webnovel

Pramodawardhani 1

Sore yang cerah di Kerajaan Medang.

Pramodawardhani menyebrangi halaman istana kerajaan menuju Taman Anyelir di sebelah timur istana utama. Langkah – langkah ringan berderap mengikuti langkah sang tuan putri. Anak – anak berumuran kira – kira sepuluh tahun mengiringi Pramodawardhani dari belakang. Sesampainya di Taman Anyelir sang putri berhenti sekilas untuk mengagumi keindahan taman yang dihiasi berbagai bunga. Disebut Taman Anyelir, namun berbagai jenis bunga bermekaran di tanah yang dipetak – petakkan secara sengaja. Bunga anggrek dan melati adalah contoh bunga yang menghiasi taman tersebut. Menambah keindahan, di tengah taman terdapat kolam ikan berukuran dua kali dari besarnya pintu gerbang kerajaan. Di tengah kolam terdapat jembatan kecil untuk menikmati ikan yang berenang – renang ringan di dalam air dan kucuran air yang mengalir dari bukit Gunung Slamet.

Pramodawardhani melangkah menuju jembatan di tengah kolam ikan. Ia bisa melihat kolam dengan air jernih dan ikan – ikan yang berkejaran satu dengan lain. Sungguh pemandangan yang indah. Anak – anak yang mengikuti Pramoda sudah tidak terlihat lagi. Mungkin mereka bermain englek di halaman istana.

Pramodawardhani dikejutkan dengan sapaan dari belakang tubuhnya. Bersender pada tiang jembatan, kemudian ia membalikkan badannya untuk melihat sumber suara yang berada di seberang kolam. Tara.

"Menikmati keindahan kolam, atau bosan di istana, kakakku sayang?" ujar suara tersebut.

Putri Taradyahwardhani berumur sembilan belas tahun ini. Dinamakan serupa dengan nama ibunya, wajahnya berbentuk oval dan ayu, hampir dapat disamakan dengan kecantikan putri Pramodawardhani yang berusia tiga tahun di atasnya. Rambutnya tergerai panjang, dan kemolekan tubuhnya akan membuat mata pria terpana memandangnya. Kekurangan yang dimiliki Putri Taradyahwardhani ialah isi kepalanya, yang juga merupakan kelebihan dari Pramodawardhani.

Taradyahwardhani berlari kecil menuju jembatan di tengah kolam. Terlihat dari wajahnya bahwa ia baru saja mengalami kejadian yang menyenangkan. Anak ini habis berjudi lagi, pikir Pramodawardhani. Bau pasar Kliwon yng tercium dari aroma Tara menguatkan dugaannya.

"Sekarang beritahu aku, Tara, berapa banyak cetak perak yang kau menangkan di tempat judi konyol itu?" Pramoda membuka percakapan begitu Tara berada dalam jangkauan suaranya.

Sang tuan putri terkejut. "Wah, bukan sebuah ucapan yang diharapakan ketika seorang putri kerajaan bertemu dengan adiknya tersayang". Tara mengakhiri kalimat dengan senyuman lebar.

Senyuman yang dapat meluluhkan hati pria manapun. "Aku serius, dik, berapa cetak perak yang sudah kau menangkan di tempat kertas bergambar itu? Jika kau sudah mencapai halaman tertinggi beritahu aku." jawab Pramoda.

Permainan kertas bergambar adalah salah satu wahana judi di Pasar Kliwon. Pramoda pernah sekali mencobanya. Kertas berukuran panjang dan lebar satu jengkal terdiri dari empat set, masing – masing set berjumlah sepuluh kertas,dan setiap set kertas ditandai dengan simbol – simbol kerajaan tanah air dan angka. Pemain dapat memilih set kerajaan yang diinginkan. Hingga saat ini tersedia sepuluh set kerajaan, diantaranya Kerajaan Medang dengan gambar candi, Kerajaan Kediri dengan gambar manusia berkepala gajah, Kerajaan Sriwijaya dengan gambar kapal berlayar kuning, Kerajaan Sunda dengan gambar keris – atau mereka menyebutnya kujang, sejauh Pramoda bisa mengingatnya, Kerajaan Kutai dengan gambar pedang bersayap, dan Kerajaan Khmer dengan gambar candi kecil, hampir menyerupai stupa. Putri Pramodawardhani tidak bisa mengingat beberapa kerajaan lainnya. Ia hanya bisa mengingat simbol kerajaan – kerajaan tersebut, empat pulau, besar dan kecil, dan seekor jalak hitam.

