webnovel

dua puluh

Pagi ini, suasana kamar yang dihuni oleh Daneil dan Amara terlihat menegang. Di sana Amara terlihat terus-menerus mengikuti langkah suaminya kesana-kemari dengan kedua  tangan terkatup. Wajah wanita itu terlihat penuh dengan permohonan.

"Tidak, Aku bilang tidak bisa! Hari ini Aku ada meeting pagi," ujar Daneil kesal, berbalik menghadap Amara.

"Hari ini Paman dan Bibiku akan kembali, Aku mohon tetaplah di rumah. Mereka akan sedih jika Kamu tetap ke kantor di saat mereka pulang, Daneil." Mohon Amara kembali, tak henti-henti.

Daneil menghembuskan nafas. "Jam berapa mereka meninggalkan rumah ini?" tanyanya lelah kemudian.

"Mungkin sekitar pukul sepuluh pagi," ucap Amara tak yakin.

"Nanti, sebelum pukul sepuluh Aku sudah akan di rumah. Jadi, apa sekarang Kamu bisa membiarkan Aku pergi?" Tanya Daneil jengah.

Amara terdiam. Kemudian melangkah menyingkir dari hadapan lelaki itu. Ia mengikuti langkah suaminya yang keluar dari kamar mereka.

Dengan langkah tergesa-gesa Daneil menuruni undakan anak tangga. Sesekali matanya melirik pergelangan tangannya di mana di sana melingkar sebuah jam tangan branded sport. Terlihat sangat cocok dikenakan oleh lelaki itu.

"Daneil!" Daneil menghentikan langkahnya saat merasakan namanya dipanggil. Ternyata yang memanggilnya adalah Banu, Paman Amara. Terlihat tak hanya ada Banu tetapi juga Siska dan David di sana, yang sedang menikmati sarapan pagi mereka. Tapi, dua orang di sana sekarang menatapnya. Ya, hanya Banu dan Siska, tidak untuk David yang terlihat tak acuh.

"Ayo, makan dulu!" Perintah Banu.

Daneil melirik jam tangannya. Ia kemudian menggeleng cepat. "Maaf, Paman. Tapi Aku sudah telat untuk meeting," setelah mengucapkan itu. Daneil berlari buru-buru keluar rumah. 

Amara hanya menatap kepergian suaminya dari undakan anak tangga. Setelah melihat sosok itu menghilang di balik pintu. Wanita itu kemudian menghela nafas, lalu menunduk dalam.

"Amara," panggilan lembut itu mengalihkan perhatian wanita dengan dress selutut motif abstrak itu. Ia menatap pada Bibinya, sebelum kemudian memutuskan untuk melangkah turun.

"Daneil ada meeting pagi, maaf ya tidak bisa ikut sarapan dengan kita. Tapi, dia nanti akan ada di rumah sebelum kalian kembali." ujar gadis itu, duduk di sebelah David.

Banu, mengangguk dengan senyum tipis. "Tidak masalah," balasnya seolah mengatakan jika Ia memang benar-benar tak apa-apa tak dapat sarapan bersama menantunya.

"Sekarang, ayo makan!" Banu memberikan perintah agar Keponakannya itu segera mengambil sarapan untuknya makan.

Amara mengangguk. Membalik piringnya, dan mulai mengambil nasi beserta lauknya.  Gadis itu masih melirik sekitar, sebelum kemudian mulai melahap makanannya.

"Sering-sering ke rumah Bibi Amara setelah ini," Siska berucap di sela-sela makannya.

Amara mendongak. "Tentu saja Bibi," angguknya pelan.

Rumah Banu dengan rumah yang saat ini Amara tinggali sebenarnya berjarak tak terlalu jauh. Hanya memerlukan waktu satu sampai satu setengah jam jika menggunakan mobil maka Ia sudah akan sampai. Berbeda lagi jika menggunakan motor, tentu jauh lebih cepat.

"Sebenarnya Paman masih ingin di sini, setidaknya sampai besok. Paman masih belum sempat mengobrol dengan Daneil," Banu menimpali.

"Hem, Kamu pikir cuman Kamu, Akupun belum sempat mengobrol dengan menantu tampanku itu." Siska membuka suara, tak mau kalah.

