"Kamu sudah makan siang?" tanya Satria begitu melihatku.
Bagaimana aku bisa makan siang? Dari tadi aku gelisah berjam-jam menunggunya pulang. Sungguh, ini di luar kebiasaanku. Sebelumnya aku nggak pernah begini.
"Belum."
"Kok belum, memangnya nggak laper?" Satria berjalan ke mini pantry lalu meneguk air mineral di dalam botol.
"Kamu sendiri udah makan belom?"
"Aku sudah tadi di luar sekalian makan. Tahu kamu belum makan, aku makan siang bareng kamu aja tadi."
Tepat dugaanku dia pasti sudah makan siang bersama wanita itu. Ingin sekali aku bertanya padanya siapa wanita itu? Tapi nanti ketahuan aku mengikutinya. Kira-kira apa yang mereka lakukan berjam-jam di sana. Pikiranku mendadak kacau.
"Kalau malas keluar, kamu pesan lewat layanan kamar saja."
"Iya."
"Aku mandi dulu."
Eh? Pulang-pulang kok mandi? Bikin aku curiga saja.
"Eh, Bang. Kamu mandinya keramas atau enggak?"
Satria berkedip. Dia menatapku aneh sekarang. Apa pertanyaanku salah?
"Keramas atau enggak, emangnya itu penting buat kamu?"
"Penting dong. Itu artinya kamu udah mel--"
Mataku memejam. Hadeh, ternyata pertanyaanku memang konyol. Sejak kapan keramas Satria penting buatku? Lelaki itu menaikkan sebelah alisnya.
"Mel--apa?"
"Ah, nggak-nggak. Anggap aja aku nggak pernah bertanya apa-apa. Ayo, silahkan mandi. Aku laper, aku mau pesan makanan dulu." Aku segera mengalihkan dan buru-buru kabur meninggalkan Satria. Aku tidak mau Satria menyadari apa yang sudah aku pikirkan.
"Rea!"
Aku hampir saja membentur pintu saat suara Satria terdengar memanggilku. Aku membalikkan badan cepat. "Iya?"
"Pesawat kita terbang jam tiga. Jadi habis ini kamu siap-siap."
"Oh,oke." kirain mau bilang apa.
Aku hendak menekan knop pintu saat suara Satria terdengar lagi.
"Rea, aku mandinya keramas kalau kamu mau tau."
Aku meneguk ludah gugup. Satria menyeringai lantas masuk ke dalam kamar mandi. Fiuh!
***
Dari semenjak memasuki kabin, aku membuang pandangan ke luar jendela pesawat. Pikiranku kacau. Di saat normal, aku pasti cemas ketika pesawat akan tinggal landas. Kali ini kecemasanku lebih memikirkan keadaan hatiku yang kurasa mulai tidak beres. Sejak Satria pergi menemui wanita entah siapa, aku terus memikirkannya. Aku tidak tahu apa yang terjadi. Yang jelas hatiku nggak nyaman.
Sebuah benda melingkari kepalaku, membuatku mendongak. Satria tersenyum dengan jarak yang begitu dekat. Dia baru saja selesai memasang headphone padaku.
"Kata Andra kamu mengalami phobia naik pesawat." Dia kemudian memasangkan sabuk pengamanku. "Pesawat akan segera take off." Kemudian dia menyilangkan tangannya ke sebelah tanganku. Aku memerhatikan setiap gerakannya. Jari jemarinya menyelip di antara ruas jari-jariku. Lalu telapak tangan kami saling bersentuhan. "Begini lebih baik." Dia kembali tersenyum menatapku. Dan aku dibuat bodoh karena perlakuannya yang bagiku terlihat sangat... Manis.
Kakek, sepertinya keinginanmu nggak terwujud. Kalau Satria begini terus, bukan dia yang jatuh cinta padaku, melainkan aku sendiri yang jatuh kepadanya. Sebagai orang yang nggak berpengalaman dalam hal menaklukkan laki-laki, sangat wajar jika malah aku sendiri yang merasa terjebak. Bahkan diperlakukan manis seperti ini pun aku nggak pernah sebelumnya. Adegan-adegan yang aku pikir hanya ada di drama seri, sekarang aku sendiri mengalaminya.
Satria begitu erat menggenggam tanganku. Aliran hangatnya seakan menyebar ke seluruh aliran darahku hingga membuatku merasa nyaman. Aku melewati take off tanpa perasaan takut yang berlebihan. Semudah itu kah dia memberiku kekuatan? Hanya cukup mengenggam tanganku saja, ketenangannya langsung menulariku. Perasaan apa ini sebenarnya?
"Kamu baik-baik saja Rea?" tanyanya membuatku terkesiap. Aku kebanyakan melamun.
"Ah, iya. Aku baik. Oke."
"Pesawat sudah mengudara, kamu boleh melepas seatbelt-mu." Dia hendak melepas sabuk pengamanku.
"Biar aku saja."
"Oke."
Aku memperbaiki posisi duduk setelah melepas sabuk pengaman.
"Maaf ya, kita harus pulang cepat. Kamu nggak bisa menikmati liburanmu lebih lama lagi."
"Nggak apa-apa, Bang. Lain kali bisa."
"He-em. Benar. Coba kamu bilang ingin pergi ke mana?"
"Mmm, kemana ya?"
"Bagaimana kalau Maldives. Itu tempat yang perfect buat honeymoon. Kamu pasti lebih nyaman kita melakukannya di sana."
