webnovel

BAB VI Bayangan Hitam  

Fajar mulai bersinar dan cahayanya menembus hingga ke kegelapan ruang dansa. Bersamaan dengan cahaya yang datang itu, puluhan mayat monster yang terpapar sinar matahari terkikis menjadi abu.

Meleonarch yang terkapar di bawah kaki sang pria berambut putih dan Shcluzt yang terhadang sang wanita berpakaian gothic mulai kembali ke wujud manusia mereka.

Lalu dengan perlahan sang pria meninggalkan Meleonarch yang terkapar dalam wajah frustasinya, menuju sang anak laki-laki dan Anna yang tak sadarkan diri di pundak sang anak laki-laki.

"TUNGGU!!"

"Apa lagi? Kami hanya mau menyelamatkan putri kami, kami tak punya urusan lain dengan kalian para monster!"

Bersamaan dengan itu ketiga petarung itu pergi membawa Anna dari tempat itu, meninggalkan Meleonarch yang terkapar dan Shcluzt yang hanya bisa berdiri diam di ruang dansa kosong yang berantakan itu.

§

Lembut cahaya menyilaukan membangunkan Anna dari tidurnya.

Di hadapannya terlihat langit-langit kayu.

"Di mana aku?" pikirnya.

Kemudian ia menoleh ke samping, di sampingnya terdapat sebuah meja kecil dari kayu dan sebuah lentera yang telah padam.

Di samping meja itu terdapat sebuah jendela lebar dengan pemandangan padang rumput hijau di baliknya.

Lalu ia memalingkan pandangannya ke sisi sebaliknya.

Krrrtt!

Seorang pria gundul berkulit hitam dan berkacamata terlihat masuk melalui pintu di ujung kamar itu sambil membawa sebuah piring berisikan bubur.

"Oh Putri! Rupanya anda sudah bangun, tepat sekali saya sedang membawakan sarapan anda."

Pria itu meletakan piring itu di meja samping tempat tidur Anna lalu mengambil sebuah kursi di sampingnya dan duduk.

"Bagaimana keadaan anda, putri?"

"Em, sudah tak apa-apa"

"Syukurlah"

"Bolehkah ... aku bertanya?"

"Ya, apa yang ingin putri tanyakan?"

"Emm, kenapa semua orang memanggilku putri?"

"Hmm ..."

"Lalu di mana ini, dan kenapa aku di bawa kesini, tempat apa ini?"

"Tunggu-tunggu, tenanglah putri!"

"Lalu ... siapa kau?"

Anna menundukan kepalanya dan membuat wajahnya tertutupi rambutnya sambil melihat sang pria dengan malu-malu.

"Hmm ... benar juga, pasti sangat membingungkan untuk putri. Kalau begitu mari saya antar keluar menemui yang lain. Mereka sudah menunggu putri di luar."

"Eh? Mereka?"

Lalu bersama-sama sang pria, Anna keluar dari kamar itu, menuruni tangga dan sampailah ia di sebuah ruang tamu.

Ruang tamu yang terlihat sederhana dengan kayu sebagai bahan utamanya.

Bzzt! Bzzt!

Suara sang wanita sedang memutar tombol pencari sinyal sebuah radio di atas sebuah meja loker sedang. Namun, berbeda dengan malam itu di mana ia mengenakan pakaian ghotic hitam. Pagi ini sang wanita yang mengenakan gaun one piece putih dengan pinggiran berrenda tanpa lengan baju itu, memperlihatkan kulit putih halusnya yang sedikit bersinar terkena sinar cahaya pagi.

Di sampingnya dua orang anak laki-laki kembar terlihat sedang duduk di lantai kayu. Seorang terlihat sedang asik bermain dengan balok kayu yang entah mengapa dapat melayang dan seorang lagi terlihat sibuk dengan buku yang dibacanya.

"Oh!! Putri sudah bangun!"

"Oh, selamat pagi putri!"

"Selamat pagi putri"

Anak laki-laki yang asik bermain itu menyambut kedatangan Anna, di ikuti dengan dua yang lain.

"Ah, se ... selamat pagi!"

Anna membalasnya dengan wajah yang tersipu.

"Selamat pagi putri Anna, bagaimana tidur anda tadi malam?"

Seorang Kakek Tua yang mengenakan kursi roda muncul dengan senyum ramah dari sebuah lorong di samping tangga yang dituruni Anna.

"Se ... selamat pagi, terimakasih atas tempatnya malam ini"

"Tak perlu sungkan putri, anggap saja rumah sendiri"

"...Terimakasih"

"Hoi! Herman, aku lapar! sarapannya sudah siap, kan? Oh, selamat pagi Putri"

Duk! Duk! Duk! Chtk!

"Auw!"

Dengan kesalnya sang wanita menendang si pria berrambut putih yang mana terlihat baru datang sambil meminggul sebuah kapak.

"Akno~, tolong jangan buat keributan pagi-pagi begini"

"Apa salahku?"

"Hi hi ..."

