"Aku dengar semua penjahatnya sudah tertangkap."
Sebuah suara menepis lamunan panjang Sakhi. Ia berdiri di pinggiran pagar yang menghadap ke sungai. Sakhi mengenal suaranya meski keduanya baru sekali bertemu. Sekitar seminggu yang lalu di kafe.
Bagas.
Sebenarnya Bagas sudah sejak beberapa menit yang lalu berdiri di sekitar Sakhi, hanya saja keberadaanya yang sedekat itu tidak juga disadari gadis yang hanya terpaku melihat sungai. Entah apa yang dilihatnya di sana, atau sedang mengelana kemana pikirannya.
"Iya," jawab Sakhi sekenanya.
Sakhi memandang pergelangan tangannya. Sisa luka gesekan kabel ties. Bekas luka tertutup lengan sweter yang dikenakannya sehingga tidak mencolok.
"Setiap orang memiliki sisi gelapnya sendiri, hanya perlu menyulutnya untuk membangkitkan bagian jahatnya." Bagas yang semula ikut melihat ke arah sungai mengubah posisinya. Ia membelakangi sungai dan bersandar pada pagar. Tangannya ia selipkan di saku celana.
"Eh?"
Bagas menggeleng, kemudian tersenyum.
Hening. Tidak ada pembicaraan. Sesekali semilir angin malam mengisi kekosongan, sesekali ranting yang saling bergesekan berderik.
Sebenarnya ada banyak orang di sekeliling tempat itu, hanya saja, entah kenapa mereka juga ikut hening. Menikmati sepi.
"Masa lalumu..." Bagas membuka pembicaraan lagi.
Kata-kata Bagas terputus begitu saja. Sakhi menunggu lama namun Bagas tidak juga melanjutkan kalimatnya. Sakhi balik memandang Bagas, ingin tahu.
"Apa... masalah itu kamu juga mencari tahu?"
"Bukan," jawab Bagas cepat. "Itu... aku sudah berhenti," tambah Bagas menggesekkan jari ke cuping hidungnya.
Sakhi lega. "Jadi?"
Bagas berpikir sebentar kemudian menggeleng.
Rasanya aneh, masa lalu yang tidak pernah dibicarakan, mendadak ada beberapa orang mengungkitnya. Orang-orang yang justru tidak dekat dengannya. Satu orang bahkan tidak dikenalnya sama sekali, Yuda Saputra.
'Jangan-jangan aku terlibat sebuah proyek rahasia sewaktu kecil,' Sakhi menduga-duga dalam hati. Merundingkan dugaan yang muncul dalam pikirannya dengan dirinya yang lain.
'Tidak mungkin, tidak mungkin. Ini bukan drama atau cerita dalam novel misteri. Toh selama ini hidupku normal-normal saja.' Sakhi mengangguk yakin. 'Kecuali masalah terkena racun belum lama ini.'
Bagas mengeluarkan minuman kaleng yang ada di ranselnya dan menawarkannya pada Sakhi yang masih sibuk berdiskusi dengan dirinya sendiri. Sakhi mengucapkan terima kasih dan Bagas pergi lebih dulu.
Menit demi menit berlalu. Sakhi masih saja terpaku di tempatnya, memandangi kaleng minuman bertuliskan Pocari Sweet yang Bagas berikan. Ia tidak ingin pulang cepat tapi tidak tahu harus pergi kemana.
Sakhi tahu ia sedang menghindari masalah. Mau bagaimana lagi. Ingin menghadapi dan menyelesaikannya namun keberanian belum terkumpul seluruhnya. Ia masih butuh waktu. Sedikit lagi.
Ibu. Satu kata yang selalu menjadi hal yang sensitif bagi Sakhi.
Sakhi menghela nafas dan menegadahkan kepalanya. Memandangi langit.
Langit malam yang sama dengan langit tempat di mana ibunya berada. Ribuan bintang yang sama gemerlapnya, juga bulan yang sama benderangnya.
