webnovel

#17 Relationship

Petra menghabiskan waktu mandinya lebih lama dari biasanya. Saat itu orang-orang terlalu malas untuk mandi, membuatnya bisa menguasainya sendiri. Ia menatap bayangan dirinya di cermin. Wajahnya lebih suram dari biasanya. Air masih menetes dari rambutnya, membuat bahunya agak basah. Hari ini adalah hari libur bagi mereka yang akan pergi melakukan ekspedisi besok. Beberapa Prajurit tidak mengambil tugas ekspedisi untuk menjaga Base dan membuat laporan darurat bila sesuatu yang buruk terjadi. Jadi hari ini adalah hari santai baginya.

Petra memutuskan tidak menggunakan seragamnya. Kaus putih lengan panjang dengan kerah longgar dan celana panjang lebih nyaman baginya. Rasanya sudah sangat lama sejak ia menggunakan pakaian kasual. tu membuatnya berpikir, Levi sedang mendapat libur juga. Ia bertanya-tanya dimana Levi sekarang?

Rambutnya yang masih lembab ia biarkan terurai. Petra pergi ke atap untuk mencari udara sambil mencari bantuan matahari untuk mengeringkan rambutnya. Ketika ia pikir takkan ada seorang pun disana, ia salah. Ia Membuka pintu dan menemukan seorang lelaki, dengan tangannya bersiul sambil memperhatikan langit. Terlihat sedang mencari sesuatu. Tidak yakin apa Petra harus tetap tinggal disini karna ia tidak terlalu ingin di ganggu. Namun orang itu terlanjur melihat kehadiran Petra, membuatnya merasa tidak sopan jika ia pergi begitu saja. Jadi Petra menghampirinya.

"Apa yang kau lakukan?" Tanya Petra sambil menunjuk jarinya yang ia buat sebagai peluit.

"Oh, hanya memanggil teman?" Kawab lelaki itu santai.

"Huh?" Petra menatapnya bingung. Mungkin ia salah mendengar tapi kelihatannya tidak.

"Dia seekor Humming Bird."

"Ah.." Petra mengangguk mengerti lalu ikut menatap langit. "Dia tidak datang?"

"Kelihatannya begitu. Ini pertama kalinya."

Seingatnya, Humming Bird termasuk burung yang sering di buru karna bernilai jual tinggi untuk di jadikan peliharaan. Meski tubuhnya mungil dan gesit, tidak sedikit burung yang berhasil di tangkap. Sejujurnya ia berpikir mungkin burung itu sudah di buru, tapi ia tidak cukup tega untuk mengatakannya. Seolah mengerti apa yang Petra pikirkan, lelaki itu melanjutkan.

"Humming Bird memang banyak di buru. Temanku tidak terkecuali. Tapi dia cacat. Pemburu biasanya menghindari burung cacat. Tapi tentu tidak menutup kemungkinan lain. Selain itu Humming Bird juga memiliki predator. Tidak heran jika sesuatu bisa terjadi padanya."

Mendengar itu Petra merasa bersalah, meski sebenarnya ia tidak mengatakan apapun.

"I'm sorry." gumamnya.

Lelaki itu terkekeh. "Don't be." Lelaki itu akhirnya mengalihkan pandangannya pada Petra. "Enka."

"Ya?"

"Namaku."

"Oh, Petra." Jawabnya canggung.

"Aku tahu." Lelaki itu terkekeh lagi lalu melanjutkan pemanggilan temannya itu.

Petra memandang lelaki itu sejenak. "Kau tampak baik-baik saja meski kau kehilangan peliharaanku."

"Dia bukan peliharaanku. Dia hanya burung liar yang sering bersamaku."

"Bukankah itu artinya kau memeliharanya?"

"Tidak, aku tidak mengurungnya dalam sangkar. Tapi dia selalu berhasil menemukanku setiap kupanggil dia."

"Wow. Kalian memiliki ikatan, huh? Kenapa tidak kau pelihara? Mungkin dia akan lebih aman bersamamu."

Sejenak lelaki itu terdiam. "Aku dan dia berada dalam dunia yang sama-sama kejam. Ia bisa mati di mangsa atau di buru kapan saja. Namun akupun tidak berbeda. Aku seorang prajurit yang bisa mati kapan saja. Jika aku memeliharanya, lalu aku mati, bagaimana dengannya?"

"Apa maksudmu bagaimana dengannya?"

