webnovel

Chapter 39: Goodbye, For Now...

Amartya telah memegang kepemimpinan atas musisi Ratmuju. Maka terbentuklah tato bass clef (lambang musisi Kegelapan) pada pipi kanan Amartya, dan tato treble clef (lambang musisi cahaya) pada pipi kiri Naema. Kini emosi para musisi ikut tersalur kepada keduanya, hal ini mungkin akan memperkuat perasaan mereka.

Setelah upacara pemberian kekuasaan selesai, Amartya dan Naema bermaksud untuk segera pergi dari Ratmuju, lupa akan alasan utama mereka kemari. Namun ketika mereka hendak keluar dari ruangan Conductor, mereka bertemu seorang tamu yang tak terduga.

"Hai nak, selamat atas dua suku pertamamu!" Tiba-tiba saja Hakan hadir di sana, menyambut Amartya.

"Lah ayah, ngapain di sini?" Anak itu nampak sedikit kaget tapi ia juga bersikap seakan hal ini bukanlah suatu anomali.

"Anak ayah mendapatkan kekuasaan pertamanya, mana mungkin ayah mau ketinggalan."

"Tapi kan aku tidak memberi kabar apa-apa?"

"Kamu meremehkan ayah?" Pria itu memampangkan senyum sombong yang entah mengapa cukup hangat untuk dipandang.

"... Ngomong-ngomong ayah, ini Naema." Amartya menarik Naema ke hadapannya, membuat terkejut gadis kecil itu.

"Lalu?"

"Ah iya kalian sudah pernah bertemu, dan bahkan memberikan BARANG milik ANAKNYA sendiri!" Nada kesal Amartya meledak berapi-api.

"Kamu kan sudah tidak pernah menggunakannya."

"Ta-tapi kan… ah sudahlah, ayo kita pulang."

Amartya pun mendahulukan diri keluar ruangan, meninggalkan Hakan dan Naema.

"Ah benar, Naema, papamu akan menjemputmu 10 hari lagi, jadi tinggallah bersama kami dulu sampai waktunya tiba." Ucap Hakan.

"Baik, pak. Memangnya papa sedang di mana sekarang?" Tanya Naema.

"Di tanah Tanduk Putih, para Pandeka ingin bertanya soal pesan Gabriel kepadanya."

"Begitu…"

"Sekarang mari kita kejar Amartya, anak itu lebih cepat dari apapun itu yang bisa bergerak di Bumi ini."

Naema pun mengangguk. Keduanya lalu berjalan keluar dari menara DiVarri.

Sementara di sisi lain, Amartya bertemu kembali dengan Verslinder yang sedang berkeliaran di sekitar menara setelah pertunjukannya. Anak itu pun menanyakan beberapa hal kepadanya sembari menunggu orang-orang lambat di belakang sana.

"Yo... Verslinder, bolehkah aku bertanya sesuatu kepadamu?" Tanya Amartya. Terasa sedikit ketakutan pada dirinya, dikarenakan aura mencekam yang tak henti-hentinya dipancarkan bocah Kegelapan itu.

"Katakan saja, Tuan Penguasa Muda." Verslinder membalas dengan nada yang begitu mati, raut wajahnya menatap seakan ia mengutuk seisi Dunia. Amartya berusaha keras untuk tidak terganggu olehnya.

"Dirimu calon penghuni Surga kan? Apakah kamu tidak merasa keberatan, tidak mendapat sesuatu yang dijanjikan untukmu?"

"Bersyukur adalah salah satu hal yang Dia ajarkan kepada kami," Jawab Verslinder dengan mata yang tertutup.

"Lagi pula, menikmati keabadian hanya dalam kenikmatan, akan terasa membosankan ketimbang menjalaninya dengan sejuta masalah dan menyelesaikannya."

"Tapi mereka yang seharusnya jatuh ke Neraka justru malah mendapatkan Surga yang seharusnya tak bisa mereka sentuh."

Mendengarnya, Verslinder lekas memandang pada Amartya seakan hendak menyeringai.

"Ah naifnya, apa yang membuat Tuan begitu yakin mereka akan menyentuhnya?"

"Maksudmu?"

"Aku menekuni ajaran-Nya seumur hidup dan matiku... setelah kau mati, tidak ada lagi yang namanya kesempatan kedua. Yang bisa menyelamatkanmu hanyalah doa manusia, tapi mereka telah lama ditutup semenjak Sangkakala membisikkan nyanyiannya."

"Tunggu, jadi pendahulu kami tetap akan masuk Neraka!?" Amartya tersentak.

"Bukankah itu tak adil? Mereka adalah korban dari penipuan sang Pencipta."

"Kamu pikir Tuhan akan memberi keadilan kepada para pendosa? Orang-orang yang berpaling dari seruan-Nya? Sebenarnya... cukup mungkin, Dia adalah sosok yang maha adil." Balas Verslinder.

"Namun terlebih lagi, jiwaku yakin sang Pencipta membuat dunia ini atas izin Dia, yang maha berkuasa, dan jika itu benar, kita tak bisa menyalahkannya akan apapun."

Amartya tak mampu lagi berkata, hal ini menjadi sebuah kejutan untuknya. Tapi ia juga bersyukur karena jika bukan karena sang Pencipta, dia mungkin tidak akan pernah merasakan rasanya menghirup udara kehidupan.

Tak lama setelah perbincangan mereka, Hakan dan Naema akhirnya datang, ketiganya pun lantas berjalan pulang menuju desa Afaarit, Maksallatan. Amartya tidak berkata apapun sepanjang perjalanan, dia terlalu sibuk berkecimpung di dalam benaknya.

