webnovel

#Bagian 9 : Si Penulis Novel Misteri.

Haikal sedang berada di ruang pertemuan sebuah hotel. Ada acara yang sedang berlangsung di sana dengan bintang tamu utama sekaligus pemilik acaranya, Arjuna Zeroun. Promo buku terbaru adalah agendanya. Di sana pembaca setianya bisa mengajukan pertanyaan sekaligus meminta tanda tangan.

Berinteraksi langsung dengan penggemar adalah rangkaian lain dari acara. Seperti biasa, ruangan yang ditempati selalu penuh. Penggemar pria dan wanita yang datang hampir sama banyaknya.

Genre novel yang Arjun tulis mayoitas digemari oleh pria. Tapi kelebihan wajah menjual yang ia miliki, dan berulang kali tampil di televisi, membuat para wanita yang mengidolakannya tidak kalah banyak.

Haikal sebenarnya bukan tipe orang yang dengan senang hati akan menunggu. Berlama-lama dan berngantuk-ngantuk ria. Karena hari ini ia bersedia menunggu, artinya Haikal sedang bersemangat.

Bisa memperhatikan targetnya lebih lama, berarti bisa lebih leluasa memberi penilaian.

Dibanding beberapa nama yang lainnya, Arjun sama sekali tidak terlihat sebagai manusia anti sosial yang artinya ia tidak memiliki kecendrungan kepribadian yang bersifat psikopatik seperti yang pernah Iwata sebutkan pada Huda.

Jika kepribadian psikopatik juga dimasukkan dalam daftar karakteristik pelaku maka sudah pasti Arjun adalah orang yang pertama kali akan terbebas dari kemungkinan sebagai pelaku.

Arjuna Zeroun sangat komunikatif sebagai pembicara. Ia bisa mencairkan suasana dan membuat alur pembicaraan menjadi lebih menarik.

Haikal tersenyum kecil. Ia merasa Arjuna Zeroun sangat menarik. Haikal semakin bersemangat, semakin ingin segera bertemu dan berbicara berdua. Ingin mengkonfirmasi dengan jelas seperti apa kebenaran di balik si penulis novel misteri itu.

Jelas, kepribadian yang dipertontonkan di depan umum bukan seluruh bagian dari dirinya. Masih ada bagian yang disembunyikan. Entah itu bagian yang bersifat berbahaya, atau bagian yang lain.

"Anda mengenal orang ini?" Begitu acara telah dibubarkan, Haikal bertanya tanpa banyak basa-basi. Ia menunjukkan foto korban pertama, Suratman.

"Iya," Arjun menjawab tanpa ragu. "Seseorang yang seharusnya dihukum karena mengakibatkan seorang anak lumpuh tapi pengadilan justru menyebutnya kecelakaan."

"Kalau memang bukan kecelakaan seharusnya Anda meminta diadakan banding. Bukankah masih ada harapan?" ujar Haikal.

"Benar. Seharusnya saya berusaha lebih keras lagi." Arjun memberi jeda sebelum melanjutkan ke kalimat selanjutnya. "Tahun lalu saya lihat beritanya, dia sudah meninggal jadi tidak ada gunanya mengungkit masalah itu sekarang."

Haikal tidak menanggapi. Ia fokus pada bagian selanjutnya.

"Bagaimana dengan orang ini?" Hailal menyodorkan foto Ima tepat di depan Arjun.

Mengaku mengenal orang di foto pertama, sudah pasti Arjun juga mengenal orang di foto kedua.

Arjun menjelaskan bagaimana ia bisa tanpa sengaja melihat kejadian ketika anak wanita di foto kedua jatuh dari balkon rumahnya. Ia juga mengatakan beberapa kali bertemu dengan Ima untuk membahas tuntutan pertangung jawaban terhadap Suratman.

Arjun tidak lagi pernah bertemu dengan Ima setelah kekalahan mereka dalam sidang. Arjun juga mengatakan ia berhenti menjenguk anak itu karena perasaan bersalah, penyesalan, tidak bisa berbuat apa-apa. Baru hari ini ia mendengar bahwa anak itu meninggal dan ibunya menghilang.