"Jika dia terus bersamaku, insting liarnya akan tumpul. Ketika aku tidak ada, dia terpaksa harus hidup di alam liar meski instingnya sudah tumpul. Pada akhirnya mungkin ia tidak bisa bertahan dalam habitat aslinya. Begitu pula jika ia mati dalam pemeliharaanku. Mungkin aku akan terus menyalahkan diriku yang gagal menjaganya meskipun ia mati karna memang itu jalan hidupnya. Jadi kurasa ini yang terbaik." Enka tersenyum menatap langit, masih berharap jika temannya tiba-tiba muncul di hadapannya.

Petra tertegun menatapnya. Ia tidak pernah berpikir sejauh itu. Entah karna dia bodoh atau terlalu egois.

"Tidakkah kau merasa kehilangan?"

"Tentu. Tapi itu sangat membantuku menerima kenyataan. Jika aku memeliharanya, aku akan merasa memilikinya. Dan itu akan membuatku sangat terpukul jika suatu saat aku kehilangannya." Sejenak Enka berhenti karna ia tidak mendengar respon apapun dari Petra. Ia menoleh untuk melihat Petra mentapa di kejauhan dengan kosong. Tenggelam dalam pikirannya sendiri. "Petra." panggilnya memastikan Petra mendengarnya. Petra hanya menoleh padanya dengan wajah yang bodoh. "Tidak selamanya kau harus memiliki apa yang kau inginkan. Dengan itu kau bisa belajar arti merelakan."

Petra tertegun. Saat ini ia merasa sangat ingin menemui Levi. Dadanya terasa sesak. Ia merasa sudah melalukan hal yang bodoh dan ia sangat ingin memperbaikinya.

"Terimakasih." Petra berusaha tersenyum. "you're awesome."

"same here." Enka terkekeh. "Aku akan melanjutkannya sore nanti. Bersiul sejam penuh membuat mulutku kering." Ucapnya sambil melalui Petra. "good luck." Lalu ia menghilang kedalam lorong.

Entah orang itu sangat pandai membaca seseorang atau Petra yang terlalu mudah di baca. Itu membuatnya sedikit malu, namun ia merasa lebih baik. Itu membuatnya sadar bagian mana yang telah ia lewati karna kebodohan dan kecerobohannya. Seharusnya dia sadar sejak ia tahu levi tidak bisa melihat prajuritnya mati. Levi Mungkin telah banyak mengalami kehilangan hingga di titik ia tidak ingin memiliki hubungan erat dengan orang lain lagi. Dan Petra membuatnya bingung dengan menyatakan perasaannya.

Ia sangat ingin bertemu Levi. Baru pagi ini mereka bertemu tapi rasanya begitu lama. Seandainya Levi tiba-tiba muncul seperti Enka berharap burungnya datang. Namun doa Petra terkabul. Dia menangkap sosok Levi di bawah sana, menunutun kudanya menuju hutan. Petra bergegas turun untuk mengambil kudanya, meski ia baru membersihkannya kemarin. Sepertinya ia tahu kemana Levi pergi.

***

Levi mengikat kudanya di pohon terdekat, memastikan rumput tumbuh di bawah kakinya untuk ia makan, sebelum menempatkan dirinya untuk mencari posisi yang nyaman di bawah pohon dekat sungai. Namun sebelum ia benar-benar menemukannya, perhatiannya tertuju pada langkah kaki yang mendekat kearahnya. Petra muncul di dari balik pepohonan, tampak mencari-cari sekeliling, belum menyadari keberadaan Levi disana.

"Mencari kayu bakar lagi?" Sindir Levi, membuat pandangan Petra akhirnya tertuju padanya.

"Kapten?! Tidak, aku hanya.." Petra tampak panik, wajahnya sedikit memerah. Ia menundukan pandangannya menjauh dari Levi hingga ia menemukan dirinya tenang kembali. Tangan kirinya tanpa sadar menggosok tangan kanannya, canggung. "Aku mencarimu."

Itu tidak terdengar seperti hal yang baru untuk Levi, tapi ia tidak mengerti kenapa Petra tampak gusar. Mungkin ia masih memikirkan pagi tadi. Tapi kenapa ia memikirkannya jika ia tidak mengingatnya. Namun Levi memutuskan untuk tidak membahasnya kecuali jika memang di perlukan.

"Ada hal yang penting?" Tanyanya lagi memastikan.