"Iya, Kita belum sempat mengobrol dengan Daneil. Lelaki itu sangat sibuk," Banu menghela nafas.

"Heh! Dia mengelola puluhan perusahaan besar, bagaimana bisa tidak sibuk?!" jawab Siska mengegas.

"Tapikan, ada Anak buah sayang. Apa gunanya anak buah kalau Bosnya sendiri yang bekerja,"

"Adapun Anak buah, tetap saja menjadi bos itu sibuk!" Sifat tak mau kalah Siska mulai muncul. Wanita empat puluh tahunan itu memang tak suka dibantah.

"Terserah apa katamulah." Banu memutar bola matanya, kemudian menyuap nasi ke dalam mulutnya.

Sedangkan itu, David terlihat hanya terfokus pada sarapannya saja saat ini. Jangankan menimpali, bahkan lelaki remaja itu tak berminat mendongak barang sebentar saja. Seolah-olah keributan antara Paman dan Bibinya itu tak mengganggunya.

"Heh David! Nanti saat sampai rumah, bantu Paman membersihkan toko ya? Awas saja kalau sampai Kamu kabur!" Banu memandang mengancam pada keponakannya.

David mengangguk masih terus sibuk dengan kegiatannya menyuap nasi.

"Kamu dengar atau tidak?!" Tanya Banu kembali karena tak ada jawaban yang keluar dari bibir keponakannya.

David mendongak malas. "Dengar Paman,"

"Bagus, ingat untuk membantu Paman."

"Hem..."

"Paman sudah mau langsung buka?" Tanya Amara.

Banu mengalihkan pandangannya pada Amara. Lelaki dengan kisaran usia empat puluh lima tahunan itu nampak mengangguk yakin. "Iya! Paman mau langsung buka aja, bisa makan batu kalau kelamaan tutup hahaha..." Kelakarnya.

Amara tersenyum tipis menanggapi guyonan dari Pamannya. "Hem... Amara jadi pengen ikut balik ke rumah Paman, ingin bantu jualan jus lagi." Ia menopang dagu, kembali mengingat semasa masih tinggal dengan pamannya.

"Hei, Kamu bisa ke rumah Paman kalau Kamu rindu toko. Kapan saja, pintu rumah Paman dan Bibimu ini akan selalu terbuka lebar untukmu Amara."

"Terimakasih Paman,"

"Lagian Kamu ini dikasih hidup enak malah kangen hidup susah," Siska menimpali sambil menggeleng pelan. Tak habis pikir dengan pikiran keponakannya.

"Hei Sayang, Jadi orang kaya itu tak sepenuhnya berwarna. Contohnya Kamu, Kamu aku ajak susah malah berwarnakan hidupnya?!"

Mendengar itu, Amara langsung tersenyum kecut. Ya, untuk apa hidup kaya kalau hanya menghilangkan warna di hidupnya. Amara tak tahu, apakah Ia mampu membuat harinya menjadi berwarna kembali.

Siska memutar bola matanya malas mendengar ucapan suaminya. "Iya, sampai-sampai Aku overdosis karena setiap harinya hidup Aku, Kamu bikin berwarna!"

"Hahaha..."

"Aku sudah selesai, Aku ingin siap-siap dulu." David bangkit, kemudian berlalu menuju kamar yang di tempati lelaki itu selama tinggal di rumah Daneil.

"Ya, ya!" Teriak Siska kesal menyahuti ucapan keponakannya, entahlah ia hanya merasa gemas karena nyatanya Ia masih merasakan jika sikap keponakannya itu masih seperti kemarin.

"Sabar sedikit dengan David, Sayang." Nasihat Banu pada istrinya.

Siska mencebik. "Anak itu lama-lama semakin mengesalkan."

"Mungkin saat ini hormon labilnya sedang meningkat, biarkan saja dulu. Seperti kamu tidak pernah muda saja, kalau-kalau Kamu ingat kita sampai putus, nyambung, putus, nyambung hampir sepuluh kali ada. Dan itu semua karena Kamu yang PMS, dan merasa labil."

Siska menatap tajam suaminya. "Bisa enggak, nggak usah bahas masa lalu."