Berada di bawah langit yang sama membuatnya tidak bisa menghindar terus-menerus. Ia tahu itu, sangat tahu. Tapi sekali lagi keberanian belum terkumpul seluruhnya.
Kak Hania bilang ibu Sakhi datang pagi tadi saat Sakhi mengantar Mbak Titin ke pasar. Ingin bertemu Sakhi, ingin meminta maaf, dan mengatakan banyak hal.
Setelah sekian lama menelantarkan Sakhi, ia kembali dengan menyebut dirinya sebagai ibu. Ia terisak. Tangisnya mengiba, menuturkan penyesalan terdalam. Ketidak berdayaannya. Ketidak sanggupan melindungi darah daging satu-satunya.
Usianya kurang empat angka mencapai setengah abad. Keriput dan guratan lelah di wajahnya lebih banyak dari yang seharusnya. Beban hidupnya berat dan ia kembali untuk penebusan.
Sudah lebih dari dua puluh tahun yang lalu. Sakhi tidak habis pikir kenapa harus sekarang. Sakhi merasa baik-baik saja dengan hidupnya. Ia bahkan sudah memutuskan untuk terus hidup tanpa melihat masa lalunya, berhenti merindu, juga berhenti ingin tahu.
Jadi, kenapa harus sekarang?
Sudah terlalu lama Sakhi menunggu. Ini terasa tidak adil. Ketika ia telah bersiap melangkah maju untuk kehidupannya, orang dari masa lalu justru datang mencarinya. Langkahnya untuk maju terhenti.
"Bukan enggak adil dan ibumu bukan orang dari masa lalu. Semua adalah masalah yang sudah mengendap terlalu lama, yang sudah saatnya diselesaikan."
Kalimat Kak Hania yang bijaksana mengiang di telinga Sakhi. Sangat jelas layaknya wanita yang sudah menjadi keluarga itu sedang berdiri di sisi kanannya.
Sakhi menghela nafas panjang. "Aku harus apa?"
Jam menunjukkan pukul 21.19. Sakhi melangkah pulang. Langkahnya berat dengan punggung sedikit membungkuk. Ia hanya ingin tidur agar kepalanya berhenti berpikir.
Besok, saat ia sudah lebih tenang ia akan berpikir lagi, akan mengambil keputusan.
Semakin dekat arah pulang, semakin cepat langkah Sakhi. 100 meter lagi dan ia akan menjatuhkan diri di atas ranjangnya yang empuk dan tidur senyeyak-nyeyaknya.
50 meter lagi.
Deg. Seorang ibu-ibu dari arah berlawan terlihat baru keluar dari gerbang panti. Rambutnya ikal, hitam, dipotong pendek. Tingginya 155 cm. Wajahnya oval, mata kecil dengan alis tipis. Hidungnya tidak mancung tapi memiliki cuping lebar. Bibirnya penuh. Keriput membuatnya terlihat lebih tua dari usianya.
Langkah Sahi melambat. Jantungnya berdetak cepat. Ini bukan pengaruh racun Wolfsbane yang mengenainya seperti sebelumnya. Bukan. Wanita di depannya itu, wajahnya terlihat tidak asing. Sakhi memiliki firasat bahwa ia mengenalnya.
"Jangan sekarang!" teriak hati Sakhi kuat "Aku belum siap."
Jantung Sakhi berdetak cepat. Semakin dekat, semakin cepat. Tatapan wanita itu lekat, lurus tertuju pada Sakhi.
Tatapan keduanya bertemu. Sakhi melihatnya dengan jelas. Bagaimana cara wanita itu menatapnya. Bagaimana matanya yang berkaca-kaca. Bagaimana senyum kecil di sudut bibirnya mengembang. Bagaimana kesedihan dan haru memenuhi seluruh atmosfer di sekitarnya. Sakhi seolah akan meleleh, luluh.
Tapi saat wanita yang seharusnya ia panggil dengan sebutan ibu itu berada tepat di sampingnya, Sakhi justru menundukkan pandangannya dan berlalu begitu saja. Terlihat dengan jelas bagaimana senyum kecil di sudut bibir itu memudar. Kecewa.