Tara melengos, "Aku mengerti, Kak. Aku memang tidak ada apa – apanya dibanding para penjudi pintar itu. Coba menurut kakak, apakah halaman tiga cukup tinggi?" Tara mengakhiri kalimat itu dengan senyuman dan tatapan penuh harap.

"Segala sesuatu yang berawalan dengan kata judi tidak pernah menghasilkan sesuatu yang baik." jawab Pramoda.

"Baiklah, terserah kakak. Tapi aku tidak akan berhenti hingga mencapai halaman tertinggi. Aku akan mengalahkan sang legenda itu, Joko Kikir, yang sudah bertahan di tempat pertama sampai tiga bulan. Aku akan mengalahkannya. Titik."

Pramodawardhani pernah mendengarnya. Sang legenda. Pemegang rekor judi kertas bergambar di Pasar Kliwon dengan waktu berbulan – bulan. Satu – satunya saat dia lengser dari puncak adalah ketika ia menderita sakit kulit. Alasan yang konyol.

"Kak, aku ingin bertanya sesuatu. Ini serius, kak." muka Tara berubah menjadi serius. Taukah kau, dik, pada saat serius pun muka itu begitu cantik.

"Apa benar paman Balaputradewa akan datang ke tanah Jawa, kak?"

Pramoda sebenarnya tidak ingin membicarakan isu yang sedang berkembang. Namun, ia merasa harus menjelaskan. "Benar, dik, seminggu lagi Balaputradewa akan datang bersama pasukan pengawalnya untuk membawa pesan dari Raja Sriwijaya Rakai Warak, atau kakek kita, Samagrawira. Kita sedang menantikan rombongan kapal laut besar untuk berlabuh di Pelabuhan Kalingga di utara. Kita belum tahu apa yang akan disampaikan oleh paman kita yang gagah berani itu."

Belum sempat Pramodawardhani melanjutkan, sebuah suara menyela di tengah – tengah percakapan.

"Segala sesuatu sudah dipersiapkan, Putri Tara, kalian tidak perlu khawatir."

Pramodawardhani menoleh ke sumber suara. Mpu Galuh berada di tepi jembatan yang membelah kolam utama. Berjalan pelan, ia melangkah menuju kedua tuan putri. Di belakangnya, dengan sedikit membungkuk adalah Anju, penjaga taman sekaligus perawat dari berbagai jenis tanaman yang berada di Taman Anyelir. Berusia lima tahun di bawah Pramoda, ia berasal dari jalanan ketika raja dan Mpu Galuh mengenal bakatnya saat kontes bercocok tanam diadakan. Adiknya, Suksma, sekarang menjadi penanggung jawab Kali Riak, tempat pemandian para penghuni istana.

"Mpu Galuh, sejak kapan kau bisa berada di sini? Kami tidak melihatmu." Pramoda masih sedikit terkejut kehadiran Mpu Galuh.

Mpu Galuh tidak langsung menjawab. Ia menatap Pramodawardhani, lalu beralih pada Putri Taradyahwardhani.

