Bara menatap langit sore yang mulai berubah jingga itu. Apartemennya kembali sepi. Ahh ... hatinya pun kembali sepi. Kenapa sih hidupnya begini amat? Kembali ditinggalkan! Apa yang sebenarnya salah pada dirinya ini?
Bara menghela nafas panjang. Rasanya ia ingin sendiri dulu sampai kemudian ia siap dan mau kembali membuka hati untuk perempuan lagi. Bara merogoh Smartphone miliknya, ia menekan nomor WhatsApp papanya.
"Hallo ...."
"Pah, kapan balik sih? Bara sudah nggak sanggup nih di sini!" gumannya ketika suara itu menyapa Indera pendengarannya.
"Nggak sanggup gimana sih? Latihan dong, besok itu perusahaan jatuh ke kamu, Bar!"
"Ribet ah Pa, meeting Mulu!" dengus Bara kesal.
"Kamu harus membiasakan diri, Bara. Kelak kamu yang memimpin perusahaan itu."
"Bara tidak berminat, Pa. Bara pengen fokus ke usaha Bara sendiri."
"Papa nggak mau tahu! Perusahaan itu Papa bangun dari nol dengan keringat darah buat kamu!"
Ahh ... Bara menghela nafas kesal. Siapa juga yang suruh bikin perusahaan? Memang kekayaan dari batu bara masih kurang? Bara tidak berminat dengan perusahaan macam ini.
"Bara besok pulang ke Madiun! Kedai sudah lama bara tinggal."
"Papa baru balik Minggu depan, Bar! Tahanlah seminggu lagi."
"Nggak bisa, Pa. Bara juga ada kerjaan." Bara ngotot mau pulang, buat apa? Hanifa pergi, dan ia kembali harus sendiri. Ahh ... sial!
"Tahan atau Papa kukut kedai kamu!" suara itu begitu tegas dan Bara tahu itu artinya adalah sebuah perintah yang tidak bisa ia bantah!
"Okelah, oke!" Bara bergegas menutup sambungan telepon. Kepalanya manjadi tambah pusing.
Harus bertahan di sini selama seminggu lagi, astaga! Kepala Bara rasanya mau pecah. Ia kemudian menghempaskan tubuhnya ke kasur. Memejamkan matanya erat-erat sambil sejenak berpikir, kesalahan apa yang kembali ia lakukan? Hingga gadis itu memilih pergi? Rasanya ia tidak melakukan kesalahan apapun! Lantas kenapa dia pergi?
***
Hanifa kembali ke kamar kostnya setelah beberapa hari ditahan di apartemen anak bosnya itu. Sejenak ia merenung. Benarkah ia tidak mencintai laki-laki yang telah merenggut kegadisannya itu? Jujur ia sendiri tidak dapat menjawabnya, karena ia pun mulai merasa nyaman dengan sosok itu, terlebih mereka sudah melakukannya! Melakukan hal yang sebenarnya belum boleh mereka lakukan sebelum menikah.
Wajah Hanifa sontak memerah, teringat momen-momen tubuh mereka saling bertautan satu sama lain. Bara yang pertama baginya. Dan setiap sentuhan, belaian, dan cumbuannya mampu membuat Hanifa benar-benar merasa bahwa ia benar-benar wanita diinginkan. Namun diinginkan dalam hal apa? Hanya tubuhnya? Hanifa sontak menggelengkan kepalanya.
Terlebih ketika ingat apa yang dokter katakan mengenai kondisi tubuhnya, Hanifa sontak menitikkan air mata. Untung Bara membuatkan dia surat resign jadi ia bisa fokus untuk treatment penyembuhannya. Sejenak Hanifa tertegun, setelah ini apa yang akan ia lakukan? Sepertinya pulang ke Purwakarta adalah keputusan yang terbaik. Mulai hidup baru, pekerjaan baru.
"Ngapain sih, udah dirumah aja. Kalau sudah punya anak nanti juga sibuk."
"Ya mungkin aku harus membuatmu hamil lebih dulu supaya mau aku nikahi!"
Ahh perkataan Bara itu masih terngiang di telinganya. Mau ditiduri sampai kapanpun Hanifa tidak akan bisa hamil! Kista yang ia punya sudah cukup besar, membuat salah satu ovariumnya harus diangkat. Dan itu artinya ia akan kesulitan memiliki keturunan!