Tawa kecil keluar dari mulut Anna.

"Pfft!"

"Whaa ha ha ha!"

Tawa kecil itu segera menyebar di seluruh ruang kayu itu, menjadikan pagi itu pagi yang ceria dan mencerahkan suasana hati Anna.

§

Langit begitu biru, Anna duduk di sebuah balok kayu di halaman luar. Tempat itu ternyata adalah sebuah peternakan kecil dengan hamparan rumput hijau yang luas. Jauh dari kehidupan perkotaan Batavia yang penuh asap dan kegiatan dagang. Anginnya terasa sangat menyegarkan.

Di depan Anna seorang Anak Laki-laki bermain dengan hewan-hewan ternak selagi melayang di udara. Namanya adalah Ron, saudara kembar dan adik dari Pito si anak laki-laki yang selalu membawa bukunya.

Dan karena keduanya juga anggota Pitung (Pitu Petarung), maka masing-masing dari mereka memiliki anugrah tersendiri. Yaitu sebuah kekuatan istimewa yang di berikan bersama sebuah tugas.

Setelah menghela napas panjang, Anna berjalan kembali ke rumah kayu di tengah peternakan itu. Melangkah melewati pintu, Anna mengarahkan pandangannya ke samping jendela tepat di ujung ruangan. Sambil memegang secangkir teh ditangannya Lily sang wanita bertopi lebar yang berpakaian one piece putih duduk sambil mendengarkan radio dengan tenang.

"Nn. Lily, apa yang sedang kau dengarkan?"

"Oh Putri ..., aku sedang mendengarkan kabar siang stasiun radio pusat kota. Apakah putri mau segelas teh?"

Lily adalah seorang jurnalis lepas, datang ke Batavia dari Eropa namun perawakannya tak seperti bangsa Eropa yang berambut pirang. Dengan sedikit wajah Asia dan rambut hitam panjang yang tergulung rapi menjulur di samping wajah cantiknya. Lily memperkenalkan dirinya sebagai salah seorang Pitung.

Pitung, adalah tujuh orang petarung terpilih yang membawa anugrah istimewa yang terpanggil untuk melindungi Anna sebagai 'sang putri esok'. Setidaknya begitulah yang mereka katakan meskipun mereka sendiri tak mengerti mengapa Anna yang menyandang gelar putri esok dan apa maksud dari sebutan itu. Namun terlepas dari itu semua Lily adalah seorang wanita yang anggun dan santun.

Begitu juga dengan petarung yang lain, yang menyandang gelar petarung dan disebut oleh rakyat pribumi sebagai Pitung. Tak semuanya memiliki perawakan seperti seorang petarung. Malahan mungkin hanya Akno sang pria berrambut putih dan Herman sang pria berkulit hitam dengan kacamatannya saja yang pantas dalam sebutan itu.

Namun, atas kegigihan mereka melawan VOC maka rakyat pribumi memanggil mereka Pitung. Begitulah cerita yang di dengar Anna dari sang kakek.

Hari itu pun berlalu dan Anna kembali ke kamar yang disediakan untuknya di lantai dua. Di depan pintu kamarnya Anna kemudian berdiri dan tersenyum sebelum membuka pintu kamarnya.

"Mereka benar-benar orang yang baik"

Krrtt!

Degh! Degh!!

"Eh? Apa itu?"

Tak bergerak sedikit pun suatu mahluk yang tak dikenalnya, muncul di balik pintu yang Anna buka.

Suatu makhluk hitam pekat dengan mata bulat lebar dan kuku yang tajam. Suatu makhluk yang hanya dengan melihatnya saja jelas terasa rasa teror yang hebat pada diri Anna.

Keringat mulai mengucur dari tubuh Anna, namun tatapan makhluk yang tak berkedip sedikit pun itu seakan membekukan otot-otot di tubuh Anna dan membuatnya tak mampu bergerak sedikit pun.

"Wrapkeck!"

Mulut lebar makhluk itu terbuka tertutup dengan sangat cepat selagi mengeluarkan lidah panjang berwarna merah yang membasuh matanya, mata hijau yang berkedip pada wajah lebarnya seperti tokek itu. Seketika itu teror yang lebih kuat menyerang Anna seperti petir yang menyambar. Anna pun terjatuh lemas di kedua lututnya sambil menggigil ketakutan pupil matanya mengecil.

Prok! Prok! Prok!

Seseorang datang dari arah tangga.

"Putri, ada apa ...?!"

Segera sebelum menyelesaikan kalimatnya Herman menyadari sesuatu yang ganjil itu dan segera lari ke arah Anna.

Namun itu semua terlambat.

Wajah tak berdaya Anna yang berpaling padanya segera di telan bulat-bulat oleh makhluk hitam itu dengan sangat cepat. Bagaikan sebuah kilatan hitam makhluk itu menghilang setelah menyambar dan menelan Anna, meninggalkan bercak gelap di lantai dan dinding ruangan itu.

"TUAN DEKKER, PUTRI DICULIK!!!"

Next chapter