"T-tidak terlalu.." Petra masih menjauhkan pandangannya dari Levi. Namun karna tak ada lagi jawaban dari Levi, akhirnya ia memberanikan diri untuk meliriknya sedikit. Levi tidak sedang memperhatikannya. Matanya tertuju pada sungai di hadapannya.

Petra menelan ludah sebelum bicara "Boleh aku duduk di samping mu?"

Levi kembali memandangnya heran, membuat Petra gugup, namun sekuat tenaga untuk tidak mengalihkan perhatiannya lagi selagi menunggu jawaban.

"Kenapa kau bahkan butuh izin untuk duduk?"

"K-kau benar." Balas Petra canggung.

Ia mengikat kudanya di dekat kuda Levi sebelum berjalan mendekati Levi Dan duduk di sampingnya.

Petra melirik sosok di sampingnya. Bagaimana hidungnya yang runcing tersapu angin. Bibirnya yang tipis Dan pucat. Alisnya yang tajam Dan tipis. Matanya yang biru dengan kantung Mata di bawahnya. Mata orang itu menatap jauh. Tajam namun menggambarkan sosok yang kesepian.

"Kapten, kau baik-baik saja?" Tanpa sadar kalimat itu terucap dari bibir Petra. Levi tidak membalasnya, namun ia menoleh sebagai respon. "Maaf, hanya saja kau terlihat... Tidak baik-baik saja." Lanjut Petra. Entah kenapa ia tidak ingin mengatakan sosok Levi tampak kesepian.

Sejenak Levi terdiam menatap Petra, seolah membaca apa yang sebenarnya Petra ingin katakan.

"Kau membicarakan soal pagi tadi?" Hanya itu yang dapat Levi pikirkan. Sebenarnya itu juga mengganggunya.

"Eh? T-tidak. Maksudku.."

"It's ok." Lanjut Levi tanpa menunggu Petra selesai dengan kalimatnya. "Begini lebih baik." Matanya kembali tertuju pada sungai di hadapannya.

Petra terdiam. Ada perasaan kecewa karna Levi ingin membiarkan ini begitu saja, namun di sisi lain ia merasa lega. Setidaknya ia bisa kembali seperti dulu lagi dengan Levi. Meski kecewa, namun apa yang Levi katakan benar. Mereka sudah baik-baik saja bahkan sebelum kejadian itu, jadi ini sudah lebih dari cukup bagi Petra.

Namun, meski Levi mengatakan demikian, matanya menunjukan rasa kesepian, seolah mengatakan ia tidak baik-baik saja. Entah apa yang ia pikirkan.

"Maaf, Kapten.." Gumam Petra. Ia tidak berharap Levi benar-benar mendengarnya karna itu pasti akan membuatnya geram, tapi ia tidak dapat menahannya.

Namun tidak seperti yang Petra pikirkan, Levi terdiam. Matanya masih tidak lepas dari kekosongan.

"Dulu.." Levi memulai "Ada dua orang yang selalu mengikutiku."

Petra menatap Levi bingung dengan alur pembicaraan yang tiba-tiba berubah, namun ia memutuskan untuk mendengar nya dengan diam.

"Entah sejak kapan mereka menjadi bagian penting di hidupku." Ada sedikit jeda, seolah ia sedang mengumpulkan kembali ingatan itu. "Bagiku yang lama hidup sendiri, mereka bagai keluarga."

Saat itu Petra tersadar bahwa apa yang sedang Levi bicarakan bukanlah sekedar cerita biasa. Meski ia tidak mengerti kenapa Levi, yang tertutup, menceritakan hal ini pada bawahannya, namun ia memastikan tidak satupun kata dari bibir Levi terlewat dari telinganya.

"Saat itu, kami termasuk orang yang di takuti di bawah tanah. Meski tidak sebaik di atas, kehidupan kami tercukupi. Namun kami menginginkan lebih. Kami ingin hidup dengan layak di atas hingga akhirnya kami menerima pekerjaan kotor agar dapat naik ke atas."

"Pekerjaan kotor?"

"Sebenernya hampir semua pekerjaan kami kotor. Tapi pekerjaan kali ini termasuk misi besar yang akan mempengaruhi dunia atas." Petra menunggu dengan sabar selagi Levi membeku sejenak. "Membunuh Erwin."

Meski Petra terkejut, ia berusaha untuk tidak mengganggu Levi menyelesaikan ceritanya.

