Selesai melaksanakan Sholat Zhuhur berjamaah, pemuda itu beranjak dari tempat sujudnya dan duduk bersandar di tiang sudut masjid.
Banyak perasaan yang menghinggapi nya, teringat kepada Latifah, sakitnya hidup menumpang dirantau orang, jauh dengan ke dua orang tua.
Sekali-kali terbayang jelas baginya wajah ayahnya yang menyuruh agar dia cepat kembali ke kampung.
Namun bayangan Ibu juga muncul bersamaan yang melarang pulang sebelum berhasil.
Kebimbangan mulai mempengaruhi pikirannya, di saat itu datanglah Abbas yang baru mengantarkan Topa dan Taon ke Pondok Tahfizh Abdurrahman Bin Auf di Daerah Titi Kuning.
" Jauh sekali renunganmu Mad, apa yang sedang kamu pikirkan?
Tanya Abbas.
"Saya lagi teringat kepada Ayah dan Emak di kampung bang," jawab anak muda itu sambil memperbaiki posisi duduknya.
"Ooo...!
Jawab Abbas sembari duduk di dekat adik kelasnya itu.
" Ngomong-ngomong Topa dan Taon dimana ya bang, dari tadi saya tidak melihat mereka berdua.
Tanya Ahmad pura-pura tidak tau.
"Ooo... " Mereka sudah diterima menjadi santri di"Abdurrahman Bin Auf,"itulah Mad, kamu belum ada kesempatan untuk diterima jadi santri di sana tahun ini, jadi apa rencana mu?
Tanya Abbas melanjutkan pertanyaannya.
Ahmad terdiam sejenak dan faham akan ucapan seniornya itu, yang berarti dia harus pulang kampung atau keluar dari masjid itu.
Karena keberadaan Ahmad akan memberatkan baginya.
Sebab sebagai imam masjid, Abbas hanya diberikan insentif 1,5 juta rupiah/bulan, 1 karung beras, dan sambalnya diantarkan secara bergiliran oleh ibu-ibu jamaah masjid.
"Mungkin saya akan tetap di kota ini bang untuk mengadu nasib, barangkali ada orang yang membutuhkan tenaga saya untuk bertahan hidup mencari sesuap nasi di kota yang penuh persaingan ini.
" Oh, ya bang, nanti sore saya mohon izin, terimakasih atas segala kebaikan yang abang berikan kepada saya selama ini, sehingga saya bisa bernaung di rumah Allah ini selama lebih dari 3 bulan, tidak ada yang bisa saya berikan untuk membalas kebaikan dan kejernihan hati abang menerima saya di sini, semoga sewaktu-waktu Allah memberikan kesempatan buat saya untuk membalas kebaikan abang,"sambung Ahmad.
Setelah selesai Sholat Ashar Ahmad menemui mas Abay untuk berpamitan dan memberikan seluruh minyak wangi yang dijajakannya itu kepada orang yang telah membantunya.
"Bang, saya pamit ya, terimakasih akan semua bantuan abang kepada saya.
" Emangnya kamu mau kemana dek?"tanya Mas Abay.
"Mmm..." Belum ada tujuan yang pasti bang, "sambut Ahmad.
" Kalau kamu mau...! Tinggal di sini aja bersama abang, masih ada satu lagi kamar yang kosong,"jelas Mas Abay.
"Gak usah lah bang, entar ngeropotin," kata Ahmad.
"Enggak, ah..." abang nggak merasa di repotin, malahan abang senang bisa sambil belajar membaguskan bacaan Al Qur'an kepadamu Mad "kata Mas Abay meyakinkan.
" Terimakasih banyak atas tawarannya bang, tapi saya kepingin mencari suasana baru dulu bang, lagian kalau tidak seperti itu, maka saya tidak tau bagaimana kehidupan di tempat lain,"jawab Ahmad dengan santun.
"Okelah dek, kalau memang itu sudah keputusanmu, ini sedikit uang dari abang, untuk tambah-tambah ongkos angkot,"kata Abay sambil meraba kantongnya dan memberikan sejumlah rupiah kepada pemuda itu.
" Terimakasih ya bang,"jawab Ahmad sambil menyalami dan mencium tangan laki-laki bersuku Jawa itu,"Assalamu'alaikum.
"Wa'alaikumussalam, warahmatullahi wabarokatuh," Jawab Abay sambil mengantarkannya ke depan pintu.
Sampai di tepi jalan, anak muda itu mulai bingung, entah kemana kaki hendak di langkahkan, dia duduk di bahu jalan raya sambil memandang setiap kali mobil yang lalu lalang sudah jelas kemana arah akan dituju.
Panas matahari siang itu sangat menggigit, membuat kerongkongan nya kering, kemudian dia buka tasnya untuk mengambil seteguk air sebagai pengobat rasa dahaga di teriknya panas.