"Anak itu meninggal…" Pandangan Arjun nanar.

Bercerita mengenai anak itu membuat emosi yang berusaha Arjun tutup terlihat jelas di matanya. Sifat tenangnya terusik.

"Selain menghilang, ada kemungkinan ibu Ima meninggal." Haikal memberi penjelasan tanpa diminta. "Suratman adalah korban pertama kasus pembunuhan berantai Wolfsbane. Tapi ada kemungkinan korban pertamanya orang lain. Karena untuk mendapatkan cara membunuh yang sempurna, pelaku semestinya memulai dengan yang gagal lebih dulu."

"Hipotesa yang menarik." Dengan cepat ketenangan Arjun kembali. "Apa itu situasi yang benar-benar dihadapi pelakunya, atau para polisi hanya mengumpulkan dugaan-dugaan yang memiliki kemungkinan paling benar? Saya jadi ingin tahu."

"Saya sedang memastikannya." Haikal menjaga wibawanya agar tidak goyah.

Arjun tersenyum. Ia tahu pasti kemana arah pembicaraan membawanya. Dirinya dicurigai. Di tahap ini, yang diterjadi bukan lagi tanya-jawab biasa seperti yang Haikal katakan sebelum memulai pembicaraan.

"Bapak tahu kenapa novel fiksi bisa begitu digemari?" Arjun mengalihkan dengan pertanyaan yang tidak ada hubungannya. "Karena penulisnya bisa memoles berbagai macam kebohongan dengan sangat meyakinkan. Terkadang sebuah kebohongan juga bisa menjadi benar jika seseorang tahu bagaimana cara menciptakannya."

"Kebohongan tidak bisa menjadi benar!" Haikal menolak.

'Memoles kebohongan untuk menciptakan kebenaran,' Haikal merasa pernyataan Arjun sebagai sebuah petunjuk.

"Pada dasarnya manusia menyebut sesuatu itu benar karena mereka percaya sesuatu itu benar, meski bukan kebenaran yang sebenarnya. Benar dan salah adalah cara pandang, sementara kebenaran adalah yang mutlak."

Haikal menyipitkan matanya.

Meski tahu dicurigai, Arjun tetap bersikap terlalu tenang. Ia memiliki pengendalian diri yang baik. Atau, karena dari awal tidak merasa bersalah. Ia tidak melakukan perbuatan yang polisi curigakan padanya. Atau, ia sedang memoles kebohongannya sehingga terlihat seperti kebenaran. Seperti yang baru dikatakannya pada Haikal.

Tatapan mata Haikal awas, terus memperhatikan perubahan sekecil apapun dari ekspresi lawan bicaranya. Ia tahu ia tidak setanggap Iwata dalam hal ini, tapi secara terori ia juga mengerti ilmunya.

"Apa Anda sedang membicarakan tentang tulisan Anda?" Haikal berpura-pura.

"Awalnya saya bingung, tokoh utamanya harus berakhir bagaimana. Dibunuh atau membuatnya menghilang. Tapi menghilang sama dengan mati, jadi apa bedanya. Karena itu saya pikir membuatnya menderita sebelum berevolusi menjadi monster yang sebenarnya. Bukankah cerita mengenai kebenaran yang selalu mengalahkan kejahatan terlalu naif, monoton. Sesekali orang pasti ingin melihat bagaimana jika kejahatan yang menang."

"Sayangnya kita memang selalu dicekoki cerita-cerita seperti itu dari kecil. Kisah-kisah super hero yang selalu mengalahkan kejahatan. Pepatah-pepatah yang mengatakan bahwa kebenaran akan selalu menang." Kalimat Haikal tidak lagi terbantahkan. Hal yang memang terjadi dari masa ke masa. Yang sama berlakunya di belahan bumi manapun.

Arjun tidak ingin merasa kalah sehingga ia hanya melebarkan senyumnya tanpa mendebat atau melemparkan kalimat balasan. Memberinya kesan sebagai orang bijak yang bisa dengan berbesar hati menerima masukan.