"Kami mendapat bantuan untuk ke atas fan menyamar sebagai prajurit baru. Singkat cerita, kami mendekati Erwin sebagai bawahan. Hingga hari penentuan tiba, kami berencana membunuhnya saat ekspedisi luar dinding. Namun semua tidak berjalan sesuai rencana."

Petra dapat melihat sedikit otot wajah Levi menegang. Tanpa Levi sadari, tangannya mulai mengepal. Bayangan itu sangat jelas seolah baru terjadi kemarin.

"Dibanding Erwin, mereka berdua yang mati."

Meski Petra sudah menduga, namun itu masih terdengar menyakitkan untuknya. Mungkin karna ia melihat bagaimana itu masih ber-impact besar pada Levi.

"Aku sudah mengatakan pada mereka untuk tidak mengikuti ekspedisi, namun mereka memaksa. Pada akhirnya aku membiarkan mereka. Seandainya saat itu aku lebih bersi keras. Seandainya saat itu aku tidak meninggalkan mereka. Aku sudah membuat keputusan yang salah." Tangannya mengepal semakin kuat hingga gemetar. Levi merasakan tatapan iba dari Petra di sampingnya, membuatnya tersadar. Ia kembali tenang. Ada bekas kuku yang terbenam di telapak tangannya, namun ia tidak merasa sakit sedikitpun.

"Tentu aku tahu, itu bukan sepenuhnya salahku. Tidak ada yang bisa menjamin apa mereka tetap akan hidup jika aku memilih pilihan yang lain."

"Kapten.." Petra tidak bisa untuk tidak merasa iba, namun ia tidak tahu apa yg bisa ia lakukan. Meski Levi mengatakan bahwa ia tidak menyalahkan dirinya sendiri, tapi perilakunya mengatakan hal sebaliknya. Seolah ia lari dari kenyataan dari pada meyakini bahwa itu bukanlah salahnya.

Akhirnya petra mengerti apa yang sebenarnya ingin Levi sampaikan padanya dari cerita ini. Semua yang ia lakukan tidak lain adalah untuk mencegah ia masuk kedalam lubang penyesalan yang sama. Tanpa ia sadari, ia takut untuk mengambil keputusan yang salah. Ia takut kehilangan. Petra tidak bisa membayangkan sudah berapa Kali ia merasa kehilangan yang besar hingga titik dimana ia menutup diri. Alasan mengapa ia tampak terluka jika seorang Prajurit nya meninggal. Akhirnya ia mengerti.

Sejenak Petra terdiam sebelum mengalihkan perhatiannya pada hal lain di depannya. Ia tidak bisa merasakan seberapa besar kesedihan yang Levi alami, tapi Satu hal yang ia tahu, itu bukanlah kesalahanya.

"Kupikir apa yang Kapten pilih tidak salah." Petra memulai "Karna yang dihadapi dengan pilihan saat itu bukan hanya kapten, tapi mereka berdua juga. Dan membiarkan mereka memilih apa yang mereka yakini adalah hal yang bijak."

Levi tidak menjawab tapi Petra tahu Levi mendengarkan.

"Bagiku kematian bukanlah pilihan. Tidak ada yang abadi di dunia. Yang terpenting bagaimana agar kita pergi tanpa penyesalan." Petra melirik Levi yang masih tidak berubah hanya sekedar untuk melihat keadaannya. Terlihat dia memikirkan banyak hal. "Kau membiarkan mereka pergi dengan cara yang mereka yakini bahwa itu yang terbaik."

Petra memandang langit. Mengingat kembali Luka lamanya. Itu masih berbekas namun ia tidak menyesal.

"Kau ingat ketika adikku meninggal? Aku sangat menyesal karna aku, yang mengatakan akan membantu umat manusia, bahkan tidak bisa membantu adikku. Aku merasa gagal. Tapi kau tahu apa kata-kata terakhir yang ia katakan pada Ayahku?"

Levi menoleh kearah petra. Selagi Petra mengingat kembali. Ia tidak bisa menyembunyikan senyumnya. Bukan senyuman bahagia. Lebih seperti ia menertawai nasib.

"Ia bertanya 'apa aku sudah sekeren Petra?'." Petra mendengus sarkastik. "Bodoh, bukan? Tapi saat itu aku tahu bahwa ia pergi dengan cara yang ia inginkan, tanpa penyesalan. Dan itu cukup."

Sedikit terkekeh, namun Petra kembali ke dirinya yang tenang sebelum melanjutkan.