Lalu tangannya meraba sebuah kertas kecil yang sudah lama tersimpan di kantong tasnya, anak muda itupun teringat dengan seorang Bapak yang tempo hari memberikan kertas nama itu kepadanya.
Pemuda yang mengenakan kain sarung itu pun berdiri dari tempat duduknya dan melambaikan tangannya menyetop sebuah angkot agar diantar ke daerah Sunggal, tak lama kemudian anak muda itu memasuki Perumahan Anggrek di Jalan Sunggal, dia terkagum-kagum melihat bangunan rumah yang besar dan tinggi menjulang di dalam komplek.
Tetapi pagarnya dalam keadaan tertutup dan terkunci.
Hanya terlihat bermacam kendaraan roda dua maupun roda empat yang terparkir di teras rumah.
Ahmad pun menyusuri setiap rumah untuk mencari alamat yang tertera di kartu nama, langkahnya berhenti di depan rumah berpagar putih berwarna hijau muda, bernomor"34" Bertuliskan nama pemiliknya "Nashir.
Kemudian Ahmad mendekati rumah itu dan menyesuaikan dengan nama yang tercantum pada kartu agar tidak tersalah.
Tak berapa lama berdiri di depan pagar, terlihat seorang Bapak yang berpakaian rapi keluar dari dalam rumah dan ditemani seorang wanita yang hampir sama tua dengan pria itu.
Ketika katrol pagar itu berjalan mundur, alangkah terperangahnya Pak Nashir melihat sesosok tubuh yang memakai kain sarung tengah berdiri di depan pagar rumahnya.
Bapak itu langsung mengarahkan tangannya," Ahmad kan,"
Kata Pak Nashir gembira.
"Ia Pak," jawab Ahmad.
"Sudah lama kamu di sini nak?" Sahut Pak Nashir.
" Belum Pak, "jawab Ahmad singkat.
"Ayo, silahkan masuk nak, pinta pria paruh baya itu sambil membawa Ahmad masuk ke dalam rumah.
"Ma..., perkenalkan ini Ahmad orang Tapanuli, baru tamat dari pesantren dan sekarang dia merantau ke kota ini.
Kata Pak Nashir dengan suara setengah berteriak kepada isterinya agar mendekat.
" Sudah lama kamu disini nak?
Tanya wanita yang biasa di panggil Buk Salehah itu.
"Kurang lebih sudah 3 bulan Buk."
Jawab Ahmad.
" Di sini tinggal dengan siapa, dan kerja dimana nak?
Kata wanita itu.
"Belum ada Buk," jawab pemuda itu sambil menarik nafas panjang.
"Gimana kalau kamu tinggal dengan Bapak saja?
Kata Pak Nashir menyela perkataan anak muda itu.
Ahmad hanya terdiam.
" Kamu sudah makan nak?
Tanya Buk Salehah sambil memberikan segelas air putih.
"Sudah Buk," Jawab Ahmad.
"Oh ya Mad, Bapak tidak bisa berlama-lama ngobrol denganmu, karena Bapak harus segera berangkat ke kantor, tolong tunjukkan kamar untuknya ya Buk, mungkin lelah dan ingin beristirahat, "perintah Pak Nashir kepada isterinya.
" Ia Pak,"jawab Buk Salehah sambil menunjukkan sebuah kamar kepada anak muda yang memakai baju koko itu.
Ahmad mengiringi wanita seumuran Ibunya itu di belakangnya.
Sesudah meletakkan pakaiannya di atas kasur, dia pun berjalan menemui wanita paruh baya itu yang sedang asik membaca surat kabar.
"Kamu nggak istirahat nak? Tanyanya sambil meletakkan koran di atas meja.
" Nggak Buk,"jawab Ahmad sembari duduk di hadapan wanita itu.
"Kalau boleh tau orang tuamu masih ada?
Tanya Buk Salehah lagi.
" Masih Buk, keduanya masih lengkap, tapi Ayah saya sudah tua dan sakit-sakitan,"jawab anak muda itu memulai pembicaraan.
"Kenapa kamu merantau, bukankah lebih baik bersama orang tua dan membantunya bekerja di sawah?
Kata Buk Salehah mengusulkan.
Anak muda itu terdiam sejenak, kemudian menceritakan semua kisah hidupnya kepada Buk Salehah mulai awal sampai akhir, sehingga perempuan paruh baya itu tak kuasa untuk meneteskan air mata mendengarkan penjelasan anak muda yang duduk di depannya.
Sesekali terdengar suara isak tangis dari isteri seorang pengusaha sukses itu.
Tak berapa lama setelah Ahmad menceritakan tentang masalah perjalanannya kenapa dia sampai ke Medan, terdengar lah bel berbunyi,
"Tweet..., tweet..., tweet..., wanita itu pun beranjak dari tempat duduknya lalu berjalan ke ruang tamu sambil menyeka air matanya, untuk membukakan pintu.
