webnovel

WHEN MAFIA LOVES ANGEL [Bahasa Indonesia] - 1

Action
Completed · 44.3K Views
  • 15 Chs
    Content
  • ratings
  • NO.200+
    SUPPORT
Synopsis

"Apakah aku sudah mati dan berada di surga sekarang ?" Dave berkata lirih. Kamukah wahai bidadari surga yang ditunjuk untuk menyelamatkanku ? Tanya Dave dalam hati. Ia memicingkan mata agar wajah gadis itu terlihat jelas. Seorang gadis keturunan Asia, berambut coklat tua terurai panjang bergelombang, memiliki bola mata hitam yang bagus, dianugerahi mulut mungil yang indah serta berkulit putih halus mulus bak kapas, saat ia merasakan gadis itu mengusap darah di dahinya dengan lembut. Dan Dave pun pingsan kedua kalinya pada pangkuan gadis cantik tersebut. Dave, seorang pewaris tahta mafia terkenal di Mexico ingin mendapatkan cinta Annisa, seorang turis wanita yang suatu ketika datang berlibur ke negaranya, namun niatnya terhalang karena ingin menjaga keselamatan wanita yang dicintainya tersebut. Lika-liku perjuangan Dave untuk meraih gadis impiannya ke dalam pelukannya membawa Dave berpetualang ke Indonesia demi mencapai keinginannya. ~ Zanetta Jeanne ~

Tags
4 tags
Chapter 1Blessing In Disguise [1]

Petang kian kelam. Matahari sudah semakin tenggelam di ujung langit. Senja beranjak tinggi. Angin bertiup kencang menggetarkan ranting-ranting pohon di sepanjang jalan.

Dave merapatkan jaketnya dan bergegas mempercepat jalannya setengah berlari. Jantungnya menjadi berdebar tak menentu setelah mendapati sekelompok orang mengamatinya dengan seksama, sambil sesekali memberikan kode antara satu dengan yang lain di sepanjang jalan yang dilewatinya.

Satu lelaki memakai kemeja kotak-kotak berambut cepak berdiri di ujung jalan, sedang berbicara dengan temannya berkepala botak berkaos hitam tanpa lengan. Seorang pria berkaca mata hitam seolah-olah sedang menunggu perintah untuk menjalankan mobilnya. Sedangkan laki-laki lain yang berambut klimis duduk di bangku kayu panjang di pinggir jalan depan halte bus sambil membaca koran.

Entah apakah kode itu ditujukan mengenai dirinya atau tidak. Apakah semua itu hanya ilusi atau khayalannya belaka. Namun Dave tidak ingin mengambil resiko apapun saat ini. Ia merogoh telepon selularnya yang terletak di saku kiri bawah jaketnya.

"Sial !" Ia lupa mengisi penuh baterai telepon genggamnya pagi ini.

Dave berpikir keras bagaimana cara meminta bantuan orang lain dalam keadaan telepon genggamnya mati seperti itu. Tiba-tiba ia teringat akan telepon umum yang terletak di dekat kafe cozy favorit teman-temannya tak jauh dari tempat ia berada sekarang.

"Hmm... Dua blok lagi..." Dia bergumam.

Dave berharap ia masih memiliki cukup waktu untuk segera menghubungi orang-orang terdekatnya. Terbersit penyesalan akan keputusannya siang ini untuk tidak ingin ditemani oleh siapa pun demi menjernihkan pikirannya dengan berjalan-jalan sendiri menyusuri jalanan kotanya. Nasi sudah menjadi bubur.

Akhirnya terlihat juga kotak telepon umum berwarna kuning menyala yang terletak di ujung jalan, menjorok agak ke dalam.

Setibanya di sana, Dave merogoh-rogoh uang logam di kantong celana jeansnya dan segera memasukkan koin tersebut ke dalam lubang telepon. Dengan segera ia menekan nomor telepon yang sudah teramat dihapalnya.

Ia berdiri gelisah menunggu teleponnya tersambung, sambil berjaga-jaga mengawasi keadaan sekitar. Tak banyak yang bisa dilihat dari pojok jalan tersebut. Langit kian gelap karena mendung. Sebentar lagi akan turun hujan nampaknya.

Seseorang dari ujung telepon mengatakan, "Hola..."

