ingin rasanya aku langsung memeluk kakak, akan tetapi ketika aku menoleh pada dirinya, yang kulihat hanyalah tubuh yang tergeletak kaku. Dia mengorbankan nyawanya, hanya untuk menepati janji bodoh yang kuminta di masa kecil. Janji untuk melihat aurora bersama dengannya.

Aku tak tahu apa yang kurasa pada saat itu. Aku ingin menangis, namun tubuh ini tak mengeluarkan air mata. Apa gunanya membawaku kembali ke Dunia ini, jika kau pergi meninggalkanku sendirian di sini. Di antara balada yang tengah melanda, aku pun berusaha semampuku menggerakkan tubuh kaku ini dan membawa kakak kembali ke pesawat lalu pulang ke Indonesia. Sang pilot tahu hal ini akan terjadi, dan mulai menangis sebelum membawa kami pergi.

Akhir cerita aku mengubur kakak di halaman belakang rumah kami. Nampaknya kakak hanya memindahkan jiwaku ke Alam Dunia, menjadikanku hanyalah jiwa yang merasuki sebuah boneka. Aku tak menemukan cara untuk kembali ke alam kubur hingga Azrael menjemputku setelah tubuh kayu ini tak mampu lagi menopangku.

Jika boleh jujur aku sama sekali tak keberatan Sang Pencipta membawaku ke Dunia barunya. Bahkan di sini, ketika Verslinder tak sedang berkunjung atau sedang melaksanakan tugasnya, aku akan menghabiskan waktuku bersama kakak dan istrinya. Entahlah, aku terlalu menyayanginya, aku senang kami bisa menjadi keluarga lagi, dan berbahagia bersama.

Verslinder’s Note

"Ketika aurora melukis langit selatan, Borea sempat mengucapkan kata terakhirnya, walau sayang Austra tak mampu mendengarnya dengan jelas melalui tubuh bonekanya di saat dia memfokuskan rohnya untuk melihat. Kalimat yang keluar dari mulutnya ialah “kita pulang Austra, rumah kita.”

PolarMuttaqincreators' thoughts
Next chapter