Mataku sontak melotot. Dia ternyata masih membujukku. Ya Tuhan, apa dia belum cukup puas sudah melakukannya dengan wanita itu?
"Kalo gitu aku nggak mau kemana-mana. Mending di rumah saja."
Di luar dugaanku Satria malah berbinar. "Kamu serius mau melakukannya di rumah?"
Aku menggeram jengkel. "Bang, bukan itu maksudku."
"Rea, aku janji nggak akan bikin kamu sakit. Cukup satu kali, aku yakin sudah bisa menjadi benih."
"Mana mungkin sekali bisa jadi!"
"Ooh, jadi kamu maunya berkali-kali? Oke sepakat, deal!"
Aku ternganga. Percakapan macam apa ini? Satria menggerak-gerakkan alisnya. Dia sudah masuk ke mode nyebelin.
"Mimpi aja deh."
"Ayolah, Rea. Kamu bakalan aku buat nagih."
"Stop,Bang! Aku nggak mau ngomong lagi."
"Rea, kita--"
"Stop!"
Satria mengangkat kedua tangan. Lalu kembali menyandarkan punggung. Namun tiba-tiba pesawat berguncang, kepanikan langsung menyerangku.
"Bang! Ini ada apa? Pesawat kita mau jatuh!"
"Tenang, Rea. Ini hanya turbulensi. Kita baik-baik saja."
"Enggak,Bang. Kita mau jatuh!"
"Rea, tenang."
Pramugari datang mendekati kami. Keributan yang aku buat mengundang perhatian penumpang lain juga.
"Ada apa, Bapak, Ibu?"
"Oh, nggak ada apa-apa. Istri saya hanya ketakutan sedikit."
Aku menekan kedua telingaku yang tertutup headphone, kedua kakiku sudah aku naikkan ke atas. Ini benar-benar menyeramkan. Aku benci naik pesawat.
"Ada yang bisa kami bantu?"
"Tidak usah, Mbak. Biar saya tangani sendiri."
"Oh, baiklah, Pak. Kalau Bapak butuh bantuan bisa hubungi kami."
"Iya, baik."
Setelah Pramugari itu pergi, Satria menaikkan sandaran tangan yang menyekat di antara kedua kursi kami. Kini tanpa penghalang, tubuh Satria mendekat ke arahku. Ia menarik lenganku agar mendekat padanya. Kedua lengannya merengkuh tubuhku yang gemetar. Ia letakkan kepalaku di atas dadanya. Pelan tapi pasti aku merasakan ketenangan dan kenyamanan di dalam pelukan Satria.
"Kamu aman, Rea. Ada aku. Semua baik-baik saja," bisik Satria pelan.
Dan tidak lama aku merasakan pesawat kembali tenang seperti semula. Namun anehnya, aku tidak ingin beranjak dari dekapan Satria yang hangat. Ini terlalu nyaman buatku, membuatku ingin berlama-lama. Iya, sehingga aku pun tidak menyadari entah sudah berapa lama mataku terpejam.
Aku merasakan tepukan pelan di pipiku. "Rea, kita sudah sampai."
Aku membuka mata perlahan. Kemudian beringsut dari pelukan Satria. "Sudah sampai? Kok cepet banget?"
"Kamu enak, yang dari tadi tidur jadi nggak berasa tau-tau udah sampe. Aku ini yang pegel." Satria memijat lengan dan bahunya lalu merenggangkan otot-ototnya.
"Sorry, hihi."
"Udah nggak takut lagi kan?"
"Nggak, kan ini udah sampe. Makassar - Jakarta, apalah arti sebuah jarak. Ayo, Bang! Kita turun!" Aku bersemangat tapi tidak dengan Satria.
"Pokoknya, begitu sampe rumah kamu harus pijitin aku."
"Loh, nggak ikhlas banget nolonginnya."
"Siapa bilang nggak ikhlas?"
"Lah, itu minta imbalan pijitin."
"Itu namanya simbiosis mutualisme, Rea. Kita kan suami istri. Saling membutuhkan."
"Jadi maksudnya kamu butuh aku buat mijitin gitu."
"Yaiyalah!" Satria berdiri dari duduknya bersiap turun. Ia mengenakan jaketnya kembali.
"Kalo aku nolak?"
"Terus yang kamu terima itu apa? Kalo aku minta sesuatu kamu tolak terus?"
Cinta, Bang.
Untuk beberapa alasan aku tidak langsung menjawab pertanyaan Satria. Lidahku mendadak kelu. Aku terpaku di tempat. Mata kami berdua beradu pandang dengan tangan Satria yang berada di kabinet yang terletak tepat di atas tempat duduk kami. Wajahnya menunduk dengan tatapan lurus yang sulit aku artikan. Sedang tanganku semakin erat mencengkram tali tas selempang yang aku kenakan. Perasaan gugup menderaku seketika.
"Kok nggak dijawab?"
Mendengar itu, aku segera melepas pandang. Perasaanku mulai aneh. Tanpa menjawab pertanyaan Satria, aku menerjang tubuhnya yang menghalangi jalan keluar. Kemudian dengan langkah cepat aku berjalan ke arah pintu keluar.
"Rea! Tunggu aku!"
PS. Halo gaesss jumpa lagi. Jangan lupa ya tinggalkan Review kalian tentang cerita ini. Terima kasih 😊