webnovel

BAB XV Ambisi dan Kemerdekaan  

"Ini ... apa yang telah kau lakukan, wahai gadis yang bercahaya?"

Sang kakak tertua dari tiga bersaudara Pieterzcoon dengan telanjang dada berjalan perlahan mendekati sang gadis yang bercahaya.

Bukan karena ingin menyerang ataupun merasakan ancaman. Sang pria dengan badan yang agak besar itu berjalan semakin mendekat dengan mata yang berkaca-kaca seakan-akan telah terlepas dari belenggu yang telah lama mengekangnya.

§

Bastion Van Pieterzcoon adalah putra pertama Pieterzcoon yang memiliki berbagai bakat dalam banyak bidang. Bahkan sejak ia berumur 13 tahun semua bakat-bakat cemerlangnya sudah terlihat, mulai dari bakat menulis, bermusik, strategi, bahkan beladiri pun ia kuasai dengan mudah.

Namun, karena banyaknya bakat yang di milikinya sang ayah menaruh semua harapannya pada sang putra pertamanya itu. Baik ambisi dan pengetahuan yang ia miliki ia wariskan semua pada sang anak. Saat itu sang anak yang hanya melihat masa depan cerah di negeri Belanda sangat bahagia dapat membanggakan sang ayah yang ia sayangi.

Hingga ia akhirnya menginjak umur 18 dan harus berangkat bersama sang ayah ke Selat Malaka. Bastion muda yang membayangkan daratan baru yang belum pernah ia lihat dan sangat bersemangat untuk melakukan perdagangan disana dan mengenal daerah itu lebih dalam sebagai saudara sesama manusia. Namun setelah malam menjelang pada hari pertama pelayaran, seuatu yang tak pernah ia duga terjadi.

Dua orang berbadan kekar membangunkannya dari kamarnya dan secara tiba-tiba dan memegang erat kedua lengannya. Sambil mencoba menyadari apa yang terjadi Bastion muda terus diseret ke salah satu ruang gelap. Tanpa ada pencahayaan sedikit pun Bastion yang terkekang kedua tangannya dipaksa untuk terus berlutut. Bastion pun berusaha untuk terus memberontak namun tak ada satupun yang mendengar rontanya yang keras itu.

Awalnya sang Bastion muda berpikir bahwa ini adalah serangan bandit, namun tiba-tiba sebuah lilin bersinar di depannya dan menampakan seorang sosok yang sangat ia kenal dan membuatnya menyadari semuanya seketika itu juga.

"Bastion ... putraku yang kubanggakan"

"Ayah ..."

"Bakat, ketangkasan dan kepintaran semua kau miliki, kau adalah penerus yang akan meneruskan semua ambisiku, tapi ... hati yang lembut itu akan segera menjadi halangan untuk ambisiku."

"Ambisi?! Apa yang ayah bicarakan, aku dapat mewujudkan mimpi ayah apapun itu, tapi kenapa ayah melakukan ini?"

"Tidak Bastion, kau masih belum mengerti, masih terlalu naif ... "

Sambil mengambil sebuah pisau ia mendekat pada putranya itu dan membuatnya mulai ketakutan meronta-ronta.

"ti ... tidak ... apa yang mau ayah lakukan?! Apa kesalahanku!?"

Lalu sambil menjulurkan tangannya di atas kepala sang putra, ia menyayatkan pisau itu pada lengannya sendiri hingga darah mengucur deras ke kepala sang putra.

"Bastion ... darah ini akan mengubah hati lunakmu itu"

"apa maksud ayah? ..."

Melihat tindakan ayahnya itu, mata Bastion muda menjadi kosong dan kebingungan tak dapat menangkap hal yang sedang ia alami.

Setelah melihat sang putra dipenuhi dengan darah merahnya, Pieterzcoon menarik lengannya dan luka sayat pisau di lengannya itu tiba-tiba menutup. Pieterzcoon pun berjalan beberapa langkah ke belakang sebelum akhirnya menjulurkan tangannya lagi dan berkata.

"Wahai putraku, penuhilah dirimu dengan ambisiku, rasakan kemarahanku dan kegeramanku ... mengamuklah sampai perutmu terisi dengan kenyang oleh darah manusia!"

Bastion yang mendengar kata-kata itu seketika itu merasakan panas di sekujur tubuhnya dan perlahan pandangannya tertutup bersamaan dengan kesadarannya.

Hingga akhirnya ia mendapatkan kembali kesadarannya dan menyadari bahwa dua orang berbadan kekar yang tadi mengekangnya telah berubah menjadi tulang-tulang yang berceceran dengan darah yang meluber kemana-mana.

§

Setelah itu Bastion muda hanya bisa memabukan dirinya dengan anggur untuk menelan kenyataan yang telah ia alami saat itu, hingga suatu saat kekang ambisi yang selama ini mengutuknya serasa dilepaskan dari tubuhnya oleh cahaya lembut yang datang dari seorang gadis kecil.

Dengan mata yang bernanar di bawah sinar rembulan Bastion berjalan mendekat seakan melihat sebuah keajaiban.

