webnovel

Bab 27 Sebuah Nama

"nngghhhh," lenguhan khas bangun tidur terdengar mengisi ruangan di pagi hari. Gadis  kecil yang tidak sadarkan diri selama tiga hari kini mulai menunjukkan tanda-tanda akan bangun.

Matanya yang perlahan terbuka segera memperhatikan ruangan tempatnya berada, itu adalah ruangan yang sama dengan sebelumnya. Jendela kayu yang masih tertutup rapat menjadi penghalang cahaya matahari yang berdesakan ingin menjelajahi ruangan.

Gadis itu adalah Fu Xie Lan.

Perlahan namun pasti ia beranjak dari tempat tidur menuju jendela untuk membukanya. Segera, aroma tanah basah karena embun pagi hari menggelitik indera penciumannya membuatnya sedikit rilex. Tubuhnya tidak sakit lagi dan tampaknya tidak ada yang aneh dengan inderanya, semua tampak normal dan jika boleh jujur rasanya tubuhnya terasa sangat ringan sekarang.

Samar-samar ia mengingat kejadian semalam. Ia tidak tahu apakah itu nyata atau hanya sekedar bunga tidur. Fu Xie Lan, gadis itu mulai tersadar semalam dan merasakan kehadiran seseorang. Matanya yang hanya terbuka setengah dengan pandangan agak buram hanya menangkap surai abu-abu milik orang itu. Satu hal yang ia bisa rasakan dengan jelas, tangannya digenggam dan itu memberi perasaan aman dan nyaman sebelum ia kembali terlelap. Ah sudahlah, mungkin itu hanya bunga tidur.

Tok...tok...tok

Suara ketukan  disusul dengan suara derakan pintu terbuka terdengar menyebabkan perhatian Fu Xie Lan teralihkan. Seorang pemuda segera memasuki ruangan dengan nampan berisi makanan berada di kedua tangannya. Langkahnya terhenti ketika melihat sosok gadis dengan tubuh yang sangat kecil berdiri di sisi jendela. Tubuhnya gemetar kala pandangannya beradu dengan manik violet gadis itu.

Akhirnya ibunya sadar. Perasaan rindu kembali memenuhi dirinya. Ingin rasanya ia merengkuh gadis itu kemudian berkata aku adalah anakmu, aku sangat merindukanmu ibu, namun niatnya itu ia urungkan mengingat kondisi ibunya yang tidak stabil dengan ingatan yang sepertinya belum kembali. Hal itu adalah kesimpulannya sendiri berdasarkan informasi magic book dan penjelasan dari tetua Chen beberapa hari yang lalu. Merahasiakan identitasnya kepada siapapun merupakan hal terbaik untuk saat ini. Ia tidak ingin menjadi beban bagi ibunya ketika suatu saat penyihir itu kembali dan mengetahui bahwa ratu Yu yi kembali dengan jiwa yang tidak stabil dan memiliki seorang putra. Ya, setidaknya sampai penyihir itu benar benar terbunuh.

"Apakah makanan itu untukku?" Suara yang begitu dingin tiba-tiba membuyarkan lamunannya.

"Ah, iy-iyya, ini untukmu," jawabnya tergagap kemudian berjalan menuju meja dan mengambil nampan lain yang berisi makanan dan menggantinya dengan yang baru. Selama ibunya tidak sadarkan diri, ia selalu menyiapkan makanan di meja hanya untuk berjaga-jaga jikalau ibunya sewaktu-waktu akan bangun, ia bisa langsung mengisi perutnya tanpa perlu meminta karena biar bagaimanapun tubuh fisik ibunya adalah tubuh manusia, dan tubuh manusia terkenal sangat lemah.

Fu Xie Lan memperhatikan pemuda itu menyiapkan makanan untuknya.

"Terima kasih," ucapnya.

"I-ini tidak seberapa, selama tiga hari sebelumnya aku selalu berharap kamu cepat bangun dan menghabiskan semua makanan ini," ucapnya kemudian membawa nampan yang telah ia ganti dan berlalu meninggalkan ruangan. Ia sangat canggung dan bingung. Ingin sekali ia berbicara lama dengan gadis itu namun ia tak tahu harus mangatakan apa.

Sementara itu, Fu Xie Lan yang mendengar jawaban pemuda itu tertegun.

Tiga hari? Ternyata ia tidak sadarkan diri selama itu.

Tak menunggu lama ia lalu berjalan menuju meja dan mengisi perutnya yang kosong.

.

.

.

Ketika ia mengambill suapan terakhir, pemuda itu kembali memasuki ruangan dan segera merapikan tempat tidurnya tanpa mengeluarkan suara sedikitpun.  Anehnya ia merasa tidak terganggu dengan keberadaan pemuda itu, jika di kehidupan sebelumnya jangankan berinteraksi dengan laki-laki, niat untuk bertemu mereka saja tidak pernah ada dalam kamus hidupnya. Terlebih lagi ia memang tidak suka berinteraksi dengan orang lain, ia lebih suka sendiri. Melakukan segalanya seorang diri. Satu-satunya interaksi yang ia lakukan adalah ketika bersama pamannya dan orang-orang yang bekerja bersama dengannya di laboratorium penelitian organisasinya.

Fu Xie Lan ingin memberekan bekas makanannya ketika pemuda itu tiba-tiba menghentikannya.

"Jangan, biar aku saja," ucap pemuda itu segera membereskan meja yang ada di hadapan Fu Xie Lan.

Ayo bicara, ayo katakan sesuatu, bodoh. Dia itu ibumu.

