webnovel

Lohgawe 3

Bupati Tumapel. Tunggul Ametung.

Lohgawe berusaha mengingat lelaki yang berada di hadapannya. Ia berada di pojok ruangan pendopo Kabupaten Tumapel, melihat sosok nomor satu di kabupaten itu dari jauh. Sang bupati sedang duduk di atas singgasananya di dalam ruangan pendopo, sedang memerhatikan keluhan seorang rakyatnya. Tunggul Ametung mengelus jenggotnya yang nyaris tidak ada, terkadang tersenyum tipis, matanya tertuju kepada seseorang renta yang memohon keadilan untuk haknya. Dari suara yang memelas dan air mata yang berurai, Lohgawe bahkan mengetahui bahwa kakek ini tidak berbohong. Apa yang diucapkan oleh sang bupati kemudian mengejutkannya.

"Sapi yang kau miliki merupakan milik negara, paman, sebaiknya kau merelakannya saja. Kami bermaksud baik. Daging yang diolah akan kembali kepada rakyat." ujar sang bupati.

Sang kakek memelas lebih lagi, "Oh tuanku, imbalan yang hamba terima tidak sepantaran dengan sapi itu. Hamba butuh lebih untuk menghidupi keluarga hamba. Istri hamba sekarang sedang terkapar lemah karena penyakitnya."

"Paman, tidak perlu menangis lebih kencang", sebuah jawaban dari bupati lebih mengejutkan Lohgawe, "aku harus bertindak adil kepada semua orang. Jika aku memberikan lebih untukmu, semua penjual sapi akan datang ke sini dan melakukan protes."

"Tapi, yang mulia, hanya sapi itulah satu – satunya milikku. Uang yang aku terima pun kurang lima cetak perak dari yang seharusnya aku terima. Tolonglah keadilan bagi hambamu ini, yang mulia."

Sang kakek menangis lebih kencang, namun hal itu tidak berlangsung lama. Dengan satu gerakan tangan, Tunggul Ametung meminta sang kakek untuk dibawa keluar. Ken Arok yang berada di belakangnya tidak memunggu lama untuk berjalan menuju sang kakek, dan membawanya dengan paksa keluar pendopo. Sang kakek pun pasrah dengan perlakuan sang bupati.

Orang ini berlagak layaknya raja. Di tempat Lohgawe terdahulu Bupati Tuban tidak akan mengadili seperti ini, semua persoalan berat dibawa langsung kepada mahapatih. Tentu persoalan remeh dapat diselesaikan langsung oleh sang bupati. Namun bupati yang satu ini berbeda. Bupati Tuban tidak memiliki kursi singgasana yang tinggi berlapis perak. Sang Tunggul Ametung memiliki singgasana mewah, dayang berada di kedua sisinya, para ajudan mengelilingi di belakangnya. Ruang pendopo dialihfungksikan menjadi pengadilan terbuka untuk khalayak umum, dan rakyat dipermalukan di depan publik. Benar – benar pamer kekuasaan.

Kini seorang pemuda merangsek maju ke hadapan sang bupati. Tunggul Ametung memerhatikan dengan seksama pemuda tersebut. Ia berpakaian sederhana, sebuah pakaian kain yang halus, berumur sekitar pertengahan dua puluhan, dan berwajah biasa saja. Sang pemuda bersujud, dan menatap sang bupati.

"Hamba mohon perhatian, wahai paduka bupati, hal ini mengenai adik hamba yang baru saja hendak dinikahkan dengan seorang saudagar kaya yang kebetulan melancong ke kota ini."

Lohgawe tertawa kecil. Wahai paduka bupati. Lucu sekali mendengarnya.