"Mereka sudah melakukan tugas mereka dengan baik. Tapi Kita yang hidup masih memiliki waktu yang harus di jalani. Kita hanya perlu memastikan kita selalu ingat bahwa mereka, yang pergi, pernah hidup Dan menjadi bagian dari garis kehidupan Kita."

Levi tertegun. Pupilnya semakin mengecil seolah ia baru saja melihat Hal yang menakutkan. Ia menjauhkan pandangannya dari Petra agar Petra tidak melihat kehancuran di matanya. Namun tentu itu tidak berguna. Meski tidak Ada air Mata disana, Levi terlihat sangat terpukul, untuk beberapa alasan.

Petra bangkit dan berlutut di hadapan Levi. Levi tampak ingin mengatakan sesuatu saat ia menyadari Petra di hadapannya, namun ia urungkan saat Petra menarik kepala Levi kedadanya. Mendekap seluruh tubuhnya kedalam pelukan hangat. Petra tidak mengatakan apapun, begitupula Levi. Ia bertanya-tanya kapan terakhir kali ia merasakan kehangatan seperti ini. Terlalu lama hingga ia bahkan tidak ingat apa ia pernah mendapatkannya. Levi bisa mendengar suara detak jantung Petra dengan sangat jelas. Entah bagaimana membuatnya nyaman. Levi melingkarkan kedua tangannya kesekitar pinggang Petra. Sedikit menariknya untuk lebih dekat tanpa ia tahu alasan ia melakukannya.

"Kau membuatku merasa menjadi orang bodoh." gumam Levi dalam pelukannya.

"huh? sorry..? kurasa?" Jawabnya tidak terlalu mengerti kemana arah pembicaraan ini.ia tidak dapat melihat wajah Levi untuk sekedar membaca ekspresinya.

"Bayangan itu terus menghantuiku hingga membuatku gila. Sudah lama aku mencoba melupakan itu namun tidak pernah berhasil." Pelukan Levi di pinggang Petra semakin mengerat. "Tapi disisi lain, hanya aku yang mereka miliki. Jika bukan aku yang mengingat mereka, lalu siapa? Jika aku melupakan mereka, apa jejak hidup mereka akan hilang begitu saja dari dunia?"

Petra melepaskan pelukannya untuk melihat wajah Levi, memastikan ia baik-baik saja. Namun ia tidak berubah. Meski matanya terluka, tidak ada air mata di sana. Semua tampak normal.

"Kapten, kau ingat apa yang kukatan dulu?" Tanya Petra, memandang lurus pada mata Levi. "Kau tidak perlu melupakan kenangan buruk karna yang kau miliki tidak hanya itu. Kau memiliki kenangan bahagia bersama mereka juga. Karna itulah hidup. Itu bukti bahwa mereka pernah ada. Bahwa mereka pernah hidup."

Levi terdiam. Ia tahu bahwa ia memiliki kenangan bahagia juga, namun itu semua terkubur dalam. Dan ia lah orang yang menguburnya. Karna ia ingin melupakannya. Karna itu semua membuatnya gila. Jauh di dalam lubuk hatinya ia tahu, bahwa ia masih belum bisa memaafkan dirinya. Meski ia tahu, tidak ada seorang pun yang menyalahkannya. Itu membuatnya terlihat menyedihkan.

Mata Levi tertuju pada tangan Petra. Seolah angin yang menggerakan tangannya, ia meraih satu tangan Petra, memandang jari kecilnya, sedikit mengusap lembut punggung tangannya. tangannya kasar, mungkin karna terlalu banyak bekerja, tapi seperti itulah Petra.

"Entah kenapa ucapanmu selalu membuatku merasa lebih baik."

Petra sedikit tersipu dengan serangan tiba-tiba. Ia memilih diam karna tidak tahu apa yang harus ia katakan.

"Belakangan ini aku selalu berpikir kenapa rasanya begitu nyaman dan tenang jika kau ada di sekitarku. Tanpa kusadari aku terus mencari sosokmu." Tatapan Levi masih tertuju pada tangan Petra tanpa menyadari betapa kata-kata itu mempengaruhi wajah Petra. "Dan baru-baru ini aku menyadari sesuatu.."

Jantung Petra berpacu cepat. Mungkinkah Pembicaraan ini mengarah ke arah yang ia pikirkan. Meski Levi mengatakan lebih menyukai hubungan mereka yang sebelumnya. Mungkinkah Levi berubah pikiran? Jantung Petra semakin berdetak cepat ketika Levi menatap wajahnya yang semerah tomat.

