webnovel

19

Dengan kesal ia menguakkan semak-semak itu.

Bau busuk memang masih tercium, tapi di sana tidak ada apapun seperti yang diributkan. Cuma semak belukar yang terlihat.

"Tuh, gak ada apa-apa, kan?" Si pemimpin rombongan berkata jumawa sambil tersenyum puas. Ia merasa pendapatnyalah yang terbukti kebenarannya.

Beberapa pemuda lainnya bergegas meninggalkan tempat itu. Hanya pemuda yang bernama Itong itu saja yang termangu di tempatnya berdiri.

Sebagian ada yang berbisik dengan teman-temannya yang lain. "Sssttt, dia kebanyakan nonton tivi, film horor kali," beberapa pemuda terlihat cekikikan.

Langkai gontai, semuanya berbalik arah menuju kembali ke rumah pengantin. Perasaan mereka memang lega, tapi bau busuk itu masih juga tercium karena terbawa angin yang berhembus dari arah area pekuburan.

Beberapa saat hening.

Tapi tak lama kemudian...

"Aaaaaaaa....!!!" satu teriakan menggelegar dari arah dapur memasak mengagetkan semua yang ada. Sontak teriakan itu membuat suasana yang mulai sepi kembali gaduh.

Tak lama kemudian seorang perempuan berbadan gemuk terlihat berlari tergopoh-gopoh keluar dari dapur. Ia terbelalak ketakutan dengan tubuh gemetar.

Masih di tangannya memegang centong kayu, ia terduduk lemas di bawah bangunan panggung dengan nafas megap-megap.

"Ada apa, Nyai?" Orang-orang mulai berkerumun.

Perempuan tukang masak itu menunjuk-nunjuk ke arah dapur dengan mata membelalak ketakutan.

"Di dapur... di dalam panci masakan rendang... oh!" Perempuan itu dadanya masih kembang-kempis. Ia memejamkan matanya sambil menarik nafas dalam-dalam, berusaha menenangkan dirinya. Lalu ia menatap orang-orang di sekelilingnya. "Waktu aku mengaduk-aduk rendang sapi... ada sesuatu yang dilemparkan ke dalam panci, entah oleh siapa... aku tak berani menceritakannya... kalian lihat sendiri saja sana, di dapur!" Ia tampak bergidik.

Beberapa pemuda bergegas berbondong-bondong ke dapur masak, sementara perempuan gemuk tadi oleh kerabat keluarga diberikan segelas air putih agar lebih tenang.

Para pemuda dengan jantung berdebar-debar masuk ke dapur masak dan memandangi panci yang dimaksud dengan mata membelalak. "Itu panci nya ya...?" Semuanya tampak ragu-ragu untuk mendekat. Tapi salah satu mencoba memberanikan diri.

"Aku saja yang melihatnya!" Seorang pemuda yang lain melangkah maju mendahului teman-temannya.

Ia segera mendekati panci besar yang teronggok di atas tungku perapian. Panci itu adalah tempat menggodok rendang sapi.

Sejenak ia mencium aroma sedap dari dalam kuali. Aroma itu membuat selera makannya jadi tergugah. Sempat pula ia mengendus-endus. "Andai gak ada huru-hara ini sudah kumakan kau! Mumpung gak ada yang melihat..." gumamnya sambil nyengir sendiri.

Ia melongok ke dalam panci. Keningnya berkerut karena melihat ada seonggok benda sebesar buah kelapa yang terendam sebagian besarnya di dalam kuah rendang.

"Hati-hati, oy! Jangan-jangan di dalamnya ada ular kobra yang masih hidup..." salah satu temannya mengingatkan.

Dengan ekstra waspada ia melongok ke dalam panci.

"Apaan, ini...?" Ia melotot. "Apa ini yang membuat Nyai Salmah tadi ketakutan? Ini yang dilemparkan ke dalam panci...?" desisnya.

"Isinya apa, bro?"

"Gak tahu lagi, isinya apa. Coba lihat sendiri!"

Dengan sedikit perasaan was-was ia mencoba mencongkel dengan sendok kayu benda mencurigakan itu dari dalam kuah. Teman-temannya mulai berani mendekat.

Saat sedikit terangkat dari dalam kuah, ia langsung tersentak, membuat sendok di tangannya hampir terlepas dari genggaman.