"Saudagar itu kebetulan berada di kota ini untuk melihat kain sutra yang hamba tenun. Tentu hamba menerimanya. Kesialan terjadi ketika ia melihat adik hamba sedang mandi di sebuah kali. Tanpa tedeng aling – aling ia kemudian melakukan perbuatan tidak senonoh kepada adik hamba, tanpa diketahui oleh keluarga. Dan ketika adik hamba menceritakan kepada hamba, saudagar kaya tersebut justru memaksa keluarga hamba untuk melepas adik hamba dengan cara menikahinya. Ia menawarkan uang dalam jumlah besar kepada hamba, namun hamba menolaknya. Ia terus memaksa, bahkan mengancam hendak membinasakan kami. Kepada paduka mulia bupati, hamba mohonkan keadilan bagi adik hamba. Hamba tidak berkuasa dan tidak punya kekuatan untuk menolak keinginan sang saudagar."

Panjang lebar sang pemuda bertutur kata, sang bupati menimpali, "Ada baiknya aku melihat keadaan adikmu untuk menentukan keadilan apa yang akan kau terima."

"Hamba membawanya, yang mulia, ia ada di luar."

Sang pemuda keluar dan membawa adiknya masuk. Lohgawe terperangah. Bukan hanya dirinya, seluruh insan yang berada di dalam pendopo nampak terkesima dengan kehadiran seorang wanita yang sangat cantik. Lohgawe menyangka titisan Dewi Gangga hadir di hadapannya. Wajahnya memberikan kesan ayu dan menenangkan, rambutnya tersanggul ke belakang. Tubuhnya memberikan kesan lain. Ia memiliki dada yang rupawan serta pinggang yang elok layaknya badan kecapi. Kakinya menjenjang bagai kaki rusa. Wajar saja sang saudagar mendesak keluarga ini untuk lekas menikahkan putrinya. Lohgawe memerhatikan sang bupati. Ia tampak diam takjub memerhatikan kecantikan sang wanita. Di belakangnya Ken Arok juga terkesima, namun ia berusaha menyembunyikannya.

Kedua pemohon itu kemudian sujud di hadapan Tunggul Ametung yang masih terperangah. Beberapa lama saatnya sang bupati masih terkagum dengan wajah sang gadis, sebelum akhirnya ia tersenyum lebar. Seluruh giginya yang putih hadir di dalam senyumnya.

"Apakah yang dapat kubantu, tuan putri, aku tidak melihat adanya kekurangan di dalam dirimu."

Sang wanita mulai bertutur, "Hamba mohon maaf, wahai paduka bupati, hamba bukanlah tuan putri. Hamba hanya memiliki satu permintaan, tolong lepaskan hamba dari saudagar kaya yang berniat menikahi hamba."

Bahkan suaranya pun memiliki kesetaraan dengan seorang pesinden. Oh para dewa, kalian memberikan ketidakadilan bagi perempuan ini. Kecantikannya akan mengundang bahaya.

"Hal itu mudah. Aku akan menyuruh pasukan bupati untuk menjaga rumah kalian sepanjang matahari tampak atau bahkan ketika bulan berkuasa. Jika ia muncul kemari untuk meminta keadilan, ia akan tahu siapa orang nomor satu di kabupaten ini. Tenanglah, kalian aman."

Kedua pemohon itu saling berpandangan dan tersenyum gembira satu sama lain. Mereka bersujud kepada sang bupati.

Sebelum hendak memohon diri, sang bupati berkata, "Daku mohon maaf sebelumnya, putri, aku ingin menanyakan apakah kehormatan tuan putri masih terjaga?"

Sang wanita terkaget mendengar pertanyaan sang bupati, namun dengan segera ia menanggapi, "Hamba masih perawan, yang mulia."

Tunggul Ametung menunjukkan senyum misterius. Kemudian ia berkata, "Siapa namamu, tuan putri?"

"Nama hamba adalah Dedes, yang mulia." Segera setelah itu Tunggul Ametung mempersilahkan kedua pemohon untuk keluar pendopo. Lohgawe menatap tajam Ken Arok, seakan – akan memberikan isyarat: Ingat nama itu, Ken Arok.

