Apa jadinya jika pria yang Zia tunggu selama ini ternyata ada di sekitarnya. Apakah Zia akan antusias atau malah kecewa karna pria itu tidak jujur dari awal.
Zia melangkah dengan terburu-buru, tidak memperdulikan dengan orang-orang yang akan ia tabrak nanti. Sekarang yang ada di fikirannya hanya sang nenek.
Kenapa sang nenek harus masuk rumah sakit lagi. Sejak awal di kabarkanya sang nenek masuk rumah sakit, Zia tidak konsen menjalani pelajaranya.
Hanya nenek satu-satunya keluarga yang Zia punya setelah kecelakaan pesawat 5 tahun lalu yang mengakibatkan dia harus kehilangan kedua orang tuanya.
Dan sejak saat itu hanya nenek yang slalu ada disisinya.
Buk,,,
"Aduh" Zia mengusap bokongnya yang beradu dengan keramik putih rumah sakit.
"Kalau jalan lihat-lihat dong" omel zia tanpa melihat siapa yang sudah menabraknya.
Orang yang di tabrak oleh Zia hanya bisa mengangkat alis nya dengan bingung.
" Ini rumah sakit, bukan taman bermain. Tidak boleh berlarian disini" Mendengar ucapan dingin dari orang yang sudah menabraknya membuat amarah Zia seketika bangkit.
Ia langsung berdiri dari duduknya dan mendongak, menantang orang itu.
"Lo,," Zia menunjuk wajah itu dengan geram.
"Kalau bukan karna gue buru-buru, gue juga gak mau lari-larian seperti ini. Gue juga tau ini rumah sakit." Wajah Zia memerah karna kesal.
Dari pada meladeni orang itu, Zia lebih memilih meninggalkannya dan melangkah menuju ruang rawat sang nenek.
Pria yang menabrak Zia masih berdiri di tempat yang sama. Ia memandangi punggung gadis yang berseragam menengah atas itu hingga hilang di belokan koridor rumah sakit.
Ia juga mulai melangkah meninggalkan tempat itu dan mengambil handphone yang ada di saku jas dokternya dan menghubungi seseorang.
"Hentikan pencarian, karna saya sudah menemukannya." Dan setelah itu ia langsung mematikan sambungan tanpa menunggu orang di seberang sana berbicara.
***
Setelah menemukan ruang rawat tempat sang nenek berada, Zia langsung memasukinya dengan terburu-buru, mengejutkan orang-orang didalam sana.
Tangisnya langsung pecah melihat kondisi sang nenek. Padahal neneknya baik-baik saja.
"Nenek,,, udah Zia bilangkan jangan makan yang manis-manis." Zia terisak dengan pelan.
Wanita tua yang di panggil nenek itu tersenyum pada cucu cantiknya. "Sini sayang," Zia melangkah dengan patuh. Tangisnya tidak kunjung berhenti walau sudah di peluk sang nenek.
"Nenek udah gak papa kok. Tadi dokter udah periksa, nenek cuma lagi darah tinggi saja." Beritahu Lasmi-Nenek Zia.
"Nenek gak boleh lagi makan-makanan yang manis-manis." Zia mengusap air matanya dengan punggung tangan.
"Mbak pokoknya nenek jangan di kasih yang manis-manis lagi ya." Ujar Zia pada pengasuhnya neneknya. Wanita itu mengangguk patuh pada sang nona muda.
"Nenek gak tau gimana takutnya Zia denger nenek masuk rumah sakit lagi." Rajuk gadis itu.
Lasmi tertawa melihat wajah merajuk cucunya.
"Iya-iya nenek gak akan makan-makanan yang terlalu manis lagi." Ucapnya menenangkan.
"Nenek udah makan?"
"Udah baru aja selesai, di bantu mbak Yuni. Kamu belum makan kan?"
Zia menggeleng sebagai jawaban. Gadis itu berjalan ke arah sofa dan melepas tas yang sejak tadi masih berada di punggungnya.
"Bentar lagi lah nek, Zia masih capek. Dari parkiran lari-lari kesini." Ucapnya lelah.
"Kamu punya maag loh sayang, cepat makan atau mau di beliin aja? biar mbak Yuni belikan." Tawar Lasmi.
Zia kembali menggeleng. "Gak usah biar Zia aja yang beli. Kasin mbak nya udah ngurus ini itu sejak pagi pasti capek." Belanya.