"Apa aku durhaka?" tanya Sakhi pada dirinya sendiri.
Akhir-akhi ini Sakhi sangat sering berbicara dengan dirinya sendiri, merenung, dan memikirkan semua hal yang terjadi dalam hidupnya.
"Sakhi!" Suara seseorang membuat Sakhi sadar bahwa Iwata sudah sejak tadi berdiri di depan pagar panti.
"Pak..." Suara Sakhi bergetar.
"Eh, kenapa?" Iwata terkejut dengan ekspresi sedih yang tiba-tiba Sakhi tunjukkan padanya.
Pandangan Sakhi tidak lagi jelas. Butiran-butiran air tertumpuk begitu banyak di kelopak matanya. Gambaran wajah Iwata terlihat pecah.
"Ayo, kita masuk dulu," tambah Iwata mempersilakan layaknya tuan rumah, membukakan pintu pagar.
Kak Hania dan Kak Alan yang sedang membahas sesuatu di ruang tamu depan, segera menyambut Sakhi yang baru datang. Juga Iwata yang mengawal di belakangnya.
"Kak..." suara Sakhi semakin bergetar "Aku melihatnya, aku melihat wanita itu."
Kini Sakhi terisak. Ia jatuh terduduk di lantai. Seluruh persendiannya melemas. Semua kesedihan yang menyerangnya dalam satu waktu membuat tenaganya terkuras. Membuatnya tanpa daya.
Kak Hania bergegas mendekat, memeluk adik tersayangnya yang terisak.
Melihat ibunya dengan jarak begitu dekat membuka banyak ingatan yang sudah berusaha ia timbun di tempat paling dasar terbuka. Ingatan mengenai hal-hal menyakitkan tentang masa kecilnya. Potong-potongannya. Tentang kekerasan, tentang ketidak berdayaan, tentang dirinya yang nyaris mati, dan tentang bagaimana ia ditelantarkan.
Hari ini, wanita itu muncul di depan Sakhi. Menunjukkan wajah dan tatapan menderita. Seolah ia yang paling tersakiti di seluruh dunia. Bahwa lukanya juga dalam. Bahwa ia juga korban.
"Ada yang aneh. Dadaku sesak, Kak. Sakit sekali." Sakhi memukul-mukul dadanya.
Kak Hania memeluk adik tersayangnya, erat. Ikut terluka.
Sakit itu seharusnya sesuatu yang tidak Sakhi tahu seperti apa rasanya. Seharusnya ia sudah tersegel dengan aman. Tapi toh ternyata tidak benar. Penyakitnya tidak mampu mengambil semua rasa sakitnya. Masih ada yang tertinggal. Kini membuat dadanya sesak. Sulit bernafas.
Tangis Sakhi benar-benar pecah. Air matanya tumpah dengan deras. Sesuatu yang sudah ia tahan begitu lama, kesedihan yang tidak pernah ia tunjukkan kepada siapa pun.
"Sudah, tidak apa-apa." Kak Hania mengelus punggung Sakhi dengan lembut, berusaha menenangkan.
***
Sakhi sudah masuk kerja seperti biasanya dan Kak Hania tetap mengingatkannya untuk segera mengambil keputusan. Ibunya mungkin salah, tapi ibu tetaplah ibu. Wanita yang melahirkan dengan pertaruhan nyawa.
Kak Hania tidak meminta Sakhi untuk segera memaafkan ibunya. Ia hanya ingin keduanya bisa duduk dalam satu meja, bicara, berdua. Masalah tidak akan selesai hanya dengan memendam kesedihan, saling menghindari.
Kak Hania juga menekankan bahwa ia akan selalu ada di pihaknya. Jadi, keputusan apa pun yang akan Sakhi ambil setelahnya, tidak akan ada yang berubah. Pintu panti akan selalu terbuka lebar, menunggunya untuk pulang.
