Sudah sebulan lamanya Ahmad berada di Medan setelah pulang dari kampung menjalankan bisnisnya sebagai pengusaha sukses.
Semakin hari perusahaannya semakin berkembang pesat dengan ratusan karyawan yang bekerja dengannya.
Sehingga pada suatu hari dia mendapat surat dari Menteri Perdagangan yang mengundang seluruh pengusaha sukses yang berada di Indonesia untuk dapat hadir mengikuti rapat yang langsung dipimpin oleh Sang Menteri.
Setelah dia membaca surat itu, dia letakkan di atas meja, Ahmad duduk di kursi kerjanya sembari menyandarkan kepalanya, kedua matanya menerawang ke atas sambil memikirkan tentang persiapan pernikahan yang akan dilaksanakan dalam bulan ini.
"Ada apa nak, apakah kamu lagi kurang sehat?" Tanya Buk Salehah kepingin tau, sambil duduk di samping anak muda itu.
Karena sejak pulang dari kantor bawaannya lemas dan tampak kurang bersemangat.
"Nggak Buk, saya baru dapat surat dari Menteri," jawabnya sambil memberikan sepucuk surat itu kepada Ibu angkatnya.
Wanita paruh baya itupun membaca surat yang disuguhkan kepadanya, sejenak anak dan Ibu itu terdiam.
"Jadi gimana pendapatmu nak?"Tanya Buk Salehah kembali.
"Itulah Buk, baju pernikahan sudah saya pesan sementara acara ini harus saya hadiri.
" Bagaimana kalau diwakilkan saja sama si Manshur untuk menghadiri rapatnya?"
"Nggak mungkin kayaknya Buk, karena kesempatan ini tidak akan datang dua kali, mungkin alangkah baiknya saya ambil saja jalan tengahnya, saya akan tetap pergi untuk menghadiri pertemuan antar pengusaha se-Indonesia dengan Pak Menteri dan saya akan kirim orang untuk mengantarkan baju pengantin yang sudah saya pilih dan persiapkan tadi siang untuk Ifah...," bagaimana pendapat Ibu?"Kata Ahmad.
"Semua Ibu serahkan saja kepadamu nak," sahut Buk Salehah.
Setelah Sholat Subuh Ahmad mempersiapkan segala keperluannya untuk berangkat ke Jakarta, disekitar matanya kelihatan berwarna hitam menandakan bahwa semalaman anak muda itu tidak dapat tidur.
Dia berjalan menuju meja makan, rupanya Buk Salehah sudah berada duluan di meja makan menunggu anaknya itu untuk makan bersama.
"Apa pesawatnya nak?" Tanya Buk Salehah.
"Mandala Airlines Buk!" Jawab Ahmad sambil menyudahi makannya.
"Kok makannya sedikit sekali nak, wajahmu pun kelihatannya pucat, kamu sakit ya?" Kata Buk Salehah kuatir.
"Nggak Buk, agak sedikit lelah saja"
kemudian Ahmad menyorongkan jaket berwarna hitam ke tubuhnya dan bersiap untuk berangkat ke Bandara Polonia Medan.
Jam 9:00 WIB dia sudah sampai di Bandara Polonia menunggu keberangkatan pesawat pada jam 9:30 WIB, berkisar 24 menit perjalanan dari kediamannya ke Bandara Polonia Medan.
Tak berapa lama kemudian terdengar lah suara petugas loket menghimbau,
"Kepada para penumpang pesawat Mandala Airlines Boeing 737-200 agar bersiap-siap."
Seluruh penumpang mulai menaiki pesawat, tak terkecuali Ahmad,
dia mengambil posisi disebelah kanan Pilot.
Sesudah seluruh penumpang memakai sabuk pengaman, seorang Pramugari memberikan aba-aba kepada seluruh penumpang bahwa pesawat telah siap landas.
Sementara itu, pagi ini kepala Latifah terasa sakit, diapun pergi ke dapur untuk mengambil segelas air putih, ketika hendak mengantarkan air itu ke mulutnya tiba-tiba saja gelas yang berada di tangannya terjatuh,
" Astaghfirullahal'azhim" Kalimat itu keluar dari mulutnya.
Kemudian dia berjalan ke ruang tengah rumahnya, dia rebahkan tubuhnya ke atas sofa, tangannya menggapai sebuah remote TV yang terletak di atas meja.