Baru ia akan menjawab sapaan tersebut, tiba-tiba terasa teramat sakit di kepalanya dan dia merasakan darah hangat mengalir dari atas kepala turun ke dahinya. Semuanya menjadi gelap gulita. Dave pun tak sadarkan diri.

"Sir... Sir... Wake up Sir... Are you alright Sir ? What happens ?"

Dave membuka matanya perlahan-lahan. Ia merasakan kepalanya sangat sakit dan pusing berdenyut-denyut. Dave mencoba untuk mengangkat kepalanya untuk melihat siapa yang sedang berbicara dengannya saat itu, namun ia tak kuasa untuk menahan sakitnya sehingga ia mengurungkan niatnya.

Samar-samar terlihat seorang gadis cantik menatapnya dengan cemas. Suaranya terdengar sayup-sayup lembut di telinganya.

"Apakah aku sudah mati dan berada di surga sekarang ?" Dave berkata lirih.

Kamukah wahai bidadari surga yang ditunjuk untuk menyelamatkanku ? Tanya Dave dalam hati.

Ia memicingkan mata agar wajah gadis itu terlihat jelas. Seorang gadis keturunan Asia, berambut coklat tua terurai panjang bergelombang, memiliki bola mata hitam yang bagus, dianugerahi mulut mungil yang indah serta berkulit putih halus mulus bak kapas, saat ia merasakan gadis itu mengusap darah di dahinya dengan lembut. Dan Dave pun pingsan kedua kalinya pada pangkuan gadis cantik tersebut.

Dave terbangun kembali. Ia merasakan sinar lampu yang sangat terang menyilaukan matanya. Ia berusaha mengerjap-ngerjapkan matanya berulang kali, mencoba beradaptasi dengan suasana saat itu.

"Di mana aku sekarang ini ?" Dave bertanya dengan suara parau.

Pelan-pelan dilihatnya wajah ibunya yang walaupun sudah cukup usia namun tetap cantik sedang duduk di pinggir tempat tidurnya. Seketika wajah ibunya terlihat amat gembira melihat anak kesayangannya sudah sadar kembali. Ibunya pun menangis gembira sambil memeluk Dave.

"Syukurlah kamu sudah sadar Nak, Ibu sangat mengkuatirkanmu. Kamu ada di rumah sakit sekarang Dave. Tak sadarkan diri selama tiga hari."

Ibu Dave lalu beranjak keluar kamar memanggil keluarganya yang lain yang selalu setia menanti di ruang tunggu. Terlihat pintu kamar terbuka dan seluruh keluarganya berjalan setengah berlari menghampiri Dave yang sedang terbaring lemah di tempat tidur.

"Selamat datang kembali Kak Dave," sambut si centil Rosa, adik perempuan cantik semata wayangnya yang sangat ia cintai.

"Kamu sungguh beruntung kali ini Dave," sambung Toni, adik laki-lakinya yang cukup ganteng dan gagah, sambil bersungut-sungut.

Di ujung tempat tidurnya, Dave melihat ayahnya tersenyum bijak sambil mengganggukkan kepalanya dengan wibawa yang tinggi. Terlihat jelas kebahagiaan terpancar di wajahnya saat itu.

"Apa yang sesungguhnya terjadi Nak ?" Ibu Dave bertanya dengan amat hati-hati.

"Kami amat panik ketika dihubungi oleh pihak rumah sakit bahwa kamu terluka parah dan dalam kondisi tak sadarkan diri. Beruntung ada seorang gadis yang menemukanmu tergeletak berlumuran darah di pinggir jalan dan kemudian langsung membawamu ke rumah sakit ini," tutur ibunya secara perlahan.

"Kata dokter yang pada saat itu merawatmu, jika gadis itu terlambat sedikit membawamu kemari, maka jiwamu bisa jadi tidak tertolong lagi."

Ingatan Dave melayang-layang, membayangkan pertemuannya dengan gadis itu.

Hmm... Ternyata gadis itu nyata adanya. Bidadari yang diturunkan Tuhan ke bumi untuk menyelamatkan jiwaku.

Terima kasih Tuhan atas pertolongan-Mu. Dave mengucap dalam hati.

"Lalu kemana gadis itu sekarang, Bu ?" Dave memandang wajah ibunya lekat-lekat.

Ibu Dave menggeleng perlahan, "Ibu tidak tahu Nak. Pada saat kami sekeluarga datang ke rumah sakit ini, gadis itu sudah pergi."