Pikiran dan batinnya terus saja bergejolak, ingin sekali ia berbicara namun tak tahu harus mulai dari mana.

"Siapa namamu?" tanya gadis itu tiba tiba.

"Ah, iy-yya mengenai namaku aku ingin menunjukkan sesuatu padamu," ucapnya kemudian sedikit menarik napas. Ia mengambil sebuah gulungan kertas berukuran kecil dari saku celananya lalu memberikannya kepada Fu Xie Lan.

Gadis itu menatap datar pada kertas yang disodorkan padanya, sudut salah satu alisnya terangkat ketika melihat tulisan dalam kertas hanya berupa beberapa nama.

"Pilih salah satu jika kamu benar-benar berterima kasih padaku," ucap pemuda itu mengarahkan telunjuknya pada kertas yang ada pada genggamannya. Ia tidak tahu apa yang diinginkan pemuda di depannya tapi ia menurut saja.

"Yang ini" ujarnya setelah memperhatikan beberapa nama, ia kemudian meraih teko berisi teh beraroma chamomile yang menggelitik hidungnya sedari tadi lalu menuangnya ke dalam cangkir kosong yang ada di sebelahnya.

"Baiklah, kalau begitu namaku Gu Wan Lie," ucap pemuda itu tersenyum melihat nama pilihan gadis yang tak lain adalah ibunya sendiri.

Nama yang bagus, akhirnya ia memiliki nama.

Meskipun pemberian namanya tidak seperti anak lain pada umumnya, ia tidak peduli.

Nama-nama pada kertas itu juga ia siapkan beberapa hari sebelumnya setelah meminta pendapat tetua Chen dan tetau Bao. Sengaja ia melakukan itu, karena akan aneh jadinya ketika ia langsung serta merta meminta diberi nama oleh gadis yang merupakan ibunya. Bukan tidak mau ia memilih nama sendiri hanya saja ia ingin namanya adalah pemberian ibunya makanya ia memilih dengan cara seperti ini.

Entah itu takdir atau hanya kebetulan, ibunya memilih nama dengan marga Gu dari sekian banyaknya nama yang tertulis di kertas.

"Panggil aku Wan Lie," ucap pemuda itu tersenyum sumringah.

Fu Xie Lan yang mendengar pemuda di hadapannya mengerutkan alisnya keheranan.

Apakah pemuda ini baru saja menyuruhnya memilih nama untuk dijadikan miliknya? Apa ia tak memiliki nama? Aneh, padahal pemuda ini bukan lagi anak kecil.

"Aku Fu Xie Lan, panggil Xie Lan atau Fu Lan,"  ujarnya sembari mengambil cangkir teh yang telah terisi penuh.

"Emm, bolehkah aku memanggilmu dengan sebutan lain?"

"Jika berdua saja, bolehkah aku memanggilmu ibu?" tambahnya lagi dengan suara serendah mungkin namun masih terdengar.

Uhhuk...uhhukk

Seketika Fu Xie Lan tersedat tehnya sendiri mendengar ucapan pemuda yang menyebut dirinya Wan Lie.

Ibu? Apa kupingnya bermasalah? Jika ingatannya benar, apakah suara yang ia dengar sebelumnya berasal dari pemuda ini yang memanggilnya ibu? Apakah dunia ini sudah gila? Hey lihat saja, umurnya tampak lebih tua dariku.

"Tidak," ucapnya tegas.

"Tapi kenapa? Tidak akan ada orang yang mendengarnya selain kita berdua," ucap Wan Lie dengan ekspresi yang sangat menyedihkan.

"Tidak, kamu salah orang. Umurku masih sangat muda, dan lagi aku belum menikah. Aku tidak punya waktu bermain ibu dan anak denganmu. Ada banyak hal yang harus aku lakukan," tolak Fu Xie Lan.

Ia tidak habis pikir. Bagaimana ia bisa memiliki anak di usianya yang masih sangat muda. Ia belum menikmati indahnya malam pertama dan seseorang sudah menawarkan diri untuk menjadi anaknya? Hah.

"Aku berjanji tak akan membebanimu, dan sebaliknya aku akan melindungimu, menuruti semua perintahmu asal kamu mengizinkanku memanggilmu ibu dan di hadapan orang banyak aku akan tetap memanggil namamu. Aku mohon, Mau ya?" Ucap Wan Lie masih dengan ekspresi yang sangat menyedihkan.

Fu Xie Lan meradang, ia belum mempunyai keinginan untuk memiliki anak namun mendengar tawaran pemuda yang menyebut dirinya Wan Lie , sepertinya akan sangat menguntungkan baginya. Jika di kehidupan sebelumnya ketika ia masih berada di organisasi, ia selalu menolak bantuan orang lain dan melakukan sesuatu sesukanya. Kali ini benar-benar berbeda. Ia harus pintar-pintar menggunakan segala sesuatu yang bisa menguntungkannya, karena hidup pada dunia yang belum ia ketahui seluk beluknya membuatnya sedikit gelisah.

"Err... Baiklah. Terserah kau saja," ucapnya kemudian berdiri, beranjak meninggalkan meja, tetapi sebelum itu ia kembali berkata "Ah iyya Wan Lie, kamu bisa meninggalkanku sekarang, aku ingin membersihkan diri."

"Baik ibu, nikmati waktumu" ucapnya dengan perasaan bahagia kemudian melenggang pergi meninggalkan ruangan.

Tanpa Fu Xie Lan sadari, ia tersenyum samar melihat tingkah pemuda itu.

Next chapter