"Sakhi, kamu enggak apa-apa, 'kan?" Rin mendatangi Sakhi yang sedang menyelesaikan piketnya mencuci perkakas dapur.
"Kenapa?" Sakhi balik bertanya.
"Seharian ini kamu sudah menghela nafas 99 kali, melamun 21 kali."
"Lebai!" Sakhi menimpali sambil tertawa kecil. "Memangnya kamu hitung, memangnya aku kelihatan sefrustrasi itu."
Rin ikut tertawa. Ia ikut berdiri di wastefel pencucian piring. Sebenarnya ini bukan jadwalnya piket dan seharusnya ia sudah bisa pulang lebih dulu, tapi ia putuskan untuk tinggal lebih lama. Membantu sedikit dari pekerjaan teman baiknya.
"Apa ini masih tentang ibumu?" Rin memberanikan dirinya bertanya. Sakhi tidak langsung menjawab, ia hanya melakukan angguk kecil.
Tempo hari saat mengetahui Sakhi mengambil izin lagi, Rin mendatangi temannya itu di tempatnya tinggal. Dan yang Rin lihat adalah Sakhi yang tidak seperti biasanya, Sakhi yang tidak ia kenal.
Mata Sakhi bengkak, sembab. Wajahnya pucat, kusut dengan rambut berantakan. Meski terlihat mirip mayat hidup di siang hari, Rin tahu orang itu masih tetap Sakhi saat melihatnya tersenyum dengan susah payah. Bukan penampakan, bukan mayat hidup.
Sakhi yang biasanya kuat dan selalu tenang, terlihat kacau, begitu lemah dan patut dikasihani. Rin terenyuh. Sisi lain dari Sakhi yang baru pertama kali ia lihat. Temannya itu juga ternyata manusia biasa seperti orang lain.
Tidak ingin Rin berpikir bahwa ia baru saja dicampakan oleh orang yang disukai, Sakhi pun menceritakan tentang ibunya. Tentang rasa sakitnya. Tentang ia yang berpikir bahwa ini bukan waktu yang tepat. Bahwa ia belum banyak membangun benteng pertahanan, bahwa ia belum begitu mempersiapkan diri.
Rin hanya menghela nafas panjang, tidak banyak pertanyaan yang keluar dari mulutnya. Pandangannya turut bersimpati kemudian memeluk Sakhi.
Meski tidak ingin menangis dan sudah membuat janji untuk tidak menangis di depan Rin. Tapi diperlakukan seperti itu membuat air mata Sakhi tumpah dengan sendirinya. Kembali mengalir deras.
"Jadi sudah kamu putuskan?" tanya Rin lagi. Dan lagi Sakhi hanya mengangguk. "Sudah hadapi saja. Kamu bukan Harry Poter yang menghadapi Voldemort. Jangan takut! Keningmu tidak akan terasa terbakar. Waktu kamu sadar semua sudah selesai dan kamu baik-baik saja. Bepikirlah sesederhana itu."
"Voldemort?"
"Hehehe… maaf." Rin sadar bahwa ia salah membuat perumpamaan. Menyamakan ibu Sakhi dengan penyihir terjahat dalam novel karangan JK Rowling.
"Aku enggak apa-apa kok. Tahu, 'kan aku manusia terkuat di Galaksi Bima Sakti. Manusia tanpa rasa sakit," ucapnya membanggakan diri.
"Kalau betulan tanpa rasa sakit mana mungkin kamu menangis semalaman sampai mata sembab begitu," celetuk Rin, Sakhi memanyunkan bibirnya.
"Kamu kalau ngomong kenapa harus 'ngena gitu, sih." Sakhi terbahak, Rin juga. Temannya itu benar-benar tahu cara menghibur orang.
***
Keputusan sudah dibuat. Sakhi akan mengunjungi ibunya di hari libur kerjanya minggu ini.
Kak Hania sangat senang. Ia yakin setelah ini adiknya akan semakin bertambah dewasa. Hal-hal yang telah dilewatinya lebih banyak dari beberapa orang lain di luar sana. Melihat Sakhi bisa terus bertahan dan tumbuh menjadi gadis yang baik, membuat syukur tak henti-hentinya ia panjatkan.