"Hem, gitu aja udah marah. Efek masih labil diusia tua," Pelan, sangat pelan Banu berucap.

Namun, sepertinya telinga Istrinya Siska sangatlah sensitif. Terbukti dari bagaimana mata wanita itu semakin tajam menatap suaminya.

"Heh! Ngomong apa Kamu?!"

"Eh, Aku nggak ngomong apa-apa Lo sayang. Aku cuman bilang hem..." Banu menolak dituduh Istrinya.

"Paman, Bibi. Apa kalian memerlukan sesuatu untuk saat ini? Bilang saja kalau ada yang diperlukan, entah itu untuk toko ataupun untuk kebutuhan pribadi kalian sendiri." Amara mengalihkan perhatian kedua orang itu. Jujur saja Ia sudah ingin menanyakan ini sedari kemarin, tapi lupa Ia tanyakan karena David.

"Tidak Mara, tidak ada." ujar Banu cepat.

"Benar Paman, Paman tidak perlu sungkan. Mara benar-benar ingin membantu,"

"Nanti kalau Paman dan Bibi membutuhkan bantuan, pasti! Pasti! Kami akan menghubungi Kamu," Siska menimpali.

Banu mengangguk. "Ya,benar kata Bibimu,"

Amara menghembuskan nafasnya. "Baiklah, tapi cepat bilang kalau kalian memerlukan bantuan ku."

Banu dan Siska sama-sama mengangguk. "Tentu, tentu saja." ujar Banu.

"Baiklah, kalau David. Apa kalian tahu apa yang sedang David butuhkan?"

Banu dan Siska saling pandang, kemudian Siska menggeleng. "Setahu Bibi, David tidak pernah mengeluhkan menginginkan apapun itu." Beritahunya.

Amara mengangguk. Harusnya Ia sudah tahu, jika Adiknya tak akan pernah mengeluhkan apapun itu pada keluarganya. Lelaki itu memiliki sifat yang sama seperti dirinya yang tak ingin merepotkan Paman maupun Bibi mereka. Mereka sudah sangat bersyukur dengan Paman dan Bibi mereka yang Sudi menampung mereka setelah kedua orang tua mereka meninggal, dan akan sangat tidak tahu malu jika sampai mereka menginginkan sesuatu yang merepotkan.

"Baiklah, biar nanti aku tanyakan sendiri dengannya." ujar Amara.

***

Daneil melirik sekilas pada sosok laki-laki yang saat ini duduk di sofa yang berada di ruangannya. Ia kemudian kembali menatap layar laptopnya. Berkutat pada pekerjaannya.

Sedangkan itu, lelaki yang tak lain adalah Ben terlihat juga sibuk dengan ponsel di tangannya. Sesekali keningnya berkerut bingung. Lalu Ia akan menghembuskan nafas.

"Daneil! Gimana kabar istri Lo?" Tanya Ben memasukan ponselnya ke dalam saku jasnya.

Daneil mendongak. Merenggangkan jari-jarinya yang terasa pegal hingga berbunyi. Ia menatap temannya tanpa ekspresi. "Dia baik," jawabnya tak acuh.

Ben mengangguk. "Syukurlah kalau begitu,"

"Kenapa memangnya? Lo menyukai dia heh?!" Tanya Daneil dengan pandangan mengejek.

Ben mengedik. "Dia cantik, baik dan pengertian. Bukan hal yang sulit untuk mencintainya," ucapnya.

Mata Daneil menyipit mendengar itu. "Lo bener-bener suka sama dia?" Tanyanya terdengar tak suka.

Ben menaikan alisnya. "Kenapa? Lo nggak suka? Lo cemburu?"

Daneil menghembuskan nafasnya. "Bagus, kalau Lo suka dia. Jadi, gue bisa terbebas dari wanita itu." Sangat sinis Ia berucap.

"Sinting!"

"Sebenarnya Gue heran, apa yang kurang dari dia Niel. Kenapa Lo nggak bisa mencoba untuk menerima dia aja, gue jamin nggak akan sulit untuk mencintainya." Lanjut Ben tak habis pikir.