"Ah, saya dengar inspirasi utama Anda menulis Death Note. Jadi, apa pendapat Anda mengenai Light Yagami?" Haikal mengajukan pertanyaan lagi.

Arjun menggeleng. "Light itu hanya seorang pelajar biasa. Bapak seharusnya bertanya lebih spesifik, mengenai Kira." Arjun menekan dengan jelas kata 'Kira.' "Menurut saya Kira terlalu serakah. Seorang penjahat sama seperti penjahat-penjahat lainnya. Toh pada akhirnya dia juga membunuh orang yang tidak bersalah. Bagi saya bagian itu menjadi kesalahan terfatalnya."

"Bukannya dia menyebut itu pengorbanan," Haikal menanggapi.

"Tidak ada pengorbanan seperti itu jika menyangkut nyawa. Berbeda dengan yang lainnya, nyawa yang tidak bersalah, yang tidak ada hubungannya adalah sesuatu yang tidak boleh disentuh," balas Arjun tegas.

Seperti yang pernah Iwata sebutkan sebelumnya. Prinsip. Karena meski membunuh, pelaku menghabisi seseorang yang memang ia anggap layak mendapat hukuman. Dengan kata lain sebenarnya si pembunuh mengharapkan seseorang mendukungnya.

Berhadapan dengan orang yang cocok dengan profil pelaku seperti yang Iwata gambarkan, membuat Haikal semakin yakin sedang berhadapan dengan pelaku sebenarnya.

"Jadi, jika orang itu bersalah boleh dibunuh?" Haikal membalik kata-kata Arjun.

Arjun tidak bereaksi beberapa saat. Mungkin sadar telah masuk dalam jebakan. Detik berikutnya ia hanya tersenyum sembari mengangkat bahunya bersamaan.

"Selamanya penjahat tetaplah penjahat. Apa pun alasannya membunuh tidak dapat dibenarkan." Haikal berdiri dari duduknya, siap berpamitan.

"Bagaiman dengan hukuman mati yang masih diterapkan negara kita?" Arjun balik mengajukan pertayaan. Tampaknya ia menikmati pembicaraanya dengan Haikal. Menggunakan kesempatan untuk sedikitnya bertukar pikiran.

"Itu menghukum, bukan membunuh," tegas Haikal.

"Menghukum, ya," Arjun bergumam.

"Terima kasih atas kerja samanya." Haikal menyalami Arjun.

Di sudut bibir Haikal, ada seringai kecil yang bukan berarti ejekan, buka pandangan merendahkan. Melainkan perasaan puas sebab bisa bertemu dengan lawan bicara yang hebat.

***

Di tempat yang lain, Iwata tidak perlu menunggu lama untuk bisa bertemu dengan psikiater yang pernah merawat Arjun.

Seorang pria berumur 45 tahun. Adiraja Bima. Badannya tegap dengan otot-otot yang membungkus. Meski usianya sudah hampir memasuki setengah abad, ia masih rutin pergi ke gym atau joging pada pagi hari. Rajin berolahraga di sela-sela kesibukannya.

Dokter Adiraja hanya tinggal berdua saja dengan istrinya. Keluarga kecil yang tidak bisa dikaruniai anak.

Sudah sejak lama istri Adiraja divonis tidak bisa memiliki anak. Rahimnya diangkat karena kanker. Sebenarnya ia memiliki kesempatan untuk meninggalkan istrinya dan memilih wanita lain. Tapi tidak.

Adiraja tahu bukan hanya dirinya yang menderita karena tidak bisa memiliki keturunan. Istrinya pun sama. Karenanya ia memilih untuk menetap di hati yang sama. Sama-sama saling menguatkan.

Siapa pun berhak mendapatkan kehidupan yang lebih baik, tapi Adiraja telah membulatkan diri pada keputusannya. Dan, tidak menyesal pada keputusan yang telah dipilihnya adalah prinsip hidup yang selalu dipegang teguh olehnya.