Dave tiba-tiba merasakan sesuatu yang hilang di dalam hatinya. Dadanya bergetar perih sekarang.

Happy Birthday to you...

Happy Birthday to you...

Happy Birthday Dear Dave...

Happy Birthday to you !

Dave meniup lilin ulang tahunnya perlahan tanpa semangat diikuti dengan suara gemuruh tepuk tangan yang meriah dari para tamu yang menghadiri perayaan ulang tahunnya yang ke-28 saat itu.

Perayaan itu seminggu lebih lambat dari hari ulang tahun Dave yang sebenarnya, 21 Mei. Namun berhubung kejadian naas itu terjadi, dimana ia diserang orang-orang tak dikenal pada saat hari ulang tahunnya, maka keluarga Dave sepakat untuk mengundur perayaan tersebut.

Tak ada satupun yang spesial bagi Dave di perayaan ulang tahunnya hari ini. Sama seperti tahun-tahun yang lain, pesta dipenuhi oleh kolega-kolega bisnis keluarganya, pesta ulang tahun yang semu, dan amat membosankan menurutnya.

Ia perlahan-lahan beringsut menjauh dari keramaian pesta, dan mengambil tempat duduk di kursi bar, sama sekali Dave tak tertarik untuk menjadi pusat perhatian malam itu. Di dalam benaknya berkecamuk pikiran yang tak berkesudahan. Hanya satu yang ia pikirkan malam itu.

"Mau minum apa Tuan Dave ?" Sapa Andy, sang bartender kawakan yang khusus disewa keluarga Moreno untuk ikut mendukung kemeriahan pesta ulang tahunnya.

Dave dengan senyum setengah dipaksakan menjawab, "Whiskey Cola saja untukku malam ini Andy."

Andy pun mengangguk sopan, "Baik, akan saya segera siapkan Tuan."

Dave melayangkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan, sambil menikmati perlahan minuman yang disodorkan Andy kepadanya.

Di tengah-tengah keramaian, tepat di bawah lampu kristal nan cantik koleksi ibunya dari abad pertengahan, terlihat kedua orangtuanya sedang berbicara serius dengan Tuan Hierra beserta istrinya yang cantik, Nyonya Helena.

Mereka berdua bak bangsawan yang angkuh dan penuh percaya diri, terlihat dari busana yang dikenakan berwarna serba hitam elegan. Cukup kontras dengan pakaian yang dikenakan oleh kedua orangtuanya, serba putih hangat namun cukup simpel dan teduh, enak dipandang mata.

Entah apa yang mereka bicarakan saat itu, namun dari gaya bicara mereka nampaknya pembicaraan tersebut mengarah ke sebuah pembicaraan serius sambil sesekali melirik ke arah Dave.

Dave pun tersenyum, mengangguk dengan hormat sambil mengangkat gelas yang dipegangnya.

Tak jauh dari tempat mereka berdiri terlihat Adella, putri tunggal dari keluarga Tuan Hierra, berdiri anggun dan cantik bersama teman-teman baiknya.

Rambutnya hitam berkilau tergerai lembut di bahu, kalung mutiara berwarna putih yang dikenakannya malam itu sangat menawan dan serasi dengan gaun merah muda lembut yang dipakainya.

Berbeda dengan orangtuanya, Adella merupakan sosok gadis yang hangat dan ramah, mudah bergaul dengan siapa saja dan tidak sulit baginya untuk menarik perhatian siapapun yang berada di dekatnya.

Ia sesekali mencuri pandang ke arah Dave yang sedang duduk di kursi bar, tersenyum malu dengan pipi merah merona ketika Dave tak sengaja menangkap basah aksinya.

Dave tersenyum kecil kepadanya, dan mengangkat gelasnya kembali.

Keasyikan Dave terusik saat tiba-tiba terdengar suara dari samping berbisik menyapanya, "Dave, mengapa kamu menyendiri di sini. Sana bergabung dengan yang lain. Ini hari ulang tahunmu. Seharusnya kamu menikmatinya bersama gadis-gadis cantik di tengah pesta."

Dave menoleh ke samping kiri, terlihat olehnya wajah bandel sahabat karibnya sejak kecil, Nico yang sedang cengar cengir ke arahnya.

"Ah, kamu mengganggu saja kerjanya," ujar Dave gusar.

