Suara musik pop yang mengalun merdu di sebuah cafe yang tidak terlalu ramai. Sinar orange matahari sore yang memantulkan cahaya dari gelas kopi yang beruap. Serta kegelisahan Angkasa yang kini duduk didepan mamanya.
Angkasa memainkan gelas kopinya, membentuk sebuah putaran pada pinggiran gelas. Mama Angkasa terlihat beberapa kali menghela nafas. Sama sekali belum berniat meluapkan isi hatinya pada anaknya.
Angkasa menyeruput kopi panasnya dan kembali meletakkannya di meja. Begitu terus, seperti sebuah kaset rusak yang berulang-ulang menampilkan adegan yang sama.
"Mama kabarnya gimana?" Sekali lagi Angkasa mendengar mamanya menghela nafas.
"Kamu fikir setelah anak satu-satunya mama, meninggalkan mama, mama akan baik-baik saja?" Angkasa hanya bisa terdiam.
"Mama kangen banget sama kamu. Kamu gak mau pulang Rei?"
"Ma, aku masih pengen disini."
"Ya, kamu cuma denger omongan papamu aja. Selalu saja mengabaikan mama."
"Maaf ma."
"Bagaimana mungkin belum ada setengah tahun kamu ke rumah tantemu, kamu lupa sama wajah papa?" Mama Angkasa menghela nafas kasar. "Masa kamu salah kira kalau supir baru mama itu papa kamu?"
"Lupa ma." Angkasa hanya bisa meringis kesakitan, saat mama Angkasa memukul dahinya menggunakan dompet berbahan kulit buaya asli.
"Gak lucu Rei, mama tahu kamu kesal sama papa, tapi bukan gitu juga kamu bisa langsung melupakannya."
"Maaf ma. Rei tadi gak kelihatan dari jauh."
"Kalau papa gimana kabarnya ma?"
"Mama juga gak tahu, semenjak kamu pergi jadi gila kerja, ngurus cabang sana-sini. Makanya mama berani ketemu sama kamu karena papa kamu gak dirumah." Angkasa memganggukkan kepalanya mengerti.
"Papa kamu itu orangnya keras, dulu kamu yang masih kecil selalu diatur dan kena marah. Sekarang sudah kasih kamu kepercayaan, mengizinkan kamu buat ikut sama tante dan mulai karir sendiri jadi model. Tapi lihat penampilanmu sekarang? Mama hampir gak kenal siapa anak mama."
"Rei terpaksa ma."
"Terpaksa bagaimana?"
"Mama tahu gantengnya aku kelewatan, takutnya banyak yang nempel ke aku." Angkasa segera melindungi dahinya ketika mamanya hendak memukulnya lagi.
"Mama serius."
"Rei juga."
"Oh iya, siapa cewek yang sama kamu tadi?"
"Oh, temen aku sekaligus tetangga sebelah."
"Temen aja?"
"Iya temen."
"Ya sudah, mama gak ingin kejadian yang dulu terulang lagi." Mama Angkasa tampak berfikir. "Tunggu, apa kamu berpenampilan seperti ini karena kamu takut ada yang mendekatimu Rei?"
"Reikan sudah bilang sedari tadi."
"Baguslah, idemu cukup bagus. Tapi kenapa tetangga sebelahmu itu masih nempel sama kamu, bahkan saat kamu suruh pulang tadi kayak gak mau lepas gitu. Apa dia tahu identitasmu?" Angkasa terdiam untuk kesekian kalinya. Kemudian menggeleng, "Dia cuma tahu Rei punya dua penampilan dan untuk jadi model dia juga tahu. Yang lainnya enggak ma."
"Ya sudah, semoga dia bukan gadis ular. Mending kamu jaga jarak aja." Angkasa kali ini yang menghela nafas. "Lily bukan orang kayak gitu ma."
"Mama tidak melarang kamu bermain dengannya, hanya saja kalau bisa dijauhi maka jauhilah. Kamu harus jauhi dia jika benar-benar ingin lindungi dia. Jangan sampai kejadian dulu terulang lagi."
"Iya ma. Mama sudah bilang dua kali."
"Kamu sudah dewasa, sudah bisa membuat keputusan sendiri. Saat itu kamu dan Keila masih kecil, belum mengerti."
"Jangan sebut nama itu ma!"
"Baiklah, mama gak akan sebut. Jangan sampai papa kamu tahu tentang siapa tadi? Lily. Mama bukanlah seseorang yang bisa melawan papamu." Angkasa mengangguk paham. Kejadian masa lalu Angkasa selama ini selalu tersimpan rapat dalam hatinya, namun kini Angkasa menemukannya lagi diantara tumpukan kenangannya bersama Lily.
"Ya udah, mama cuma pengen tahu kabar kamu aja. Jangan berulah sebagai model atau papamu akan menyeretmu pulang."
"Iya ma."
"Mama pulang dulu sebelum papamu tahu kalau mama keluar ketemu sama kamu."
*
Lily memutar pulpen yang dipegangnya. Bosan. Sesekali Lily melirik keluar jendela, memeriksa adakah motor matic yang masuk kehalaman rumah sebelah.
Angkasa bertemu dengan mamanya dan Angkasa bukannya memperkenalkan Lily pada mamanya, malah meminta Lily buru-buru masuk kedalam rumah.