Toh selama ini mereka tetap bisa menikmati hidupnya. Ia tetap baik-baik saja meski ada bagian yang terasa tidak lengkap.

Bagian yang tidak lengkap itu, tidak lantas membuat orang akan mati, bukan?

Bahagia atau tidak adalah sesuatu yang harus seseorang pilih. Setelah dipilih, kemudian lakukan. Beberapa hal dalam hidup terkadang memang tidak berjalan sesuai yang diinginkan. Seperti itulah hidup.

Adiraja sengaja membuka prakteknya di rumah. Selagi bekerja ia bisa tetap bersama istrinya yang ikut membantu sebagai asisten. Ia tidak ingin setelah membuat keputusan untuk tetap setia, yang dilakukannya hanya bekerja dan membuat istrinya lebih kesepian. Bersama-sama, mereka saling mengisi kekosongan.

Tidak bisa memiliki darah daging sendiri bukan berarti tidak bisa memiliki anak. Adiraja telah banyak membantu anak-anak yang bermasalah. Ia menjaga hubungan baik dengan semua anak yang pernah menjadi pasiennya. Beberapa di antaranya bahkan rutin berkunjung setiap minggu.

"Arjuna Zeroun, dia salah satu dari anak-anak yang tidak beruntung karena dilahirkan oleh orang tua yang tidak tepat." Adiraja mulai bercerita.

Adiraja juga memperlihatkan laporan catatan konsultasi Arjun. Wali yang mengantarkan Arjun datang untuk berkonsultasi setiap dua hari sekali saat itu adalah neneknya. Satu-satu keluarga yang tersisa.

Masa kecil yang sangat mengerikan untuk seorang anak, melihat kedua orangtua saling membunuh. Tepat di depan matanya. Penyebab traumanya. Bagian itu yang beberapa orang tahu. Tapi apa yang sebelumnya dilalui Arjun, bagaimana perlakuan yang diterimanya, tidak ada yang tahu.

Bagaiman Arjun bisa bertahan hidup dengan kedua orang tua yang mengerikan selama 12 tahun adalah misteri yang belum terpecahkan untuk Adiraja.

Bahkan sampai sekarang.

Hari pertama datang berkonsultasi yang dilakukan Arjun hanya diam. Ia bahkan menjaga jarak terhadap orang yang baru dilihatnya. Arjun terus diam, menutup rapat dirinya pada semua orang. Kepada dunia.

Dampak trauma setelah melihat pemandangan yang mengerikan membuat Arjun selalu terbangun tiba-tiba di tengah malam. Dengan tubuh gemetar, wajah pucat, keringat dimana-mana. Mimpi buruk. Terus, berulang.

Bagaimana bisa anak berumur 12 tahun kembali membuka dirinya jika kedua orang tuanya saja, pasangan yang dipercayakan Tuhan untuk membawanya hadir ke dunia menghianatinya, memberinya banyak luka.

Arjun tidak pernah menangis, mengamuk, atau melukai orang lain. Hanya diam. Dia mengurung diri ke sudut terdalam dari rasa sakit dan kesedihannya. Seorang diri. Menunggu untuk ditemukan.

"Orang seperti saya yang tidak beruntung dengan anak dan dia yang tidak beruntung dengan orang tua, saya tahu Tuhan sengaja mempertemukan kami. Meski butuh waktu lama akhirnya kami bisa menyentuh hatinya."

Iwata mendengarkan dengan baik setiap kata yang Adiraja ucapkan. Sesekali matanya menelisik ke seisi ruangan.

Ruang kerja Adiraja sama seperti ruang-ruang kerja orang lain pada umumnya. Interior sederhana, tidak ada yang terlalu mencolok. Warna ruangan didominasi putih. ATK, laptop, dan tumpukan kertas yang disusun rapi hampir memenuhi seluruh meja kerja.

Ada rak buku yang dijadikan satu dengan rak laporan-laporan penting yang bisa dijangkau dari kursi kerja karena tepat berada di sisi kiri.