"Kau mengingatkan aku dengan ibuku." lanjut Levi.

Petra terdiam sejenak. Mencoba memproses ulang kata-kata Levi barusan namun tetap tidak menemukan jawaban. "huh?"

"Ibuku meninggal saat aku terbilang sangat muda. Karna itu aku sempat melupakan rasanya memiliki seorang ibu. Butuh waktu lama untukku menyadari ini. Bagaimana kau memperlakukan aku, aku sangat menyukainya. Aku bahkan berpikir mungkin aku terlalu bergantung padamu. Membuatku seolah kembali saat ibuku masih ada."

Butuh waktu beberapa detik untuk Petra kembali dari khayalannya. Ia mendesar berat. Membuat Levi bertanya-tanya jika ia mengatakan hal yang salah. Namun Petra tersenyum kembali padanya. Lebih seperti senyum untuk mentertawakan dirinya sendiri.

"Aku bahkan tidak tahu bahwa Kapten seorang mama-boy." Petra terkekeh. "but, it's ok. Mungkin aku harus mulai menganggap Kapten sebagai anakku."

Petra tertawa, mencoba untuk tidak mengasihani diri sendiri namun Levi tetap terdiam menatapnya, membuatnya salah tingkah. Tentu ia tidak berharap Levi tertawa bersamanya, tapi ini membuatnya sedikit canggung. Bagaimana Levi memandangnya begitu lama hingga ia lupa berkedip.

"Kapten?" Petra memanggil Levi untuk memastikan Levi masih di sana, namun tidak ada reaksi. Butuh waktu beberapa saat hingga Petra menyadari genganggaman tangan Levi di tangannya semakin erat. Petra merasa ingat dengan suasana ini. Suasana ini sama seperti malam itu. Tapi ia ragu. Tidak ingin membawa dirinya terbang lebih jauh lagi kedalam harapannya. Namun untuk beberapa alasan, Petra pun tidak dapat mengalihkan pandangnnya dari Levi. Semakin waktu berlalu, genggaman tangan Levi semakin Erat. Entah hanya perasaannya, ia merasa wajah Levi semakin mendekat. Khawatir ia hanya besar kepala, Petra memutuskan untuk diam. Rasa percaya-tidak percaya bercampur di kepalanya. Hingga jarak wajah mereka berada sejengkal dari hidung masing-masing, Levi berhenti dan bangkit.

Petra masih membatu di bawahnya. Mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Namun lamunannya terputus ketika ia mendengar suara seseorang dari kejauhan bergerak mendekat.

"Aku akan kembali ke Base." ucap Levi singkat. Wajahnya terlihat normal seolah tidak terjadi apa-apa. Mungkin benar Petra hanya besar kepala. setelah apa yang Levi katakan, bagaimana mungkin Levi mencoba menciumnya.

"A-aku akan tetap disini sebentar lagi." Balasnya dengan senyum canggung. Ia merasa hatinya belum siap untuk terus bersama Levi lebih lama. Tanpa menunggu jawaban kedua, Levi pergi, menuntun kudanya dan menghilang di tengah hutan.

Petra mendesah berat. Rasa seperti batu besar di punggungnya baru saja terangkat. Banyak hal yang ingin ia tanyakan, namun ia takut untuk menjadi besar kepala lagi. Ia merasa hubungannya dengan Levi yang sekarang sudah cukup. Sejujurnya ia bahkan tidak bisa membayangkan jika Levi benar-benar menyukainya sebagai seorang wanita. Tapi seorang ibu? selama ini Levi melihatnya sebagai seorang ibu? itu membuatnya depresi. Ia tidak pernah menyangka akan mendapat julukan seperti itu dari orang yang ia sukai. Karna itu ia membutuhkan waktu sendiri, untuk merenung, meyakinkan dirinya bahwa apa yang ia miliki saat ini sudah cukup. Selama ia bisa bersama Levi.

Di sisi lain, Levi berjalan dengan tatapan kosong. Dibanding menuntun kudanya, lebih seperti kudanya yang menuntunnya. Hingga tadi ia begitu yakin bahwa ia menyukai Petra karna Petra mengingatkannya dengan ibunya. Namun satu hal yang mengganjal pada dirinya. Seorang anak tidak akan mencoba mencium bibir ibunya. Terlebih di umurnya yang sekarang. Pemikiran itu membuatnya gila.

TBC------>

Next chapter