Daneil menyandarkan punggungnya, menatap malas teman sekaligus rekan kerjanya itu. Sebelum dia menarik salah satu sudut bibirnya sinis. "Gue nggak mau," ujarnya ringan.

Ben menghembuskan nafasnya kasar. Terlalu lelah menghadapi temannya yang keras kepala. Harus dengan cara apa Ia menasihati laki-laki itu agar diterimanya. Apakah harus dengan kekerasan.

"Apa Lo masih mainan sama tu jalang?" Tanyanya kemudian mengingat Alexa yang suka sekali menggoda lelaki itu.

Daneil terdiam untuk sesaat. "Bukan urusan Lo!" Sarkasnya kemudian kembali pada laptopnya.

"Jadi Lo masih mainan sama Jalang itu?! Gila! Lo udah punya Istri, buat apa Lo masih mainin tu jalang?!" Kesal, sangat kesal Ben saat ini mengetahui hal itu.

"Gue nggak pernah nyentuh dia," tanpa mengalihkan perhatiannya dari laptop di hadapannya. Daneil menyahuti dengan ringan.

"What?! Siapa maksud Lo?! Amara?!"

Ben langsung bangkit berdiri ketika Daneil mengangguk.

"Lo?! Gila! Nggak bisa ngomong apa-apa Gue, sangking sintingnya punya temen." Ben menggeleng-geleng tak percaya.

Tak menanggapi, Daneil mengangkat pergelangan tangan kirinnya. Melihat pukul berapa saat ini, kemudian bangkit berdiri. Ia sudah berjanji dan pantang untuknya mengingkari.

"Mending Lo balik ke kantor Lo sendiri, Gue mau pergi." Suruh Daneil tanpa ekspresi.

"Mau ke mana Lo?" Tanya Ben mengkerutkan alisnya.

Daneil menghembuskan nafasnya kesal, pasalnya menurutnya Ben terlalu kepo menurutnya. "Bukan urusan Lo,"

"Jangan bilang Lo mau nemuin Jalang Lo itu?" Tebak Ben curiga.

"Gue mau pulang, puas Lo?!"

Ben terlihat berpikir antara percaya dan tak percaya. "Ngapain Lo pulang?"

"Apa urusan Lo, kalau Lo masih mau di sini terserah." Kemudian Daneil melenggang untuk keluar dari ruangannya.

Ben yang melihat itu,menusul langkah Daneil. Ia berusaha mensejajarkan langkahnya dengan langkah laki-laki itu. Hingga akhirnya mereka dapat berada di lift bersama.

"Seriusankan Lo? Lo mau pulang, bukan buat mainan sama Alexa?"

Daneil rasanya ingin memukul mulut Ben saatnini juga. Kenapa lelaki itu terus bertanya. "Iya, bisa berhenti bicara atau Lo bener-bener mau Gue pukul?" Tanyanya sinis.

Ben terdiam. "Oke, gue percaya."

Setelah itu pintu lift berdenting. Kedua orang itu berlalu keluar dari lobi menuju parkiran. Setiap langkah mereka banyak pasang mata yang menatap mereka. Sudah bukan suatu hal yang baru bagi mereka menjadi pusat perhatian, usia Daneil dan Ben yang masih muda serta wajah tampan merekalah yang banyak dipuja para pekerja wanita. Oh, dan jangan melupakan kesuksesan mereka meskipun hanyalah mengelola perusahaan orang tua. Tapi, nyatanya mereka mampu mengembangkannya hingga pesat.

"Gue balik dulu kalau gitu," Ben meninju pelan bahu Daneil, setelah mendapatkan anggukan dia berlalu ke arah mobilnya.

Daneil kemudian memasuki mobilnya. Untuk beberapa saat Ia terdiam dengan pandangan ke depan, memikirkan apa Ia harus benar-benar pulang sekarang hanya karena keluarga perempuan yang Ia benci?

Pada akhirnya Daneil menghembuskan nafasnya. Kemudian mulai menyalakan mobilnya. Mengemudikan kereta besi itu keluar dari parkiran dan bergabung dengan kendaraan yang lain.

Nb.

Part depan enaknya gimana nih?

Btw, Jang lupa dukung cerita ini!!!! Aku sangat menunggu, thanks:)

Next chapter