Tatapan Iwata dialihkan pada dinding-dinding ruangan. Ada beberapa figura yang digantung di dinding belakang meja kerja. Seperti izin praktek, sesuatu yang terlihat seperti piagam penghargaan, juga foto lima orang berkemeja putih yang salah satunya adalah Adiraja Bima. Foto yang diambil saat menghadiri sebuah seminar. Iwata berani bertaruh semua orang yang ada di foto itu adalah dokter jiwa.

Ruang kerja Adiraja Bima yang luas memiliki ruangan lagi di sisi kanannya. Lantainya 3 senti lebih tinggi. Ruangan khusus yang tidak ditutupi dengan pembatas apa pun. Yang hanya ada satu kursi panjang, meja kosong persegi empat, dan kursi kecil tanpa sandaran tepat disampingnya.

"Jika tidak bisa bertanggung jawab penuh pada hidupku, kenapa dari awal mereka melahirkanku." Adiraja masih bercerita namun pandangannya melayang jauh. "Itu adalah kalimat pertama yang Arjun ucapkan. Anak itu menangis. Istri saya langsung memeluknya. Mungkin itu pertama kalinya dia merasa aman dalam pelukan seorang wanita, karena tangisnya menjadi semakin keras. Lepas."

Iwata mengangguk-anggukkan kepalanya. "Benar-benar masa lalu yang tidak terduga untuk seorang penulis novel yang begitu percaya diri dan karismatik." Iwata akhirnya berkomentar.

"Karena orang-orang hanya melihat Arjun dengan sampulnya yang sekarang," Adiraja menanggapi. "Dia anak yang belum sepenuhnya pulih, tapi dia sudah jauh lebih kuat. Dia terus menulis untuk menyembuhkan lukanya."

"Menulis untuk menyembuhkan luka?"

"Tulisannya mungkin cukup mengerikan untuk beberapa orang. Itu karena semua emosi yang tidak pernah ditunjukkan, sepenuhnya ditumpahkan dalam novel-novelnya. Hal-hal yang tidak bisa dia katakan pada orang lain."

Tidak ada tanggapan. Pikiran Iwata menerawang, jauh. Hari-hari yang anak itu alami, ingin ia bisa menembusnya. Menemukan simpul yang orang tuanya ikat mati dalam dadanya. Sesuatu yang disebut jejak.

***

"Baru beli novel juga?" Huda yang melihat Haikal baru kembali membawa dua novel yang masih terbungkus plasik, berkomentar.

"Juga?"

Huda menunjuk ke arah Iwata yang sudah kembali lebih dulu. Iwata sedang duduk dengan punggung condong ke depan sembari membaca novel. Iwata membeli novel lebih banyak dari Haikal.

Tiga novel karya Arjuna Zeroun. The Devil, Hope, dan Lie. Ketiganya merupakan karya terbaru Arjun yang paling banyak digemari.

"Apa kalian mendadak menjadi penggemar fanatik atau membaca novel yang dia tulis bisa membantu memecahkan kasus?" Huda berdiri di antara Haikal dan Iwata.

"Ini bagian dari penyelidikan," jawab Haikal. "Karena kepribadian seseorang pasti melekat dan tertinggal sebagai jejak pada apa-apa yang ditekuninya. Terutama penulis."

"Kalau begitu saya juga..."

"Cukup dua orang! Atau nanti tim khusus benar-benar akan dikira kumpulan fans fanatik Arjuna Zeroun," putus Haikal cepat. "Membayangkan seorang laki-laki mengidolakan dengan fanatik laki-laki lain saja sudah membuat saya merinding." Haikal mengusap-usapkan lengannya satu sama lain, geli. "Iwata ikut saya," tambah Haikal setelah meletakkan novel di mejanya.

Iwata dan Huda saling melempar pandangan.

"Mau kemana?" Iwata yang tidak kunjung beranjak dari duduknya bertanya.

"Menyelidik. Cepat!"

Haikal berjalan lebih dulu, meninggalkan orang yang diajaknya padahal ia belum mendengar jawaban persetujuannya. Iwata yang tidak tega meninggalkan novel yang baru ia baca pun dibawanya.