"Assalamu'alaikum,rupanya Pak Nashir sudah berdiri di depan pintu dan cepat pulang hari itu.
" Wa'alaikumussalam, warahmatullahi wabarakatuh,
"Bapak..."
Sambut Buk Salehah.
"Ia Buk, Bapak agak cepat pulang karena ada tamu, nggak enaklah meninggalkannya sendirian di rumah Buk....
Suami-isteri itupun berjalan ke ruang tamu,
" Ahmad,"sapanya sambil duduk di dekat anak muda itu.
"Bapak," jawab anak muda bermata sayu, sambil berdiri dari tempat duduknya seraya menyalam dan mencium tangan pria yang baru datang itu.
Ketiganya pun mengobrol dengan asiknya, bagaikan seorang anak yang pergi lama untuk kembali menemui orang tuanya.
Suara tawa pun acap kali terdengar dari perbincangan mereka.
Keesokan harinya, Ahmad keluar dari kamarnya.
Setelah selesai melaksanakan Sholat Subuh dan mengulangi kembali hafalan al Qur'an yang sudah berada di dalam kepalanya.
Dia mendekati Pak Nashir dan isterinya yang lagi duduk di ruang tamu sedang membicarakan sesuatu.
Namun tidak diketahui entah apa yang mereka bicarakan.
"Pak..., Buk...,"sapa Ahmad sambil mendekap al Qur'an di dadanya.
Suami isteri itu hanya memberikan senyuman.
"Silahkan duduk nak,"sambut mereka kepada Ahmad.
"Sudah bagaimana Hafalan Al Qur'an mu,"tanya Pak Nashir lembut.
"Tinggal 10 juz lagi Pak," jawab Ahmad.
"Mmm...!Apa rencanamu selanjutnya? Tanya Pak Nashir.
" Sebenarnya saya ingin kuliah Pak, tapi belum punya biaya, mungkin kalau saya sudah dapat pekerjaan, baru saya kuliah Pak sambil kerja.
Sambut Ahmad dengan wajah serius.
"Kamu kepingin kuliah dimana nak,?
Tanya Buk Salehah.
" Kalau Allah mengizinkan dan memberikan kesempatan, saya ingin kuliah di USU(Universitas Sumatera Utara) Buk,"biar bisa seperti Bapak.
Kata Ahmad sambil bercanda.
"Gimana dengan hafalan Al Qur'an mu?
Kata Pak Nashir.
" In Syaa Allah sambil jalan aja Pak.
Jawab Ahmad optimis.
Salah satu program pemerintah Medan yang pantas di acungi jempol adalah memberikan beasiswa bagi para mahasiswa yang mempunyai hafalan Al Qur'an 30 juz dan bebas untuk memilih kampus apa yang di inginkannya.
Allah memang memuliakan bagi hamba-hamba-Nya yang menghafal dan memelihara Kalam-Nya.
"Baiklah kalau itu keinginanmu, besok akan Bapak antar kamu ke kampus, kebetulan salah seorang dosennya adalah teman Bapak,"kata Pak Nashir dengan wajah lembut.
" Benar Pak,? "tanya Ahmad seolah-olah tidak percaya dengan apa yang baru dia dengar.
USU adalah universitas terbesar dan ternama di Sumatera Utara, kalau di Sumatera Barat ada Universitas Andalas dan UNP maka di Sumatera Utara adalah USU.
" Mmm..., begini nak, Bapak mau menyampaikan satu hal kepadamu, "kata Pak Nashir sambil menoleh kepada isterinya.
" Kami sudah lama menikah, namun belum juga diberikan Allah kepada kami momongan sampai sekarang ini, walaupun segalanya sudah kami miliki, perusahaan, kendaraan, akan tetapi semuanya tidak begitu berarti dan tampak sunyi kalau tidak ada seorang anak yang menjadi pelipur lara.
Pengobat rasa penat ketika pulang bekerja,"hemm..., mungkin ini sudah merupakan taqdir dari Allah SWT,"kata Pak Nashir sambil menampakkan kesedihannya.
"Begini nak, saya dan Ibu sudah sepakat akan menjadikanmu anak angkat kami, itupun kalau kamu tidak keberatan, karena Ibu sudah bercerita banyak tentangmu kepada Bapak kemaren.
Sekalian membantu meringankan bebanmu, " ia, kan Buk?"Kata Pak Nashir tegas.
Ibu Salehah hanya mengangguk menjawab pertanyaan dari suaminya itu.
"Terimakasih ya Pak,"jawab Ahmad dengan berurai air mata.
🛫🛫🛫🛫🛫🛫🛫🛫🛫