Seketika Nico terlihat mengerutkan keningnya memandang Dave dengan serius. "Ada apa Dave ? Mukamu terlihat murung, tidak seperti biasanya. Ada hal apa yang mengusik pikiranmu saat ini ?"

Dave menggeleng ragu, "Aku baik-baik saja. Jangan kuatir."

Ia kemudian meneguk sisa minuman dalam gelasnya dan kemudian bergegas meninggalkan Nico yang menatapnya kuatir dari kejauhan.

Pagi itu terasa indah. Matahari masih malu-malu menampakkan dirinya di balik awan putih bak kapas. Kicauan burung-burung Robin yang sedang hinggap di pohon Mulberry terdengar merdu di telinga. Membuat suasana ceria bagi siapapun yang mendengarnya pagi itu. Angin bertiup semilir dan menggoyang pohon-pohon sesekali, cuaca cukup bersahabat saat itu di kediaman keluarga Moreno.

Mereka semua berkumpul di sebuah meja makan besar antik berwarna keemasan di tengah taman keluarga, terdengar suara gemericik air mancur mengalir menemani mereka pada saat itu.

Sarapan di minggu pagi dibuka dengan sup Guacamole yang terbuat dari campuran alpukat dengan kaldu ayam sebagai penyedap, beraroma lezat sungguh menggugah selera.

Percakapan dibuka perlahan oleh Tuan Edward, ayah Dave, "Apa yang terjadi padamu semalam Nak ?" Tanyanya kepada Dave.

"Mengapa kamu mengasingkan diri di tengah-tengah pesta ulang tahunmu ?"

Dave mendadak nyaris tersedak oleh sup yang baru saja disendokkan ke mulutnya. Lalu buru-buru ia mengelap mulutnya untuk menyembunyikan keterkejutannya. "Tidak ada apa-apa Ayah. Aku baik-baik saja," ujar Dave.

"Apakah kamu yakin ?" Kata Tuan Edward meneruskan pertanyaannya.

"Karena ada hal serius yang kami ingin sampaikan kepadamu pagi ini, Dave." Tuan Edward memandang wajah istrinya, Eva, dan Eva menggangguk pelan menyatakan persetujuannya.

"Ada apa Ayah ?" Tanya Dave sambil pura-pura menyendokkan supnya kembali dengan gugup.

Jantungnya berdegup kencang, pikirannya menduga-duga mengenai topik yang ingin dibicarakan oleh kedua orangtuanya.

Suasana mendadak hening. Toni dan Rosa menundukkan kepala, fokus hanya pada makanan di piring mereka masing-masing.

"Ayah dan Ibumu sudah berbicara serius dengan keluarga Tuan Hierra pada pesta ulang tahunmu semalam mengenai permintaan mereka untuk menjodohkan kamu dengan putri semata wayang mereka Adella."

"Kamu sudah mengenal Adella sejak kecil dan keluarga mereka merupakan keluarga terpandang di kota kita. Kami rasa Adella merupakan gadis yang tepat untuk menjadi istrimu. Bagaimana menurutmu, Nak ?"

Dave menatap wajah ayahnya lekat-lekat dan berkata dengan pelan, "Bisakah kita bicarakan hal ini nanti setelah kita selesai sarapan Ayah ?"

Tuan Edward mengangguk tanda setuju, "Baiklah Nak. Mari kita nikmati sarapan kita pagi ini selagi hangat."

Dave memandang ke luar jendela dari ruangan kerja ayahnya. Sosok pemuda tampan bertubuh tinggi atletis, berkulit putih dan memiliki rambut hitam tersisir rapi ala potongan pemuda masa kini tersebut terlihat gundah, menunggu ayahnya yang sedang menerima telepon dari salah satu kolega bisnisnya di ruangan sebelah.

"Dave..." Terdengar suara ayahnya memanggil sembari memasuki ruangan.

"Ya, Ayah." Sahut Dave.

"Apakah sudah kamu pikirkan mengenai pertanyaan Ayah tadi pagi ?"

"Hal tersebut bisa menjadikan keluarga kita dengan keluarga Tuan Hierra bersatu dalam ikatan kekeluargaan yang lebih besar. Dan juga tentunya berdampak sangat baik bagi potensi perkembangan bisnis keluarga kita masing-masing."