"Hah...???!"

Kelimanya pemuda itu serempak terbelalak.

"Astaga...! Ini kepala manusia?! Astaga...Astaga...!" Ia mundur beberapa langkah dengan tatapan terkejut luar biasa.

Di dalam panci berukuran besar itu memang teronggok benda mirip kepala manusia yang terpenggal sebatas leher. Namun bagian wajahnya sulit dikenali karena berlumur kuah dan minyak masakan.

Sendok kayu yang terpegang di tangannya langsung jatuh terempas ke lantai.

Sejumlah pemuda yang lain yang berkerumun juga terlihat menatap ngeri.

Bongkahan kepala itu kini dalam posisi tertengadah sehingga terlihat bentuk hidung dan dagunya mencuat dari dalam kuah.

"Angkat saja dan siram dengan air, siapa tahu bisa kita kenali, astaga...! Sadis sekali!" desis salah satu pemuda yang lain dengan mata melotot. "Atau mungkin itu kepala boneka...?"

"Sepertinya bukan. Ini kepala betulan! Lihat saja rambutnya! Uh, aku enggak tega mengangkatnya dari dalam panci..." ia hendak muntah saat selesai mengucapkan itu. Lalu ia membalikkan badan.

Salah seorang temannya dengan keberanian lebih kendati dengan gerakan ragu-ragu segera mengangkat potongan kepala itu dengan menjinjingnya di bagian rambut.

Semakin banyak orang berkumpul semakin gempar, setelah kepala itu diletakkan di luar rumah. Para wanita menjerit-jerit dan kaum lelakinya terperangah.

"Itu kepala milik Kamrun!" Seseorang terdengar menjerit dengan suara tersendat parau. "Oh, astaga! Siapa yang tega melakukan pembunuhan sesadis ini?! Dia baru saja menghilang beberapa menit yang lalu...!"

Kerumunan orang-orang langsung hening. Sesaat saling berpandangan satu-sama lain. Tapi beberapa detik berikutnya terdengar jeritan histeris dari salah satu orang yang ikut berkerumun. Dia adalah salah satu kerabat si pemilik kepala buntung.

Warga lainnya memandang sekelilingnya dengan gelisah. Ada rasa takut saat mereka menyadari mungkin pembunuh itu sedang berkeliaran saat ini!

Mungkin saja ia mengintai di balik kegelapan!

***

Lusia masih meradang.

Ia benar-benar tak siap mental menghadapi kenyataan bahwa Hendra sudah bercumbu dengan gadis desa itu. Kendati itu hanya sebatas persangkaannya saja.

Gadis itu menunjukkan sikap protesnya dengan mununjukkan wajah dinginnya sambil terus menatap ke arah sungai.

"Gak tidur, Lus?" Hendra menyapa.

Lusia tetap diam.

Hendra mendekatinya. Menyentuh bahu gadis itu. Lusia agak mengedikkan bahunya pertanda enggan disentuh. Bahkan terdengar sedikit mendengus.

Hendra tersenyum. Ia duduk di samping gadis itu. "Udah jam sepuluh malam. Masak kamu mau duduk di sini terus? Gak takut sama dedemit?"

Lusia tetap diam. Tak mau menjawab.

Hendra menarik nafas. "Baiklah, kalau kamu suka duduk di sini... aku tidur di dalam dulu..." godanya. Ia berpura-pura meninggalkan gadis itu setelah melambaikan tangannya, lalu masuk ke dalam gubuk sembari mengintip keluar.

Di dalam gubuk tidak terlihat si gadis desa maupun neneknya. Kemana mereka pergi? Pikirnya.

Ia terus mengamati apa yang dilakukan gadis itu di atas jembatan sana. Lusia masih terdiam di sana. Tak peduli dinginnya angin malam, dan mungkin saja binatang buas yang berkeliaran di tengah hutan.

Pemuda itu menghela nafas. Ada sedikit perasaan kasihan kepada gadis itu mengingat betapa gadis itu rela menemui berbagai macam resiko dan kesusahan demi mengikuti dirinya. Apalagi saat ia mengingat betapa gadis itu juga dengan beraninya berusaha menyelamatkan dirinya saat ia berada di dalam bangunan batu.

Next chapter