***

Lohgawe melangkah santai menuju gubuk tempatnya kini tinggal. Ia berjalan melewati pasar Tumapel, dimana pada waktu sore hari merupakan waktu – waktu para pedagang membereskan gelarannya, setelah seharian berdagang. Aroma pasar membuatnya rindu dengan pasar Remuk yang terletak di Kabupaten Tuban. Walaupun sudah waktunya tutup gelar, namun pasar tidaklah sepi karena banyak anak – anak kecil berlarian kesana kemari sembari menerbangkan layangan.

"Benar – benar waktu yang indah, brahmana," celetuk seseorang yang berjalan di samping Lohgawe.

Jayapati tersenyum melihat sekelilingnya. Orang ini berhati baik. Mengapa ia menjadi kaki tangan mantan preman pasar?

Lohgawe menanggapi, "Aku terbiasa melihat pemandangan seperti ini di tempatku dulu. Aku tidak ingin membanding – bandingkan, namun tempatku yang dahulu lebih ramai."

"Tentu saja. Pasar Tumapel bukanlah pasar terbesar di Kerajaan Kediri. Pasar terbesar ada di pusat kerajaan, Daha. Kabupaten ini kecil, kawan, bahkan lebih kecil jika dibandingkan dengan Lumajang. Hanya saja, orang – orangnya berhati baik. Jika tidak, maka sang Ametung tentu tidak akan berdiri di kursi bupati." Jayapati berseloroh.

"Hanya sekali saja aku melihatnya dan hanya dalam beberapa hitungan aku sudah dapat menerka karakternya. Kau benar, orang – orang Tumapel berhati baik, dan aku yakin mereka semua termakan oleh ucapan sang bupati."

"Sudahlah kawan, tidak baik membicarakan orang di belakang. Lagipula, ia adalah sumber penghidupan kami." Jayapati tersenyum tipis, menyadarkan Lohgawe betapa rendah hati kompatriotnya ini.

Mereka melewati sebuah kedai kopi dimana banyak khalayak muda dan tua bersantai sambil berbincang – bincang. Tepat di samping kedai itu orang – orang berkerumun menandai bahwa tempat tersebut merupakan tempat keramat pasar: tempat judi. Lohgawe dan Jayapati menyelinap ke dalam kubah, dan memerhatikan semua wahana yang berada di dalam ruangan judi tersebut.

Wahana kertas bergambar merupakan wahana utama di tempat judi tersebut. Walaupun sudah dimainkan di empat meja, antrian orang di wahana tersebut tetaplah panjang. Wahana berikutnya adalah sabung ayam. Lohgawe tidak menyenangi permainan ini. Bukan karena ia adalah seorang penyayang binatang, namun karena permainan dengan jenis seperti itu bisa ditebak pemenangnya. Hampir pasti pihak dengan ayam bertubuh gemuk dan berotot lebih besar akan tampil sebagai pemenang. Berbeda dengan wahana kertas bergambar. Selanjutnya adalah wahana kapal – kapalan. Peserta membuat kapalnya sendiri, untuk kemudian dialirkan pada sebuah parit buatan dengan kemiringan sama namun telah dibagi jalur – jalurnya. Kapal yang terdahulu tiba di ujung parit dianggap pemenang. Kapal dapat terbuat dari kertas atau kayu. Lohgawe menyukai permainan ini karena menunjukkan prinsip semakin tinggi kualitas kapal, akan semakin meningkatkan kemungkinan menang.

Sebuah meja bundar di ujung ruangan menarik perhatian Lohgawe. Meja tersebut sepi, sebuah buku terletak di atasnya, dan orang di belakang meja bertubuh gendut sedang menyantap ubi bakarnya. Apakah ia seorang peramal sepertiku dahulu? Hati Lohgawe berdetak kencang ketika mendekati tempat itu. Orang di belakang meja terlihat kaget melihat kedatangan Lohgawe.

"Selamat sore, kawan, adakah yang bisa kubantu?" Orang tersebut bertanya kepada Lohgawe.

"Selamat sore, kawan, dewa menyertaimu. Apakah kau seorang peramal?"

Orang tersebut menatap Lohgawe penuh keheranan. Tatapannya menunjukkan bahwa dugaan Lohgawe salah.