"Gak papa non, biar saya beliin saja." Ucap mbak Yuni. Zia berdiri dari duduknya dan melangkah kembali ke arah ranjang yang di tiduri Lasmi-sang nenek.
"Gak usah, mbak disini aja tungguin nenek." Ia mencium kedua pipi Lasmi dan berpamitan mau kekantin rumah sakit untuk makan siang.
***
Zia menenteng nampan berisi makanannya dan mecari meja kosong yang sekiranya bisa ia tempati. Kantin rumah sakit siang ini cukup ramai, membuat ia sulit menemukan kursi kosong.
Di sudut dekat kaca besar Zia menemukan yang ia cari. Zia melangkah ke arah sana dengan santai fokus matanya hanya pada kursi kosong itu, ia tidak tau bahwa dari arah berlawanan ada orang yang sama menuju ke arah yang ia tuju. Satu langkah terakhir mereka berdua datang bersamaan.
Zia yang tau ada orang lain selain dirinya yang akan duduk di sana langsung mengalihkan matanya dan menatap orang itu. Dan hampir saja ia meneriaki orang itu ketika ia sadar dia sedang dimana.
"Lo?!"
Orang yang di tatap Zia hanya duduk degan santai. Ia tidak memperdulikan delikan tajam mata gadis itu.
"Kursinya ada banyak, jadi tidak ada salahnya kan saya duduk disini. Atau kamu yang mau pergi, silahkan." Ucap pria itu santai.
Zia semakin geram melihatnya. Ia mengedarkan pandangan sekeliling mecari apakah ada meja kosong lain. Namun tidak ada lagi meja yang kosong selain tempat ini.
Dengan persaan dongkol, Zia memilih duduk di depannya.
Pria itu tersenyum dalam dim.
Zia memakan makanannya diam tanpa bersuara. Keduanya masih menikmati makan siang masing-masing. Atau lebih tepatnya hanya Zia yang memakan makanannya.
"Soal yang tadi saya minta maaf." Ucap pria itu membuka suara.
Zia hanya bergumam menjawabnya.
"Saya dokter Radit, kamu bisa panggil saya Adit." Radit mengulurkan tanganya pada Zia.
Zia yang melihat itu mengangkat sebelah alisnya.
Ia langsung menjawab tanpa membalas uluran rangan Radit. "Zia." Ucapnya cuek.
Radit bukannya marah malah terkekeh melihat balasan dari gadis itu.
"Kamu perempuan pertama yang tidak ingin menyentuh saya. Jika perempuan lain pasti akan dengan senang hati menyentuhnya tanpa saya suruh."Ucap Radit sombong.
"Dan saya bukan perempuan itu." Jawab Zia ketus. Sungguh ia sangat malas berada disini lebih lama lagi. Ia memakan makanannya dengan cepat.
"Tidak usah buru-buru saya tidak menggigit." Zia tidak menghiraukan ucapan sang dokter narsis itu.
Sejak tadi mata Radit tidak lepas dari gadis di depannya itu. Entah gimana Radit akan mengekspresikan perasaannya ini. Bertahun-tahun lamanya ia mencari keberadaan gadis kecilnya dan sekarang di saat ia akan menyerah tuhan dengan baik hati malah kembali mempertemukan mereka.
Namun, apakah Radit harus senang atau sedih ketika gadis kecilnya melupakan dirinya.
"Saya permisi." Zia langsung pamit ketika makanannya sudah sempurna habis. Tapi baru dua langkah berjalan ia kembali berbalik dan memandang ke arah dokter itu. "Anda tau dok, bahwa anda dokter pertama yang saya temui begitu narsis dan percaya diri." Ucapnya. Zia langsung meninggalkan Radit sendirian dengan makanan yang belum pria itu sentuh sedikit pun.
Radit tersenyum melihat kepergian Zia." Dan kamu tau Zi, betapa aku bersyukur kembali di pertemukan sama kamu. Aku akan buat kamu ingat tentang kita dulu." Ucap Radit pelan. Ia memandangi punggung gadis itu dengan dalam.
Setelah Zia pergi, Radit juga meninggalkan kantin tanpa menyentuh makanannya sedikit pun. Sebenarnya makan hanya alibinya saja agar dapat bertemu kembali dengan gadis itu.
Dia sudah makan bahkan belum sempat ia memesan makanan, makanan itu sudah datang sendiri ke ruangannya. Ingat dengan yang ia katakan tadi, bahwa banyak wanita yang ingin dekat dengannya tanpa ia minta.
---
TBC,