Ditekannya salah satu tombol remote, alangkah terkejutnya dia melihat pemberitaan di salah satu stasiun televisi swasta yang memberitakan bahwa telah terjadi kecelakaan Pesawat Mandala Airlines Boeing 737-200 di Padang Bulan yang mengangkut 117 penumpang termasuk Gubernur Sumatera Utara Bapak Rizal Nurdin dan mantan Gubernur Sumatera Utara Bapak Raja Inal Siregar berada di dalamnya.
Warga Sumatera Utara bersedih dan berduka kehilangan orang nomor satu di Propinsinya.
Dring...Dring...Dring... Berbunyi telepon di rumahnya, gadis cantik itu langsung berdiri mengangkat telepon serta meletakkannya di telinga.
"Assalamu'alaikum, ini Ifah?" Terdengar suara yang tidak asing lagi baginya.
"Ia Buk...Ini dengan Ifah.
"Kamu sudah melihat berita di televisi nak?"Tanya Buk Salehah dengan suara yang tersendat- sendat disertai tangisan.
"Ahmad nak...!
" Kenapa dengan dia Buk?"
"Dia berada di dalam pesawat itu....
Tangis Latifah pun tak terbendung, bagaikan orang yang kerasukan dia berteriak kencang sambil menangis,
" Ahmad... ,"kekasihku....
Mendengar suara teriakan yang begitu keras membuat Buk Marni dan Pak Marwan keluar dari kamarnya.
" Ada apa denganmu Ifah?"
"Ahmad Buk... " Sambil menunjuk ke televisi, wanita paruh baya itu terperangah melihat pemberitaan yang disiarkan secara live di televisi.
Dalam keadaan lemas, dihempaskan nya tubuhnya di sofa, dia melihat api masih berkobar dengan besar dengan serta-merta membakar badan pesawat, gumpalan asap tebal pun mengepul di udara seakan-akan ia tidak percaya kenyataan yang dilihatnya.
"Alangkah lebih baiknya kalau kita bergegas untuk berangkat ke Medan sekarang Buk, " kata Pak Marwan sambil menahan tangisnya.
"Ia Pak," jawab wanita berusia setengah abad itu sembari menyeka air mata yang sedari tadi mengalir di wajahnya, sementara Ifah masih menangis tersedu-sedu.
Namun dia paksakan dirinya demi untuk berjumpa dengan kekasih hatinya yang entah masih hidup atau sebaliknya, sekalipun seluruh persendiannya terasa tanggal karena terlalu lama menangis.
Tengah sibuk bergegas, bel berbunyi, gadis cantik itu berjalan membuka pintu, rupanya seorang laki-laki berbaju dan bertopi kuning tengah berdiri di depan pintu.
"Ada kiriman mbak," kata Pak Pos sambil memberikan sebuah bingkisan yang dibungkus dengan kertas kado, pengirimnya atas nama Ahmad, beralamatkan Medan, di atas kertas kado itu ada tulisan bertinta emas,
"Untukmu sekuntum bunga. "
Tolong ditanda tangani mbak...!
Tanpa berkata-kata Ifah menanda tangani ditempat yang diarahkan oleh petugas Pos itu sambil berurai air mata.
"Saya permisi mbak, kata si tukang Pos.
" Terimakasih mas."
Rupanya paket kiriman dari Ahmad sudah sampai tiga hari yang lalu.
Setelah masuk ke dalam kamar, tangisnya kembali pecah ketika membuka bingkisan yang isinya baju pengantin berwarna putih, diciumnya baju itu dan di dekapkannya di dadanya dengan terus berurai air mata.
"Ahmad kekasihku....
Dua kata itulah yang terucap dari bibir mungil yang bergetar dan kelihatan agak memucat.
Kemudian dia mengambil sepucuk surat yang berada di dalam plastik tipis pembungkus baju pengantin,
Hidupku....
Malam ini sangat sulit rasanya mataku untuk dipejamkan, sehingga aku ambil sebuah pena untuk menyampaikan perasaan hatiku dalam kertas yang putih ini.
Detik-detik kau dan aku bersanding di pelaminan dengan memakai baju adat sudah dekat.
Aku akan mengenakan baju berwarna merah dengan ampu berwarna hitam di kepala, di pinggangku ada dua buah keris yang melintang.
Begitu juga dengan dirimu akan memakai pakaian adat berwarna merah juga dengan bulang yang melingkar di kepala, di depannya ada ragi-ragi yang berwarna kuning ke emasan menjuntai di atas kening membuat kecantikanmu semakin sempurna.
Kau dan aku ibarat raja dan ratu pada hari itu.
Setiap orang yang datang akan memberikan kata selamat kepada kita berdua.
Ifah kekasihku....