"Segala sesuatu sudah dipersiapkan, tuan putri," Mpu Galuh mengulang ucapannya, "namun lebih baik kita berharap kepada semesta agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan. Aku yakin, dan sangat amat yakin, Balaputradewa tidak beritikad buruk. Oh, hamba kembali mengingat hari – hari tua yang indah. Balaputradewa dan Rakai Garung benar – benar pasangan yang serasi. Di saat satu orang memegang panah, yang lainnya mengarahkan. Orang – orang menyebut Samaratungga Sang Panah, sedang Balaputradewa Sang Otak. Ya, bisa dibilang Balaputradewa memang memiliki kemampuan otak di atas rata – rata."

Kini kedua putri Kerajaan Medang berada dalam posisi mendengarkan cerita dari seorang tetua yang dihormati di kerajaan.

"Pada suatu ketika raja Sriwijaya saat itu, Dharanindra, memiliki tekad untuk memperluas wilayah Sriwijaya menuju Pulau Jawa. Wilayah terdekat adalah Kerajaan Sunda dan Galuh di bagian barat Pulau Jawa, namun Dharanindra mengingat bahwa Sriwijaya memiliki hubungan baik dengan keduanya. Sebaliknya, leluhur Kalingga, Ratu Shima, adalah musuh abadi bagi Sriwijaya. Ratu Shima memiliki suami bernama Kartikeyasinga, dan kakak dari ibunya dulu adalah Raja Sribuja di Sumatera Selatan, penguasa yang dikalahkan Dapunta Hyang, pendiri Kerajaan Sriwijaya. Hingga saat itu, Sriwijaya dan Kalingga tidak pernah akur."

"Ia memerintahkan anaknya Samagrawira untuk memimpin armada laut Sriwijaya mengepung Pelabuhan Kalingga. Samagrawira mengajak kedua anaknya, Samaratungga dan Balaputradewa untuk ikut serta, bahkan sebagai pemimpin pasukan. Saat itu Kalingga dipimpin oleh seorang keturunan Ratu Shima bernama Satyadarmika. Kalingga sendiri sudah menjadi daerah bawahan Kerajaan Mataram yang dipimpin oleh keturunan Sanjaya. Ya, Sanjaya yang terkenal itu."

"Pengepungan yang dilakukan oleh Samaratungga dan Balaputradewa membuat kapal – kapal lain enggan berlabuh di Pelabuhan Kalingga. Akibatnya kawula Kalingga banyak yang kehilangan mata pencaharian, terutama orang – orang pelabuhan. Pasokan makanan pun berkurang jauh. Suatu saat Satyadarmika menerjunkan segenap pasukannya di dermaga Kalingga. Ia menantang Samaratungga dan Balaputradewa. Samaratungga yang terkenal suka berperang sudah berada di bibir haluan, siap terjun bersama anak buahnya. Namun, Balaputradewa menahannya. Ia kemudian menunjuk ke belakang, ke sela – sela pepohonan kelapa. Ternyata sudah ada banyak pemanah yang mengintai di belakang."

"Balaputradewa mengusulkan agar pasukan Sriwijaya tidak terpancing oleh tindakan Satyadarmika. Samaratungga menyetujui. Mereka tidak melakukan apa – apa selain pengepungan. Para pemanah pun tidak berani memanah kapal – kapal Sriwijaya yang berkualitas mumpuni. Pada hari ke dua puluh setelah pengepungan, Satyadarmika akhirnya muncul diikuti oleh para pembesar daerah. Ia menurunkan lencana bupati, kemudian bersujud hingga ke lantai kayu, diikuti oleh orang – orang di belakangnya. Samaratungga dan Balaputradewa saling berpandangan. Rencana mereka berhasil. Kalingga berhasil ditaklukkan."

Pramodawardhani mengernyit, "Semudah itukah Kalingga yang menakutkan itu ditaklukkan? Lagipula dari cerita itu, nampaknya Balaputradewa terlihat lebih bijaksana daripada ayah, Mpu Galuh."

Mpu Galuh mengangguk – angguk, "Samaratungga adalah panah, sedangkan Balaputradewa adalah otak. Kini perhatikan ceritaku yang satu lagi."