Setengah berlari, Iwata menyejajari langkah Haikal yang semakin cepat.

"Komandan, sepertinya mereka semakin kompak ya beberapa hari ini." Huda terus memandangi kepergian dua anggota setimnya sampai tidak terlihat lagi. Ia memegangi dagunya seperti orang yang tengah serius berpikir.

"Apa tugasmu sudah selesai?" Ketua tim berbicara tanpa mengangkat wajah dari berkas-berkas yang berhambur di mejanya.

"Siap, akan segera selesai."

***

Yang dilakukan Haikal sama seperti apa yang Iwata lakukan padanya saat membawanya menjenguk Sakhi tanpa bilang ba-bi-bu lebih dulu.

Yang dirasakan Iwata pun sama dengan yang Haikal rasakan tempo hari. Tidak tahu akan dibawa kemana, tiba-tiba saja mereka sudah memasuki gapura yang menjadi satu-satunya jalan menuju tanahan sementara.

Yang dimaksud Haikal menyelidik adalah menjemput sakhi yang baru saja dibebaskan.

Wajah Iwata seketika cerah mendengar kata dibebaskan. Tidak menunggu lama Sakhi muncul dengan pakaian yang sama seperti saat ia ditangkap.

"Jemputan istimewa." Haikal mengeluarkan kepalanya dari jendela. "Ayo, masuk!"

"Meski tidak meminta maaf atau mengatakan rasa bersalah, ini adalah salah satu cara saya menebusnya." Iwata bicara seolah pada dirinya sendiri. Padahal ia sedang mengungkapkan apa yang ada di lubuk hati terdalam Haikal. Menyindir. Memulai serangan lebih dulu.

"Cerewet!" desis Haikal tidak ingin meributkan sesuatu yang tidak penting.

Sebagai penonton, Sakhi hanya bisa cengar-cengir melihat tingkah kedua polisi di depannya.

"Jadi, bagaimana saya harus membalas budi untuk jemputan istimewanya?" balas Sakhi seformal-formalnya.

"Itu dia kalimat yang ditunggu-tunggu!" Haikal berseru seolah Sakhi baru saja mengucapkan sebuah mantra jitu.

Haikal membuka dasbor mobil, mengambil beberapa lembar foto kemudian menyerahkannya pada Sakhi.

"Siapa di antara orang-orang itu yang Sakhi temui selama perjalan ke tempat kerja hari itu? Sebelum sadar terkena racun?" tanya Haikal.

"Ternyata benar-benar menyelidik." Iwata bergumam, menyipitkan matanya.

"Kamu kira apa?" Haikal ikut menyipitkan matanya, meniru cara Iwata bicara. "Saya bukan tipe orang yang suka memanfaatkan keadaan dengan kata 'menyelidik'," tambah Haikal berbisik.

"Siapa yang suka memanfaatkan suasana dengan kata menyelidik?" Iwata mendesis.

"Tidak tahu." Haikal menggeleng. "Apa itu kamu, kamu merasa?"

Selagi dua petugas di kursi depan lagi-lagi mendebatkan hal-hal yang tidak penting, Sakhi memperhatikan satu-persatu keempat foto yang ada di tangannya. Foto berisi potret wajah orang-orang yang sebelumnya dicurigai.

Otot di sekitar mata Sakhi menegang, keningnya berkerut tanda sedang berpikir, memaksa ingatannya kembali ke saat-saat sebelum tangannya terkena racun. Sakhi memfokuskan seluruh pikirannya.

Hari itu cuaca cukup panas meski tidak terik mendidih seperti biasanya. Sakhi melewati banyak orang. Melewati setiap tempat langkah demi langkah. Ada banyak orang. Sakhi tidak memperhatikan semua orang karena ia harus segera sampai ke kafe. Ia tahu ia akan terlambat karena harus mampir ke suatu tempat lebih dulu.