Sebenarnya ada masalah apa? Apa Lily terlalu jelek? Tidak. Lily sangat-sangat cantik. Terlebih akhir-akhir ini Lily mulai menggunakan skincare.
Lily beralih pada kasurnya, bergulung-gulung sampai kepalanya pusing. Sebenarnya kenapa Angkasa terlihat buru-buru mengusir Lily? Apa Angkasa sudah memiliki tunangan? Argh. Emang Lily siapa Angkasa.
Lily bangkit dan duduk lagi dimeja belajarnya. Melanjutkan tugas yang sempat tertunda.
Lily segera berlari keluar begitu mendengar suara mesin motor matic yang sangat familiar. Meninggalkan semua tugas yang ada dihadapannya.
"Angkasa!"
"Eh, sandal kamu mana?" Angkasa begitu terkejut dengan teriakan Lily yang begitu tiba-tiba.
"Lupa hehe."
"Gak pake sandal gak boleh masuk rumah."
"Eh gak apa-apa dong. Tadi Nyonya Ida pergi sama Nyonya Desi. Nggak ada yang tahu."
"Kotor Ly." Lily merentangkan kedua tangannya membuat Angkasa mengernyit heran.
"Gendong."
"Gak mau."
"Aku kurus kok."
"Tau."
"Iya, makanya gendong."
"Gak mau emang saya ojol?"
"Biar kakinya Lily gak kotor."
"Bayar."
"Oke."
"Pake apa?"
"Pake bakso kantin."
"Gak mau, gendongnya sekarang bayarnya ya sekarang."
"Iiishh."
"Tinggal maju berapa langkah apa susahnya sih?"
"Tadi katanya kotor?" Meski protes, Angkasa tetap membungkukkan badannya didepan Lily. Dengan senyuman selebar dan seluas sabang sampai merauke, Lily segera naik kepunggung lebar Angkasa.
Angkasa menurunkan Lily cepat-cepat di sofa. Bukan, tepatnya menjatuhkan Lily. Beruntung, Lily dijatuhkan ditempat yang empuk.
"Apa?" Ucap Lily menggosok punggungnya yang baik-baik saja. Angkasa melotot tajam memperhatikan Lily.
"Kamu gak pake bra ya?" Lily terkejut bukan main, segera menyilangkan kedua tangannya, bagaimana bisa dirinya lupa?
"Kok ngomongnya gak disensor?"
"Ini masih sore Ly. Sana pulang, ganti."
"Udah kebiasaan dari dulu."
"Kalau keluar diperhatiin, jangan sampai lupa."
"Iya ih."
"Bahaya tau."
"Iya udah sana mandi. Bau!"
Arah mata Lily mengikuti Angkasa yang berjalan menuju kamarnya. Begitu Angkasa benar-benar sepenuhnya masuk, barulah Lily lari terbirit-birit keluar dari rumah Nyonya Ida dan kembali masuk ke rumahnya.
*
Setelah kejadian sore tadi Lily sama sekali tidak berani keluar rumah, takut bertemu dengan mata tajam itu. Lily memilih memeriksa kembali pelajarannya hari ini dan belajar untuk keesokan harinya.
Saat Lily masih fokus memahami isi buku yang sangat tebal itu, Lily menerima sebuah notifikasi pesan singkat dari adiknya. Lily mematung melihat isi pesan itu. Tangannya mulai gemetaran dan otaknya buyar kesana kemari.
Dunia Lily seakan ingin runtuh, Aster dan Kak Sean mengalami kecelakaan saat menuju rumah dan keadaan Kak Sean belum diketahui pasti karena masih dalam penanganan.
Sebuah gedoran pintu menyadarkan Lily kekhawatirannya. Lily berlari keluar membukakan pintu untuk siapapun yang datang.
Lily menangis mendapati Angkasa berdiri didepan pintunya.
"Sa, Kak Sean sama Aster kecelakaan. Ini salahkan?" Ucap Lily disela tangisnya. "Ayo kerumah sakit." Lily menarik Angkasa cepat-cepat untuk segera menghidupkan mesin motornya.
Angkasa menarik Lily mengadapnya yang tergesa-gesa dengan air mata yang terus mengalir.
"Ly, berhenti nangis." Angkasa mencengkram erat bahu Lily, agar Lily sadar dari kekhawatiran berlebihnya.
"Dengerin aku. Nyonya Ida lagi bantu Nyonya Desi ke pengadilan pusat yang ada di luar kota, Om Aska baru aja berangkat dinas sore tadi. Jadi kamu wali Aster. Aku wali Kak Sean." Lily menyeka air matanya, menguatkan dirinya.
"Kamu tahu Aster yang kirim pesan bukan? Berarti dia baik-baik aja. Nanti kita tahu keadaan Kak Sean setelah sampai sana." Lily mengangguk paham. Angkasa tersenyum, melepaskan jaketnya dan memakaikannya pada Lily.
"Aku udah bilangkan? Jangan berpenampilan seperti ini pas keluar. Mata pria diluar sana berbahaya."
"Kamu juga?" Angkasa nampak berfikir sejenak. "Iya, makanya kamu gak boleh kayak gini didepan aku. Oke?" Lily mengangguk dua kali.
Masih dengan mata dan hidung yang merah, Lily menaikkan resleting jaket Angkasa hingga leher, kemudian segera menuju rumah sakit dimana adiknya dan kak Sean dirawat.