webnovel

Pelampiasan

Nafas Bara makin memburu kala melihat gadis itu hanya memakai pakaian dalamnya. Bahkan dada itu lebih besar dari milik Kirana, dan itu makin membuat Bara makin menjadi-jadi. Bara terus mengulum bibir itu penuh nafsu. Lalu bibirnya turun kebawah, menjelajahi leher dan dada Hanifa.

Hanifa hanya menggeliat sambil melenguh pelan, ketika lidah Bara memainkan payudaranya. Bara benar-benar makin beringas, ketika lawannya hanya pasrah diam sambil melenguh itu. Sontak Bara berdiri, menggendong tubuh itu dan membawanya ke kamar. Ia merebahkan tubuh itu di kasur dan bergegas melucuti apa yang tersisa dari gadis itu. Setelah melucuti pakaiannya sendiri, Bara mulai melanjutkan permainannya.

"Pak ... jangan ...." desis Hanifa dengan mata berkaca-kaca ketika Bara mulai membuka kaki Hanifa lebar-lebar.

Bara tertegun menatap mata itu, sorot mata itu membuatnya sedikit iba sejujurnya, namun gejolak dalam dirinya sudah benar-benar tidak bisa ia tahan lagi. Miliknya bahkan sudah sangat mengeras.

"Please, Han ... aku mohon ...." pinta Bara sambil menatap mata itu dalam-dalam, ia sudah sangat kewalahan dengan gejolak dalam dirinya itu.

"Tapi Pak ...."

"Tolong aku, Han ... Please ... aku sudah tidak sanggup." desis Bara memohon, matanya masih menatap lurus mata itu.

Hanifa tertegun, apa maksudnya tidak sanggup? Ia hanya mematung menatap mata itu, ketika kemudian sosok itu kembali mengulum bibirnya tanpa permisi. Tubuh itu menindihnya, dan alat vital milik anak bosnya itu menempel pada tubuh Hanifa. Hanifa tersentak luar biasa, itukah yang nanti akan masuk ke dalam tubuhnya? Hanifa hendak kembali melawan ketika kemudian Bara menggesekkan kemaluannya.

"Aaahhhhhhhh ... Pak ...." kenapa sensasi itu begitu nikmat? Hanifa merasakan kemaluannya menjadi sangat basah, becek.

"Sejak kapan aku menikah dengan ibumu sampai kau terus-terusan memanggilku Bapak?" Bara menciumi leher Hanifa, sambil tangannya memainkan payudara itu.

"Aaahhhhhhhh ... eeemmhhh ...." desahan itu makin keras ketika Bara mengulum puting itu, jika seperti ini tandanya gadis itu sudah siap, sudah masuk dalam permainannya.

Bara kembali membuka paha Hanifa lebar-lebar, gadis itu sudah cukup becek, bara tahu betul itu! Bara mulai mengarahkan penisnya ke vagina itu, dan mulai mendorong perlahan-lahan.

"Aaakkhhhhh ... Paaakkk ... saaaakkiitttt ...." Hanifa menjerit ketika benda besar itu terasa merobeknya, pedih sekali.

Bara tersentak mendengar jeritan itu. Ia bergegas menarik miliknya, dan tampak darah itu meleleh dari sana! Sial! Hanifa masih perawan! Bara benar-benar tidak percaya dengan apa yang ia lihat, namun pikirannya sudah tidak bisa diajak kompromi lagi, dengan sekali hentakan Bara mendorong semuanya masuk ke dalam.

"Aadduuhhh ... sssssaakkiiitttt ... Pppakkk ....!" teriak gadis itu lalu terisak, ia mencengkram kuat lengan Bara yang dijadikan tumpuan itu. Air matanya meleleh.

Bara setengah memejamkan mata menikmati sensasi itu, sensasi yang sama ketika pertama ia memasuki Kirana. Sempit, hangat, nikmat. Namun Bara paham, ketika berhadapan dengan seperti ini, ia tidak boleh sembarang. Harus dengan lembut dan pelan-pelan.

Hanifa masih terisak, rasa pedih sakit di kemaluannya itu benar-benar mengganggunya, Bara hanya tersenyum sambil menahan getaran hebat tubuhnya yang sudah benar-benar ingin dilampiaskan itu. Dan inilah saatnya, Bara mulai menggerakkan pinggulnya perlahan. Begitu lembut dan pelan sampai gadis itu dapat menerimanya.

Begitu lembut dan pelan hingga kemudian desahan itu sampai juga di telinga Bara.

"Panggil namaku, Han! Panggil namaku!" Bara mulai mendesah, gesekan pelan itu mulai memanjakan seluruh syaraf-syaraf nya.