"Kalingga menyerah, dan perlahan – lahan daerah – daerah di sekitarnya bisa ditaklukkan oleh Samaratungga dan Balaputradewa. Dieng menyerah, Kedu menyerah, pula Mamrati. Pusat pemerintahan saat itu didirikan di dataran rendah Kedu. Pada suatu ketika, muncul utusan dari Prambanan. Ia menyatakan sebuah nawala bahwa wangsa Sanjaya merasa terhina diperlakukan seperti ini. Kerajaan Mataram akan menuntut balas, menghimpun serdadu sebesar tiga puluh ribu prajurit untuk menyerang Samaratungga dan Balaputradewa. Seluruh petinggi armada Sriwijaya, termasuk Samagrawira, pun menjadi gempar dan cemas."

"Hanya ada dua orang yang tidak gentar terhadap nawala utusan itu. Ya, mereka adalah Samaratungga dan Balaputradewa. Samaratungga meyakinkan bahwa mereka tidaklah selemah yang mereka kira, bahwa mereka bisa bertahan melawan orang – orang suku pedalaman, berkaca dari serangan yang telah mereka lakukan terlebih dahulu. Saya sendiri takjub melihat semangat yang dikobarkan oleh ayah kalian. Ia memang petarung dan pejuang sejati. Namun yang menarik adalah kesimpulan yang diberikan oleh Balaputradewa. Hal inilah yang membuat seluruh anggota pembesar armada yakin mereka tidak perlu angkat kaki dari tanah Jawa."

Tara terlihat penasaran, "Apa yang ia katakan, paman?"

Mpu Galuh tersenyum. Kumis putih di atas bibirnya melambai pelan tertiup angin tanda kebijaksanaan.

"Balaputradewa mengeluarkan sebuah peta. Saat itu pusat kerajaan masih berada di dataran Kedu. Ia mengulang ucapan utusan Prambanan, "Daerah – daerah sekitar kalian akan menghimpun kekuatan, dan menyerang penuh pada bulan purnama berikutnya." Ia meminta kita untuk memerhatikan peta ini. Melihat peta itu bahkan Samaratungga pun mengerti apa yang hendak dimaksud oleh Balaputradewa. Daerah sekitar yang dimaksud oleh pemimpin Prambanan hanyalah sekumpulan kerajaan lemah di bagian tenggara dataran Kedu. Kerajaan Dataran Merapi baru saja menyerah pada Medang, sehingga yang tersisa hanyalah Prambanan, Wanagiri, dan Kalasan. Bahkan jika Kalingga yang baru saja menyerah hendak berkhianat pun akan sangat sulit, mereka harus melewati dataran Kedu untuk menyampaikan keterangan makar."

"Penjelasan Balaputradewa diakhiri dengan tawa keras oleh kakaknya dan hembusan napas lega oleh para pembesar negeri, termasuk Samagrawira sendiri. Ia mengakui bahwa pikirannya sedang kalut akibat serangan – serangan yang ia pimpin akir – akhir ini, dan melupakan fakta sederhana bahwa seluruh dataran tengah Jawa telah hampir selesai dipersatukan. Balaputradewa meyakinkan bahwa ancaman itu hanyalah lolongan serigala belaka, gertak batu gunung yang tidak akan terjadi. Pada bulan purnama berikutnya, tidak ada prajurit kerajaan yang bersiaga, dan tidak ada serangan yang terjadi pada Sriwijaya. Bahkan Samagrawira beserta kedua anaknya minum – minum di anjungan istana sambil memandangi bulan purnama yang indah."

Pramodawardhani tergelitik untuk menimpali, "Jika memang hubungan mereka begitu dekat, lalu mengapa kalian semua, para pejabat kerajaan, terlihat panik ketika utusan Sriwijaya itu datang dengan pesan dari Samagrawira? Coba tolong jelaskan, Mpu Galuh."