Tuan Edward kemudian melanjutkan, "Jaringan bisnis hotel kita akan sangat menjanjikan untuk ekspansi ke luar negeri jika kita bisa menggunakan jaringan bisnis transportasi keluarga Tuan Hierra sebagai pendukung."

Dave menarik napas dalam-dalam dan menghela napas panjang sebelum menjawab pertanyaan ayahnya.

"Sebenarnya ada sesuatu hal yang ingin aku bicarakan terlebih dahulu, sebelum kita membicarakan tentang hal perjodohan tersebut."

Tuan Edward menatap raut muka anaknya dengan serius, dilihatnya bola mata coklat Dave bersinar-sinar ingin menyampaikan sesuatu padanya.

"Mengenai hal apa Dave ? Katakan saja," tanya sang ayah.

"Ayah ingat gadis cantik yang menolongku pada saat aku diserang dan dipukuli orang yang tidak dikenal pada hari ulang tahunku ? Aku merasa sangat penasaran ingin bertemu dengannya dan mengucapkan terima kasih kepadanya."

Tuan Edward tersenyum bijak dan berkata, "Ah ya, gadis itu. Tentu saja kita sekeluarga harus mengucapkan terima kasih padanya karena telah menyelamatkan nyawamu dengan membawamu ke rumah sakit dengan segera."

Wajah Tuan Edward tiba-tiba terlihat serius. "Sebenarnya kami telah berusaha untuk mendapatkan identitas gadis tersebut, Dave, namun kami belum berhasil mendapatkan informasi mengenai gadis tersebut dari pihak rumah sakit. Nampaknya gadis tersebut terburu-buru meninggalkan rumah sakit setelah mengantarkan kamu ke sana."

Dave menatap wajah ayahnya dengan rasa keingintahuan. Dahi Tuan Edward berkerut seolah-seolah ada sesuatu yang disembunyikan di sana. Terlihat garis-garis wajah ayahnya yang sudah menampakkan banyak keriput di sana-sini namun masih tampak sisa-sisa ketampanan di masa muda. Rahang kokoh yang dimiliki Tuan Edward menurun pada Dave, anaknya.

"Apakah benar Ayah ? Tidak ada informasi sedikit pun yang bisa didapatkan mengenai gadis itu ?" Dave terlihat agak kecewa. Wajahnya terlihat sedih.

Ayahnya kembali tersenyum, "Jangan patah semangat dulu, Anakku. Nanti kita coba cari lagi informasi tentang gadis itu lewat sumber kita yang lain, siapa tahu ada dari jaringan bisnis keluarga kita yang bisa membantu kita mencarikan jalan keluarnya."

Tuan Edward meneliti raut muka Dave dengan seksama. "Nah, mengenai perjodohan yang sudah Ayah singgung sebelumnya, bagaimana menurutmu ?"

Dave menghela napas panjang kembali, "Boleh aku minta waktu untuk memikirkan tentang hal itu terlebih dahulu, Ayah ? Aku tidak ingin mengambil keputusan tentang hal itu dengan terburu-buru."

Tuan Edward menggangguk, "Tentu saja boleh Dave, kamu pikirkan dulu saja masak-masak. Karena hal ini amat mempengaruhi kehidupanmu di masa yang akan datang."

Tuan Edward terdiam sejenak. "Namun Ayah berharap kamu sudah bisa mengambil keputusan sebelum perayaan ulang tahun emas perkawinan kami nanti. Kami berencana akan mengumumkan pertunangan kalian berdua pada pesta perayaan tersebut jika kamu dan Adella setuju menjalankan rencana perjodohan itu." Tuan Edward menambahkan.

"Jadi kamu masih punya waktu selama 6 bulan ke depan untuk memikirkan tentang hal tersebut, oke ?"

Dave tampak bersemangat kembali, raut mukanya bersinar-sinar lagi.

"Baik Yah, terima kasih. Saat ini yang aku akan lakukan adalah bagaimana cara menemukan gadis itu terlebih dahulu."

Tuan Edward menepuk-nepuk pundak anaknya. "Kebahagiaanmu adalah kebahagiaan ayah dan ibumu juga, Nak."

Dave memeluk ayahnya dengan penuh rasa kasih sayang.

Tok tok tok. Terdengar suara ketukan di pintu.

"Ya, masuk," sahut Tuan Edward dari dalam ruangan.