Hari yang cerah, terik yang tidak terlalu membakar. Ini adalah hari libur yang sempurna untuk dihabiskan di luar rumah.
Sakhi melewati jalan setapak dengan langkah-langkahnya yang kecil. Tangan kanannya menenteng plastik putih berisi sekilo apel dan sekilo buah jeruk. Hatinya masih meragu, tapi pijakannya ia tetapkan untuk tidak berhenti.
Sakhi tekah berjalan hampir 100 meter sejak ia turun dari angkutan umum jalan utama. Ia mulai memasuki jalan kecil yang hanya muat untuk satu motor. Pemukiman padat penduduk namun bersih, rapi. Sakhi belum pernah datang ke daerah ini sebelumnya. Ia hanya berpatokan pada catatan kecil yang ada di tangan kirinya.
Tiga rumah lagi.
Sakhi mulai menghitung.
"Sakhi!" Seseorang berseru menyebut namanya.
Ibu.
Ibu melambaikan tangannya. Setengah berlari menghampiri Sakhi. Wajahnya cerah. Senyum tidak henti-hentinya mengembang di sudut-sudut bibirnya.
Melihat ibunya yang begitu antusias menyambut kedatangannya, membuat perasaan Sakhi sedikit-banyak tidak enak.
Sakhi tidak ingin memberikan harapan karena sebenarnya ia sendiri belum bisa menerima kedatangan ibu yang begitu tiba-tiba, tapi Sakhi juga tidak tega jika harus merusak suasana hatinya yang terlihat begitu bahagia.
"Kenapa repot-repot begini," kata ibu saat Sakhi menyerahkan kantong plastik bawaannya. "Sakhi mau datang saja, ibu sudah senang."
Sakhi tidak menanggapi. Ia hanya melebarkan senyumnya.
Tidak banyak perabot dalam rumah. Satu set sofa yang sudah terlihat usang, meja dan televisi model lama 21 inch, pun perabot dapur.
Rumah hanya memiliki satu kamar. Meski tidak terlalu luas, barang-barang yang tidak banyak dan penempatan prabot yang diatur dengan baik, memberi banyak ruang kosong. Cat dinding berwarna putih, meski sudah tidak lagi tampak putih karena pudar.
Sakhi mengamati dengan teliti setiap detail dan sudut dalam rumah. Setiap ruangan. Ia ingin tahu di tempat seperti apa ibunya hidup selama ini.
"Ayo, duduk!" Ibu menarik kursi kayu yang ada di dapur. "Ibu sudah masak. Sakhi belum makan, 'kan."
Sakhi memang belum makan. Tapi ia bukan dalam kondisi lapar atau ingin memakan sesuatu. Di situasi ini yang ingin dilakukannya hanya menyelesaikan semua dan pulang. Ia masih belum terbiasa dengan situasi yang sedang dihadapinya. Canggung.
Ibu menyajikan makanan di atas meja. Telur bumbu Bali, udang asam-manis, sayur sop, dan nasi putih yang masih meniupkan uap-uap panasnya ke udara.
Ibu berencana mengambilkan nasi ke piring Sakhi, tapi Sakhi mengambil alih. Memilih melakukannya sendiri.
"Aku ambil sendiri." Kalimat pertama yang Sakhi ucapkan.
Ibu tidak merasa kecewa. Ia berusaha memahami. Ini situasi di mana mereka berdua layaknya orang asing padahal seharusnya bisa begitu dekat. Sama-sama sedang berusaha saling membiasakan diri sebelum akhirnya terbiasa.
Ibu mengambil piring lagi untuknya, mengambil nasi, menumpahkan sayur di atasnya, dan menambahkan dengan telur bumbu Bali yang tidak jauh dari jangkauannya.
Jadwal hari pertama kedatangan Sakhi yang dibuat adalah makan siang bersama anaknya.