Sudah tidak sabar rasanya aku menantikan hari berbahagia kita, sebab itu aku kirimkan baju kurung berwarna putih yang melambangkan kesucian cinta kita.
Aku yakin kamu senang menerimanya, soalnya seharian aku muter-muter di mall untuk mencarinya.
Kekasihku....
Entah apa hal yang akan menimpa diriku, soalnya tiga malam belakangan ini arwah Pak Nashir yang merupakan Bapak angkatku sangat sering datang menghampiriku di dalam mimpi.
Beliau selalu berada di dekat pemba ringanku, dengan senyum yang begitu indah dia membelai kepalaku dan mengajakku agar pergi ke suatu tempat yang katanya adalah tempat yang sangat indah penuh dengan bunga yang beraneka warna dan mengeluarkan harum semerbak.
Aku pun menemukan orang-orang terkasihku ketika di dunia, guru-guru ku yang sudah meninggal semuanya berpakaian serba putih menyambut kedatanganku dengan gembira.
Kata mereka di sana tidak ada lagi kedengkian, tidak ada lagi kesedihan, tidak ada lagi duka nestapa, semua orang di sana penuh keramahtamahan sehingga membuat aku betah di sana dan tidak mau pulang.
Akan tetapi datang seseorang yang tidak pernah aku kenal dan berjumpa sebelumnya menyuruhku agar pulang, dia berkata bahwa ini bukanlah tempatku.
Duhai pujaan hatiku, seandainya aku tidak bisa memakai pakaian pengantin dan bersanding denganmu pada hari ini, besok atau lusa, kamu jangan bersedih, aku akan bawa cerita cinta ku bersamamu ke hadhirat-Nya.
Kasih....
Seandainya aku pergi untuk selamanya, aku titipkan ke dua orang tuaku kepadamu dan tolong juga lihat-lihat Buk Salehah yang sudah banyak membantuku dan keluargaku, dan harapanku yang terbesar kepadamu, tolong bacakan Surat Ar Rahman dengan suara merdumu yang sudah lama tidak aku dengar, ketika orang-orang menangisi tubuhku yang terbaring kaku di pembaringan, setiap malam jum'at di setiap selesai sholatmu.
Oh...ia, tolong sampaikan ke Buk Salehah agar uangku yang berada di ATM dipergunakan untuk membiayai haji ayah dan Emak dan selebihnya berikan kepada anak yatim dan temanku yang bernama Shobir sebagai seorang guru di Pesantren Darul Ikhlash, sampaikan salamku juga kepadanya. Wassalam....
"Kekasihmu Ahmad"
Air mata tak henti-hentinya menetes dari mata gadis cantik itu.
"Ifah, kita berangkat lagi ya," kata Buk Marni dari luar pintu kamar Ifah, dengan sempoyongan bunga cantik itu memaksakan dirinya berdiri dan berangkat ke Medan.
Mereka langsung menuju rumah sakit Adam Malik untuk memastikan kemungkinan jenazah Ahmad berada di sana.
Sesampainya mereka di rumah sakit, rupanya ke dua orang tua Ahmad sudah berada di sana dengan Buk Salehah yang sedari tadi menangis terisak-isak, tangisannya semakin pecah ketika melihat Latifah berlari memeluknya.
Pak Marwan pun bertanya kepada salah seorang perawat rumah sakit,
"Sus... Adakah korban selamat yang dirawat di rumah sakit ini bernama Ahmad?
" Tidak Pak, tadi memang ada korban selamat yang dibawa ke ruang gawat darurat karena hampir sekujur tubuhnya terbakar, tapi namanya bukan Ahmad Pak,"jawab suster tersebut.
Di ruangan rumah sakit penuh dengan suara isak tangis setiap orang yang datang mencari keluarganya.
Ketika itu datang seorang dokter mendekati Latifah,
"Mbak..., Ifah?" Tanya si dokter.
"Ia Dok...," darimana dokter tau itu nama saya?"Jawab Latifah.
"Saya menemukan poto ini dalam dompet seorang pasien meninggal dan sebuah cincin yang melekat di jari manisnya, sambil memberikan cincin dan sebuah poto yang tidak utuh lagi, sebuah poto yang diberikan Ifah ketika Ahmad merantau dulu rupanya selalu dibawanya kemana dia pergi.
Ifah pun terkulai lemah dan jatuh pingsan, Pak Dokter dibantu dengan dua orang suster membaringkan tubuhnya di atas kursi panjang yang terbuat dari besi.
Setelah Dia siuman, Buk Salehah pun membawa mereka ke kediamannya.
π«π«π«π«π«π«π«π«π«