webnovel

Wayang Orang

Bara sudah siap dengan celana jeans dan t-shirt putih serta Hem kotak-kotaknya. Hari ini ia hendak pergi ke tempat yang sudah ia janjikan bersama Septi. Mana lagi kalau bukan gedung wayang orang taman Balekambang!

Sejujurnya Bara tidak paham dengan apa itu wayang orang, apa itu ketoprak, namun demi lebih dekat dengan Septi, ia rela melakukan apapun. Dan mereka sudah janjian untuk ketemu di tempat kerja masing-masing. Mana lagi kalau bukan tempat mereka pertama kali bertemu? Warung Bara yang terletak di depan klinik bersalin tempat Septi bekerja.

Mendadak Bara bimbang, masa iya sih dia mau pergi naik Fortuner miliknya? Kan ia mengaku kalau ia hanya pegawai kepercayaan di warung itu. Eh tunggu, pegawai kepercayaan kan berarti tangan kanan bosnya bukan? Jadi bilang saja nanti kalau dia pinjam mobil bosnya itu. Beres bukan?

Bara bergegas turun dari apartemen miliknya, lalu masuk ke mobil dan mulai membawa mobil itu pergi dari halaman parkir. Ia menekan nomor WhatsApp Septi, hendak mengabarkan bahwa ia sudah dalam perjalanan untuk menjemput dirinya.

"Hallo ...,"

"Hai Sep, aku sudah perjalanan nih. Aku nanti bawa mobil si bos ya, kebetulan kan dari kemarin aku disuruh antar jemput dia, jadi mobilnya aku bawa pulang." begitu lancar Bara berbohong.

"Oke, tapi nggak apa-apa nih kalau nanti ketahuan sama bosmu? Takutnya kamu nanti kena marah, Bi."

Bara terkekeh, kena marah siapa coba? Kan ini mobil punya dia!

"Santai, bos pengertian kok orangnya, lagipula tadi aku sudah izin dan dikasih izin sama beliau."

"Oke, aku absen pulang dulu ya kalau begitu. Nanti WA saja kalau sudah sampai depan."

"Oke siap!" Bara bergegas menutup teleponnya, ia kembali fokus pada jalanan yang ada di depannya itu.

Senyum Bara merekah sempurna, gadis itu benar-benar mengusik dirinya. Bagaimana tidak, bahkan bayangan wajahnya sama sekali tidak mau hilang dari pikiran Bara! Dan keinginan gila itu muncul, bagaimana kalau langsung Bara lamar, apa dia mau?

Bara takut jika nanti ia kembali ditinggalkan. Namun apakah gadis itu akan setuju jika ia hendak langsung menikahinya? Mereka belum kenal lama.

Mendadak Bara pusing, ia takut jika harus kembali ditinggalkan, ia takut jika harus kembali terluka. Ia ingin bahagia, apakah itu sebuah hal mahal untuk dia peroleh?

***

"Mau kemana?" tanya Dina setengah menyelidik. Tidak seperti biasanya temannya itu berganti pakaian ketika balik kerja. Dan penampilannya begitu lain. Wajah itu disapu tipis-tipis dengan bedak, bibirnya dipulas lipcream, tumben?

"Ada acara." jawabnya singkat.

"Acara apa? Sama siapa?" tanya Dina penasaran, tumben dia begitu tampil berbeda.

"Rahasia! Pengen tahu aja apa pengen tahu banget?" godanya sambil sekali lagi melirik cermin yang ada di tangannya.

"Ahaa ... mau malam mingguan ya? Kencan ya? Mau pacaran ya?" tebaknya sambil tersenyum menggoda.

"Ih apaan sih ... kepo!"

"Bilang aja, aku tahu betul wajah macam itu, ekspresi macam itu, penampilan macam itu. Aku tahu betul." Dina tidak menyerah, ia yakin apa yang ada dalam pikirannya itu benar adanya.

"Ahh sok tahu!" kilahnya sambil masukkan kaca itu kedalam tasnya.

Tak beberapa lama sebuah mobil Fortuner itu berhenti tepat di depan klinik, dan gadis itu berlari ke depan meninggalkan dirinya sendiri. Dina hanya melongo ketika kemudian mendapatkan lambaian tangan sebelum dia masuk ke dalam mobil.

Dina membalas lambaian tangan itu, lalu tak perlu waktu lama mobil itu langsung pergi dari hadapannya. Dengan siapa ia pergi? Kenapa tumben sekali?

***

"Perlu beli popcorn?" tanya Bara ketika Septi sudah duduk di sampingnya.