"Bukan, kawan, ini bukanlah meja ramal. Aku hanya seorang petugas administrasi. Aku mencatat untung rugi meja bandar. Maaf, kawan, tapi nampaknya kau ingin sekali diramal."

"Oh, maafkan hamba, kawan. Hamba salah menduga. Hamba mohon diri." Lohgawe undur diri sambil memasang senyum simpulnya.

Sudah terlalu lama menjadi peramal, Lohgawe. Sudah terlalu lama membohongi orang. Kini kebohongan sudah meresap dalam darahmu. Logawe mendengus panjang.

Sebuah sorakan riuh rendah terdengar di salah satu meja wahana kertas bergambar. Seorang pemuda bangkit ke atas meja dan mengepalkan tangannya tinggi – tinggi ke udara. Dari ekspresinya terlihat bahwa ia baru saja memenangkan permainan.

Seorang tua berambut putih berteriak, "Tidak mungkin! Coba periksa pemuda ini! Ia pasti menyembunyikan kertas di dalam bajunya!"

Suasana mendadak diam. Orang yang berdiam di meja bundar tergopoh – gopoh berjalan menuju wahana kertas bergambar, masih dengan ubi bakar penuh di mulutnya. Ia melihat ke arah pemuda tersebut, kemudian memeriksa seluruh sudut baju sang pemuda. Tidak ditemukan adanya kecurangan, karena ia tidak menemukan kertas yang tersembunyi. Sang pemuda mendelik ke arah orang separuh baya yang meneriakinya, tanda bahwa kemenangannya adalah murni kemampuan.

Benar – benar bodoh. Masak mau dikendalikan oleh permainan? Tidak bisa mengatur emosi saja. Gelaran berikutnya dalam wahana kertas bergambar dimulai dan secara tidak sadar Jayapati sudah berdiri di samping Lohgawe yang ikut memerhatikan gelaran tersebut.

"Kau tertarik juga dengan permainan ini, brahmana?" Jayapati membuyarkan konsentrasi Lohgawe.

"Tidak, aku hanya sedikit tertarik dengan pemuda yang baru saja memenangkan permainan itu." Lohgawe menjawab.

"Oh, pemuda itu. Hahaha, orang licik memang lebih menarik di tempat judi ini. Ia adalah legenda di permainan ini. Kau tentu sudah mendengarnya di desamu terdahulu."

Lohgawe menatap Jayapati. Siapa pemuda ini? Aku tidak tahu dan tidak pernah mendengarnya.

"Siapa pemuda ini? Aku tidak tahu menahu, kawan."

Kini sebaliknya Jayapati yang menatap Lohgawe penuh keheranan, "Kau tidak tahu siapa dia? Tentu saja, ia adalah..."

Ucapan Jayapati terpotong oleh keributan di luar kubah judi. Sesaat kemudian khalayak berebut keluar ruangan untuk melihat apa yang terjadi.

Tepat di tengah – tengah pasar, di samping kolam bundar, seseorang paruh baya bertubuh besar berpakaian linen tertelungkup di depan dua orang berpakaian besi. Dua pedang teracung ke arah sang paruh baya, bersiap untuk menunaikan tugasnya. Sang paruh baya meringis kesakitan dengan muka memelas ke arah prajurit.

"Kau tentu sudah mengetahui apa maksud kedatangan kami. Kami membawamu ke tengah – tengah pasar ini agar publik melihatnya. Jangan pernah sentuh tanah Tumapel ini atau nyawamu taruhannya!"

Sang paruh baya tersentak mendengar seruan sang prajurit. Tidak menunggu lama, ia berdiri dan berlari menuju kuda yang berada di depan penginapan, memacunya keluar pasar. Orang ini adalah orang yang memiliki kekayaan atau berpangkat besar, hal ini terlihat dari ajudannya yang mengikutinya dari belakang, membawa seluruh sisa barang bawaannya.

Khalayak masih terdiam dan memerhatikan kedua prajurit tersebut. Salah seorang berseru agar masing – masing kembali ke aktivitasnya. Saat keadaan kembali tenang, Jayapati bergerak menghampiri kedua prajurit tersebut. Lohgawe mengikutinya dari belakang.