***

Keesokan siangnya mereka pun sampai di Istana kepala suku, perjalanan mereka memakan waktu lama karena mereka berjalan bersama Naema, walau ujung-ujungnya Amartya berakhir mengangkut paksa Naema karena bosan berjalan.

"Ah sampai juga, selamat datang di rumah… ku? Putri Salju?" Amartya melihat Naema yang sudah terkapar pulas karena tak biasa berjalan jauh.

Namun tak lama kemudian, Naema mulai bercucuran keringat dan terbangun. Nafasnya terengah-engah, ia langsung membuka dimensinya lalu mengambil sehelai baju yang diberikan oleh suku Alam, dan berpindah ruangan untuk mengganti pakaiannya.

"Lah, udah berasa rumah sendiri aja, asal masuk ruangan."

"Sudahlah, nak… dia sudah kepanasan di luar batasan, dari pada nanti tubuhnya meleleh, kita mau bicara apa sama Fannar?"

Sekian detik kemudian, Naema pun kembali hanya dengan sehelai kaus dengan panjang berlebihan, dan syal yang dari awal sudah melekat di lehernya.

"Kamu kepanasan kok masih pake syal?" Amartya terlihat bingung, namun ia tak punya masalah dengannya, menurutnya syal merupakan sesuatu yang cukup modis. Sedikit spoiler, dari generasi 3 ke atas, syal menjadi bagian utama dari seragam Santi Waraney, karena Amartya menikmati melihatnya bergantung pada leher Naema.

"Justru itu tujuannya, agar aku tetap dingin." Naema memegangi syalnya yang terus mengeluarkan cahaya kebiruan.

"Kurasa suhu tinggi mampu membuat kalian gila..." Raut kasian tampil di wajah Amartya.

"Ih bukan seperti itu, syal ini terbuat dari sehelai kain dan kristal es, kakanda lihat garis-garis biru bercahaya ini? Ini kristal es."

"Ah, kukira mereka bercahaya karena energi sihir atau semacamnya." Amartya mencondongkan badannya berusaha melihat lebih dekat.

"Lalu bagaimana mereka bisa tetap menyala? Bukankah kristal elemen akan habis jika terus digunakan?"

"Kan aku selalu mengisinya ketika makan, itu sebabnya porsi makanku banyak." Gadis itu terlihat cukup bangga, dengan senyuman lebar terpasang di wajahnya.

"Tidakkah porsi makanmu sama denganku? Tidak, bahkan lebih sedikit."

"Kita berbeda spesies kakanda... jangan lupa akan hal itu."

"Sudah-sudah... sekarang kalian perlu istirahat, kalian telah menjalani hari yang cukup panjang." Hakan mendorong keduanya ke arah kamar Amartya.

"Naema kamu bisa tidur bersama Amartya, Istana ini tidak didesain untuk menerima tamu yang akan menginap." Kamira lalu datang memberikan sehelai selimut dan sebuah bantal pada gadis itu.

"Apa tidak apa-apa? Kami kan belum menikah." Tanya Amartya.

"Tidak apa-apa, Pohon Kehidupan tidak sedang dalam masa reinkarnasi, tidak akan ada hal yang mendorong kalian untuk melakukan hal aneh." Jawab Kamira dengan keminiman ilmunya tentang Ilmuan Langit.

"Dimengerti. Ayo Naema, semua ini membuatku letih, kristal-kristal api sial itu memakan begitu banyak tenagaku." Amartya lekas membukakan pintu kamarnya.

Naema hanya mengangguk dan mengikuti Amartya dari belakang, mukanya seakan terebus matang. Tak seperti Amartya yang murni terpengaruh oleh Pohon Kehidupan, hawa nafsu suku Es jauh melebihi batas wajar, bahkan setelah dikekang oleh Pohon Kehidupan. Hal ini menyebabkan pemikirannya masih bisa melenceng walau tanpa dorongan Pohon Kehidupan.

Selama sepuluh hari pun mereka tinggal bersama di Istana suku Api, Amartya menceritakan banyak hal tentang sejarah yang terjadi di Daratan. Kemudian pada hari terakhir, Amartya dan Naema membuat janji untuk berkumpul kembali di sebuah pondok kecil di Mitralhassa ketika ia berumur 18 tahun untuk bersiap menghadapi apa yang akan diberikan Ilmuan Langit pada Daratan.

***

Fannar pun datang setelah sepuluh hari. Sebelum berpisah Amartya memberikan sebuah cincin merah untuk Naema, cincin itu panas, hingga terasa membakar. Ia juga membuat cincin sian untuk dirinya sendiri, yang sebaliknya cincin ini amatlah dingin. Guna kedua cincin ini untuk mengingatkan mereka satu sama lain, dengan rasa sakit yang ditimbulkan dari perbadaan suhu yang tinggi, setidaknya itu bualan yang diberikan Amartya pada Naema.

Gadis itu terlihat begitu nyaman memakai cincinnya, yang tentunya hal ini melenceng dari perkiraan Amartya kalau Naema akan merasa kesakitan bersentuhan dengan logam panas itu. Masih banyak hal yang Amartya tidak mengerti tentang Putri Salju. Hal ini mungkin akan menganggunya di kemudian hari.

Kini mereka pun berpisah. Dan 6 tahun lagi mereka akan bertemu kembali sebagai 2 pribadi yang berbeda, lebih dewasa dan lebih kuat. Mereka hanya berharap tak ada pemikiran aneh yang menyambar Ketua Dewan selama waktu itu.

Next chapter