"Gimana? enak, 'kan," ibu bertanya saat Sakhi telah melahap suapan pertamanya. "Orang-orang selalu memuji masakan Ibu. Ibu ingat waktu Sakhi kecil, Sakhi selalu lahap makan apa pun masakan Ibu. Sakhi bukan tipe pemilih soal makanan jadi Ibu bisa masak apa aja."
Sakhi tidak menanggapi. Ia menyuap lagi makannya. Kali ini ibu terlihat kecewa. Terlihat jelas. Sakhi meyuap lagi. Ibu tidak lagi bicara. Sendoknya juga tidak disentuh, nasi di piringnya belum sekali pun disuap.
"Apa ini enak, apa ini asin, pedas, atau terlalu manis, aku sudah lama lupa seperti apa rasanya." Sakhi bicara dengan tatapan tertunduk. "Sejak Ibu meninggalkanku 23 tahun lalu."
"Sakhi, Ibu juga menderita. Ibu terpaksa. Kamu tahu, 'kan keadaan waktu itu tidak mudah," balasnya ingin dipahami.
"Aku kehilangan indra perasaku. Seperti apa itu sakit, panas, bagaimana rasanya makanan enak, aku sama sekali tidak tahu lagi rasanya." Sakhi melanjutkan. "Jika bisa, sebenarnya aku ingin hidup dengan luka yang menumpuk di tubuhku. Orang lain mungkin akan menghilangkan semua bekas luka itu karena jijik."
"Sakhi..."
"Tapi jika bekas luka tetap ada, aku jadi bisa mengingat rasa sakitnya. Aku jadi memiliki alasan untuk membenci... Untuk tidak menerima Ibu saat kembali." Sakhi memberi jeda.
Kata ibu yang diucapkan tidak seperti panggilan untuk wanita yang telah melahirkannya, tapi panggilan sopan santun untuk orang yang usianya jauh di atasnya. Suaranya mulai bergetar.
"Justru tidak ada bekas luka sama sekali dan yang tersisa hanya tidak ada lagi yang bisa kurasakan." Sakhi menyelesaikan kalimatnya. Setelah berhasil menangis sekali, air matanya jadi begitu mudah tumpah. Sakhi ingin menahannya, tapi tahu-tahu pipinya sudah basah.
Hari yang seharusnya bisa mengharu biru, pertemuan antara ibu dan anak yang menyentuh, berakhir tidak sesuai dengan naskah yang telah ditulis. Di luar dugaan.
"Maaf," sambung Sakhi. Sebenarnya ia tidak ingin merusak suasana, tapi semua telanjur ia katakan.
Di rumah tempat ibu tinggal tidak ada apa pun yang menunjukkan bahwa keberadaan Sakhi dirindukan, atau setidaknya dikenang. Tidak ada foto atau barang anak kecil yang menunjukkan penghuni rumah sebelumnya pernah memiliki seorang anak.
Jika jejaknya sama sekali tidak tertinggal di kehidupan sang ibu, kenapa datang mencarinya. Jika ia tidak dirindukan kenapa memaksa ingin bertemu.
Menyadari apa yang di pikirannya, Sakhi merasa dirinya begitu dangkal, naif. Ia masih marah karena pernah ditelantarkan dan baru datang setelah sekian lama, atau marah karena tidak dirindukan, ia tidak lagi tahu. Perasaannya campur aduk, begitu kacau.
"Maaf, Ibu salah. Ibu bukan orang tua yang baik, Ibu egois." Ibu memeluk Sakhi, ikut terisak. "Maaf..."
Meski berada dalam dekapan orang yang sangat dirindukannya, Sakhi tetap tidak merasakan apa pun. Hangat tubuh ibu atau pun perasaan terlindungi.
Congenital Analgesia benar-benar sudah mematikan rasanya. Meskipun terhadap ibu yang diam-diam selalu ia sebut namanya dalam doa, yang setiap malam ia rindukan kehadirannya.
"Apa yang salah?" Kembali, Sakhi bertanya pada dirinya sendiri.