Sontak air mata Hanifa menetes, ia hanya mampu terisak di atas bantalnya. Bara bos besar, dia butuh keturunan untuk penerus kekayaan keluarganya yang bukan main itu. Lagipula Hanifa bukan berasal dari keluarga kaya, lantas bagaimana nanti tanggapan orangtua Bara? Sudah miskin, susah punya anak pula.
Oleh karena itu ia memutuskan untuk pergi, pergi jauh dari kehidupan Bara, dan mulai kehidupannya sendiri.
"Maafkan aku, Bara ...."
***
Pagi ini Bara merasa sangat malas ke kantor, ia sangat tidak suka dengan pekerjaan macam itu, jika dulu ia betah karena ada Hanifa, kini gadis itu pergi otomatis semangatnya juga pergi!
Ia bergegas bangun, melangkah ke kamar mandi, dilihatnya tempat sabun cair, isinya tinggal sedikit. Ia pun kemudian mengambil Refill dan mengisi ulang botol sabun itu. Ketika ia hendak membuang bungkusnya ke tempat sampah, ia tertegun menatap benda itu ada di dasar tempat sampah.
Bara berjongkok, ia memungut benda itu dari sana. Testpack? Bara mengerutkan dahinya. Hasilnya negatif, karena itulah kemudian Hanifa pergi? Setelah memastikan bahwa ia tidak hamil? Bara kembali melemparkan benda itu ke dalam tempat sampah. Seandainya gadis itu hamil pasti ia masih akan bertahan di sini bukan? Entah mengapa meskipun cinta itu belum benar-benar tumbuh di hati Bara namun kepergian Hanifa sungguh membuatnya kecewa. Ia begitu menyukai setiap lekuk tubuh itu!
Tubuh itu bahkan lebih indah dari tubuh Kirana, tubuh itu seperti candu yang membuat Bara selalu dan selalu ingin menyentuhnya, menikmatinya, membawanya dalam puncak kenikmatan yang luar biasa. Dan sekarang ia kehilangan tubuh itu.
Apa sih kurangnya Bara? Kenapa semua yang ia miliki tidak bisa membuat gadis yang ia inginkan bertahan di sisinya? Kenapa? Bara menghidupkan shower, membiarkan shower itu mengguyur seluruh tubuhnya. Apa ada yang salah dengan dirinya? Hingga ia harus rela ditinggalkan, dan terus ditinggalkan?
***
Bara dengan malas membawa mobil itu berangkat ke kantor, ia bahkan tidak sempat sarapan karena sibuk merenungi nasibnya dibawah guyuran shower.
Ia sebenarnya ingin mencari gadis itu, namun untuk apa? Dia tidak mau bertahan, ia yang memilih pergi. Jika memang gadis itu ingin atau punya perasaan yang sama dengannya, ia tidak mungkin akan pergi, bukan? Nyatanya ia lebih memilih pergi daripada tetap bersama Bara, padahal Bara sudah berkali-kali mengatakan dan meminta bahwa ia akan menikahi gadis itu!
Bara dengan gusar memukul stir mobilnya, kenapa sih harus seperti ini terus kisah cintanya? Ia tidak pernah macam-macam dengan wanita lain ketika sudah serius dengan satu orang, kenapa juga ia masih harus merasakan sakitnya ditinggalkan macam ini? Kenapa?
Disaat Bara sedang meratapi nasibnya, di tempat lain diwaktu yang sama gadis itu tengah berbaring di ranjang semua rumah sakit swasta di Jogjakarta. Tangannya sudah dipasang infus, dan ia pun sudah dipasang kateter untuk persiapan operasi. Ia sudah tidak boleh makan dan minum. Semua persiapan operasi nya sudah lengkap, tinggal menunggu dokternya datang, dan ia sudah masuk ke dalam ruang operasi.
Hanifa memejamkan matanya, setitik air bening turun membasahi bantalnya. Apapun itu, ini sudah takdirnya, dan ia sudah rela dan ikhlas menerima semuanya. Apa memangnya yang bisa ia lakukan? Menghujat Tuhan? Mengajukan protes dan lain sebaginya? Memangnya ia siapa?
Hanifa menyeka air matanya, buat apa ditangisi? Tidak dia harus kuat, harus.