Tapi, ada beberapa orang yang tanpa sengaja Sakhi lakukan kontak, wajah-wajah yang cukup melekat diingatannya. Seorang ibu rumah tangga, pria pekerja, dan pemuda bertopi. Sisanya hanya berlalu begitu saja.

"Ada! Ini." Sakhi menunjukkan foto seseorang berahang kokoh, alis tebal, dengan garis hitam di bawah matanya.

"Yuda Saputra." Iwata mengambil foto yang Sakhi tunjukkan kemudian diperlihatkan kepada Haikal yang masih tetap fokus menyetir.

"Ini juga!" Sakhi menyodorkan sebuah foto lagi. Seorang pemuda dengan batang hidung tinggi dengan tahi lalat, dan bibir bagian atas tipis. Senyumnya lebar, terlihat merekah.

Wajah-wajah yang Sakhi ingat dengan jelas sebab meninggalkan kesan, meski baru pertama kali bertemu. Seperti tahi lalat di hidung dan garis hitam di bawah mata, yang membuat pemiliknya tampak pucat. Secara garis besar paras keduanya juga cukup rupawan untuk diingat dan menjadi sayang jika harus dilupakan begitu saja.

"Hazim."

"Apa mungkin... salah satu dari mereka yang membuatmu terkena racun?" Haikal bertanya lagi.

"Tidak mungkin. Seperti yang pernah saya bilang. Pria pekerja itu terlihat baru mandi. Jadi kalau pun ada racun yang menempel entah dimana seharusnya sudah bersih sewaktu dia mandi dan berganti pakaian. Mana mungkin ada yang tertinggal di kereta atau belanjaannya," jelas Sakhi.

"Kalau yang satunya?" Iwata mengambil giliran bertanya.

"Sama sekali tidak terlihat mencurigakan. Dia tidak berusaha menutupi wajah atau penampilannya agar tidak dikenali seperti penjahat dalam film-film," Sakhi berkata sekenanya mengenai pemuda yang jelas lebih muda darinya.

"Mana bisa semua yang ada di film dijadikan patokan untuk menentukan kriteria seorang penjahat," Haikal menimpali.

Sakhi hanya mengangguk dan berkata 'O' tanpa suara. Ia masih memperhatikan foto-foto yang ada di tangannya, "Ha! ini..."

"Arjuna Zeroun," jawab Iwata cepat ketika melihat foto siapa yang Sakhi maksud.

"Bukan, bukan," Sakhi menepis cepat. Takut kalau-kalau orang dalam foto yang baru ia sebut, dianggap pernah bertemu dengannya juga hari itu. "Maksud saya ini penulis novel misteri itu, 'kan. Yang terkenal itu, 'kan. Wah... saya fans beratnya. Eh, tapi... apa ini maksudnya dia juga dicurigai?"

Pertanyaan terakhir Sakhi belum sempat dijawab karena tugas jemputan istimewa telah selesai. Sampai, mengantar penumpang dengan selamat di tempat tujuan.

Sakhi turun dari mobil dan berterima kasih.

"Arjuna Zeroun justru tidak masuk dalam daftar yang pernah Sakhi temui. Menurutmu?" Haikal bertanya pada Iwata ketika ia memutar setir.

"Meski 80% saya menganggap Arjun adalah pelakunya, kemungkinan kita salah jadi semakin besar."

"Kalau berfikir seperti itu, saya jadi tidak semangat lagi." Haikal menaikkan kecepatan kendaraannya. "Bagaimana kalau orang yang kita curigai saat ini benar adalah pelakunya. Sementara yang menimpa Sakhi, dimana racun mengenfeksinya tanpa sengaja kita anggap saja sebagai sebuah misteri."

"Kalau sudah memutuskan berpikir begitu dari awal, kenapa masih bertanya," gerutu Iwata.

Dari empat foto yang diperlihatkan pada Sakhi, hanya satu foto yang sama sekali tidak ia kenali, tidak pernah bertemu, juga tidak berpikir akan bertemu. Foto seseorang yang memiliki wajah paling tirus dibanding 3 yang lainnya.

Next chapter