"Wahai gadis yang bercahaya, jawablah pertanyaanku ini! Apa yang telah engkau lakukan pada tubuh kami ini?"

Anna yang masih melayang dengan tubuh yang bersinar perlahan melirik ke arah Bastion yang berjalan mendekat.

"Perjanjian yang mengikat kalian dengan Si Iblis telah tiada, sekarang kalian tak akan bisa berubah lagi menjadi monster ..."

" ... sungguh kah itu? tapi kenapa hanya kami berempat?"

Mendengar kalimat itu Anna terdiam sesaat selagi memperhatikan lagi mata nanar Bastion dengan seksama sebelum kemudian menjawabnya.

"Tak ada alasan yang diperlukan untuk kemerdekaan bukan? Namun, aku hanya bisa memberika kesempatan. Selanjutnya kalian sendiri yang menentukannya"

Bersamaan dengan berakhirnya kata-kata Anna itu cahaya yang bersinar dari tubuhnya mulai meredup dan tubuhnya yang melayang di udara kembali terjatuh kebawah sebelum kemudian di tangkap oleh lengan lembut Lily.

Bastion pun terhenti di kakinya, dengan otot yang terlatih sempurna dan badan besarnya itu Bastion perlahan menurunkan pandangannya ke kedua tangannya. Kemudian dengan suara isak yang ia tahan air mata hangat terjatuh di pipinya dengan deras.

Vannesia yang melihat itu semua hanya bisa tertegun selagi menyaksikan semua yang terjadi dengan baju yang setengah robek sebelum kemudian meneteskan air matanya.

Tetapi, lain halnya dengan Meleonarch yang memanfaatkan kekuatan monsternya untuk mengejar kehormatannya. Sambil mengerang membabi buta ia tertegun di kedua lututnya, sebelum kemudian mata yang penuh kemarahan itu tertuju pada sosok Anna yang terkapar lemas di pangkuan Lily.

Dengan kemarahan itu kemudian ia mengambil pistol yang bertengger di pinggangnya dan mengarahkannya pada Anna dengan tangan yang bergetar. Tetapi tiba-tiba kedatangan seseorang segera merenggut perhatiannya.

"Meleonarch, apa-apaan sosok menyedihkanmu itu?"

Suara itu segera membuatnya menolehkan pandangannya ke belakangnya. Disana sang ayah sedang duduk di punggung kudanya di temani dengan tiga orang pengawalnya yang berpakaian ungu lengkap dengan senapan mereka. sang ayah berhenti di belakang Meleonarch selagi melihat sekitar dan berusaha memahami situasi yang terjadi dengan tenang.

"Ayah!! Tidak, ini hanya ... ini tidak seperti yang ayah bayangkan yah, ini hanyalah ..."

Mata tajam sang ayah segera menghentikan kata-kata Meleonarch.

"Tuan kelihatannya para tawanan hendak kabur"

Salah seorang pengawal Pieterzcoon membisikannya pada telinga Pieterzcoon dengan suara yang dapat di dengar Meleonarch.

"Hmm ..., jadi begitu. Lalu kenapa kau tak berubah kewujud serigala mu, Meleo?"

...

"Ini ... bisakah ayah memberiku sedikit ... darah ayah?"

Sambil tertegun di lututnya, perasaan hampa meluap dari hati Meleonarch. Membuatnya serasa kehilangan indra perasanya dan meninggalkanya dengan tatapan kosong pada sang ayah.

"Jadi begitu ..., singkatnya kau sudah kehilangan kekuatan itu? Sungguh tak berguna, sampai seberapa jauh kau mau mempermalukanku, hah?"

Seraya mengatakan hal tersebut Pieterzcoon mengangkat pistol di tangannya dan mengarahkannya pada Meleonarch.

Doorr!!

Suara tembakan menggema hingga ke depan Gerbang Kastil. Asap tipis tersapu angin dari ujung pistol Pieterzcoon bersama dengan wajah terkejut Meleonarch yang tertahan pada sosok di depannya.

Tepat beberapa detik saat pistol Pieterzcoon ia arahkan pada anaknya, seorang sosok bergegas menerjang dan menghalangi peluru itu mencapai kepala Meleonarch. Darah pun mengucur namun peluru yang ditembakan berhasil ia tahan di dalam dadanya selagi rubuh di pundak Meleonarch.

"Schluzt ..., TIDAK SCHLUZT!!!!!! APA YANG KAU LAKUKAN BANGSAT!!!"

Doooohhrr!!!

Dengan meletusnya tembakan kedua itu terciptalah lubang tepat di dahi Meleonarch. Membuatnya menunduk lemas dengan mata dan mulut yang terbuka lebar tak bernyawa.

"Sungguh ... dasar tak berguna, buang-buang peluruku saja!"

Bastion yang melihat dari kejauhan menjadi terpaku dan tubuhnya seketika bergetar dengan geramnya. Dan dengan kemarahan yang meluap-luap teriaknya melengking di udara dingin malam itu.

"ZCOOON!!!!!!!!!!!!!!!!!"

Next chapter