"Ponari, Sawuji, tunggu dulu!"

Kedua prajurit tersebut berbalik dan melihat Jayapati. "Oh kau, Jayapati. Ada apa gerangan?"

"Siapa orang bertubuh gendut itu?" Jayapati memulai percakapan.

Salah seorang prajurit yang berkulit sawo matang menjawab, "Jika kau hadir di pendopo tadi pagi pasti kau mengetahui siapa dia. Ia adalah saudagar yang dimaksud oleh sang pemuda."

Pikiran Lohgawe kemudian teringat kepada kejadian di pagi hari ketika titisan seorang dewi hadir di depan matanya.

Seorang prajurit lainnya yang berwajah sangar dengan goresan di kedua belah pipinya melengkapi, "Beruntung kami menemukannya di penginapan ini. Kami tidak menemukan siapa – siapa di pondoknya. Ketika kami berkesimpulan bahwa seorang saudagar biasanya memiliki nafsu syahwat yang tinggi, ke sinilah kami melangkah."

Lohgawe dan Jayapati mengangguk – angguk. Pintar juga orang – orang ini.

Jayapati kemudian bertanya, "Kalian yakin ia tidak akan kembali lagi dan mengganggu sang wanita cantik jelita tersebut? Bagaimana jika ia kembali membawa pasukan?"

Kedua orang prajurit tersebut berpandangan, kemudia seorang menjawab, "Jika ia kembali dengan prajurit – prajurit, aku akan merobek tenggorokan saudagar itu dan membuang semua mayat prajuritnya di Kali Bromo."

Lohgawe bergidik ngeri, namun kedua prajurit tersebut kemudian tertawa menandakan ucapannya yang terakhir hanyalah sebuah candaan.

"Tentu saja tidak, kawan. Bupati kita, Tunggul Ametung adalah orang kuat. Ia tentu punya cara untuk menghadapi sampah macam itu. Lagipula sesuai pengalaman kami, tidak ada yang kembali jika ia sudah diusir dari kabupaten ini."

Lohgawe tersenyum lega. Tidak ada pertumpahan darah yang sangat ia benci. Namun satu hal mengganggu pemikirannya. Jayapati sudah mengucapkan salam perpisahan ketika Lohgawe memotongnya.

"Maaf, kawan prajurit, aku tidak mengenal kalian, namun aku ingin sekali bertanya. Mengapa sang bupati tidak menugaskan Ken Arok untuk mengurus sang saudagar?"

Kedua prajurit tersebut kembali berpandangan. Kemudian salah seorang dengan codetan di pipi menjawab, "Maaf, mohon perkenalkan diri tuanku terlebih dahulu sebelum hamba memberikan informasi."

Berhati – hati sekali mereka. "Hamba adalah Lohgawe, brahmana dari tanah Gujarat, semenanjung India. Saat ini hamba tengah mempelajari sejarah dan struktur kerajaan Kediri untuk dibawa pulang nanti. Salah seorang yang meminta nasihat hamba adalah Ken Arok."

Seorang dengan kulit sawo matang menjawab Lohgawe, "Perkenalkan, tuanku brahamana, hamba adalah Sawuji dan teman hamba Ponari. Mengenai Ken Arok, informasi ini adalah rahasia, tolong jangan sebarkan kepada siapapun. Ia tidak bisa ditemukan sedari pagi tadi. Bupati kami yang agung bahkan mencak – mencak mengetahui ketidakberadaan ajudan utamanya. Jika engkau mengetahui keberadaannya, mohon informasikan kepada kami."

Di mana orang itu? Segera sesudah mengucapkan kalimat itu, kedua prajurit tersebut memohon diri kembali ke wisma pasukan Tumapel. Lohgawe dan Jayapati pun melangkah kembali ke tempat peristirahatannya.