"Bara ... aahhhh ...." Hanifa sudah tidak terlalu merasa sakit, karena rasa aneh itu tiba-tiba muncul dan mendominasi. Jadi rasanya seperti ini? Kenapa nikmat sekali? Apalagi lelaki yang sedang setengah menindihnya itu setampan Bara! Anak bosnya itu! Hanifa mulai memberanikan diri membuka matanya, menatap sosok itu yang matanya setengah terpejam menikmati kenikmatan milik Hanifa.

Mendengar namanya dipanggil, membuat Bara makin berani. Ia mulai menggoyangkan pinggulnya dengan cepat dan kasar, hingga membuat tubuh itu tersentak dan kembali menjerit.

"Aaakkkkhhhhh ... oowwhhhh ...." Hanifa mengeryit menahan pedih yang kembali ia rasakan itu, namun hanya sesaat, karena kemudian muncul sensasi yang lebih nikmat memanjakan seluruh syaraf-syaraf tubuhnya.

"Oohh ... lebih cepat Bar ... lleebihhh ceepaaatt ...." desah Hanifa ketika ia merasakan sesuatu yang sudah tidak dapat ia tahan lagi dari dalam dirinya. Rasanya ....

"Aaahhhhhhhh ... ooooohhhh ...." tubuh Hanifa mengejang luar biasa bersamaan dengan keluarnya sesuatu dari kemaluanya, tangan itu bergetar hebat merangkul leher Bara sekuat-kuatnya. Apa ini?

"Enak? Kamu suka?" bisik Bara dengan nafas memburu. Ia menghentikan sejenak hentakan pinggulnya, menatap wajah Hanifa yang tengah menikmati pelepasan pertamanya. Matanya terpejam dengan keringat mengucur membasahi wajah dan tubuhnya. Nafasnya terengah-engah.

Bara benar-benar gemas, ia langsung kembali menggenjot tubuh itu, tanpa ampun. Tidak peduli Hanifa tampak kewalahan dengan serangannya itu, Bara hanya ingin melampiaskan semua yang selama tiga bulan ini mengganggunya. Tanpa jeda sedikitpun Bara menyodokkan miliknya dengan cepat dan kasar, hingga kemudian erangan panjang itu kembali ia dengar.

"Aaahhhhhhhh ... ada yang mau keluar lagi ... ooohhh ... Bara ... mau keluuuaaarrr ... ooooohhhh ... Baaarraaa ....!" Hanifa kembali mengejang, tubuhnya bergetar luar biasa hebat, Bara tersenyum, ia bahkan dapat merasakan cairan hangat itu menyapa kemaluannya.

"Jangan harap malam ini kamu bisa pulang, Han!" bisik Bara dengan nafas terengah-engah. Tanpa memberi jeda, ia kembali menuntaskan semua gejolaknya. Ia butuh pelepasan juga!

"Ooohhh ... sempit banget Haannn ... ooohhh ... punyamu ... ooohhh ...." Bara sudah tidak tahan, sensasi itu sudah berada di ujung! Dan dengan sekali hentakan, "Oohhhh ... Hhhaannnn ... aku keluar Haaaaannn ....!"

Tubuh Bara ambruk, tanpa mencabut miliknya, Bara ambruk di atas tubuh itu, keringat mengucur dari tubuh keduanya. Nafasnya tersengal-sengal, Bara memeluk erat tubuh itu, tubuh yang sudah memberinya segalanya hari itu.

"Kenapa kamu masih perawan?" bisik Bara lirih, ahh ... kenapa ia harus merusak gadis yang masih utuh seperti ini sih?

"Karena saya belum pernah melakukan semua ini sebelumnya, Pak!" jawab Hanifa dengan nafas terengah-engah, matanya berkaca-kaca.

"Aku sudah merusakmu, maafkan aku, Han!" bisik Bara dengan penyesalan yang tiba-tiba menyeruak dari dalam hatinya.

Hanifa hanya memejamkan matanya, air matanya menetes, Bara menghapus air mata itu. Wajah itu cukup cantik. Hidungnya mancung, matanya bulat, pipi itu bersemu kemerahan, tapi kenapa Bara tidak bisa menyukai gadis ini?

"Han ... kunikahi mau?" entah dapat pikiran dari mana, namun kata itu yang kemudian keluar dari mulut Bara.

"Apa Pak? Saya tidak salah dengar?" Hanifa sontak membuka mata, menatap lurus mata itu.

"Pak lagi? Apa aku sudah setua itu di matamu?" guman Bara kesal, ia membaringkan tubuhnya di samping tubuh itu, mencabut miliknya yang masih berada di dalam milik gadis itu.

"Maaf!" hanya itu yang dapat Hanifa katakan, pikirannya masih kalut! Anak bosnya itu mau menikahinya?

"Menikahlah denganku, Han!"

Next chapter