Terlihat Nico melongokkan kepala dari balik pintu dan bertanya, "Tuan Edward memanggil saya ?"

Tuan Edward menyahut tanpa mengalihkan pandangannya dari monitor laptop sembari menyelesaikan ketikannya. "Duduk kemari Nico, jangan lupa tutup pintunya. Ada hal penting yang ingin saya bicarakan."

Nico menghampiri Tuan Edward dan duduk di kursi kulit di depan meja kerja kokoh berwarna hitam.

"Ada yang bisa saya kerjakan Tuan Edward ?" Tanya Nico.

"Bagaimana perkembangan dengan gadis itu ? Kamu sudah berhasil mendapatkan informasi tentang dia ?" Cecar Tuan Edward.

Nico menundukkan kepalanya dan menjawab dengan lirih, "Mohon maaf Tuan Edward, saya dan teman-teman yang lain belum bisa mendapatkan identitas tentang gadis itu saat ini."

Sebelum Tuan Edward bereaksi, Nico dengan gugup cepat-cepat melanjutkan penjelasannya. "Namun kami sudah menyebar informasi kepada jaringan keluarga kita di seluruh penjuru kota, apabila mereka ada yang melihat gadis yang sesuai dengan ciri-ciri yang diberikan oleh pihak rumah sakit, maka mereka akan segera menghubungi kita."

Tuan Edward menatap wajah Nico dan mengerutkan dahinya.

"Hmm, baiklah. Kamu fokus pada hal ini dulu. Temukan gadis itu secepatnya."

Tuan Edward melanjutkan percakapan dengan suara perlahan dan penuh kehati-hatian. "Saya ingin hal ini sudah beres sesegera mungkin sehingga tidak mengganggu rencana perjodohan Dave dan Adella."

Nico mengangguk dalam-dalam, "Baik Tuan Edward, siap. Akan saya selesaikan secepatnya."

Tuan Edward memandang Nico mencari tahu tingkat kesanggupan di wajah anak muda, sahabat baik anaknya sejak kecil tersebut. Ia bangkit dari kursi kerja keramatnya dan menghampiri pemuda itu.

Bekas luka di dahi Nico terlihat jelas pada saat ia menundukkan kepala. Lelaki muda kekar namun proporsional tersebut merasa jengah karena Tuan Edward memandangnya dengan ragu dari atas kepala sampai ke ujung sepatu pantofel hitam mengkilat yang sedang Nico gunakan. Nico menundukkan kepalanya menghindari tatapan tajam Tuan Edward.

"Bagaimana urusan dengan kelompok Le Coyote ? Apakah sudah kamu bereskan ?" Tanya Tuan Edward.

Masih dengan menundukkan kepala, Nico menjawab, "Sudah Tuan Edward, sudah saya bereskan semuanya. Saya pastikan mereka mendapatkan pesan yang cukup keras dari keluarga kita karena telah berani mencelakai Dave."

"Kami akan lebih berhati-hati dalam menjaga Dave agar peristiwa itu tidak terulang kembali. Mohon maaf akan kelalaian kami Tuan Edward," suara Nico terdengar bergetar lirih.

Rahang Tuan Edward mengeras, tangannya mengepal, menahan amarah yang terpendam, teringat akan peristiwa yang menimpa anak sulungnya beberapa waktu yang lalu.

"Kamu beruntung Dave masih bisa diselamatkan. Dia pewaris tahta pimpinan keluarga kita, kamu seharusnya menyadari tentang hal tersebut, Nico."

Tuan Edward berhenti sejenak, mengambil napas panjang, sebelum melanjutkan pembicaraan.

"Saya maafkan kamu kali ini. Jangan pernah tinggalkan Dave sendiri lagi dalam kondisi apapun. Mengerti kamu ?" Suara Tuan Edward meninggi.

"Saya mengerti Tuan Edward," angguk Nico mantap.

"Oh ya, satu lagi. Jangan sampai Dave tahu mengenai hal ini. Belum saatnya dia untuk tahu tentang semua urusan keluarga El Lobo. Ini demi untuk keselamatan Dave sendiri."

"Nanti akan ada waktunya saya akan beritahu kepadanya untuk semua rahasia keluarga kita. Apakah kamu sudah merasa jelas, Nico ?" Tuan Edward menegaskan.

Nico mengganggukkan kepala lagi. "Sudah cukup jelas Tuan Edward."

You May Also Like