***

Lohgawe belum tertidur ketika bulan sabit muncul di balik awan. Di dalam ruangan gubuk, diterangi cahaya temaram dari lilin di atas mejanya, ia duduk bersimpuh memerhatikan buku yang ia beli di dalam pasar.

Buku itu menjadi perhatiannya ketika melangkah keluar dari pasar. Sebuah buku yang dijual di pinggir jalan masuk pasar oleh pedagang eceran. Tidak terperhatikan dan berharga murah, namun sang brahmana tahu bahwa buku tersebut bernilai sejarah tinggi. Hikayat Kerajaan Kediri.

Sejarah kerajaan dimulai ketika Airlangga turun dari pegunungan di wilayah Jombang, Jawa Timur. Beberapa utusan rakyat memintanya untuk meneruskan kerajaan yang sebelumnya hancur oleh serangan kerajaan lain. Awalnya Airlangga menolak, terlebih mengingat pernikahannya terdahulu dengan Dewi Sekarwati mengalami kegagalan karena serangan Prabu Worawari dari Tulungagung, tepat di hari pernikahannya, sehingga ia harus melarikan diri ke wilayah Kudu, Jawa Timur. Mpu Narotama menguatkan Airlangga, mengingatkan bahwa ia adalah keturunan Raja Udayana di Bali dan Mahendradratta, seorang putri dari Wangsa Isyana. Ia mengikuti saran sang mpu.

Kerajaan Sriwijaya belumlah besar pada masa itu sehingga dengan mudah ia mempersatukan kerajaan – kerajaan kecil di daerah pantai timur Pulau Jawa. Ia mendirikan pusat pemerintahan di Kahuripan dengan nama Kerajaan Kahuripan, membangun beberapa karya yang dapat dinikmati oleh generasi sekarang, misalnya pelabuhan Hujang Galuh, asrama Sri Wijaya, dan bendungan Waringin Sapta untuk mencegah banjir musiman.

Bencana muncul ketika di akhir pemerintahannya, anak – anaknya berebut kekuasaan. Sesuai dengan adat Wangsa Isyana, keturunan tertinggi berhak atas kendali pemerintahaan, namun apa daya sang putri lebih memilih kehidupan pertapa. Kedua anak berikutnya tidak ada yang mau mengalah karena berasal dari ibu yang berbeda, sehingga Airlangga terpaksa membelah Panjalu menjadi dua bagian, Kerajaan Kediri dengan kotaraja Daha diperintah oleh Samarawijaya, dan di timur Kerajaan Jenggala dengan kotaraja Kahuripan diperintah oleh Mapanji Garasakan.

Puncak Kerajaan Kediri berada di pada masa pemerintahan Jayabaya. Ia berhasil menakukkan saudaranya Kerajaan Jenggala, dan memiliki wilayah kekuasaan yang besar di Jawa Timur, bahkan hingga ke Bali. Ialah yang mengeluarkan semboyan Kediri yang terkenal: Kediri jaya, Kediri menang. Ia juga mengeluarkan ramalan yang sangat terkenal hingga ke dataran Tiongkok, yang meramalkan hancurnya Pulau Jawa beserta musim – musim yang terbalik.

Buku tersebut berakhir pada Raja Kameswara yang merupakan putra dari raja Kediri terdahulu, Gandra. Kameswara memiliki istri bernama Kirana yang berasal dari keturunan raja Jenggala dan memperkuat posisinya sebagai raja Kediri. Penasihatnya adalah Mpu Dharmadja. Putranya yang tertua berusia sekitar dua dasa bernama Kertajaya, seorang yang gagah dan bijaksana, hampir dipastikan untuk menggantikan kedudukan ayahnya.

Lohgawe menutup buku tersebut dan menguap. Ia hendak beranjak ke pembaringan ketika ia mendengar suara derap kuda di halaman. Ken Arok, kaukah itu? Matanya yang berat membuatnya tidak ingin memeriksa keluar kamar. Sebelum terlelap ke alam mimpi, pikirannya melayang – layang.

Airlangga artinya adalah air yang melompat. Akankah api juga melompat? Lohgawe tertidur.

Next chapter