"Berjaga – jaga adalah sifat manusia yang terbaik. Langit cerah pun akan memunculkan hujan besar jika kita tidak melihat awan hitam di pulau berbeda. Terakhir Samaratungga bertemu Balaputradewa adalah dua puluh lima tahun yang lalu, Putri Pramoda," jawab Mpu Galuh.

"Berita dari tanah Sumatera bahwa Dharanindra sakit keras, membuat Samagrawira yang baru saja ditahbiskan menjadi penguasa Mataram dengan gelar Rakai Warak pun meninggalkan tahtanya. Ia pulang bersama Balaputradewa, mewariskan kekuasaan kepada Samaratungga yang diberi gelar Rakai Garung. Ternyata saat sampai di Palembang kembali, Dharanindra telah mangkat. Samagrawira pun ditahbiskan menjadi Raja Sriwijaya. Mataram pun berubah nama menjadi Medang dibawah pemerintahan Rakai Garung, Samaratungga."

"Samagrawira menganggap Medang adalah bagian dari Sriwijaya, sedangkan Samaratungga menganggap bahwa Medang adalah adik Sriwijaya yang berdiri sendiri. Kini Balaputradewa akan tiba ke mari. Aku tidak tahu maksud kedatangannya, tapi aku dapat menebaknya. Namun aku tidak ingin memikirkannya, putri Pramodawardhani, putri Tara, karena aku hanya ingin mengingat hari – hari di mana Samaratungga dan Balaputradewa bercengkrama bersama, berburu di dalam hutan. Oh, hari – hari yang indah."

Pramodawardhani sedikit lega. Mpu Galuh adalah orang yang telah menghabiskan waktu bersama ketiga orang penting itu di kerajaan. Mendengar ceritanya ia yakin bahwa Balaputradewa dan Samaratungga memiliki hubungan darah yang sangat kuat. Jika Kerajaan Sriwijaya hendak membunuh kerajaan ini, mengapa mereka tidak lakukan sejak dahulu?

Lembayung sore menyambut akhir cerita Mpu Galuh. Yang dituakan inipun memohon diri untuk beristirahat bersama pembantunya, meninggalkan Pramoda serta Tara di Taman Anyelir. Sebelum memohon diri, Anju sempat berpesan bahwa pemandian air panas di Kali Riak telah disiapkan untuk mereka berdua. Pramodawardhani mengangguk. Ia menggenggam tangan adiknya dan berjalan menuju pintu Taman Anyelir.

"Kak, apakah kau pernah bertemu dengan paman Balaputradewa?"

Pertanyaan Tara sedikit mengagetkan Pramodawardhani. "Tidak pernah, dik, kakak lahir setelah paman dan kakek pergi ke tanah Sumatera."

Tara terdiam. Pramodawardhani menebak isi pikirannya. Bagaimana mungkin disebut keluarga jika tidak pernah bertemu dengan paman ataupun kakeknya? Terlalu sibuk? Apa arti hubungan keluarga bagi mereka? Apakah Kerajaan Sriwijaya terlalu besar sehingga melupakan Kerajaan Medang yang tidak jelas nasibnya di masa depan?

"Sudah, tidak perlu dipikirkan, dik. Lihatlah sekelilingmu. Kebutuhan kita selalu dipenuhi. Ayah dan ibu yang menyayangi kita. Terlebih dari itu, rakyat Medang mengasihi kita. Kau lupa apa gelarku?" Pramodawardhani tersenyum, sembari mengeluarkan teka – teki.

Wajah Tara kembali ceria. "Sri Kahulunan!" ia berseru dengan kencang dan memeluk sang kakak. "Benar dik, Sri Kahulunan, sang pelindung rakyat."

Pramodawardhani dan Tara berjalan menuju Kali Riak. Di tepi bibir kolam pemandian air panas, pikiran – pikiran itu kemudian kembali menggeliat di kepalanya.

Sri Kahulunan. Sang pelindung rakyat. Aku akan tetap berada di sini. Untukmu, adikku, dan juga untuk semua rakyatku.

Next chapter