"Abi, kita bukan mau pergi nonton bioskop!" Septi terkekeh, mana ada nonton wayang orang sambil makan popcorn.

"Nggak boleh emang nontonnya sambil makan popcorn?"

"Enaknya mah makan kacang rebus." guman Septi sambil tertawa.

"Boleh tuh, beli dimana?" tanya Bara antusias.

"Nanti lewat Manahan bukan? Disana banyak kok yang jual."

"Sama jagung rebus enak kali ya?"

"Hahaha jadi balik ke tahun 80an kita, malam Minggu nonton wayang orang, makan jagung rebus sama kacang rebus."

"Nggak apa-apa dong, memang ada yang melarang?" Bara melirik gadis itu, rasanya ia benar-benar menyukai sosok itu. "Lakonnya apa nih?"

"Sarpakenaka Prahasta Gugur."

Bara mengerutkan keningnya, mampus! Apaan itu? Astaga! Mana ia buta masalah perwayangan lagi. Lantas gimana mau cari topik pembicaraan supaya makin akrab dengan sosok cantik yang duduk di sampingnya itu. Sontak Bara menggaruk kepalanya yang tidak gatal itu.

"Dari dulu suka ya nonton wayang orang?" tanya Septi sambil melirik Bara di balik kemudinya itu.

"Sebenarnya sih awalnya enggak, cuma dulu iseng aja diajak temen, lama-lama menarik. Cuma satu kelemahanku ...,"

"Kelemahan? Kelemahan gimana?" Septi hendak tertawa, memang apa sih? Pakai kelemahan segala.

"Aku nggak terlalu paham bahas Jawa halus gitu, Sep! Jadi nggak paham apa yang mereka bicarakan."

Sontak Septi tertawa terbahak-bahak, astaga!

"Hey, jangan menertawakan aku!" wajah Bara memerah, ah biarlah. Yang jelas intinya biar dia tidak banyak ditanya-tanya perihal apa itu wayang orang.

"Lantas apa yang kamu lihat?"

"Ya orangnya lah! Tariannya, koreografinya gitu." Bara mengaruk kembali kepalanya, sekilas ia melirik gadis itu yang masih tertawa.

"Boleh lah boleh." gumannya lalu membetulkan rambutnya yang sedikit berantakan itu. "Eh ... stop!"

"Kenapa?" tanya Bara sedikit terkejut.

"Itu ada tukang jagung rebus sama kacang, jadi beli?"

Bara bergegas menepikan mobilnya, dengan sigap Septi turun dari mobil lalu memesan kacang dan jagung untuk dibawa pergi nonton.

Dari balik kemudinya Bara bisa melihat betapa menariknya sosok itu. Hatinya begitu tenang dan nyaman ketika sedang bersama sosok itu. Sungguh hatinya benar-benar sudah tercuri.

"Segini kurang?" tanya Septi ketika sudah kembali masuk ke dalam mobil.

"Cukup, sudah semua bukan?"

Gadis itu hanya mengangguk lalu mengupas kacang dan menyodorkan kacang itu tepat di depan mulut Bara. Sontak mata mereka saling bertabrakan, mereka tertegun untuk beberapa saat hingga kemudian Bara membuka mulutnya dan Septi menyuapkan kacang yang sudah ia kupas itu ke dalam mulutnya.

Mata mereka masih saling bertemu, mereka diam dalam sunyi ketika kemudian suara klakson dari belakang mengejutkan mereka. Bara bergegas kembali membawa mobil itu melaju, masih dalam diam. Jantungnya berdetak lima kali lebih cepat.

Astaga, kenapa ia balik jadi macam anak SMA yang lagi kasmaran gini sih? Ia merasa luar biasa gugup, ketika Septi pun juga hanya terdiam di tempatnya. Apakah ia merasakan hal yang sama?

"Septi ...,"

"Eh, iya ... gimana, Bi?" Septi tampak terkejut, lalu tersenyum kikuk.

"Ini kita belok kemana setelah ini?" tanya Bara kebingungan.

"Belok kiri, nanti ada perempatan kita belok kiri lagi."

Bara hanya mengangguk pelan, ia melirik sosok itu dan sialnya Septi juga tengah meliriknya. Mata mereka bertemu, lalu Septi kembali mengulas senyum. Senyum yang tampak sangat kaku itu menggambarkan perasaan gugup yang luar biasa. Rasa gugup yang sama dengan apa yang Bara rasakan sekarang

'Apakh kau punya rasa yang sama?'

Next chapter